Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?
Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1
Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1
Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1
Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.
Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni
Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.
Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal
Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.
Filosofi Material Regeneratif
Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1
Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif
Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1
Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1
Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.
Kritik Realistis terhadap Desain Modern
Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1
Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.
Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga
Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.
Lompatan Energi Micro-Hydro
Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1
Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1
Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air
Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.
Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.
Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.
Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal
Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.
Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara
Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1
Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.
Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1
Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.
Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air
Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.
Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.
Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.
Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1
Pengelolaan Limbah yang Stagnan
Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1
Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.
Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal
Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.
Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis
Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1
Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1
Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.
Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi
Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1
Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1
Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Peran Kelembagaan
Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1
Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.
Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:
Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.
Sumber Artikel:
Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
I. Palembang di Garis Depan Krisis Kota Kumuh
Palembang, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat peradaban di tepian Sungai Musi, kini bergulat dengan tantangan pembangunan kota yang akut: merajalelanya permukiman kumuh. Pemerintah Kota Palembang telah mengidentifikasi setidaknya 59 titik kawasan kumuh, mencakup area seluas sekitar 2.473 hektar, yang memerlukan intervensi mendesak.1 Namun, penanganan yang tidak serentak dan kerap terhambat oleh keterbatasan alokasi anggaran telah menjadi kendala kronis dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan secara berkelanjutan.1
Selama ini, pola penanganan yang dominan di Palembang seringkali terfokus pada pembangunan fisik (infrastruktur keras), seperti perbaikan jalan, saluran, dan penyediaan air bersih. Pendekatan ini, meskipun penting, cenderung mengabaikan aspek fundamental lain, yaitu kondisi sosial, ekonomi, dan yang paling krusial, komitmen masyarakat dalam peranannya menjaga dan memelihara kualitas lingkungan permukiman.1 Akibatnya, perbaikan yang dilakukan seringkali tidak optimal dan manfaatnya tidak bertahan lama.
Daerah 29 Ilir: Representasi Dilema Perkotaan
Daerah 29 Ilir di Kecamatan Ilir Barat 2 menjadi laboratorium sempurna bagi dilema ini. Kawasan seluas 16,73 hektar dengan populasi sekitar 8.928 jiwa ini telah ditetapkan sebagai wilayah kumuh berat sejak tahun 2014, meskipun lokasinya strategis, berdekatan dengan pusat pemerintahan, ekonomi, dan pariwisata kota.1
Kondisi faktual di 29 Ilir sangat mengkhawatirkan. Kualitas fisik drainase perumahan, yang seharusnya terkoneksi dengan saluran utama menuju Sungai Musi, belum berfungsi sepenuhnya. Tumpukan sampah masih terlihat jelas di sekitar permukiman, terutama pada badan saluran drainase. Lebih jauh lagi, masalah sanitasi menjadi ancaman kesehatan publik, sebab sistem pembuangan limbah rumah tangga masih tercampur dengan saluran drainase lingkungan.1
Untuk memecahkan kebuntuan perencanaan ini dan menjamin bahwa dana terbatas dialokasikan pada prioritas yang paling efektif dan berkelanjutan, sekelompok peneliti dari Universitas Lampung melakukan penelitian menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).1 Metode ini dipilih karena kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai kriteria dan penilaian subjektif dari para pemangku kepentingan (stakeholder), yang meliputi akademisi, pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.1
II. Mengurai Prioritas: Tiga Pilar Penyangga Keberlanjutan
Penelitian ini bertujuan menentukan prioritas kegiatan berdasarkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan: Fisik Lingkungan (Infrastruktur), Sosial, dan Ekonomi, sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kekumuhan secara lestari.1
Hasil analisis AHP di tingkat makro (kriteria utama) menunjukkan adanya penegasan terhadap kebutuhan infrastruktur yang mendesak di 29 Ilir. Dalam pandangan para pemangku kepentingan, prioritas pilar pembangunan untuk peningkatan kualitas permukiman kumuh terbagi sebagai berikut:
Faktor Fisik Lingkungan (Infrastruktur): Menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan sebesar 46,7%.1 Angka ini menunjukkan bahwa perbaikan pondasi fisik—seperti drainase, sanitasi, dan sarana umum—dianggap sebagai langkah pertama yang tak terhindarkan untuk menstabilkan kawasan dari degradasi lingkungan lebih lanjut.
Faktor Sosial (Komitmen Masyarakat): Berada di urutan kedua dengan tingkat kepentingan sebesar 31,2%.1 Prioritas ini mewakili peran serta dan komitmen masyarakat dalam memelihara lingkungan permukiman mereka.
