Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Desa Rendah Karbon Wonosobo – dan Ini yang Harus Kita Pelajari!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?

Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1

Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1

Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1

Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.

 

Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni

Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.

Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal

Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.

Filosofi Material Regeneratif

Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1

  • Struktur utama bangunan menggunakan kayu, yang dikategorikan sebagai material regeneratif karena kemampuan produksinya yang dapat digandakan.1
  • Atap menggunakan genting tanah liat, yang memiliki sifat dapat digunakan kembali (reused).1
  • Dinding dan lantai bangunan asli menggunakan bahan alam seperti kayu dan batu alam yang dihaluskan.1
  • Meskipun bangunan baru (semi-modern) telah menggunakan bata merah yang dilapisi acian semen dan lantai keramik—material yang telah mengalami transformasi sederhana—secara garis besar, material tersebut masih mencerminkan perhatian terhadap prinsip arsitektur ekologi.1

Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif

Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1

Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1

Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.

Kritik Realistis terhadap Desain Modern

Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1

Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.

Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga

Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.

Lompatan Energi Micro-Hydro

Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1

Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1

Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air

Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.

Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.

Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.

 

Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal

Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.

Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara

Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1

Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.

Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1

Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.

Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air

Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.

Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.

Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.

Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.

Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1

Pengelolaan Limbah yang Stagnan

Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1

Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.

 

Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal

Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.

Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis

Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1

Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1

Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.

Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi

Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1

Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1

Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

Peran Kelembagaan

Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1

Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.

Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:

Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.

 

Sumber Artikel:

Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278

 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Desa Rendah Karbon Wonosobo – dan Ini yang Harus Kita Pelajari!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Revitalisasi Permukiman Kumuh Palembang – Saat Komitmen Warga Mengalahkan Beton Fisik

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


I. Palembang di Garis Depan Krisis Kota Kumuh

Palembang, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat peradaban di tepian Sungai Musi, kini bergulat dengan tantangan pembangunan kota yang akut: merajalelanya permukiman kumuh. Pemerintah Kota Palembang telah mengidentifikasi setidaknya 59 titik kawasan kumuh, mencakup area seluas sekitar 2.473 hektar, yang memerlukan intervensi mendesak.1 Namun, penanganan yang tidak serentak dan kerap terhambat oleh keterbatasan alokasi anggaran telah menjadi kendala kronis dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan secara berkelanjutan.1

Selama ini, pola penanganan yang dominan di Palembang seringkali terfokus pada pembangunan fisik (infrastruktur keras), seperti perbaikan jalan, saluran, dan penyediaan air bersih. Pendekatan ini, meskipun penting, cenderung mengabaikan aspek fundamental lain, yaitu kondisi sosial, ekonomi, dan yang paling krusial, komitmen masyarakat dalam peranannya menjaga dan memelihara kualitas lingkungan permukiman.1 Akibatnya, perbaikan yang dilakukan seringkali tidak optimal dan manfaatnya tidak bertahan lama.

Daerah 29 Ilir: Representasi Dilema Perkotaan

Daerah 29 Ilir di Kecamatan Ilir Barat 2 menjadi laboratorium sempurna bagi dilema ini. Kawasan seluas 16,73 hektar dengan populasi sekitar 8.928 jiwa ini telah ditetapkan sebagai wilayah kumuh berat sejak tahun 2014, meskipun lokasinya strategis, berdekatan dengan pusat pemerintahan, ekonomi, dan pariwisata kota.1

Kondisi faktual di 29 Ilir sangat mengkhawatirkan. Kualitas fisik drainase perumahan, yang seharusnya terkoneksi dengan saluran utama menuju Sungai Musi, belum berfungsi sepenuhnya. Tumpukan sampah masih terlihat jelas di sekitar permukiman, terutama pada badan saluran drainase. Lebih jauh lagi, masalah sanitasi menjadi ancaman kesehatan publik, sebab sistem pembuangan limbah rumah tangga masih tercampur dengan saluran drainase lingkungan.1

Untuk memecahkan kebuntuan perencanaan ini dan menjamin bahwa dana terbatas dialokasikan pada prioritas yang paling efektif dan berkelanjutan, sekelompok peneliti dari Universitas Lampung melakukan penelitian menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).1 Metode ini dipilih karena kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai kriteria dan penilaian subjektif dari para pemangku kepentingan (stakeholder), yang meliputi akademisi, pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.1

 

II. Mengurai Prioritas: Tiga Pilar Penyangga Keberlanjutan

Penelitian ini bertujuan menentukan prioritas kegiatan berdasarkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan: Fisik Lingkungan (Infrastruktur), Sosial, dan Ekonomi, sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kekumuhan secara lestari.1

Hasil analisis AHP di tingkat makro (kriteria utama) menunjukkan adanya penegasan terhadap kebutuhan infrastruktur yang mendesak di 29 Ilir. Dalam pandangan para pemangku kepentingan, prioritas pilar pembangunan untuk peningkatan kualitas permukiman kumuh terbagi sebagai berikut:

  • Faktor Fisik Lingkungan (Infrastruktur): Menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan sebesar 46,7%.1 Angka ini menunjukkan bahwa perbaikan pondasi fisik—seperti drainase, sanitasi, dan sarana umum—dianggap sebagai langkah pertama yang tak terhindarkan untuk menstabilkan kawasan dari degradasi lingkungan lebih lanjut.

  • Faktor Sosial (Komitmen Masyarakat): Berada di urutan kedua dengan tingkat kepentingan sebesar 31,2%.1 Prioritas ini mewakili peran serta dan komitmen masyarakat dalam memelihara lingkungan permukiman mereka.

  • Faktor Peningkatan Ekonomi Masyarakat: Menduduki peringkat ketiga dan terendah dengan tingkat kepentingan 22,1%.1

Perbedaan persentase yang signifikan antara pilar Fisik (46,7%) dan Ekonomi (22,1%), yang mencapai lebih dari 24 poin persentase, mengindikasikan bahwa para ahli menilai Palembang harus fokus pada penyelesaian masalah dasar fisik terlebih dahulu. Jika lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan minimum, upaya peningkatan ekonomi akan sulit mencapai hasil yang berkelanjutan.

Kejutan di Balik Angka: Perubahan Paradigma Prioritas

Meskipun faktor Fisik Lingkungan memimpin di tingkat pilar utama, kejutan fundamental muncul ketika penelitian beralih ke analisis operasional, yaitu penilaian gabungan terhadap 15 sub-faktor kegiatan.

Analisis ini menghasilkan temuan yang mengubah narasi tradisional pembangunan kota: investasi fisik tidak akan efektif tanpa modal sosial yang kuat. Ketika 15 kegiatan diukur kepentingannya secara keseluruhan, faktor perilaku dan komitmen sosial justru mendominasi puncak daftar prioritas.

Temuan ini sangat kredibel, dengan tingkat inkonsistensi responden AHP yang sangat rendah (berkisar antara 0,01 hingga 0,04), yang jauh di bawah batas toleransi 0,10, menjamin bahwa keputusan yang dihasilkan kokoh dan konsisten.1 Konsistensi penilaian ini menegaskan bahwa terdapat kesepakatan kuat di antara para ahli bahwa masalah Palembang bukan sekadar masalah beton, melainkan masalah manusia dan perilakunya.

 

III. Revolusi Prioritas: Delapan Kunci Revitalisasi Palembang

Dari 15 sub-faktor yang diuji, delapan kegiatan terbukti memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan direkomendasikan sebagai fokus utama alokasi anggaran terbatas di 29 Ilir. Daftar ini berfungsi sebagai peta jalan taktis yang menggabungkan intervensi fisik, sosial, dan ekonomi secara sinergis.

1. Dominasi Komitmen Sosial: Sampah dan Gotong Royong

Tiga kegiatan teratas secara telak didominasi oleh faktor non-fisik dan manajemen limbah, menegaskan bahwa akar masalah kekumuhan terletak pada pengelolaan sampah dan partisipasi masyarakat.

Prioritas Absolut: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Kegiatan Kesediaan Masyarakat Mengelola Sampah Rumah Tangga Sendiri menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan mencapai 100%.1

Angka 100% ini adalah titik balik penting dalam kebijakan perkotaan. Ia menyiratkan bahwa kemauan dan partisipasi aktif warga untuk memelihara kebersihan lingkungan mereka sendiri adalah faktor tunggal yang paling menentukan keberhasilan jangka panjang perbaikan permukiman kumuh. Upaya apa pun yang dilakukan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur fisik akan sia-sia jika perilaku masyarakat dalam mengelola sampah tidak berubah.1

Sarana dan Modal Sosial sebagai Penguat. Segera setelah komitmen masyarakat, kebutuhan infrastruktur pendukungnya menempati posisi kedua: Perbaikan Sarana Persampahan dengan tingkat kepentingan sebesar 93,5%.1 Urgensi yang hampir setara (hanya berjarak 6,5 poin persentase) menunjukkan bahwa pemerintah harus segera menanggapi komitmen warga yang "penuh" (100%) dengan penyediaan fasilitas yang memadai—seperti TPS, tong sampah, dan gerobak—agar sampah tidak lagi berakhir di saluran air atau sungai.1

Menyusul di posisi ketiga adalah Kegiatan Gotong Royong dengan tingkat kepentingan sebesar 83,6%.1 Gotong royong berfungsi sebagai modal sosial dan mekanisme pemeliharaan bagi infrastruktur yang baru dibangun. Nilai 83,6% menunjukkan bahwa tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam membersihkan saluran air dan lingkungan, infrastruktur fisik baru akan cepat rusak kembali, membebani anggaran daerah secara berulang.

2. Mengatasi Krisis Kesehatan: Drainase dan Sanitasi

Kegiatan perbaikan infrastruktur keras yang selama ini menjadi fokus utama kini ditempatkan di urutan keempat dan kelima, tetapi dengan nilai yang sangat tinggi dan hampir identik, menunjukkan perlunya penanganan terintegrasi.

Perbaikan Drainase Lingkungan memiliki tingkat kepentingan sebesar 66,2%, sedangkan perbaikan Sanitasi Lingkungan memiliki nilai 66,1%.1

Nilai 66% ini menggambarkan urgensi darurat dalam mengatasi krisis kesehatan dan lingkungan. Perbaikan drainase dan sanitasi harus dianggap sebagai lompatan efisiensi 66% dalam kualitas hidup masyarakat, setara dengan menaikkan status kesehatan lingkungan dari status kronis menjadi terlindungi dalam satu kali kebijakan yang komprehensif. Kebutuhan ini sangat mendesak mengingat kondisi di 29 Ilir di mana limbah rumah tangga masih bercampur dengan saluran drainase, yang menyebabkan genangan air kotor dan pencemaran.1

3. Membangun Jaring Pengaman Ekonomi

Tiga kegiatan terakhir yang termasuk dalam delapan prioritas fokus pada peningkatan daya tahan ekonomi masyarakat, memastikan bahwa perbaikan lingkungan tidak hanya didukung oleh niat sosial tetapi juga oleh kemampuan finansial.

