Menakar Nilai Budaya dalam Tata Kelola Air: Dari Teori Dominan ke Pendekatan Pluriversal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

04 Juli 2025, 10.46

pixabay.com

 Pendahuluan: Air, Budaya, dan Kompleksitas Tata Kelola

Air bukan sekadar sumber daya alam—ia adalah cerminan nilai, relasi sosial, dan identitas budaya. Artikel karya Heinrichs dan Rojas (2022) mengangkat pertanyaan mendasar: Sejauh mana teori dan nilai budaya telah diintegrasikan dalam riset dan praktik tata kelola air? Melalui tinjauan sistematis terhadap 52 studi lintas negara, artikel ini mengungkap dominasi pendekatan tertentu, keterbatasan implementasi nilai budaya, serta peluang untuk membangun kerangka kerja yang lebih inklusif dan kontekstual.

 Dominasi Cultural Theory dan Keterbatasannya

Dari 52 studi yang dianalisis, Cultural Theory karya Mary Douglas (dengan empat kategori: egalitarian, hierarchist, individualist, fatalist) mendominasi literatur, terutama dalam konteks manajemen air. Teori ini populer karena kesederhanaannya dan kemampuannya untuk dikodekan dalam model statistik atau simulasi perilaku.

Namun, pendekatan ini cenderung statis dan homogen, kurang mampu menangkap dinamika nilai lokal atau adat yang lebih kompleks. Misalnya, dalam studi CastillaRho et al., Cultural Theory digunakan untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah di AS, Australia, dan India. Meskipun berhasil secara teknis, pendekatan ini menyederhanakan realitas sosial yang lebih beragam.

 Munculnya Indigenous Knowledges dan Nilai Pluriversal

Tren baru yang muncul adalah meningkatnya penggunaan Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis, terutama di Australia. Nilainilai seperti lore, spiritualitas, heritage, dan placebased identity mulai diakui sebagai bagian penting dari tata kelola air.

Namun, artikel ini mencatat bahwa pengakuan terhadap nilai adat masih terbatas pada wacana, belum menjadi dasar pengambilan kebijakan atau desain model. Misalnya, nilai seperti country dan river sering disebut, tetapi tidak diintegrasikan dalam alat pengambilan keputusan.

 Perbedaan Nilai antara Manajemen dan Tata Kelola Air

Analisis frekuensi kata menunjukkan perbedaan mencolok:

  •  Manajemen air cenderung menekankan nilainilai antroposentris seperti health, use, productivity.
  •  Tata kelola air lebih banyak mengangkat nilainilai relasional seperti place, lore, heritage, dan spirituality.

Hal ini mencerminkan bias teknokratis dalam manajemen air, yang sering mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang lebih dalam.

 Asal Disiplin Teori Budaya: Dominasi Antropologi dan Lingkungan

Sebagian besar teori budaya yang digunakan berasal dari antropologi dan ilmu lingkungan. Cultural Theory dan Moral Economy of Water berasal dari antropologi, sementara Cultural Ecosystem Services dan Value Landscape Theory berasal dari lingkungan.

Namun, hanya sedikit studi yang secara eksplisit merefleksikan asalusul disipliner teori yang mereka gunakan. Ini menjadi masalah karena tanpa refleksi epistemologis, pendekatan yang digunakan bisa tidak sesuai dengan konteks sosial yang diteliti.

 Implementasi Praktis: Masih Terbatas pada Statistik

Dari 52 studi, hanya 30 yang mengimplementasikan nilai budaya secara nyata, dan sebagian besar melalui:

  • Analisis statistik (regresi, SEM)
  • Perbandingan antar kelompok (misalnya grid/group Cultural Theory)
  • Model berbasis agen (ABM)
  • Simulasi perilaku (game theory)

Contoh menarik adalah studi oleh Koehler et al. yang mengaitkan nilai budaya dengan penggunaan pompa air di Afrika. Namun, pendekatan ini masih jarang dan belum menjadi arus utama.

 Kritik dan Rekomendasi: Dari Teori Tunggal ke Teori Plural

Penulis mengusulkan pergeseran dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan “theories of culture” yang lebih fleksibel dan kontekstual. Salah satu alternatif yang disarankan adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang mencakup 10 nilai universal seperti selfdirection, universalism, tradition, dan benevolence.

Model ini dianggap lebih adaptif dan telah divalidasi lintas negara, sehingga cocok untuk digunakan dalam pemodelan kebijakan air yang lebih inklusif.

 Opini dan Koneksi Global

Artikel ini sangat relevan dalam konteks global, terutama di negaranegara berkembang seperti Indonesia yang memiliki keragaman nilai lokal dan adat. Pendekatan yang terlalu teknokratis dalam pengelolaan air sering gagal karena tidak mempertimbangkan nilainilai komunitas.

Dengan meningkatnya tantangan seperti perubahan iklim, konflik lintas sektor, dan ketimpangan akses air, pendekatan berbasis nilai budaya yang plural dan kontekstual menjadi semakin penting.

 Kesimpulan: Air sebagai Cermin Nilai Sosial

Heinrichs dan Rojas menyimpulkan bahwa air bukan hanya soal kuantitas dan kualitas, tapi juga soal nilai, relasi, dan keadilan. Untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan adil, kita perlu melampaui model teknis dan mengintegrasikan nilainilai budaya secara nyata dalam kebijakan dan praktik.

Artikel ini menjadi panggilan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik, antara sains dan budaya, antara model dan makna.

Sumber Artikel

Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22