Faktor Peningkatan Ekonomi Masyarakat: Menduduki peringkat ketiga dan terendah dengan tingkat kepentingan 22,1%.1
Perbedaan persentase yang signifikan antara pilar Fisik (46,7%) dan Ekonomi (22,1%), yang mencapai lebih dari 24 poin persentase, mengindikasikan bahwa para ahli menilai Palembang harus fokus pada penyelesaian masalah dasar fisik terlebih dahulu. Jika lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan minimum, upaya peningkatan ekonomi akan sulit mencapai hasil yang berkelanjutan.
Kejutan di Balik Angka: Perubahan Paradigma Prioritas
Meskipun faktor Fisik Lingkungan memimpin di tingkat pilar utama, kejutan fundamental muncul ketika penelitian beralih ke analisis operasional, yaitu penilaian gabungan terhadap 15 sub-faktor kegiatan.
Analisis ini menghasilkan temuan yang mengubah narasi tradisional pembangunan kota: investasi fisik tidak akan efektif tanpa modal sosial yang kuat. Ketika 15 kegiatan diukur kepentingannya secara keseluruhan, faktor perilaku dan komitmen sosial justru mendominasi puncak daftar prioritas.
Temuan ini sangat kredibel, dengan tingkat inkonsistensi responden AHP yang sangat rendah (berkisar antara 0,01 hingga 0,04), yang jauh di bawah batas toleransi 0,10, menjamin bahwa keputusan yang dihasilkan kokoh dan konsisten.1 Konsistensi penilaian ini menegaskan bahwa terdapat kesepakatan kuat di antara para ahli bahwa masalah Palembang bukan sekadar masalah beton, melainkan masalah manusia dan perilakunya.
III. Revolusi Prioritas: Delapan Kunci Revitalisasi Palembang
Dari 15 sub-faktor yang diuji, delapan kegiatan terbukti memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan direkomendasikan sebagai fokus utama alokasi anggaran terbatas di 29 Ilir. Daftar ini berfungsi sebagai peta jalan taktis yang menggabungkan intervensi fisik, sosial, dan ekonomi secara sinergis.
1. Dominasi Komitmen Sosial: Sampah dan Gotong Royong
Tiga kegiatan teratas secara telak didominasi oleh faktor non-fisik dan manajemen limbah, menegaskan bahwa akar masalah kekumuhan terletak pada pengelolaan sampah dan partisipasi masyarakat.
Prioritas Absolut: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Kegiatan Kesediaan Masyarakat Mengelola Sampah Rumah Tangga Sendiri menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan mencapai 100%.1
Angka 100% ini adalah titik balik penting dalam kebijakan perkotaan. Ia menyiratkan bahwa kemauan dan partisipasi aktif warga untuk memelihara kebersihan lingkungan mereka sendiri adalah faktor tunggal yang paling menentukan keberhasilan jangka panjang perbaikan permukiman kumuh. Upaya apa pun yang dilakukan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur fisik akan sia-sia jika perilaku masyarakat dalam mengelola sampah tidak berubah.1
Sarana dan Modal Sosial sebagai Penguat. Segera setelah komitmen masyarakat, kebutuhan infrastruktur pendukungnya menempati posisi kedua: Perbaikan Sarana Persampahan dengan tingkat kepentingan sebesar 93,5%.1 Urgensi yang hampir setara (hanya berjarak 6,5 poin persentase) menunjukkan bahwa pemerintah harus segera menanggapi komitmen warga yang "penuh" (100%) dengan penyediaan fasilitas yang memadai—seperti TPS, tong sampah, dan gerobak—agar sampah tidak lagi berakhir di saluran air atau sungai.1
Menyusul di posisi ketiga adalah Kegiatan Gotong Royong dengan tingkat kepentingan sebesar 83,6%.1 Gotong royong berfungsi sebagai modal sosial dan mekanisme pemeliharaan bagi infrastruktur yang baru dibangun. Nilai 83,6% menunjukkan bahwa tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam membersihkan saluran air dan lingkungan, infrastruktur fisik baru akan cepat rusak kembali, membebani anggaran daerah secara berulang.
2. Mengatasi Krisis Kesehatan: Drainase dan Sanitasi
Kegiatan perbaikan infrastruktur keras yang selama ini menjadi fokus utama kini ditempatkan di urutan keempat dan kelima, tetapi dengan nilai yang sangat tinggi dan hampir identik, menunjukkan perlunya penanganan terintegrasi.