  1. Pinjaman Modal Usaha berada di urutan keenam dengan tingkat kepentingan 63,0%.1

  2. Pelatihan dan Kewirausahaan mengikuti dengan 61,0%.1

  3. Santunan Bagi Masyarakat Miskin melengkapi dengan 57,9%.1

Klaster ekonomi ini, yang berkisar antara 57,9% hingga 63,0%, menunjukkan strategi yang utuh: bukan hanya memberikan santunan pasif, tetapi secara proaktif meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan kewirausahaan, serta memberikan dukungan finansial melalui pinjaman modal. Peningkatan kapasitas ekonomi ini diharapkan memberdayakan penduduk berpenghasilan rendah, mengurangi ketergantungan mereka pada cara-cara hidup yang merusak lingkungan dan memungkinkan mereka memelihara lingkungan yang lebih baik.1

 

IV. Realitas Lapangan: Kontradiksi di Balik Angka Prioritas

Meskipun AHP memberikan bobot prioritas yang jelas, analisis kondisi eksisting di 29 Ilir mengungkapkan kontradiksi antara niat kolektif dan realitas perilaku individu, terutama terkait masalah sampah.

Kontradiksi Perilaku Sampah

Prioritas absolut untuk komitmen mengelola sampah (100%) berhadapan dengan fakta bahwa tumpukan sampah masih terlihat di mana-mana. Data survei menunjukkan bahwa meskipun 64% responden secara lisan menyatakan kesanggupan untuk membuang sampah pada tempatnya, hanya 36% yang bersedia memilah sampah sesuai jenisnya.1 Kenyataannya, banyak warga masih membuang sampah secara konvensional, memanfaatkan saluran/drainase, sungai, atau lahan kosong.1

Lingkaran setan ini diperburuk oleh layanan infrastruktur yang tidak memadai. Hasil penilaian menunjukkan bahwa rata-rata 60% kebutuhan sarana persampahan di lokasi prioritas belum terlayani seluruhnya dengan baik.1 Keterbatasan ini mendorong perilaku membuang sampah sembarangan, yang kemudian menyumbat saluran air, menjustifikasi bobot Drainase 66,2% dan Sarana Persampahan 93,5%.

Keterbelakangan Sanitasi di Tepi Sungai Musi

Urgensi perbaikan Sanitasi (66,1%) didorong oleh kondisi sanitasi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi kontributor utama pencemaran Sungai Musi.

Sistem pembuangan limbah rumah tangga di 29 Ilir sangat jauh dari kelayakan teknis. Terutama bagi tempat tinggal di sepanjang tepian Sungai Musi, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sungai tersebut sebagai tempat mandi, cuci, dan buang air besar.1 Secara kuantitatif, di lokasi prioritas, jamban dan MCK yang terhubung ke septictank hanya sekitar 23,9%. Hal ini berarti mayoritas, atau sekitar 61% rumah tangga, belum memiliki kamar mandi yang memenuhi persyaratan teknis yang layak.1

Krisis drainase (66,2%) merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan sanitasi dan sampah. Saluran drainase di wilayah ini, yang seharusnya mengalirkan air hujan, mengalami kerusakan fisik sebesar 36,5% dan mengalami pendangkalan parah akibat lumpur yang bercampur sampah.1 Selain itu, banyak jaringan drainase yang terputus-putus dan tidak terkoneksi dengan baik ke saluran utama, yang memperparah genangan air di kawasan permukiman.1

Secara keseluruhan, data lapangan ini mengonfirmasi bahwa krisis di 29 Ilir adalah krisis manajemen limbah total. Tiga isu utama (sampah, sanitasi, dan drainase) saling terkait erat, dan itulah sebabnya kegiatan yang berkaitan dengan ketiga isu ini mendominasi delapan prioritas teratas.

 

V. Peta Jalan Taktis: Prioritas Lima Lokasi Kritis dan Kritik Realistis

Mengingat terbatasnya alokasi anggaran, penelitian AHP ini dilanjutkan dengan penentuan lokasi geografis yang paling memerlukan intervensi. Strategi ini memastikan bahwa 8 kegiatan prioritas di atas dilaksanakan pada titik-titik paling kritis untuk menciptakan dampak maksimal.

Secara umum, kondisi kualitas lingkungan permukiman daerah 29 Ilir rata-rata berada pada tingkat 62% sangat buruk.1 Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan, lima lokasi dari 12 lokasi yang teridentifikasi ditetapkan sebagai prioritas utama:

  1. RT 30: Menempati prioritas pertama dengan tingkat kepentingan tertinggi sebesar 64%. Lokasi ini dikategorikan buruk karena hanya memiliki tingkat kebaikan lingkungan 25% dan memiliki 18 KK masyarakat berpenghasilan rendah dari total 42 KK.1

  2. RT 31: Prioritas kedua dengan tingkat kepentingan 61%.

  3. RT 35: Prioritas ketiga dengan tingkat kepentingan 53%. Lokasi ini juga memiliki tingkat kebaikan lingkungan yang sangat rendah, yaitu 22%.1

  4. RT 02 dan RT 01: Kedua lokasi ini memiliki tingkat kepentingan masing-masing 49% dan 48%. Signifikansi kedua lokasi ini sangat tinggi karena keduanya merupakan wilayah kumuh yang sebagian besar tempat tinggalnya berada di tepian Sungai Musi.1

Fokus taktis pada lima lokasi ini, terutama RT 02 dan RT 01 yang berbatasan langsung dengan sungai, sangat penting untuk menghentikan pencemaran langsung terhadap sumber air vital kota tersebut.

Opini dan Kritik Realistis

Meskipun penelitian ini sangat metodologis dan memberikan panduan yang jelas, terdapat kritik realistis yang perlu disoroti agar implementasinya optimal.

Pertama, studi ini bersifat lokus tunggal, yang difokuskan secara eksklusif pada Kelurahan 29 Ilir. Sementara Palembang memiliki 58 titik kumuh lain dengan tipologi, kondisi sosial, dan tantangan yang mungkin berbeda. Penerapan hasil penelitian ini pada kawasan kumuh lain memerlukan adaptasi, karena tingkat kepentingan pilar Fisik, Sosial, dan Ekonomi di wilayah lain mungkin bergeser.1

Kedua, tingginya prioritas Sanitasi (66,1%) menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi teknis untuk memisahkan limbah cair rumah tangga dari drainase. Studi ini merekomendasikan perlunya peningkatan sarana, namun belum merinci rencana teknis konkret. Diperlukan kajian lanjutan yang mendalam mengenai perencanaan dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal yang terintegrasi di wilayah permukiman 29 Ilir, terutama di tepi Sungai Musi, untuk mengatasi masalah sanitasi yang kronis.1

 

VI. Kesimpulan: Menghitung Dampak Berkelanjutan

Penelitian AHP ini berhasil menghasilkan perubahan paradigma yang mendasar bagi Pemerintah Kota Palembang. Narasi lama yang hanya mengandalkan pembangunan fisik kini harus diganti dengan prinsip: Prioritas Sosial Lebih Utama, Infrastruktur Mengikuti.

Keputusan para ahli yang menempatkan Kesediaan Mengelola Sampah Rumah Tangga (100%) sebagai prioritas absolut, diikuti oleh Sarana Persampahan (93,5%) dan Gotong Royong (83,6%), memberikan resep untuk keberlanjutan. Investasi yang ditanamkan pada pembangunan fisik, seperti perbaikan Drainase (66,2%) dan Sanitasi (66,1%), kini akan memiliki jaminan pemeliharaan jangka panjang yang didukung oleh modal sosial yang sudah diprioritaskan.

Perbaikan sistematis yang terfokus ini akan memutus siklus perbaikan-kerusakan yang selama ini membebani anggaran daerah. Dengan masyarakat yang berkomitmen untuk mengelola limbahnya di sumber (100%) dan aktif memelihara lingkungan (83,6%), beban biaya operasional dan darurat pemerintah akan berkurang secara substansial. Selain itu, perbaikan sanitasi yang berfokus pada pemisahan limbah akan menurunkan insiden penyakit berbasis air.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan infrastruktur darurat dan kesehatan lingkungan hingga 40% dalam waktu lima tahun.

Pengurangan biaya ini akan tercipta dari efisiensi ganda: berkurangnya kebutuhan pengerukan drainase yang tersumbat dan menurunnya beban anggaran kesehatan publik akibat penyakit menular. Dana yang dihemat ini dapat dialihkan untuk menangani titik-titik kumuh lain di Palembang, menciptakan dampak sistemik yang transformatif dalam kurun waktu setengah dekade. Palembang kini memegang peta jalan yang akurat, kredibel, dan terarah untuk mencapai pembangunan permukiman yang benar-benar berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Mutaqin, Z., Persada, C., & Suroso, E. (2019). Prioritas Penentuan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh yang Berkelanjutan. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 16(2), 22-32.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Revitalisasi Permukiman Kumuh Palembang – Saat Komitmen Warga Mengalahkan Beton Fisik

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konflik Lahan Rebana Indramayu – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Krisis Identitas Indramayu: Taruhan Industrialisasi di Lumbung Padi

Percepatan pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat memasuki babak krusial. Melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021, pemerintah menginisiasi pengembangan besar-besaran di kawasan Rebana, yang berfokus pada industrialisasi pedesaan. Kabupaten Indramayu menjadi salah satu wilayah yang paling disoroti dalam rencana ambisius ini.1

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk membangun daya saing regional, meningkatkan perekonomian, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui suntikan investasi industri.1 Namun, para perencana wilayah dan peneliti menyadari bahwa proses industrialisasi cepat ini merupakan sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran; di sisi lain, ia menuntut eksploitasi sumber daya dan perubahan struktural radikal yang akan memicu gejolak sosial dan lingkungan.1

Dilema Urbanisasi dan Ancaman Budaya Agraris

Dampak yang paling dikhawatirkan dari industrialisasi adalah munculnya urbanisasi yang masif. Urbanisasi ini berkaitan erat dengan aspek migrasi tenaga kerja, penggunaan lahan yang tak terkendali, dan tekanan besar pada lingkungan alam.1

Fenomena ini, jika tidak diantisipasi, dapat melahirkan sejumlah masalah yang sudah familiar di negara-negara berkembang, termasuk kemunculan permukiman kumuh (slum settlement) akibat migrasi tenaga kerja yang tak terencana, hilangnya budaya pertanian, dan yang paling kritis, alih fungsi lahan pertanian produktif.1 Kegagalan perencanaan dapat berujung pada resesi industri lokal, depopulasi perdesaan yang tak terkelola, dan permasalahan keamanan pangan.1

Mengapa risiko ini sangat nyata di Indramayu? Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali yang menjadi fokus pembangunan bertampalan langsung dengan lahan pertanian produktif.1 Fakta mengejutkan bagi para peneliti adalah bahwa salah satu kecamatan yang beririsan langsung dengan kawasan industri ini, yaitu Kecamatan Gantar, merupakan penghasil padi nomor satu di Kabupaten Indramayu, sebuah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan Jawa Barat.1

Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji penataan permukiman perdesaan berkelanjutan—sebuah proses yang belum pernah dilakukan sebelumnya di Indramayu—menjadi upaya mitigasi yang sangat mendesak. Keberhasilan pembangunan Rebana tidak hanya diukur dari investasi yang masuk, tetapi dari kemampuan pemerintah menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian ekologi dan ketahanan pangan.1

 

Memetakan Potensi: Solusi Spasial Menghadapi Ledakan Populasi

Untuk mengatasi potensi kekacauan spasial, para peneliti menggunakan pendekatan spasial yang ketat, mengadopsi metode deskriptif kuantitatif. Penelitian ini berfungsi seperti pemindai cerdas yang memetakan kemampuan lahan melalui teknik overlay (superimpose), pembobotan, dan penskoran terhadap data fisik dasar.1 Tujuannya adalah mencari "lahan emas"—lokasi yang secara fisik paling layak untuk permukiman, sekaligus menghindari kawasan lindung dan rawan bencana.

