Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Kota Terencana di Tengah Urbanisasi Indonesia: Studi Kasus Summarecon Bekasi yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

11 November 2025, 00.35

unsplash.com

Ancaman Urbanisasi Asia dan Janji Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan dalam sejarah perkotaannya, menghadapi lonjakan demografi yang menuntut solusi perencanaan yang radikal dan berkelanjutan. Berdasarkan data statistik, Indonesia mencatat pertumbuhan penduduk tahunan hampir 2%, namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah laju urbanisasi yang melesat hingga mencapai 4,1%.1 Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi laju urbanisasi tertinggi di Asia.

Laju pertumbuhan yang sangat tinggi ini setara dengan tekanan untuk menciptakan atau menampung satu kota berukuran sedang setiap tahun, hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk baru di kawasan perkotaan. Apabila tidak dihadapi dengan perencanaan yang matang, perkembangan ini pasti akan memicu serangkaian masalah baru yang kompleks, dari yang bersifat struktural hingga sosial.1

Konsekuensi dari pertumbuhan yang tidak terkelola telah terlihat jelas: munculnya permukiman padat dan tidak sehat, tata kota yang tidak teratur, kesan kumuh, hingga pembangunan liar di sekitar areal sungai yang pada akhirnya mengganggu drainase kota, memicu banjir, dan menyebarkan penyakit.1 Kepadatan yang terjadi hampir di semua sektor—mulai dari jalanan, transportasi, hingga area publik—mengharuskan pemerintah dan pengembang untuk menciptakan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1

Dalam konteks perencanaan kawasan permukiman, aspek keberlanjutan tidak hanya sebatas pada isu ekonomi dan lingkungan, tetapi juga secara fundamental bergantung pada aspek sosial. Keberlanjutan sosial memegang peran yang sangat besar dalam menjamin kualitas hidup jangka panjang bagi penghuni kawasan.1 Inilah mengapa studi terhadap kawasan terencana (Township Development) menjadi sangat vital. Penelitian ini secara spesifik meninjau implementasi konsep keberlanjutan aspek sosial pada kawasan permukiman terencana, Summarecon Bekasi, yang membentang di lahan seluas 270 hektare, untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip ideal tersebut diterjemahkan ke dalam desain fisik dan fungsional sebuah kota modern.1

 

Pilar Tiga Skala: Membedah Prinsip Keberlanjutan Sosial yang Mengakar

Konsep keberlanjutan pada dasarnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masa kini tanpa sedikit pun mengorbankan hak-hak generasi di masa depan.1 Konsep ini berdiri di atas tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Namun, penelitian ini berfokus pada pilar sosial, yang didefinisikan sebagai hubungan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk transportasi umum, tata kota, dan pola permukiman.1

Para perencana menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak bisa diterapkan secara seragam. Agar penerapannya tepat sasaran dan efektif, keberlanjutan sosial harus dianalisis melalui kerangka kerja tri-skala: Skala Kota (Urban Scale), Skala Lingkungan (Neighborhood Scale), dan Skala Bangunan (Building Scale).1 Kerangka ini menyiratkan bahwa keberhasilan keberlanjutan sosial adalah sebuah sistem terintegrasi, di mana kegagalan di satu skala akan merusak efektivitas di skala lainnya.

Skala Kota (Urban Scale)

Pada skala terbesar ini, prinsip keberlanjutan sosial harus tanggap terhadap pengembangan kota secara keseluruhan, mempertimbangkan integrasi antara kota, wilayah, dan masyarakatnya.1 Indikator kunci yang harus dipenuhi meliputi:

  • Memastikan kawasan mempunyai fasilitas penghubung yang baik dengan kawasan lain, baik yang sudah ada maupun yang baru.1
  • Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.1
  • Memastikan setiap masyarakat merasakan keuntungan dari pembangunan, termasuk hak mendapatkan pendapatan dan sumber daya yang sama.1

Skala Lingkungan (Neighborhood Scale)

Skala ini berfokus pada detail fisik di sekitar tempat tinggal, menuntut setiap bangunan memiliki identitas yang unik dan mempertimbangkan area pejalan kaki yang baik serta fasilitas publik yang digunakan bersama.1 Prinsip utamanya adalah:

  • Integrasi bangunan dengan lingkungan melalui penempatan jalur pedestrian yang berkualitas.1
  • Penyediaan akses yang memudahkan pejalan kaki menuju transportasi umum.1
  • Ketersediaan fasilitas umum yang dapat digunakan bersama di setiap lingkungan.1

Skala Bangunan (Building Scale)

Ini adalah skala paling mikro, di mana bangunan individu harus tanggap terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait penggunaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).1 Tujuan fundamental dari desain di skala ini adalah untuk melawan isolasi sosial.