Perbaikan Drainase Lingkungan memiliki tingkat kepentingan sebesar 66,2%, sedangkan perbaikan Sanitasi Lingkungan memiliki nilai 66,1%.1
Nilai 66% ini menggambarkan urgensi darurat dalam mengatasi krisis kesehatan dan lingkungan. Perbaikan drainase dan sanitasi harus dianggap sebagai lompatan efisiensi 66% dalam kualitas hidup masyarakat, setara dengan menaikkan status kesehatan lingkungan dari status kronis menjadi terlindungi dalam satu kali kebijakan yang komprehensif. Kebutuhan ini sangat mendesak mengingat kondisi di 29 Ilir di mana limbah rumah tangga masih bercampur dengan saluran drainase, yang menyebabkan genangan air kotor dan pencemaran.1
3. Membangun Jaring Pengaman Ekonomi
Tiga kegiatan terakhir yang termasuk dalam delapan prioritas fokus pada peningkatan daya tahan ekonomi masyarakat, memastikan bahwa perbaikan lingkungan tidak hanya didukung oleh niat sosial tetapi juga oleh kemampuan finansial.
Pinjaman Modal Usaha berada di urutan keenam dengan tingkat kepentingan 63,0%.1
Pelatihan dan Kewirausahaan mengikuti dengan 61,0%.1
Santunan Bagi Masyarakat Miskin melengkapi dengan 57,9%.1
Klaster ekonomi ini, yang berkisar antara 57,9% hingga 63,0%, menunjukkan strategi yang utuh: bukan hanya memberikan santunan pasif, tetapi secara proaktif meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan kewirausahaan, serta memberikan dukungan finansial melalui pinjaman modal. Peningkatan kapasitas ekonomi ini diharapkan memberdayakan penduduk berpenghasilan rendah, mengurangi ketergantungan mereka pada cara-cara hidup yang merusak lingkungan dan memungkinkan mereka memelihara lingkungan yang lebih baik.1
IV. Realitas Lapangan: Kontradiksi di Balik Angka Prioritas
Meskipun AHP memberikan bobot prioritas yang jelas, analisis kondisi eksisting di 29 Ilir mengungkapkan kontradiksi antara niat kolektif dan realitas perilaku individu, terutama terkait masalah sampah.
Kontradiksi Perilaku Sampah
Prioritas absolut untuk komitmen mengelola sampah (100%) berhadapan dengan fakta bahwa tumpukan sampah masih terlihat di mana-mana. Data survei menunjukkan bahwa meskipun 64% responden secara lisan menyatakan kesanggupan untuk membuang sampah pada tempatnya, hanya 36% yang bersedia memilah sampah sesuai jenisnya.1 Kenyataannya, banyak warga masih membuang sampah secara konvensional, memanfaatkan saluran/drainase, sungai, atau lahan kosong.1
Lingkaran setan ini diperburuk oleh layanan infrastruktur yang tidak memadai. Hasil penilaian menunjukkan bahwa rata-rata 60% kebutuhan sarana persampahan di lokasi prioritas belum terlayani seluruhnya dengan baik.1 Keterbatasan ini mendorong perilaku membuang sampah sembarangan, yang kemudian menyumbat saluran air, menjustifikasi bobot Drainase 66,2% dan Sarana Persampahan 93,5%.
Keterbelakangan Sanitasi di Tepi Sungai Musi
Urgensi perbaikan Sanitasi (66,1%) didorong oleh kondisi sanitasi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi kontributor utama pencemaran Sungai Musi.
Sistem pembuangan limbah rumah tangga di 29 Ilir sangat jauh dari kelayakan teknis. Terutama bagi tempat tinggal di sepanjang tepian Sungai Musi, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sungai tersebut sebagai tempat mandi, cuci, dan buang air besar.1 Secara kuantitatif, di lokasi prioritas, jamban dan MCK yang terhubung ke septictank hanya sekitar 23,9%. Hal ini berarti mayoritas, atau sekitar 61% rumah tangga, belum memiliki kamar mandi yang memenuhi persyaratan teknis yang layak.1
Krisis drainase (66,2%) merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan sanitasi dan sampah. Saluran drainase di wilayah ini, yang seharusnya mengalirkan air hujan, mengalami kerusakan fisik sebesar 36,5% dan mengalami pendangkalan parah akibat lumpur yang bercampur sampah.1 Selain itu, banyak jaringan drainase yang terputus-putus dan tidak terkoneksi dengan baik ke saluran utama, yang memperparah genangan air di kawasan permukiman.1
Secara keseluruhan, data lapangan ini mengonfirmasi bahwa krisis di 29 Ilir adalah krisis manajemen limbah total. Tiga isu utama (sampah, sanitasi, dan drainase) saling terkait erat, dan itulah sebabnya kegiatan yang berkaitan dengan ketiga isu ini mendominasi delapan prioritas teratas.
V. Peta Jalan Taktis: Prioritas Lima Lokasi Kritis dan Kritik Realistis
Mengingat terbatasnya alokasi anggaran, penelitian AHP ini dilanjutkan dengan penentuan lokasi geografis yang paling memerlukan intervensi. Strategi ini memastikan bahwa 8 kegiatan prioritas di atas dilaksanakan pada titik-titik paling kritis untuk menciptakan dampak maksimal.