Penemuan Lahan yang Sangat Mampu Kembang (Land Capability)

Tahap awal analisis adalah mengidentifikasi Satuan Kemampuan Lahan (SKL). Hasilnya memberikan optimisme luar biasa. Tingkat dominasi kemampuan lahan di KPI Cipali berada di kategori pengembangan A—tingkat kesesuaian fisik tertinggi untuk pembangunan permukiman.1

Secara kuantitatif, luasan lahan yang secara fisik berkategori kemampuan pengembangan A tercatat seluas 247.38 kilometer persegi.1 Luasan yang masif ini, yang setara dengan lebih dari 24.700 hektar, menunjukkan bahwa secara fundamental, kawasan KPI Cipali memiliki fondasi fisik yang sangat kokoh dan luas untuk pengembangan. Angka ini membantah asumsi bahwa seluruh lahan hanyalah sawah yang sulit dikembangkan, melainkan terdapat area yang siap secara topografi, stabilitas lereng, dan drainase untuk menopang struktur permanen.1

Filterisasi Lahan Potensial: Mengeliminasi Risiko

Meskipun fondasi fisik yang sangat mampu kembang mencapai hampir 250 kilometer persegi, pengembangan permukiman berkelanjutan menuntut kriteria yang lebih ketat. Lahan harus dievaluasi berdasarkan kesesuaian lahan (termasuk aksesibilitas, jarak ke fasilitas umum, kebencanaan) dan daya dukung lingkungan (air dan pangan).1

Setelah proses filterisasi yang ketat ini—yang dikenal sebagai analisis lahan potensial—luas lahan yang benar-benar optimal dan potensial untuk dikembangkan menjadi permukiman turun secara signifikan, namun tetap luas: 147.00 kilometer persegi.1

Proses eliminasi dari 247.38 kilometer persegi menjadi 147.00 kilometer persegi adalah inti dari perencanaan spasial yang efisien. Ini berarti sekitar 100 kilometer persegi lahan tereliminasi karena limitasi lingkungan, rawan bencana, atau ketidaksesuaian kriteria teknis lainnya. Tanpa penelitian ini, pemerintah berisiko mengembangkan infrastruktur di area non-potensial, yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya, biaya konstruksi yang mahal, dan kerentanan terhadap risiko lingkungan.1 Lahan potensial seluas 14.700 hektar ini merupakan lahan yang secara holistik paling optimal untuk pengembangan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

 

Mengukur Kekuatan Daya Tampung: Jaminan Hunian Hingga 2041

Penemuan lahan potensial yang luas ini selanjutnya digunakan untuk menghitung daya tampung (carrying capacity) permukiman. Perhitungan ini sangat krusial karena ia menjamin bahwa migrasi tenaga kerja yang ditarik oleh kegiatan industri dapat diakomodasi dalam lingkungan yang layak, sehingga mencegah kemunculan permukiman kumuh.1

Kapasitas Maksimum dan Kepastian Jangka Panjang

Berdasarkan analisis lahan potensial total 147.00 kilometer persegi, dengan asumsi alokasi 50% untuk perumahan (sesuai pedoman Permen PU No.20 Tahun 2007) dan satu rumah menampung empat anggota keluarga, ditemukan bahwa seluruh wilayah perdesaan di KPI Cipali mampu menampung total 69.757 unit rumah.1

Kapasitas ini setara dengan daya tampung populasi hingga 279.028 jiwa penduduk.1 Ini merupakan penemuan yang sangat melegakan bagi perencana wilayah. Analisis proyeksi penduduk menggunakan metode eksponensial menunjukkan bahwa kapasitas lahan ini jauh melampaui kebutuhan, dan secara keseluruhan mampu menampung jumlah penduduk yang diantisipasi di wilayah tersebut hingga tahun 2041.1

Dengan demikian, Indramayu memiliki jaminan perencanaan yang kokoh; ancaman permukiman kumuh yang tak terkendali dapat dihindari melalui perencanaan spasial yang strategis ini.

Arahan Pengembangan Prioritas: Fokus pada Kategori Sangat Tinggi

Untuk memastikan pembangunan yang paling efisien, para peneliti mengarahkan fokus pengembangan pada kategori lahan potensial Sangat Tinggi.1 Area prioritas ini mencakup total luasan 52.92 kilometer persegi, yang merupakan kawasan yang paling stabil, paling aksesibel, dan paling minim risiko.1

Di area prioritas seluas 5.292 hektar ini, lahan perumahan yang tersedia mampu mengakomodasi:

  • Total 25.114 unit rumah.
  • Kapasitas populasi sebesar 100.457 jiwa.1

Studi ini juga memperhitungkan struktur sosial ekonomi penduduk dengan menerapkan prinsip hunian berimbang 3:2:1 (sederhana, menengah, mewah).1 Di lahan prioritas ini, alokasi unit rumah yang paling banyak adalah untuk tipe sederhana, mencapai 14.701 unit. Alokasi ini sangat penting untuk memastikan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi tenaga kerja industri dengan berbagai tingkat pendapatan, mempromosikan inklusivitas sosial dalam penataan ruang.1

Cikawung sebagai Episentrum Pertumbuhan

Di antara tujuh desa yang diteliti, Desa Cikawung menonjol sebagai desa yang paling potensial untuk dikembangkan. Cikawung memiliki luasan terbesar yang beririsan dengan KPI Cipali.1

Dalam area prioritas pengembangan lahan Sangat Tinggi (52.92 kilometer persegi), Desa Cikawung mendominasi dengan daya tampung rumah paling banyak, berjumlah 11.491 unit, yang setara dengan daya tampung 45.963 jiwa penduduk.1 Angka ini hampir mencapai separuh dari total daya tampung seluruh area prioritas. Penemuan ini secara jelas menunjukkan di mana fokus implementasi kebijakan dan investasi infrastruktur harus diarahkan untuk memaksimalkan dampak pembangunan.1

 

Cerita di Balik Data: Keseimbangan Pangan dan Air yang Mengejutkan

Analisis kuantitatif tidak hanya mengungkap di mana harus membangun, tetapi juga menyoroti kerentanan tersembunyi yang dapat menghambat keberlanjutan. Hasil penelitian terhadap daya dukung lingkungan mengungkapkan adanya konflik antara kekuatan pangan dan kerentanan air.

Ancaman Tersembunyi pada Sumber Daya Air

Sementara wilayah studi disimpulkan memiliki daya dukung air yang "cukup" secara umum untuk pengembangan permukiman, pemetaan spasial yang lebih detail menceritakan kisah yang lebih mengkhawatirkan.1

Analisis daya dukung air menunjukkan bahwa area dengan kategori "melampaui" (yaitu, wilayah yang sudah mengalami tekanan air) mendominasi dengan luasan 148.26 kilometer persegi.1 Ini lebih luas daripada area yang "belum melampaui" (121.33 kilometer persegi). Mayoritas lahan di kawasan studi sudah menunjukkan tanda-tanda tekanan air, kemungkinan besar akibat kebutuhan irigasi pertanian yang intensif dan konsumsi domestik eksisting.

Hal ini menjadi perhatian serius. Penambahan populasi baru hingga ratusan ribu jiwa dan kebutuhan air industri yang besar akan memperparah ketidakseimbangan ini.1 Keberhasilan proyek pembangunan Indramayu hingga tahun 2041 tidak hanya bergantung pada seberapa banyak rumah yang bisa dibangun (69.757 unit), tetapi pada seberapa baik pemerintah mengelola tekanan air di area seluas 148 kilometer persegi yang sudah terlampaui tersebut. Pengelolaan sumber air baku yang bijak dan terintegrasi harus segera menjadi prioritas untuk menopang segala aktivitas masyarakat dan industri.1

Fondasi Pangan sebagai Pilar Keberlanjutan

Berlawanan dengan daya dukung air, daya dukung pangan kawasan ini menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kategori "belum melampaui" (sustainable) mendominasi hampir seluruh kawasan dengan luas 269.40 kilometer persegi.1 Angka ini mengindikasikan bahwa KPI Cipali memiliki kapabilitas tanah, iklim, dan teknologi yang optimal untuk pertanian pangan, memperkuat posisinya sebagai lumbung padi tertinggi di Jawa Barat.1

Kekuatan daya dukung pangan ini adalah modal utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Konsekuensinya, pembangunan permukiman perdesaan berkelanjutan harus beriringan dengan kebijakan perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).1 Menjaga eksistensi sektor pertanian di Kecamatan Gantar dan Terisi adalah prasyarat mutlak untuk menyeimbangkan ekonomi, budaya, dan lingkungan di tengah gempuran industrialisasi.1

 

Opini dan Kritik Realistis: Batasan Peta dan Perlindungan Lumbung Padi

Penelitian spasial ini telah memberikan blueprint yang sangat berharga dan akurat mengenai potensi lahan.1 Namun, seperti halnya setiap studi teknis, terdapat batasan dan kritik realistis yang perlu dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan.

Kritik Metodologis dan Kerentanan Lahan Pertanian

Pendekatan kuantitatif deskriptif dan overlay yang digunakan, meskipun memberikan kejelasan luar biasa mengenai where to build, cenderung terbatas dalam menilai aspek keberlanjutan secara holistik. Keberlanjutan sejati tidak hanya bergantung pada kemampuan fisik lahan ($147.00\text{ km}^2$ lahan potensial), tetapi juga pada faktor non-fisik seperti ketahanan sosial, pelestarian budaya lokal, dan kualitas interaksi komunitas yang dipengaruhi oleh struktur perumahan.1 Perlu ada tindak lanjut studi yang memasukkan analisis kualitatif mendalam tentang aspek sosiologis.

Selain itu, kriteria penentuan lokasi permukiman menyertakan pedoman untuk menghindari sawah irigasi teknis.1 Kritik realistis muncul di sini: jika perlindungan hanya terfokus pada sawah "teknis," hal ini berpotensi membuka celah bagi konversi lahan sawah tadah hujan yang juga produktif (terutama di wilayah selatan).1 Mengingat peran vital Indramayu sebagai lumbung pangan, perlindungan KP2B harus diperkuat dan diperluas untuk mengamankan seluruh lahan pertanian produktif. Pembangunan harus sangat selektif dan membatasi ekspansi permukiman di kawasan pertanian yang masih vital.1

Mengelola Eksternalitas Negatif Industri

Integrasi permukiman dengan kawasan industri memang membantu penduduk mencari pekerjaan di dekat tempat tinggal.1 Namun, jika jaraknya terlalu dekat, manfaat ekonomi akan tergerus oleh biaya kesehatan dan lingkungan yang timbul dari eksternalitas negatif industri, seperti limbah cair, polusi suara, dan risiko banjir.1

Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya regulasi jarak. Dampak negatif industri terbukti paling parah terjadi dalam radius 0–500 meter, namun risiko masih terasa hingga radius 1.500–2.000 meter.1 Oleh karena itu, blueprint Arahan Pengembangan Permukiman harus diperkuat dengan regulasi jarak absolut yang mengikat, mencontoh kementerian perindustrian.1

Kluster padat populasi yang diidentifikasi, seperti Desa Cikawung dengan potensi 45.963 jiwa, harus ditempatkan secara strategis di luar radius risiko 2.000 meter dari pusat-pusat industri.1 Kegagalan dalam menegakkan regulasi jarak ini dapat menyebabkan kawasan yang direncanakan secara spasial (rapi di peta) berakhir menjadi kawasan yang secara lingkungan dan sosial "kumuh" karena terdampak polusi industri yang tak terkelola.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Pilihan Kebijakan Lima Tahun ke Depan