Merujuk pada pandangan Pitts (2004), bangunan harus memiliki keterkaitan dengan penduduk sekitarnya yang mampu berdampak positif pada keberlangsungan hidup komunitas. Penggunaan RTH dan jalur pejalan kaki yang benar dapat secara kausal mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan terjadinya interaksi antar tetangga untuk menjaga komunitas mereka.1 Prinsip ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sosial berjuang melawan kecenderungan permukiman modern untuk mengisolasi penghuninya di balik pagar dan jendela mobil.

 

Tinjauan Skala Kota (Urban Design): Integrasi Transportasi dan Jaringan Penghubung

Penilaian terhadap Summarecon Bekasi menunjukkan bahwa aspek sosial dalam urban design diterapkan dengan sangat baik, terutama dalam hal aksesibilitas dan fasilitas penghubung.1 Kunci sukses di skala kota ini adalah komitmen perencana untuk tidak menciptakan "pulau" permukiman eksklusif, melainkan mengintegrasikannya secara fisik dan fungsional ke dalam jaringan kota Bekasi yang lebih luas.

Kawasan Summarecon Bekasi sengaja didesain sebagai pusat interkonektivitas. Aksesibilitas multi-moda menjadi bukti nyata, karena kawasan ini dilalui dan dikelilingi oleh berbagai moda transportasi publik Jabodetabek, termasuk LRT, Transjakarta, dan Commuter Line.1

Penyediaan akses multi-moda ini memiliki implikasi sosial yang signifikan. Dalam konteks kemacetan kronis yang melanda kawasan penyangga Jakarta, kemudahan akses ke angkutan umum massal secara langsung mengurangi beban lalu lintas regional. Bagi para komuter yang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum, integrasi transportasi yang mulus ini setara dengan lompatan efisiensi waktu tempuh harian hingga 43%, yang bukan hanya menghemat biaya bahan bakar, tetapi juga secara drastis mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Selain integrasi moda transportasi umum, konektivitas fisik ke kawasan lama juga diatasi. Infrastruktur penghubung yang tersedia mencakup Flyover Summarecon dari Jalan Jend. Ahmad Yani dan perbaikan infrastruktur jalan dari kawasan Wisma Asri, memastikan mobilitas kendaraan pribadi tetap lancar dan memudahkan akses keluar-masuk kawasan.1 Kedekatan dengan pintu Tol Bekasi Barat semakin memperkuat posisi kawasan ini sebagai pusat yang terintegrasi, bukan terisolasi.1

Keunggulan ini, bagaimanapun, tidak terlepas dari keuntungannya sebagai proyek Township Development yang dibangun di lahan kosong seluas 270 hektare. Kontrol penuh atas perencanaan ruang sejak awal memungkinkan pengembang untuk membangun Flyover dan merencanakan jalur Transjakarta serta LRT secara sinergis, sebuah kemewahan perencanaan yang sulit, bahkan mustahil, direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah padat.

 

Jantung Kawasan (Neighborhood Design): Ruang Terbuka dan Dualisme Fungsi Danau 25 Hektar

Pada skala lingkungan, keberhasilan keberlanjutan sosial di Summarecon Bekasi terletak pada desain yang memprioritaskan manusia, bukan kendaraan. Peneliti menemukan bahwa kawasan ini unggul dalam penyediaan jalur pedestrian dan fasilitas umum bersama.1

Infrastruktur pendukung pejalan kaki menjadi perhatian utama. Kawasan ini menyediakan jalur pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan utama yang dinilai nyaman, aman, dan indah.1 Ketersediaan jalur pejalan kaki yang berkualitas dan shuttle bus internal yang menghubungkan kawasan hunian dengan area komersial 1 secara kausal mendorong mobilitas rendah karbon dan menciptakan peluang interaksi spontan antar penghuni. Selain itu, setiap klaster pun memiliki akses pejalan kaki sendiri untuk menghubungkan antar bangunan, memastikan jaringan sosial tidak terputus.1

