Pendahuluan
Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik. Banyak daerahnya terdiri dari kepulauan dan wilayah terpencil yang belum sepenuhnya terlayani oleh sistem energi nasional. Buku Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil (2019) yang disusun oleh tim UGM dan didanai GEF-SGP UNDP, menjadi kontribusi penting dalam memetakan strategi transisi energi yang tidak hanya berorientasi teknologi, tetapi juga partisipatif dan berkelanjutan.
Latar Belakang dan Tujuan
Transisi energi global menekankan pentingnya pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Indonesia sendiri menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun, ketimpangan akses energi—khususnya di wilayah terpencil—menjadi tantangan utama. Buku ini menyajikan pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas dalam perencanaan dan implementasi teknologi energi terbarukan.
Metodologi dan Wilayah Studi
Studi dilakukan di empat lokasi berbeda:
- Pulau Semau (NTT)
- Pulau Nusa Penida (Bali)
- Pulau Kaledupa (Wakatobi, Sultra)
- Gorontalo (Tumba dan Muara Kopi)
Metodologi melibatkan survei sosial dan teknis, diseminasi desain, peningkatan kapasitas, serta penyusunan proposal komunitas. Model yang diterapkan bersifat bottom-up, memberi ruang bagi masyarakat untuk menjadi subjek dalam transisi energi.
Teknologi Energi Terbarukan yang Digunakan
Teknologi yang diadopsi menyesuaikan kondisi lokasi:
- PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) off-grid di Semau dan Nusa Penida
- Solar Water Pumping System (SWPS) untuk distribusi air bersih
- Biogas dan Biomassa untuk kebutuhan energi dapur
- PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) di Gorontalo
Studi Kasus dan Data Kunci
- Semau (NTT):
- Tantangan air bersih, namun kaya pertanian.
- Implementasi SWPS dan PLTS 450 kWp hybrid.
- Desa Uiasa, Batuinan, dan Onansila menjadi lokasi pilot.
- Nusa Penida (Bali):
- Desa Tanglad dan Batukandik mengalami peningkatan produksi minyak kelapa dan tenun setelah adanya akses energi.
- Biogas communal dan PLTS meningkatkan produktivitas warga.
- Kaledupa (Wakatobi):
- Komunitas Bajo di Mantigola dapat mengakses air bersih dari daratan melalui program Pamsimas dan sistem energi surya.
- Fokus pada penguatan kelembagaan lokal untuk keberlanjutan.
- Tumba dan Muara Kopi (Gorontalo):
- Pemanfaatan mikrohidro dan PLTS di SP3.
- Komunitas migran tani memanfaatkan energi untuk pemrosesan hasil pertanian dan pemenuhan listrik rumah tangga.
Analisis dan Kritik
Pendekatan transdisiplin yang diterapkan memperlihatkan efektivitas dalam menyatukan aspek teknis dan sosial. Namun, tantangan masih ada:
- Skalabilitas: Belum semua komunitas dapat mengelola sistem secara mandiri tanpa dukungan eksternal.
- Pemeliharaan: Teknologi seperti SWPS dan PLTS memerlukan pelatihan rutin dan ketersediaan suku cadang.
- Kelembagaan: Institusi lokal perlu terus diperkuat agar mampu menjalankan sistem jangka panjang.
Keterkaitan dengan Agenda Global
Proyek ini sejalan dengan SDG 7 (Affordable and Clean Energy) dan SDG 13 (Climate Action). Selain itu, pendekatan berbasis komunitas memperkuat inklusivitas dan keadilan sosial dalam proses transisi energi.
Nilai Tambah Artikel Ini
- Menyediakan studi kasus konkret dari Indonesia yang dapat direplikasi.
- Menggabungkan data sosial, teknis, dan budaya untuk solusi yang kontekstual.
- Mendorong pendekatan lokal-partisipatif, bukan hanya solusi top-down.
Kesimpulan
Transisi energi di wilayah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan. Buku ini memberikan model yang dapat menjadi rujukan nasional bahkan internasional untuk pengembangan energi terbarukan yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber:
Budiarto, R., Widhyarto, D.S., Sulaiman, M., dkk. (2019). Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil. Pusat Studi Energi UGM, GEF-SGP UNDP, Yogyakarta.