Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konflik Lahan Rebana Indramayu – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

11 November 2025, 00.40

unsplash.com

Krisis Identitas Indramayu: Taruhan Industrialisasi di Lumbung Padi

Percepatan pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat memasuki babak krusial. Melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021, pemerintah menginisiasi pengembangan besar-besaran di kawasan Rebana, yang berfokus pada industrialisasi pedesaan. Kabupaten Indramayu menjadi salah satu wilayah yang paling disoroti dalam rencana ambisius ini.1

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk membangun daya saing regional, meningkatkan perekonomian, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui suntikan investasi industri.1 Namun, para perencana wilayah dan peneliti menyadari bahwa proses industrialisasi cepat ini merupakan sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran; di sisi lain, ia menuntut eksploitasi sumber daya dan perubahan struktural radikal yang akan memicu gejolak sosial dan lingkungan.1

Dilema Urbanisasi dan Ancaman Budaya Agraris

Dampak yang paling dikhawatirkan dari industrialisasi adalah munculnya urbanisasi yang masif. Urbanisasi ini berkaitan erat dengan aspek migrasi tenaga kerja, penggunaan lahan yang tak terkendali, dan tekanan besar pada lingkungan alam.1

Fenomena ini, jika tidak diantisipasi, dapat melahirkan sejumlah masalah yang sudah familiar di negara-negara berkembang, termasuk kemunculan permukiman kumuh (slum settlement) akibat migrasi tenaga kerja yang tak terencana, hilangnya budaya pertanian, dan yang paling kritis, alih fungsi lahan pertanian produktif.1 Kegagalan perencanaan dapat berujung pada resesi industri lokal, depopulasi perdesaan yang tak terkelola, dan permasalahan keamanan pangan.1

Mengapa risiko ini sangat nyata di Indramayu? Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali yang menjadi fokus pembangunan bertampalan langsung dengan lahan pertanian produktif.1 Fakta mengejutkan bagi para peneliti adalah bahwa salah satu kecamatan yang beririsan langsung dengan kawasan industri ini, yaitu Kecamatan Gantar, merupakan penghasil padi nomor satu di Kabupaten Indramayu, sebuah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan Jawa Barat.1

Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji penataan permukiman perdesaan berkelanjutan—sebuah proses yang belum pernah dilakukan sebelumnya di Indramayu—menjadi upaya mitigasi yang sangat mendesak. Keberhasilan pembangunan Rebana tidak hanya diukur dari investasi yang masuk, tetapi dari kemampuan pemerintah menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian ekologi dan ketahanan pangan.1

 

Memetakan Potensi: Solusi Spasial Menghadapi Ledakan Populasi

Untuk mengatasi potensi kekacauan spasial, para peneliti menggunakan pendekatan spasial yang ketat, mengadopsi metode deskriptif kuantitatif. Penelitian ini berfungsi seperti pemindai cerdas yang memetakan kemampuan lahan melalui teknik overlay (superimpose), pembobotan, dan penskoran terhadap data fisik dasar.1 Tujuannya adalah mencari "lahan emas"—lokasi yang secara fisik paling layak untuk permukiman, sekaligus menghindari kawasan lindung dan rawan bencana.

Penemuan Lahan yang Sangat Mampu Kembang (Land Capability)

Tahap awal analisis adalah mengidentifikasi Satuan Kemampuan Lahan (SKL). Hasilnya memberikan optimisme luar biasa. Tingkat dominasi kemampuan lahan di KPI Cipali berada di kategori pengembangan A—tingkat kesesuaian fisik tertinggi untuk pembangunan permukiman.1

Secara kuantitatif, luasan lahan yang secara fisik berkategori kemampuan pengembangan A tercatat seluas 247.38 kilometer persegi.1 Luasan yang masif ini, yang setara dengan lebih dari 24.700 hektar, menunjukkan bahwa secara fundamental, kawasan KPI Cipali memiliki fondasi fisik yang sangat kokoh dan luas untuk pengembangan. Angka ini membantah asumsi bahwa seluruh lahan hanyalah sawah yang sulit dikembangkan, melainkan terdapat area yang siap secara topografi, stabilitas lereng, dan drainase untuk menopang struktur permanen.1

Filterisasi Lahan Potensial: Mengeliminasi Risiko

Meskipun fondasi fisik yang sangat mampu kembang mencapai hampir 250 kilometer persegi, pengembangan permukiman berkelanjutan menuntut kriteria yang lebih ketat. Lahan harus dievaluasi berdasarkan kesesuaian lahan (termasuk aksesibilitas, jarak ke fasilitas umum, kebencanaan) dan daya dukung lingkungan (air dan pangan).1

Setelah proses filterisasi yang ketat ini—yang dikenal sebagai analisis lahan potensial—luas lahan yang benar-benar optimal dan potensial untuk dikembangkan menjadi permukiman turun secara signifikan, namun tetap luas: 147.00 kilometer persegi.1

Proses eliminasi dari 247.38 kilometer persegi menjadi 147.00 kilometer persegi adalah inti dari perencanaan spasial yang efisien. Ini berarti sekitar 100 kilometer persegi lahan tereliminasi karena limitasi lingkungan, rawan bencana, atau ketidaksesuaian kriteria teknis lainnya. Tanpa penelitian ini, pemerintah berisiko mengembangkan infrastruktur di area non-potensial, yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya, biaya konstruksi yang mahal, dan kerentanan terhadap risiko lingkungan.1 Lahan potensial seluas 14.700 hektar ini merupakan lahan yang secara holistik paling optimal untuk pengembangan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

 