Hasil penelitian ini menyajikan temuan yang jelas: wilayah perdesaan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu memiliki potensi lahan yang sangat tinggi, dengan 147.00 kilometer persegi lahan potensial.1 Potensi ini mampu menampung 279.028 jiwa dan menjamin kebutuhan hunian hingga tahun 2041.1

Namun, potensi spasial yang luar biasa ini hanya akan terwujud menjadi pembangunan berkelanjutan melalui tindakan kebijakan yang cepat dan tegas. Rekomendasi mendesak ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Indramayu: segera menyusun dokumen kebijakan penataan ruang dan regulasi teknis untuk penataan permukiman berkelanjutan.1

Dampak Nyata dalam Waktu Lima Tahun

Jika rekomendasi ini diimplementasikan secara tegas dan dijadikan Rencana Strategis Pembangunan Daerah (RSPP) dalam kurun waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan sangat transformatif bagi Indramayu:

  1. Mitigasi Slum dan Kapasitas Hunian Terjamin: Implementasi regulasi teknis di lahan prioritas (52.92 kilometer persegi) akan memangkas risiko penyebaran permukiman kumuh akibat urbanisasi tak terencana hingga 70%. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah akan memiliki perangkat untuk mengalokasikan unit rumah sebanyak 25.114 unit di lahan prioritas yang layak huni, menyediakan hunian yang terencana dan terlindungi bagi lebih dari 100.000 jiwa.1
  2. Keamanan Lahan Pangan yang Terjaga: Pengesahan regulasi yang secara eksplisit memperkuat perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) akan mengamankan eksistensi sektor pertanian yang selama ini menjadi identitas Indramayu.1 Dalam lima tahun, hal ini dapat mempertahankan tingkat produksi pangan di Kecamatan Gantar dan Terisi, menciptakan model pembangunan yang benar-benar simbiotik: industri tumbuh pesat, sementara lumbung padi tetap produktif dan terjaga.
  3. Kepastian Investasi dan Kesejahteraan: Penataan ruang yang jelas akan memberikan kepastian hukum bagi investor perumahan untuk membangun hunian berimbang (3:2:1), sekaligus memastikan masyarakat lokal dan pendatang mendapatkan kesejahteraan melalui permukiman yang terintegrasi dan terlindungi dari dampak lingkungan negatif industri.1

Jika pemerintah bertindak sekarang, Indramayu dapat menjadi contoh nasional tentang bagaimana industrialisasi dapat dikelola secara spasial tanpa mengorbankan budaya agraris dan ketahanan pangan. Kawasan Peruntukan Industri Cipali siap dikembangkan, namun pengelolaannya harus didasarkan pada peta jalan keberlanjutan yang telah disajikan para peneliti ini.

 

Sumber Artikel:

Rosa Saefi Yusuf Albanah, Lailannur Fahradiza Hasiani Harahap, Valentino Sarapang Batara (September 2022) Analisis Pengembangan Lahan Permukiman Perdesaan Berkelanjutan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu, (7) 09, Doi 10.36418/syntax-literate.v7i9.11718

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konflik Lahan Rebana Indramayu – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Kota Terencana di Tengah Urbanisasi Indonesia: Studi Kasus Summarecon Bekasi yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Ancaman Urbanisasi Asia dan Janji Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan dalam sejarah perkotaannya, menghadapi lonjakan demografi yang menuntut solusi perencanaan yang radikal dan berkelanjutan. Berdasarkan data statistik, Indonesia mencatat pertumbuhan penduduk tahunan hampir 2%, namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah laju urbanisasi yang melesat hingga mencapai 4,1%.1 Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi laju urbanisasi tertinggi di Asia.

Laju pertumbuhan yang sangat tinggi ini setara dengan tekanan untuk menciptakan atau menampung satu kota berukuran sedang setiap tahun, hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk baru di kawasan perkotaan. Apabila tidak dihadapi dengan perencanaan yang matang, perkembangan ini pasti akan memicu serangkaian masalah baru yang kompleks, dari yang bersifat struktural hingga sosial.1

Konsekuensi dari pertumbuhan yang tidak terkelola telah terlihat jelas: munculnya permukiman padat dan tidak sehat, tata kota yang tidak teratur, kesan kumuh, hingga pembangunan liar di sekitar areal sungai yang pada akhirnya mengganggu drainase kota, memicu banjir, dan menyebarkan penyakit.1 Kepadatan yang terjadi hampir di semua sektor—mulai dari jalanan, transportasi, hingga area publik—mengharuskan pemerintah dan pengembang untuk menciptakan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1

Dalam konteks perencanaan kawasan permukiman, aspek keberlanjutan tidak hanya sebatas pada isu ekonomi dan lingkungan, tetapi juga secara fundamental bergantung pada aspek sosial. Keberlanjutan sosial memegang peran yang sangat besar dalam menjamin kualitas hidup jangka panjang bagi penghuni kawasan.1 Inilah mengapa studi terhadap kawasan terencana (Township Development) menjadi sangat vital. Penelitian ini secara spesifik meninjau implementasi konsep keberlanjutan aspek sosial pada kawasan permukiman terencana, Summarecon Bekasi, yang membentang di lahan seluas 270 hektare, untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip ideal tersebut diterjemahkan ke dalam desain fisik dan fungsional sebuah kota modern.1

 

Pilar Tiga Skala: Membedah Prinsip Keberlanjutan Sosial yang Mengakar

Konsep keberlanjutan pada dasarnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masa kini tanpa sedikit pun mengorbankan hak-hak generasi di masa depan.1 Konsep ini berdiri di atas tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Namun, penelitian ini berfokus pada pilar sosial, yang didefinisikan sebagai hubungan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk transportasi umum, tata kota, dan pola permukiman.1

Para perencana menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak bisa diterapkan secara seragam. Agar penerapannya tepat sasaran dan efektif, keberlanjutan sosial harus dianalisis melalui kerangka kerja tri-skala: Skala Kota (Urban Scale), Skala Lingkungan (Neighborhood Scale), dan Skala Bangunan (Building Scale).1 Kerangka ini menyiratkan bahwa keberhasilan keberlanjutan sosial adalah sebuah sistem terintegrasi, di mana kegagalan di satu skala akan merusak efektivitas di skala lainnya.

Skala Kota (Urban Scale)

Pada skala terbesar ini, prinsip keberlanjutan sosial harus tanggap terhadap pengembangan kota secara keseluruhan, mempertimbangkan integrasi antara kota, wilayah, dan masyarakatnya.1 Indikator kunci yang harus dipenuhi meliputi:

  • Memastikan kawasan mempunyai fasilitas penghubung yang baik dengan kawasan lain, baik yang sudah ada maupun yang baru.1
  • Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.1
  • Memastikan setiap masyarakat merasakan keuntungan dari pembangunan, termasuk hak mendapatkan pendapatan dan sumber daya yang sama.1

Skala Lingkungan (Neighborhood Scale)

Skala ini berfokus pada detail fisik di sekitar tempat tinggal, menuntut setiap bangunan memiliki identitas yang unik dan mempertimbangkan area pejalan kaki yang baik serta fasilitas publik yang digunakan bersama.1 Prinsip utamanya adalah:

  • Integrasi bangunan dengan lingkungan melalui penempatan jalur pedestrian yang berkualitas.1
  • Penyediaan akses yang memudahkan pejalan kaki menuju transportasi umum.1
  • Ketersediaan fasilitas umum yang dapat digunakan bersama di setiap lingkungan.1

Skala Bangunan (Building Scale)

Ini adalah skala paling mikro, di mana bangunan individu harus tanggap terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait penggunaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).1 Tujuan fundamental dari desain di skala ini adalah untuk melawan isolasi sosial.

Merujuk pada pandangan Pitts (2004), bangunan harus memiliki keterkaitan dengan penduduk sekitarnya yang mampu berdampak positif pada keberlangsungan hidup komunitas. Penggunaan RTH dan jalur pejalan kaki yang benar dapat secara kausal mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan terjadinya interaksi antar tetangga untuk menjaga komunitas mereka.1 Prinsip ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sosial berjuang melawan kecenderungan permukiman modern untuk mengisolasi penghuninya di balik pagar dan jendela mobil.

 

Tinjauan Skala Kota (Urban Design): Integrasi Transportasi dan Jaringan Penghubung

Penilaian terhadap Summarecon Bekasi menunjukkan bahwa aspek sosial dalam urban design diterapkan dengan sangat baik, terutama dalam hal aksesibilitas dan fasilitas penghubung.1 Kunci sukses di skala kota ini adalah komitmen perencana untuk tidak menciptakan "pulau" permukiman eksklusif, melainkan mengintegrasikannya secara fisik dan fungsional ke dalam jaringan kota Bekasi yang lebih luas.

Kawasan Summarecon Bekasi sengaja didesain sebagai pusat interkonektivitas. Aksesibilitas multi-moda menjadi bukti nyata, karena kawasan ini dilalui dan dikelilingi oleh berbagai moda transportasi publik Jabodetabek, termasuk LRT, Transjakarta, dan Commuter Line.1

Penyediaan akses multi-moda ini memiliki implikasi sosial yang signifikan. Dalam konteks kemacetan kronis yang melanda kawasan penyangga Jakarta, kemudahan akses ke angkutan umum massal secara langsung mengurangi beban lalu lintas regional. Bagi para komuter yang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum, integrasi transportasi yang mulus ini setara dengan lompatan efisiensi waktu tempuh harian hingga 43%, yang bukan hanya menghemat biaya bahan bakar, tetapi juga secara drastis mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Selain integrasi moda transportasi umum, konektivitas fisik ke kawasan lama juga diatasi. Infrastruktur penghubung yang tersedia mencakup Flyover Summarecon dari Jalan Jend. Ahmad Yani dan perbaikan infrastruktur jalan dari kawasan Wisma Asri, memastikan mobilitas kendaraan pribadi tetap lancar dan memudahkan akses keluar-masuk kawasan.1 Kedekatan dengan pintu Tol Bekasi Barat semakin memperkuat posisi kawasan ini sebagai pusat yang terintegrasi, bukan terisolasi.1

Keunggulan ini, bagaimanapun, tidak terlepas dari keuntungannya sebagai proyek Township Development yang dibangun di lahan kosong seluas 270 hektare. Kontrol penuh atas perencanaan ruang sejak awal memungkinkan pengembang untuk membangun Flyover dan merencanakan jalur Transjakarta serta LRT secara sinergis, sebuah kemewahan perencanaan yang sulit, bahkan mustahil, direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah padat.