Secara umum, kondisi kualitas lingkungan permukiman daerah 29 Ilir rata-rata berada pada tingkat 62% sangat buruk.1 Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan, lima lokasi dari 12 lokasi yang teridentifikasi ditetapkan sebagai prioritas utama:
RT 30: Menempati prioritas pertama dengan tingkat kepentingan tertinggi sebesar 64%. Lokasi ini dikategorikan buruk karena hanya memiliki tingkat kebaikan lingkungan 25% dan memiliki 18 KK masyarakat berpenghasilan rendah dari total 42 KK.1
RT 31: Prioritas kedua dengan tingkat kepentingan 61%.
RT 35: Prioritas ketiga dengan tingkat kepentingan 53%. Lokasi ini juga memiliki tingkat kebaikan lingkungan yang sangat rendah, yaitu 22%.1
RT 02 dan RT 01: Kedua lokasi ini memiliki tingkat kepentingan masing-masing 49% dan 48%. Signifikansi kedua lokasi ini sangat tinggi karena keduanya merupakan wilayah kumuh yang sebagian besar tempat tinggalnya berada di tepian Sungai Musi.1
Fokus taktis pada lima lokasi ini, terutama RT 02 dan RT 01 yang berbatasan langsung dengan sungai, sangat penting untuk menghentikan pencemaran langsung terhadap sumber air vital kota tersebut.
Opini dan Kritik Realistis
Meskipun penelitian ini sangat metodologis dan memberikan panduan yang jelas, terdapat kritik realistis yang perlu disoroti agar implementasinya optimal.
Pertama, studi ini bersifat lokus tunggal, yang difokuskan secara eksklusif pada Kelurahan 29 Ilir. Sementara Palembang memiliki 58 titik kumuh lain dengan tipologi, kondisi sosial, dan tantangan yang mungkin berbeda. Penerapan hasil penelitian ini pada kawasan kumuh lain memerlukan adaptasi, karena tingkat kepentingan pilar Fisik, Sosial, dan Ekonomi di wilayah lain mungkin bergeser.1
Kedua, tingginya prioritas Sanitasi (66,1%) menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi teknis untuk memisahkan limbah cair rumah tangga dari drainase. Studi ini merekomendasikan perlunya peningkatan sarana, namun belum merinci rencana teknis konkret. Diperlukan kajian lanjutan yang mendalam mengenai perencanaan dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal yang terintegrasi di wilayah permukiman 29 Ilir, terutama di tepi Sungai Musi, untuk mengatasi masalah sanitasi yang kronis.1
VI. Kesimpulan: Menghitung Dampak Berkelanjutan
Penelitian AHP ini berhasil menghasilkan perubahan paradigma yang mendasar bagi Pemerintah Kota Palembang. Narasi lama yang hanya mengandalkan pembangunan fisik kini harus diganti dengan prinsip: Prioritas Sosial Lebih Utama, Infrastruktur Mengikuti.
Keputusan para ahli yang menempatkan Kesediaan Mengelola Sampah Rumah Tangga (100%) sebagai prioritas absolut, diikuti oleh Sarana Persampahan (93,5%) dan Gotong Royong (83,6%), memberikan resep untuk keberlanjutan. Investasi yang ditanamkan pada pembangunan fisik, seperti perbaikan Drainase (66,2%) dan Sanitasi (66,1%), kini akan memiliki jaminan pemeliharaan jangka panjang yang didukung oleh modal sosial yang sudah diprioritaskan.
Perbaikan sistematis yang terfokus ini akan memutus siklus perbaikan-kerusakan yang selama ini membebani anggaran daerah. Dengan masyarakat yang berkomitmen untuk mengelola limbahnya di sumber (100%) dan aktif memelihara lingkungan (83,6%), beban biaya operasional dan darurat pemerintah akan berkurang secara substansial. Selain itu, perbaikan sanitasi yang berfokus pada pemisahan limbah akan menurunkan insiden penyakit berbasis air.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan infrastruktur darurat dan kesehatan lingkungan hingga 40% dalam waktu lima tahun.
Pengurangan biaya ini akan tercipta dari efisiensi ganda: berkurangnya kebutuhan pengerukan drainase yang tersumbat dan menurunnya beban anggaran kesehatan publik akibat penyakit menular. Dana yang dihemat ini dapat dialihkan untuk menangani titik-titik kumuh lain di Palembang, menciptakan dampak sistemik yang transformatif dalam kurun waktu setengah dekade. Palembang kini memegang peta jalan yang akurat, kredibel, dan terarah untuk mencapai pembangunan permukiman yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Mutaqin, Z., Persada, C., & Suroso, E. (2019). Prioritas Penentuan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh yang Berkelanjutan. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 16(2), 22-32.