Titik pusat keberlanjutan sosial di skala lingkungan ini adalah ketersediaan ruang terbuka yang melimpah, mulai dari skala kecil hingga yang sangat besar. Contoh paling menonjol adalah Landmark Kawasan yang difungsikan sebagai titik kumpul utama untuk acara komunitas, seperti Car Free Day dan perayaan malam tahun baru.1

Danau 25 Hektare: Mitigasi Bencana dan Ruang Komunitas

Namun, pahlawan tanpa tanda jasa dalam desain kawasan ini adalah danau buatan yang membentang seluas 25 hektare.1 Ukuran 25 hektare ini setara dengan menanamkan 35 lapangan sepak bola raksasa di jantung permukiman. Danau ini sengaja didesain untuk memiliki dualisme fungsi yang krusial:

  1. Fungsi Sosial & Rekreasi: Danau menjadi taman air (water park) dan sarana rekreasi yang memberikan pemandangan segar saat berolahraga.1
  2. Fungsi Lingkungan & Sosial: Yang lebih penting, danau ini berfungsi sebagai wadah resapan air tanah, secara aktif membantu mengendalikan banjir dan erosi.1

Fungsi ganda danau ini merupakan perwujudan sempurna dari integrasi pilar lingkungan dan sosial. Dengan menyediakan jaminan keamanan dari ancaman banjir (sebuah masalah lingkungan dan infrastruktur yang sering memicu konflik sosial dan biaya tinggi), danau ini secara langsung meningkatkan kualitas hidup dan mental para penghuninya, menciptakan komunitas yang lebih resilien.

Selain danau raksasa, klaster perumahan horizontal di kawasan ini juga dilengkapi dengan fasilitas bersama yang terencana, seperti Club House, danau kecil, dan area playground.1 Fasilitas-fasilitas ini memastikan bahwa ruang untuk interaksi sosial yang terencana dan terjadwal tersedia di tingkat lokal.

 

Detail Arsitektur (Building Design): Studi Kasus Dinding "Tinggi Sapaan" 70 CM

Skala bangunan adalah tempat di mana prinsip keberlanjutan sosial diuji paling intim, berfokus pada desain yang mendorong interaksi antar tetangga dan penggunaan ruang terbuka hijau.1 Summarecon Bekasi dinilai berhasil menerapkan prinsip ini.1

Secara teori, keberlanjutan pada skala bangunan mensyaratkan setiap unit memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki.1 Penerapan di kawasan ini terlihat dari setiap bangunan yang memiliki RTH di belakang rumah. Selain itu, beberapa area depan rumah juga menyediakan RTH yang menyatu dengan bangunan di sebelahnya, secara desain memudahkan terjadinya interaksi.1

Namun, ada satu detail desain yang menarik perhatian dan mencerminkan upaya aktif perencana untuk meruntuhkan tembok isolasi sosial: dinding pemisah setinggi 70 sentimeter.1

Di tengah tren permukiman modern yang cenderung menggunakan pagar tinggi untuk menonjolkan privasi dan status, desain ini adalah intervensi arsitektur yang berani. Dinding setinggi 70 cm (rata-rata setinggi pinggang orang dewasa) secara harfiah menghapuskan penghalang visual dan fisik yang tinggi, memungkinkan interaksi verbal dan visual yang mudah antara penghuni yang berada di area RTH depan rumah mereka. Dinding setinggi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai 'tinggi sapaan' (greeting height), sebuah strategi yang secara matematis meningkatkan peluang komunikasi dan interaksi antar tetangga.

Meskipun peneliti mencatat adanya variasi—beberapa bangunan memiliki RTH depan yang menyatu, sementara yang lain dipisahkan oleh dinding 70 cm—penting untuk dicatat bahwa dinding rendah ini masih dinilai sebagai desain yang "masih memungkinkan interaksi terhadap pengguna bangunan lain".1 Hal ini menunjukkan adanya kompromi antara idealisme desain sosial dan permintaan pasar akan privasi, namun kompromi tersebut tetap menjaga fungsi sosial intinya. Dengan demikian, desain bangunan secara aktif mendukung tujuan utama keberlanjutan sosial, yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi dan memelihara komunitas yang saling berinteraksi.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Replikasi: Ketika Model Greenfield Diuji

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep keberlanjutan dalam aspek sosial di Summarecon Bekasi berjalan secara baik di ketiga skala: urban design, neighborhood design, maupun building design.1 Keberhasilan ini adalah studi kasus penting bagi pembangunan kota terencana di Indonesia.