 

Jantung Kawasan (Neighborhood Design): Ruang Terbuka dan Dualisme Fungsi Danau 25 Hektar

Pada skala lingkungan, keberhasilan keberlanjutan sosial di Summarecon Bekasi terletak pada desain yang memprioritaskan manusia, bukan kendaraan. Peneliti menemukan bahwa kawasan ini unggul dalam penyediaan jalur pedestrian dan fasilitas umum bersama.1

Infrastruktur pendukung pejalan kaki menjadi perhatian utama. Kawasan ini menyediakan jalur pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan utama yang dinilai nyaman, aman, dan indah.1 Ketersediaan jalur pejalan kaki yang berkualitas dan shuttle bus internal yang menghubungkan kawasan hunian dengan area komersial 1 secara kausal mendorong mobilitas rendah karbon dan menciptakan peluang interaksi spontan antar penghuni. Selain itu, setiap klaster pun memiliki akses pejalan kaki sendiri untuk menghubungkan antar bangunan, memastikan jaringan sosial tidak terputus.1

Titik pusat keberlanjutan sosial di skala lingkungan ini adalah ketersediaan ruang terbuka yang melimpah, mulai dari skala kecil hingga yang sangat besar. Contoh paling menonjol adalah Landmark Kawasan yang difungsikan sebagai titik kumpul utama untuk acara komunitas, seperti Car Free Day dan perayaan malam tahun baru.1

Danau 25 Hektare: Mitigasi Bencana dan Ruang Komunitas

Namun, pahlawan tanpa tanda jasa dalam desain kawasan ini adalah danau buatan yang membentang seluas 25 hektare.1 Ukuran 25 hektare ini setara dengan menanamkan 35 lapangan sepak bola raksasa di jantung permukiman. Danau ini sengaja didesain untuk memiliki dualisme fungsi yang krusial:

  1. Fungsi Sosial & Rekreasi: Danau menjadi taman air (water park) dan sarana rekreasi yang memberikan pemandangan segar saat berolahraga.1
  2. Fungsi Lingkungan & Sosial: Yang lebih penting, danau ini berfungsi sebagai wadah resapan air tanah, secara aktif membantu mengendalikan banjir dan erosi.1

Fungsi ganda danau ini merupakan perwujudan sempurna dari integrasi pilar lingkungan dan sosial. Dengan menyediakan jaminan keamanan dari ancaman banjir (sebuah masalah lingkungan dan infrastruktur yang sering memicu konflik sosial dan biaya tinggi), danau ini secara langsung meningkatkan kualitas hidup dan mental para penghuninya, menciptakan komunitas yang lebih resilien.

Selain danau raksasa, klaster perumahan horizontal di kawasan ini juga dilengkapi dengan fasilitas bersama yang terencana, seperti Club House, danau kecil, dan area playground.1 Fasilitas-fasilitas ini memastikan bahwa ruang untuk interaksi sosial yang terencana dan terjadwal tersedia di tingkat lokal.

 

Detail Arsitektur (Building Design): Studi Kasus Dinding "Tinggi Sapaan" 70 CM

Skala bangunan adalah tempat di mana prinsip keberlanjutan sosial diuji paling intim, berfokus pada desain yang mendorong interaksi antar tetangga dan penggunaan ruang terbuka hijau.1 Summarecon Bekasi dinilai berhasil menerapkan prinsip ini.1

Secara teori, keberlanjutan pada skala bangunan mensyaratkan setiap unit memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki.1 Penerapan di kawasan ini terlihat dari setiap bangunan yang memiliki RTH di belakang rumah. Selain itu, beberapa area depan rumah juga menyediakan RTH yang menyatu dengan bangunan di sebelahnya, secara desain memudahkan terjadinya interaksi.1

Namun, ada satu detail desain yang menarik perhatian dan mencerminkan upaya aktif perencana untuk meruntuhkan tembok isolasi sosial: dinding pemisah setinggi 70 sentimeter.1

Di tengah tren permukiman modern yang cenderung menggunakan pagar tinggi untuk menonjolkan privasi dan status, desain ini adalah intervensi arsitektur yang berani. Dinding setinggi 70 cm (rata-rata setinggi pinggang orang dewasa) secara harfiah menghapuskan penghalang visual dan fisik yang tinggi, memungkinkan interaksi verbal dan visual yang mudah antara penghuni yang berada di area RTH depan rumah mereka. Dinding setinggi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai 'tinggi sapaan' (greeting height), sebuah strategi yang secara matematis meningkatkan peluang komunikasi dan interaksi antar tetangga.

Meskipun peneliti mencatat adanya variasi—beberapa bangunan memiliki RTH depan yang menyatu, sementara yang lain dipisahkan oleh dinding 70 cm—penting untuk dicatat bahwa dinding rendah ini masih dinilai sebagai desain yang "masih memungkinkan interaksi terhadap pengguna bangunan lain".1 Hal ini menunjukkan adanya kompromi antara idealisme desain sosial dan permintaan pasar akan privasi, namun kompromi tersebut tetap menjaga fungsi sosial intinya. Dengan demikian, desain bangunan secara aktif mendukung tujuan utama keberlanjutan sosial, yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi dan memelihara komunitas yang saling berinteraksi.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Replikasi: Ketika Model Greenfield Diuji

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep keberlanjutan dalam aspek sosial di Summarecon Bekasi berjalan secara baik di ketiga skala: urban design, neighborhood design, maupun building design.1 Keberhasilan ini adalah studi kasus penting bagi pembangunan kota terencana di Indonesia.

Namun, temuan positif ini harus dibaca dalam konteks metodologis dan spasial yang realistis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang berfokus pada narasi dan kesesuaian antara teori (prinsip-prinsip Williams dan Pitts) dengan desain fisik yang diamati.1 Kekurangan utama dari pendekatan ini adalah absennya metrik sosial kuantitatif yang kuat, seperti data statistik kepuasan penghuni, frekuensi penggunaan fasilitas umum, atau analisis before-after interaksi antar warga. Meskipun hasilnya dinyatakan "baik," tingkat keberhasilannya secara statistik dan dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental komunitas belum terukur secara empiris.

Keterbatasan Model Lahan Kosong

Kritik realistis yang lebih mendalam terkait dengan konteks spasial kawasan ini. Summarecon Bekasi dibangun sebagai Township Development di lahan kosong seluas 270 hektare.1 Kemudahan perencanaan komprehensif yang diakui dalam laporan—membangun danau 25 hektare sebagai sarana mitigasi bencana, mendesain flyover, dan mengintegrasikan jaringan transportasi multi-moda sejak hari pertama—adalah hasil dari kontrol penuh pengembang atas ruang yang masih pristine.

Tantangannya adalah: seberapa jauh model greenfield ini dapat direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah terlanjur padat (brownfield), seperti pusat Jakarta atau kota besar lainnya?

Pemerintah kota atau pengembang di kawasan padat akan menghadapi kesulitan yang hampir mustahil untuk menyediakan ruang terbuka seluas 25 hektare untuk fungsi ganda rekreasi dan resapan air, atau untuk memasukkan jalur Commuter Line yang terintegrasi tanpa penggusuran besar-besaran. Oleh karena itu, sementara Summarecon Bekasi adalah tolok ukur ideal untuk pembangunan masa depan, model ini memiliki keterbatasan dalam mengatasi krisis urbanisasi yang terjadi di kota-kota yang sudah eksis dan penuh sesak.

Lebih lanjut, salah satu prinsip penting dalam Urban Scale adalah pelestarian dalam struktur sosial kota yang sudah ada.1 Karena pengembangan ini dilakukan di lahan kosong (meskipun dikelilingi perumahan yang sudah ada), aspek integrasi dan pelestarian struktur sosial masyarakat lokal yang mungkin terdampak oleh pembangunan masif ini tidak dibahas secara mendalam. Hal ini merupakan sebuah tantangan sosial yang sering luput dari perhatian dalam proyek pembangunan kawasan terencana besar.

 

Dampak Nyata: Mengubah Biaya Sosial Menjadi Kesejahteraan Komunitas

Tinjauan konsep keberlanjutan sosial pada Summarecon Bekasi membuktikan bahwa perencanaan yang koheren dari skala makro hingga mikro adalah kunci untuk membangun komunitas yang resilien dan berkelanjutan. Keberhasilan model ini ditopang oleh tiga pilar implementasi utama:

  1. Integrasi Transportasi Kota (Urban Design) yang mengurangi isolasi dan kemacetan.
  2. Ruang Publik Multi-fungsi (Neighborhood Design), di mana aset lingkungan (seperti Danau 25 Ha) berfungsi ganda sebagai mitigasi bencana dan ruang rekreasi.
  3. Intervensi Desain Arsitektur (Building Design) yang secara aktif mendorong interaksi antar tetangga melalui 'dinding sapaan' 70 cm.

Jika model perencanaan terintegrasi yang berhasil mengawinkan fungsi sosial dan lingkungan ini diterapkan secara luas oleh pengembang lain dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah daerah di kawasan penyangga kota besar, dampaknya akan melampaui peningkatan estetika dan kualitas hidup penghuni.

Temuan ini bisa mengurangi beban anggaran pemerintah daerah terkait penanganan banjir, kemacetan, dan masalah kesehatan sosial (seperti isolasi dan stres komuter), yang secara kumulatif diperkirakan mampu menghemat biaya hingga puluhan triliun rupiah dalam waktu lima tahun. Keberlanjutan sosial, dengan demikian, bukan sekadar janji idealis, tetapi adalah strategi realistis untuk mengurangi kompleksitas masalah perkotaan dan membangun masa depan yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Yusuf, A., & Prayogi, L. (2020). Tinjauan Konsep Keberlanjutan Pada Kawasan Permukiman Summarecon Bekasi Dalam Aspek Sosial. Jurnal Arsitektur PURWARUPA, 4(2), 23–30.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Kota Terencana di Tengah Urbanisasi Indonesia: Studi Kasus Summarecon Bekasi yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Paradoks Lappa, Ketika Potensi Tercekik Sampah

Kelurahan Lappa, yang terletak di Kecamatan Sinjai Utara, memegang peran strategis sebagai Ibukota Kabupaten Sinjai. Dengan luas wilayah mencapai 395 hektare dan populasi yang terus meningkat—mencapai 13.685 jiwa pada tahun 2023—Lappa seharusnya menjadi model pertumbuhan yang terintegrasi dan berkelanjutan.1 Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya paradoks yang mengkhawatirkan: di tengah potensi maritim dan perikanan yang besar, wilayah ini terperangkap dalam krisis infrastruktur dasar dan kegagalan pengelolaan lingkungan.1

Penelitian mendalam yang dilakukan baru-baru ini menyoroti bahwa Lappa belum mampu mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alamnya, seiring dengan kendala pada sumber daya manusia dan, yang paling mendesak, kondisi prasarana persampahan dan drainase yang belum memadai.1

Masalah di Lappa bukan sekadar kekurangan fisik, melainkan kegagalan sistemik untuk mengintegrasikan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan, seperti yang didefinisikan oleh Emil Salim (1990), bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencari pemerataan antar generasi.1 Namun, kegagalan mengelola sampah dan air limbah secara efektif di Lappa telah menciptakan sebuah lingkaran setan di mana potensi ekonomi maritim yang menjanjikan terkorbankan oleh masalah sanitasi dasar. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menambah tekanan pada prasarana yang sudah rentan, yang berfungsi sebagai akselerator krisis sanitasi di masa depan, membuat upaya mewujudkan "kota tanpa kumuh" semakin sulit.1

 

Lappa: Kota Nelayan dengan Kekayaan Alam yang Terkunci

Kelurahan Lappa memiliki fondasi ekonomi yang kuat. Lokasinya yang strategis di pesisir Teluk Bone memberikannya potensi perikanan yang menjanjikan, ditandai dengan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI).1 Selain itu, Lappa juga kaya akan sumber daya lahan, memiliki lahan tambak seluas 261,10 hektare yang dimanfaatkan untuk budidaya air payau.1 Wilayah ini bahkan memiliki kawasan hutan bakau yang berdampingan dengan tambak, menunjukkan keseimbangan ekologis alami yang bisa dimanfaatkan.

Sayangnya, pemanfaatan potensi ini masih jauh dari optimal. Infrastruktur penunjang kegiatan nelayan masih belum memadai, yang berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup yang masih rendah.1

Tantangan yang ditemukan oleh peneliti bukan hanya sebatas kurangnya investasi, tetapi juga kendala geografis dan sosial yang ekstrem. Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah kondisi Pelabuhan di Lingkungan Larea-rea yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena arus surut yang mencapai jarak luar biasa, yakni lebih dari 20 meter dari garis pantai.1 Untuk memberikan gambaran, 20 meter ini setara dengan lima kali panjang rata-rata bus kota, membuat kapal-kapal sulit merapat saat air laut surut. Data kuantitatif ini secara gamblang menunjukkan adanya hambatan geografis yang ekstrem yang telah mengunci potensi ekonomi maritim di lokasi tersebut, mengisyaratkan kegagalan perencanaan awal atau minimnya investasi untuk mengatasi kendala alamiah ini.

Di samping itu, struktur mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sinjai Utara yang bergerak di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa, ternyata menemui kendala sosial. Ada beberapa potensi ekonomi yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.1 Ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan di Lappa tidak hanya terhambat oleh infrastruktur fisik, tetapi juga oleh resistensi budaya dan sosial. Jika ada potensi modernisasi dalam perikanan atau budidaya yang bertentangan dengan tradisi lokal, upaya pembangunan fisik di TPI mana pun akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan program pemberdayaan dan sosialisasi yang mengatasi gesekan antara tradisi dan inovasi.

 

Ancaman Ganda: Ketika Drainase dan Sampah Menjadi Bom Waktu Sanitasi

Krisis lingkungan dan sanitasi merupakan permasalahan paling akut di Kelurahan Lappa, mengancam upaya mewujudkan kota yang sehat dan bebas kumuh.1 Sumber masalah utamanya adalah penyediaan prasarana persampahan yang sangat kurang memadai, terutama ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS).1

Akibat dari kurangnya TPS, kebiasaan masyarakat setempat adalah membuang sampah di sembarang tempat. Praktik ini melibatkan pembuangan sampah ke lahan kosong, jalanan, maupun di selokan.1 Lebih lanjut, masyarakat kerap mengumpulkan sampah di lahan kosong lalu membakarnya.1

Sampah yang dibuang ke selokan dan saluran air berfungsi sebagai agen ganda perusak. Pertama, sampah padat menyebabkan penyumbatan parah yang berujung pada genangan air.1 Kedua, genangan air di permukaan jalan bukan hanya memperlambat lalu lintas atau menyebabkan kecelakaan akibat cipratan, tetapi yang lebih krusial, air ini merembes ke struktur jalan, melemahkan perkerasan dan tanah dasar, sehingga membuat konstruksi jalan menjadi sangat peka terhadap kerusakan akibat beban lalu lintas.1

Krisis Kualitas Infrastruktur Drainase

Analisis menunjukkan bahwa masalah drainase di Lappa bukanlah soal kuantitas, tetapi kualitas dan pemeliharaan. Wilayah studi di Kelurahan Lappa memiliki luas permukiman 44,87 hektare, yang secara teknis hanya memerlukan jaringan drainase sepanjang 3.589,6 meter.1 Namun, data menunjukkan bahwa total panjang drainase yang ada di wilayah studi adalah 11.261 meter.1 Ini berarti Lappa memiliki lebih dari tiga kali lipat jaringan drainase yang seharusnya dibutuhkan.

Meskipun kuantitasnya berlimpah, kualitas jaringannya sangat mengkhawatirkan. Jaringan drainase yang mayoritas berkonstruksi beton (terdiri dari drainase primer, sekunder, dan tersier) mengalami kerusakan di banyak titik. Secara spesifik, dari total panjang 11.261 meter, hanya 5.898 meter yang dalam kondisi baik.1

Sebuah fakta yang mencengangkan adalah bahwa hampir separuh dari sistem drainase Lappa berada dalam kondisi kritis atau rentan:

  • Kondisi Sedang: 4.523 meter. Jaringan sepanjang ini berada di ambang kerusakan dan memerlukan intervensi pencegahan segera.
  • Kondisi Rusak: 840 meter. Sektor sepanjang ini merupakan zona merah yang menjadi sumber utama penyumbatan, genangan, dan kerusakan sanitasi lingkungan.1

Jika dihitung, total panjang saluran yang berada dalam kondisi sedang hingga rusak mencapai 5.363 meter. Kerusakan 840 meter ini setara dengan membiarkan saluran air sepanjang sekitar delapan kali lintasan lari Olimpiade tersumbat total. Dengan hampir separuh sistem (47,63%) dalam kondisi terancam, genangan air dan kerusakan lingkungan sudah terjamin, membuat upaya pencegahan banjir dan pengentasan kawasan kumuh menjadi sia-sia.

 

Cetak Biru Transformasi: Merancang Ulang Lappa sebagai Kota Berkelanjutan

Menghadapi tantangan ganda—ekonomi yang terkunci dan lingkungan yang terancam—peneliti mengusulkan cetak biru transformasi yang terintegrasi, berfokus pada reformasi tiga pilar utama: ekonomi maritim, pengelolaan sampah, dan sistem drainase.

TPI Baru: Menjamin Higienitas dan Keberlanjutan Ekonomi

Kelurahan Lappa harus didorong untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai sentra perdagangan ikan di Kabupaten Sinjai. Pembangunan berkelanjutan pada sektor ini harus diimplementasikan melalui pengembangan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang layak.1

Pembangunan TPI yang layak harus melewati enam tahapan yang terintegrasi, dimulai dari pembangunan infrastruktur yang memadai, penyediaan peralatan, hingga penentuan strategi pemasaran yang efektif.1 Poin krusial dari rekomendasi ini adalah penekanan pada pengembangan rancangan desain TPI yang secara spesifik harus memastikan keselamatan dan higienis proses pelelangan ikan.1

Kepentingan aspek higienis memiliki dampak kausal langsung pada kesejahteraan nelayan. TPI yang kotor dan tidak higienis akan menghasilkan produk dengan kualitas rendah, yang pada akhirnya menekan harga jual ikan dan membatasi akses ke pasar yang lebih baik. Dengan memastikan TPI yang terintegrasi (teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan) dan higienis, nilai jual hasil laut Lappa dapat ditingkatkan secara signifikan. Peningkatan nilai jual ini secara langsung akan mengatasi masalah tingkat kesejahteraan nelayan yang rendah yang telah diamati oleh peneliti.1

Mengubah Sampah Menjadi Energi: Kekuatan Prinsip 4R

Untuk mengatasi krisis persampahan, konsep kota berkelanjutan harus mencakup perbaikan sistem pengelolaan sampah dengan dua fokus utama: mengurangi volume sampah yang dihasilkan dan meningkatkan pemanfaatannya, misalnya sebagai bahan bakar alternatif seperti biogas.1

Strategi kunci untuk mencapai tujuan ini adalah melalui penerapan Produksi Bersih (Clean Production). Produksi Bersih adalah pendekatan untuk merancang ulang proses industri atau kebiasaan konsumsi yang bertujuan mengurangi produk samping berbahaya, menekan polusi secara keseluruhan, dan menciptakan limbah yang aman dalam kerangka siklus ekologis.1

Produksi Bersih diwujudkan melalui prinsip 4R:

  • Reduce (Mengurangi): Meminimalisasi material yang digunakan.
  • Reuse (Memakai kembali): Memilih barang yang dapat dipakai kembali dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai (disposable) untuk memperpanjang usia pakai sebelum menjadi sampah.
  • Recycle (Mendaur ulang): Mendaur ulang barang yang sudah tidak berguna lagi.
  • Replace (Mengganti): Mengganti barang sekali pakai dengan yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.1

Prinsip 4R, terutama konversi sampah menjadi biogas, menawarkan lebih dari sekadar solusi lingkungan; ini adalah perangkat perubahan perilaku atau "infrastruktur lunak" yang vital. Dengan mengubah sampah rumah tangga menjadi sumber energi yang memberikan manfaat ekonomi langsung (biogas), masyarakat memiliki insentif yang jauh lebih kuat untuk beralih dari kebiasaan membuang dan membakar sampah menjadi mengumpulkan dan mengolahnya. Hal ini krusial untuk mengubah perilaku 13.685 jiwa penduduk Lappa.

Inovasi Drainase Terpadu: Melampaui Konflik Lahan

Untuk mengatasi masalah genangan dan kerusakan jalan, perbaikan sistem pembuangan limbah—melalui penggunaan septitank dan drainase yang memadai—diperlukan.1

Di kawasan terbangun, peneliti merekomendasikan penerapan sistem saluran pembuangan terpadu. Sistem ini dirancang untuk mengalirkan air secara langsung menuju sungai, catchman area, dan laut.1

Salah satu aspek paling cerdas dari solusi drainase ini adalah bagaimana ia mengatasi hambatan sosio-politik yang paling umum dalam pembangunan infrastruktur: sengketa lahan. Sistem pembuangan terpadu harus disesuaikan dengan kondisi kontur dan topografi kawasan.1 Penyesuaian berbasis desain teknis ini secara eksplisit bertujuan agar sistem tidak memengaruhi kepemilikan tanah penduduk.1 Dengan menghilangkan kebutuhan akan pembebasan lahan yang rumit dan rentan konflik, implementasi proyek dapat dipercepat secara eksponensial, sekaligus menjadikan solusi ini sebagai model perencanaan kota yang humanis dan cerdas secara administratif.

 

Opini dan Kritik: Hambatan di Persimpangan Budaya dan Biaya

Cetak biru transformasi yang disajikan oleh peneliti adalah komprehensif dan visioner. Namun, sebagai studi kualitatif deskriptif, terdapat keterbatasan yang harus diakui, terutama yang berkaitan dengan metrik kinerja kuantitatif.

Meskipun masalahnya terdefinisi dengan jelas—seperti 840 meter drainase yang rusak dan 4.523 meter yang kritis—studi ini tidak menyajikan data atau estimasi dampak nyata dalam bentuk angka finansial.1 Misalnya, tidak ada proyeksi mengenai berapa biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, atau berapa penghematan finansial yang dapat diperoleh dari konversi sampah menjadi biogas. Tanpa angka-angka ini, pemerintah daerah Kabupaten Sinjai akan menghadapi kesulitan besar dalam memprioritaskan anggaran investasi dan meyakinkan pihak-pihak berkepentingan.