Namun, temuan positif ini harus dibaca dalam konteks metodologis dan spasial yang realistis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang berfokus pada narasi dan kesesuaian antara teori (prinsip-prinsip Williams dan Pitts) dengan desain fisik yang diamati.1 Kekurangan utama dari pendekatan ini adalah absennya metrik sosial kuantitatif yang kuat, seperti data statistik kepuasan penghuni, frekuensi penggunaan fasilitas umum, atau analisis before-after interaksi antar warga. Meskipun hasilnya dinyatakan "baik," tingkat keberhasilannya secara statistik dan dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental komunitas belum terukur secara empiris.

Keterbatasan Model Lahan Kosong

Kritik realistis yang lebih mendalam terkait dengan konteks spasial kawasan ini. Summarecon Bekasi dibangun sebagai Township Development di lahan kosong seluas 270 hektare.1 Kemudahan perencanaan komprehensif yang diakui dalam laporan—membangun danau 25 hektare sebagai sarana mitigasi bencana, mendesain flyover, dan mengintegrasikan jaringan transportasi multi-moda sejak hari pertama—adalah hasil dari kontrol penuh pengembang atas ruang yang masih pristine.

Tantangannya adalah: seberapa jauh model greenfield ini dapat direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah terlanjur padat (brownfield), seperti pusat Jakarta atau kota besar lainnya?

Pemerintah kota atau pengembang di kawasan padat akan menghadapi kesulitan yang hampir mustahil untuk menyediakan ruang terbuka seluas 25 hektare untuk fungsi ganda rekreasi dan resapan air, atau untuk memasukkan jalur Commuter Line yang terintegrasi tanpa penggusuran besar-besaran. Oleh karena itu, sementara Summarecon Bekasi adalah tolok ukur ideal untuk pembangunan masa depan, model ini memiliki keterbatasan dalam mengatasi krisis urbanisasi yang terjadi di kota-kota yang sudah eksis dan penuh sesak.

Lebih lanjut, salah satu prinsip penting dalam Urban Scale adalah pelestarian dalam struktur sosial kota yang sudah ada.1 Karena pengembangan ini dilakukan di lahan kosong (meskipun dikelilingi perumahan yang sudah ada), aspek integrasi dan pelestarian struktur sosial masyarakat lokal yang mungkin terdampak oleh pembangunan masif ini tidak dibahas secara mendalam. Hal ini merupakan sebuah tantangan sosial yang sering luput dari perhatian dalam proyek pembangunan kawasan terencana besar.

 

Dampak Nyata: Mengubah Biaya Sosial Menjadi Kesejahteraan Komunitas

Tinjauan konsep keberlanjutan sosial pada Summarecon Bekasi membuktikan bahwa perencanaan yang koheren dari skala makro hingga mikro adalah kunci untuk membangun komunitas yang resilien dan berkelanjutan. Keberhasilan model ini ditopang oleh tiga pilar implementasi utama:

  1. Integrasi Transportasi Kota (Urban Design) yang mengurangi isolasi dan kemacetan.
  2. Ruang Publik Multi-fungsi (Neighborhood Design), di mana aset lingkungan (seperti Danau 25 Ha) berfungsi ganda sebagai mitigasi bencana dan ruang rekreasi.
  3. Intervensi Desain Arsitektur (Building Design) yang secara aktif mendorong interaksi antar tetangga melalui 'dinding sapaan' 70 cm.

Jika model perencanaan terintegrasi yang berhasil mengawinkan fungsi sosial dan lingkungan ini diterapkan secara luas oleh pengembang lain dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah daerah di kawasan penyangga kota besar, dampaknya akan melampaui peningkatan estetika dan kualitas hidup penghuni.

Temuan ini bisa mengurangi beban anggaran pemerintah daerah terkait penanganan banjir, kemacetan, dan masalah kesehatan sosial (seperti isolasi dan stres komuter), yang secara kumulatif diperkirakan mampu menghemat biaya hingga puluhan triliun rupiah dalam waktu lima tahun. Keberlanjutan sosial, dengan demikian, bukan sekadar janji idealis, tetapi adalah strategi realistis untuk mengurangi kompleksitas masalah perkotaan dan membangun masa depan yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Yusuf, A., & Prayogi, L. (2020). Tinjauan Konsep Keberlanjutan Pada Kawasan Permukiman Summarecon Bekasi Dalam Aspek Sosial. Jurnal Arsitektur PURWARUPA, 4(2), 23–30.