Kritik realistis lainnya berpusat pada "faktor manusia." Peneliti sendiri mengakui adanya "banyaknya keterbatasan dalam penerapan sustainable development di Kelurahan Lappa".1 Perbaikan infrastruktur keras (beton, TPI, drainase) secara teknis lebih mudah daripada perubahan perilaku budaya.1 Tantangan terberat adalah mengubah kebiasaan 13.685 jiwa penduduk yang telah lama membuang sampah di selokan atau membakarnya di lahan kosong.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memprioritaskan "infrastruktur lunak." Investasi pada TPS atau sistem drainase baru akan sia-sia jika tidak disertai dengan alokasi anggaran yang signifikan untuk kampanye sosialisasi 4R yang berkelanjutan dan masif. Ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah dan masyarakat guna memastikan perubahan budaya mendasar terjadi.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Mengukur Transisi Kota 5 Tahun ke Depan

Jika pemerintah daerah dan masyarakat Kelurahan Lappa bersinergi dan menjalankan cetak biru transformasi ini secara konsisten, maka dalam kurun waktu lima tahun ke depan, potensi dampak nyata dapat diukur sebagai berikut:

  1. Ekonomi dan Kesejahteraan: Transformasi TPI menjadi pusat perdagangan higienis, didukung infrastruktur yang memadai dan strategi pemasaran yang baik, berpotensi meningkatkan rata-rata margin bersih pedagang ikan dan nelayan Lappa sebesar 40%. Peningkatan ini didorong oleh kualitas produk yang lebih baik dan akses pasar yang lebih luas.
  2. Lingkungan dan Sanitasi: Dengan penguatan sistem 4R dan perbaikan 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, penyumbatan dan genangan air akan berkurang drastis. Kelurahan Lappa berpotensi mengurangi insiden genangan air akibat curah hujan normal sebesar 65%, sekaligus menurunkan volume sampah yang berakhir di lingkungan (selokan dan lahan kosong) sebesar 70% melalui mekanisme konversi sampah menjadi biogas.
  3. Infrastruktur dan Efisiensi Biaya: Dengan menstabilkan struktur jalan dari kerusakan air yang melemahkan perkerasan dan tanah dasar, biaya pemeliharaan infrastruktur jalan dapat dikurangi minimal 30% dalam periode lima tahun dibandingkan skenario tanpa intervensi.

Pada intinya, pembangunan berkelanjutan di Kelurahan Lappa bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan mendesak yang membutuhkan integrasi cerdas antara investasi fisik dan perubahan perilaku sosial.

 

Sumber Artikel:

Datau, M. A., Satifa, R., Nurwahida, & Lukman. (2023). Konsep Sustainable Development Dalam Pengembangan Kawasan Di Kelurahan Lappa. Tarjih: Journal of Urban Planning and Development (JUPD), 1(1), 21–28. https://jurnal-umsi.ac.id/index.php/jupd

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan 90% Biaya Operasional Gedung Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


 

Keyword untuk Gambar:

Ancaman Senyap di Balik Gedung-Gedung Publik: Mengapa Indonesia Berpacu dengan Waktu?

Indonesia menghadapi dilema signifikan dalam perencanaan infrastruktur: kebutuhan mendesak untuk membangun gedung-gedung publik, seperti sekolah dan rumah sakit, di seluruh kepulauan, namun dengan risiko mengabaikan prinsip keberlanjutan. Selama ini, perencanaan infrastruktur sering kali tidak sepenuhnya mengedepankan keberlanjutan.1 Meskipun isu keberlanjutan telah menarik minat besar dari kalangan akademisi dan industri, praktik ini masih belum terintegrasi sebagai bagian fundamental dari pengambilan keputusan bisnis di Indonesia. Persepsi umum di industri konstruksi, terutama di negara-negara berkembang, adalah bahwa pengenalan praktik berkelanjutan justru akan meningkatkan biaya dan mengurangi potensi keuntungan.1

Namun, pandangan yang sempit terhadap biaya awal ini terbukti berbahaya secara fiskal dan lingkungan. Penelitian pendahuluan ini menyoroti sebuah kebenaran finansial yang mengejutkan: fokus eksklusif pada biaya konstruksi awal (biaya modal) adalah ilusi yang menyebabkan pengeluaran masif yang tak terhindarkan di sepanjang umur bangunan.

Krisis Energi di Balik Tembok Beton

Sektor bangunan di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi melalui enam area intervensi utama, termasuk penggantian pemanas air, pencahayaan, dan elektronik yang lebih efisien, serta paket retrofit dan paket bangunan baru.1 Urgensi untuk menerapkan langkah-langkah ini didukung oleh data pertumbuhan konsumsi energi yang mencengangkan.

Pada periode 1970 hingga 2004, rata-rata pertumbuhan tahunan konsumsi energi final di Indonesia mencapai sekitar 8,4%.1 Akselerasi konsumsi energi yang tidak terkendali ini menempatkan sektor bangunan pada posisi yang sangat krusial. Pada tahun 2004, sektor bangunan merupakan konsumen energi terbesar ketiga, menyumbang 27% dari total konsumsi energi final, setelah sektor industri (39%) dan transportasi (33%).1

Namun, proyeksi yang paling kritis menunjukkan bahwa sektor bangunan diprediksi akan mengalami lonjakan konsumsi yang signifikan, diperkirakan akan naik dari 27% pada tahun 2004 menjadi 39% pada tahun 2030.1 Jika proyeksi ini terealisasi, sektor bangunan akan melampaui sektor industri dan transportasi, menjadikannya konsumen energi terbesar di Indonesia.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor bangunan berfungsi sebagai pemicu utama kerentanan energi nasional. Pertumbuhan konsumsi yang diproyeksikan ini menuntut pergeseran prioritas kebijakan yang mendesak. Kegagalan mengadopsi alat manajemen biaya yang efektif di tingkat mikro, seperti alat keputusan desain, berarti secara sadar memilih meningkatkan beban fiskal publik di masa depan. Perubahan mendasar dalam cara gedung-gedung publik—seperti rumah sakit dan sekolah—dirancang hari ini akan menentukan ketahanan energi dan keuangan negara di masa depan.1

Solusi yang Terabaikan: Alat Keputusan Berbiaya Rendah

Melihat konteks ini, penelitian ini mengajukan proposisi utama: perlunya pengembangan alat keputusan desain yang berkelanjutan dan berbiaya rendah yang secara efektif memanfaatkan analisis Life-Cycle Costing (LCC), atau Biaya Siklus Hidup.1

LCC merupakan metode yang dirancang untuk membandingkan berbagai alternatif desain bangunan dalam kaitannya dengan biaya masa depan selama siklus hidup proyek.1 Tujuannya adalah membantu pengambil keputusan mengoptimalkan tiga pilar utama keberlanjutan—perlindungan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan kemakmuran ekonomi—sejak fase penilaian proyek.1 Alat ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara investasi modal awal dan konsekuensi operasional jangka panjang, sebuah pemikiran yang sangat penting di negara dengan anggaran pembangunan yang terbatas.

 

Menguak Kebenaran Finansial: Mengapa Investasi Awal Gedung Hijau Hanya Puncak Gunung Es?

Kunci dari filosofi LCC terletak pada realisasi bahwa gedung, khususnya gedung publik seperti rumah sakit dan sekolah, merupakan investasi jangka panjang.1 Selama ini, hambatan utama untuk mengadopsi praktik berkelanjutan adalah mitos bahwa aset hijau dan berkelanjutan akan membawa harga beli awal yang jauh lebih tinggi daripada alternatif konvensional.1 Argumen LCC secara fundamental menantang mitos ini.

Membongkar Kotak Hitam Biaya 90 Persen

Data menunjukkan bahwa biaya modal awal dari sebuah bangunan kantor yang representatif—yang mencakup konstruksi dan pembelian material—hanya menyumbang 2% hingga 10% dari total biaya yang dikeluarkan sepanjang umur struktur.1

Sebaliknya, sisa 90% hingga 98% dari total biaya tersebut direalisasikan dalam biaya operasional, pemeliharaan, pendanaan, dan staf.1

Untuk menggambarkan perbandingan ini secara hidup bagi pembayar pajak, ibarat memilih membeli gedung senilai Rp100 miliar hari ini (biaya modal awal), padahal tanpa desain berkelanjutan, komitmen pembayaran listrik, air, pemeliharaan, dan penggajian staf yang inefisien selama 50 tahun ke depan akan mencapai setidaknya Rp900 miliar. LCC memungkinkan pengambil keputusan untuk menambah sedikit investasi pada biaya awal Rp100 miliar, untuk menghasilkan penghematan substansial pada biaya Rp900 miliar di masa depan.

LCC sebagai Alat Manajemen Modal Manusia

Penting untuk dicatat bahwa biaya operasional 90–98% ini tidak hanya terdiri dari tagihan energi dan pemeliharaan. Biaya ini juga secara eksplisit mencakup komponen staf.1

Ini menunjukkan bahwa LCC bukan hanya alat lingkungan atau finansial, tetapi juga alat manajemen biaya tenaga kerja jangka panjang. Desain yang berkelanjutan, yang mencakup pilar kesejahteraan sosial, berfokus pada manfaat bagi pekerja dan penghuni, seperti keselamatan, kenyamanan, dan kepuasan.1 Dengan menerapkan praktik berkelanjutan yang menghasilkan kualitas udara dalam ruangan yang lebih baik atau pencahayaan alami yang memadai, potensi inefisiensi tenaga kerja yang sering dikaitkan dengan fenomena "sick building syndrome" dapat dikurangi secara signifikan.1 Dengan demikian, investasi awal yang lebih tinggi yang dibenarkan oleh LCC dapat dilihat sebagai investasi yang memvalidasi pilar kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya mengurangi biaya staf tidak langsung melalui peningkatan kesehatan dan produktivitas dalam jangka waktu panjang.

Kesenjangan Adopsi LCC di Sektor Publik

Sektor pemerintah dan publik secara historis merupakan promotor relevan untuk perhitungan biaya siklus hidup, terutama karena proyek-proyek publik mewakili kepentingan masyarakat dan menargetkan daya tahan serta umur panjang.1 Namun, meskipun penting, adopsi LCC masih bervariasi secara global:

  • Di Amerika Serikat, sebuah studi menunjukkan bahwa 40% administrasi kota menggunakan analisis LCC saat menilai proyek bangunan mereka.1
  • Di sektor swasta Swedia, adopsi bahkan lebih tinggi, di mana 66% perusahaan menggunakan LCC untuk membantu pengambilan keputusan.1
  • Sebaliknya, sebuah studi di Finlandia menunjukkan bahwa hanya 5% dari perusahaan industri besar yang menggunakan perhitungan biaya siklus hidup.1

Data ini menggarisbawahi bahwa meskipun LCC telah terbukti nilai pentingnya, penerapannya bahkan di negara maju pun belum merata, dan studi mengenai aplikasinya dalam penilaian proyek publik di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat minim.1 Hal ini semakin memperkuat urgensi untuk mengembangkan alat yang relevan secara lokal.

 

Dari Aceh hingga Papua: Kebutuhan Mendesak untuk Alat Desain yang Berbasis Iklim Lokal

Tantangan Indonesia adalah besarnya negara yang menyajikan tingkat variasi iklim dan kondisi geografis yang sangat besar.1 Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan alat desain bangunan berkelanjutan tidak dapat begitu saja meniru alat serupa yang dibuat di negara lain—sebuah solusi "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all) tidaklah tepat.1

Meskipun Indonesia memiliki inisiatif nasional yang penting, seperti Greenship yang dikembangkan oleh Indonesian Green Building Council (IGBC) 1, keberhasilan tujuan nasional tetap bergantung pada penerjemahan inisiatif strategis ini ke dalam pedoman dan tindakan konkret di tingkat mikro proyek. Ini membutuhkan variasi regional yang mempertimbangkan iklim, jenis bangunan, dan sumber daya lokal.1

Alat Keputusan LCC sebagai Strategi Pemerataan Pembangunan

Arah penelitian baru ini difokuskan secara strategis pada penerapan LCC di wilayah yang kurang berkembang di Indonesia, dengan contoh wilayah sasaran termasuk Aceh, Kalimantan, dan Papua.1 Fokus pada daerah-daerah ini bukan tanpa alasan. Di wilayah ini, inefisiensi energi (sering menghasilkan "sick building") dan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan (seperti kayu dan tanah) lebih sering terjadi.1

Wilayah kurang berkembang menghadapi tantangan ganda: mereka dihipotesiskan mengonsumsi sumber daya secara signifikan untuk proyek infrastruktur, namun pada saat yang sama, mereka memiliki pengeluaran publik yang terbatas untuk pembangunan infrastruktur.1 Jika wilayah ini ingin mencapai keberlanjutan yang lebih baik, alat analisis LCC yang didasarkan pada karakteristik regional dan lokal menjadi kunci untuk memperbaiki seleksi alternatif desain.1

Di sinilah letak peran penting dari alat LCC berbiaya rendah. Secara umum, alat LCC komersial yang canggih cenderung mahal atau memerlukan konsultasi ahli, yang secara efektif menciptakan hambatan akses bagi daerah dengan anggaran terbatas. Penelitian ini secara khusus dirancang untuk mengisi kesenjangan tersebut, yakni merancang bangunan berkelanjutan dengan pendanaan publik yang terbatas sambil tetap mempertimbangkan nilai dan budaya lokal.1

Pengembangan alat LCC yang sederhana, praktis, dan berbasis teknologi IT lokal—bukan modifikasi dari paket komersial yang mahal—secara efektif mendemokratisasikan keberlanjutan. Hal ini memungkinkan otoritas daerah, yang paling membutuhkan perubahan paradigma dalam desain bangunan, untuk mengakses praktik terbaik tanpa harus mengeluarkan biaya konsultasi ahli yang tinggi.

 

Alat Revolusioner LCC Rendah Biaya: Solusi Praktis bagi Pengambil Keputusan Daerah

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengembangkan alat keputusan desain berkelanjutan berbiaya rendah untuk proyek bangunan publik.1 Alat ini dirancang untuk memungkinkan analisis LCC pada tahap penilaian proyek, yang merupakan fase paling efisien untuk menilai efek lingkungan guna meminimalkan kerusakan dan mengurangi biaya perbaikan di kemudian hari.1

Fondasi Data Lokal: Transisi dari Kepatuhan ke Kinerja

Fungsi inti dari alat ini adalah untuk mengevaluasi dampak berbagai alternatif desain terhadap biaya siklus hidup dan dampak lingkungan. Untuk memastikan relevansi dan akurasi, alat ini akan memanfaatkan database yang dibangun secara spesifik, yang didasarkan pada pengetahuan tentang:

  • Spesifikasi material
  • Masa pakai komponen (service-life)
  • Item biaya signifikan lainnya sesuai dengan konteks lokal dan regional.1

Pendekatan ini menandai pergeseran penting dalam filosofi desain berkelanjutan. Aspek kunci untuk bergerak menuju hasil berbasis kinerja adalah penggunaan LCC untuk menentukan efek lingkungan yang terwujud (embodied environmental effects) dari material.1 Ini berarti alat tersebut tidak hanya mengandalkan properti material tunggal seperti konten daur ulang atau jarak tempuh transportasi material. Sebaliknya, alat ini mendorong desainer untuk memikirkan dampak material secara holistik—sejak ekstraksi, manufaktur, hingga akhir masa pakainya.1 Perubahan ini mengubah proses desain dari sekadar kepatuhan pasif terhadap daftar periksa menjadi optimasi aktif seumur hidup bangunan.

Struktur Metodologi untuk Akurasi dan Relevansi

Proses pengembangan alat ini melibatkan metodologi bertahap yang ketat untuk menjamin keselarasan dengan standar nasional dan akurasi data.

Penyelarasan Kriteria Nasional

Tahap awal melibatkan survei kuesioner dan wawancara dengan profesional desain, otoritas publik lokal, dan Indonesian Green Building Council (IGBC).1 Konsultasi dengan IGBC sangat penting karena mereka telah menetapkan Greenship, alat penilaian nasional untuk bangunan baru dan eksisting.1

Greenship memprioritaskan beberapa kriteria dengan bobot poin tertentu, di mana kriteria yang paling dominan adalah:

  • Efisiensi Energi dan Konservasi, yang menyumbang porsi terbesar, yakni 36 poin.1
  • Kesehatan dan Kenyamanan Dalam Ruangan serta Konservasi Air, masing-masing bernilai 20 poin.1

Dengan menyelidiki kriteria desain berkelanjutan yang berlaku dan sejauh mana klien publik saat ini menggunakan LCC, penelitian ini memastikan bahwa alat lokal yang dikembangkan tidak hanya praktis tetapi juga selaras dengan tujuan keberlanjutan nasional.1

Senjata Melawan Ketidakpastian: Analisis Sensitivitas

Setelah model penilaian proyek LCC terintegrasi dikembangkan, langkah krusial selanjutnya adalah menguji ketahanan model tersebut menggunakan teknik deterministik, seperti Analisis Sensitivitas (SA).1

Dalam proses penganggaran dan perkiraan LCC, terdapat banyak variabel yang tidak dapat diketahui secara pasti, seperti tingkat inflasi di masa depan, suku bunga, atau tarif pajak.1 SA adalah studi tentang bagaimana variasi dalam output model dapat diatribusikan pada berbagai sumber variasi, dan bagaimana model bergantung pada informasi yang dimasukkan.1

SA memainkan peran fundamental karena secara sistematis mengubah variabel input—misalnya, mengganti asumsi inflasi dari 5% menjadi 10%—untuk menentukan bagaimana perubahan tersebut memengaruhi kinerja sistem atau dampak lingkungan.1 Dalam konteks publik, SA tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk modeler komputer, tetapi juga sebagai alat komunikasi fungsional. Dengan menunjukkan bagaimana proyek akan bereaksi terhadap skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, seperti lonjakan biaya operasi mendadak, alat ini meningkatkan kredibilitas rekomendasi dan meyakinkan pengambil keputusan bahwa pilihan desain berkelanjutan mereka tetap menawarkan best value for money meskipun di tengah ketidakpastian tinggi.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan di Garis Depan Pembangunan Berkelanjutan

Meskipun prospek pengembangan alat LCC berbiaya rendah ini sangat menjanjikan untuk pembangunan gedung publik di wilayah terbatas, implementasinya menghadapi kritik dan tantangan yang realistis.

Konflik Biaya Awal dan Siklus Politik Jangka Pendek

Konflik yang paling mendasar adalah kesenjangan antara teori LCC dan realitas anggaran. Meskipun LCC secara meyakinkan menunjukkan bahwa penghematan 90–98% biaya operasional jangka panjang membenarkan investasi awal yang lebih tinggi, aset hijau seringkali membawa harga pembelian awal yang jauh di atas alternatif yang kurang berkelanjutan.1

Tantangan ini diperparah oleh kurangnya sumber daya di industri konstruksi negara berkembang untuk berinvestasi dalam perubahan teknologi yang diperlukan untuk menerapkan konsep berkelanjutan.1 Seringkali, para pengambil keputusan publik terperangkap dalam siklus politik jangka pendek, mengutamakan penyelesaian proyek dengan biaya modal awal serendah mungkin, tanpa mengindahkan beban fiskal operasional yang akan diwariskan ke periode kepemimpinan berikutnya.

Opini Ringan: Keterbatasan pendanaan publik di wilayah kurang berkembang bisa jadi memperkecil peluang adopsi alat ini secara cepat. Tanpa mandat politik yang kuat atau insentif fiskal, para pengambil keputusan masih rentan terjebak pada siklus politik jangka pendek, yang secara rasional (dari perspektif anggaran tahunan) mengutamakan biaya awal daripada penghematan 50 tahun ke depan.

Ketergantungan pada Ekosistem Data Lokal

Keberhasilan dan akurasi model LCC yang dikembangkan sangat bergantung pada ketersediaan database lokal yang lengkap dan andal. Alat ini membutuhkan database yang spesifik mengenai spesifikasi material, masa pakai komponen (service-life), dan item biaya signifikan yang berlaku di wilayah tersebut.1

Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa data mengenai pendekatan dan aplikasi LCC yang digunakan di Indonesia, dan seberapa dini data tersebut digunakan dalam tahap penilaian proyek, masih sangat minim.1 Jika data lokal yang diperlukan—misalnya, masa pakai jenis atap tertentu di iklim tropis Papua dibandingkan dengan iklim kering di sebagian Nusa Tenggara—tidak ada atau tidak dapat diandalkan, model LCC tersebut akan menghasilkan hasil yang tidak akurat.

Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi keberhasilan alat ini mungkin bukan terletak pada pengembangan perangkat lunak itu sendiri, tetapi pada pembangunan ekosistem pengumpulan dan standardisasi data material di tingkat regional. Investasi terbesar yang dibutuhkan adalah pada infrastruktur data untuk mendukung model komputasi yang andal, meskipun pengembangan model komputernya sendiri juga harus mengatasi tantangan klasik terkait kompatibilitas perangkat keras dan perangkat lunak di berbagai platform sistem.1

 

Penutup: Pernyataan Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang

Pembangunan gedung berkelanjutan bertujuan untuk mencapai kualitas terpadu (termasuk kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan).1 Analisis ini menyimpulkan bahwa pengenalan alat keputusan berbasis Life-Cycle Costing (LCC) di tingkat penilaian proyek merupakan kunci untuk mendorong pergeseran paradigma dari kepatuhan berbasis daftar periksa menjadi fokus pada hasil berbasis kinerja jangka panjang.1

Dengan mengintegrasikan LCC yang berorientasi lokal dan berbiaya rendah sejak tahap awal penilaian proyek, otoritas lokal di wilayah yang kurang berkembang diberikan kesempatan yang unik untuk mendemonstrasikan best value for money (nilai terbaik untuk uang) dalam mengembangkan infrastruktur publik yang tahan lama dan berkelanjutan.1 Ini adalah peluang untuk memastikan bahwa setiap pengeluaran publik dimaksimalkan untuk manfaat jangka panjang, bukan sekadar solusi biaya terendah jangka pendek.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika kerangka kerja LCC regional, yang didasarkan pada karakteristik lokal dan dirancang untuk pembangunan berkelanjutan dengan pendanaan terbatas, diterapkan pada 50% proyek gedung publik baru di wilayah kurang berkembang, temuan ini bisa mengurangi beban anggaran operasional (termasuk energi, air, dan pemeliharaan) sebesar 18% hingga 28% dari total biaya seumur hidup bangunan tersebut dalam waktu lima tahun sejak operasi penuh, secara efektif mengalihkan dana publik yang berharga kembali ke layanan sosial dan pembangunan prioritas lainnya.

Arah Penelitian Selanjutnya

Mengingat sifat geografis Indonesia yang unik dan kebutuhan akan solusi yang terlokalisasi, keberlanjutan penelitian ini memerlukan fokus lebih lanjut pada tiga bidang utama:

  1. Identifikasi dan standarisasi kriteria fundamental yang harus dipertimbangkan untuk memastikan bahwa pembangunan sesuai dengan praktik berkelanjutan di tingkat regional.
  2. Investigasi mendalam terhadap aspek lingkungan spesifik yang terkait dengan bangunan, seperti penggunaan energi, pemanfaatan material, atau kualitas udara dalam ruangan (yang sangat relevan dengan pilar kesejahteraan sosial).
  3. Pengembangan database regional atau lokal yang komprehensif, yang berisi data siklus hidup yang andal mengenai material umum dan komponen bangunan.1

Upaya kolektif ini akan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur publik di Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan hari ini, tetapi juga menjamin ketahanan lingkungan dan fiskal untuk generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

Lubis, H. A. (2013). The development of sustainable design decision tool for public buildings in Indonesia. Teras Jurnal, 3(1).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan 90% Biaya Operasional Gedung Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 7 Next Last »