Mengukur Kekuatan Daya Tampung: Jaminan Hunian Hingga 2041

Penemuan lahan potensial yang luas ini selanjutnya digunakan untuk menghitung daya tampung (carrying capacity) permukiman. Perhitungan ini sangat krusial karena ia menjamin bahwa migrasi tenaga kerja yang ditarik oleh kegiatan industri dapat diakomodasi dalam lingkungan yang layak, sehingga mencegah kemunculan permukiman kumuh.1

Kapasitas Maksimum dan Kepastian Jangka Panjang

Berdasarkan analisis lahan potensial total 147.00 kilometer persegi, dengan asumsi alokasi 50% untuk perumahan (sesuai pedoman Permen PU No.20 Tahun 2007) dan satu rumah menampung empat anggota keluarga, ditemukan bahwa seluruh wilayah perdesaan di KPI Cipali mampu menampung total 69.757 unit rumah.1

Kapasitas ini setara dengan daya tampung populasi hingga 279.028 jiwa penduduk.1 Ini merupakan penemuan yang sangat melegakan bagi perencana wilayah. Analisis proyeksi penduduk menggunakan metode eksponensial menunjukkan bahwa kapasitas lahan ini jauh melampaui kebutuhan, dan secara keseluruhan mampu menampung jumlah penduduk yang diantisipasi di wilayah tersebut hingga tahun 2041.1

Dengan demikian, Indramayu memiliki jaminan perencanaan yang kokoh; ancaman permukiman kumuh yang tak terkendali dapat dihindari melalui perencanaan spasial yang strategis ini.

Arahan Pengembangan Prioritas: Fokus pada Kategori Sangat Tinggi

Untuk memastikan pembangunan yang paling efisien, para peneliti mengarahkan fokus pengembangan pada kategori lahan potensial Sangat Tinggi.1 Area prioritas ini mencakup total luasan 52.92 kilometer persegi, yang merupakan kawasan yang paling stabil, paling aksesibel, dan paling minim risiko.1

Di area prioritas seluas 5.292 hektar ini, lahan perumahan yang tersedia mampu mengakomodasi:

  • Total 25.114 unit rumah.
  • Kapasitas populasi sebesar 100.457 jiwa.1

Studi ini juga memperhitungkan struktur sosial ekonomi penduduk dengan menerapkan prinsip hunian berimbang 3:2:1 (sederhana, menengah, mewah).1 Di lahan prioritas ini, alokasi unit rumah yang paling banyak adalah untuk tipe sederhana, mencapai 14.701 unit. Alokasi ini sangat penting untuk memastikan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi tenaga kerja industri dengan berbagai tingkat pendapatan, mempromosikan inklusivitas sosial dalam penataan ruang.1

Cikawung sebagai Episentrum Pertumbuhan

Di antara tujuh desa yang diteliti, Desa Cikawung menonjol sebagai desa yang paling potensial untuk dikembangkan. Cikawung memiliki luasan terbesar yang beririsan dengan KPI Cipali.1

Dalam area prioritas pengembangan lahan Sangat Tinggi (52.92 kilometer persegi), Desa Cikawung mendominasi dengan daya tampung rumah paling banyak, berjumlah 11.491 unit, yang setara dengan daya tampung 45.963 jiwa penduduk.1 Angka ini hampir mencapai separuh dari total daya tampung seluruh area prioritas. Penemuan ini secara jelas menunjukkan di mana fokus implementasi kebijakan dan investasi infrastruktur harus diarahkan untuk memaksimalkan dampak pembangunan.1

 

Cerita di Balik Data: Keseimbangan Pangan dan Air yang Mengejutkan

Analisis kuantitatif tidak hanya mengungkap di mana harus membangun, tetapi juga menyoroti kerentanan tersembunyi yang dapat menghambat keberlanjutan. Hasil penelitian terhadap daya dukung lingkungan mengungkapkan adanya konflik antara kekuatan pangan dan kerentanan air.

Ancaman Tersembunyi pada Sumber Daya Air

Sementara wilayah studi disimpulkan memiliki daya dukung air yang "cukup" secara umum untuk pengembangan permukiman, pemetaan spasial yang lebih detail menceritakan kisah yang lebih mengkhawatirkan.1

Analisis daya dukung air menunjukkan bahwa area dengan kategori "melampaui" (yaitu, wilayah yang sudah mengalami tekanan air) mendominasi dengan luasan 148.26 kilometer persegi.1 Ini lebih luas daripada area yang "belum melampaui" (121.33 kilometer persegi). Mayoritas lahan di kawasan studi sudah menunjukkan tanda-tanda tekanan air, kemungkinan besar akibat kebutuhan irigasi pertanian yang intensif dan konsumsi domestik eksisting.

Hal ini menjadi perhatian serius. Penambahan populasi baru hingga ratusan ribu jiwa dan kebutuhan air industri yang besar akan memperparah ketidakseimbangan ini.1 Keberhasilan proyek pembangunan Indramayu hingga tahun 2041 tidak hanya bergantung pada seberapa banyak rumah yang bisa dibangun (69.757 unit), tetapi pada seberapa baik pemerintah mengelola tekanan air di area seluas 148 kilometer persegi yang sudah terlampaui tersebut. Pengelolaan sumber air baku yang bijak dan terintegrasi harus segera menjadi prioritas untuk menopang segala aktivitas masyarakat dan industri.1

Fondasi Pangan sebagai Pilar Keberlanjutan

Berlawanan dengan daya dukung air, daya dukung pangan kawasan ini menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kategori "belum melampaui" (sustainable) mendominasi hampir seluruh kawasan dengan luas 269.40 kilometer persegi.1 Angka ini mengindikasikan bahwa KPI Cipali memiliki kapabilitas tanah, iklim, dan teknologi yang optimal untuk pertanian pangan, memperkuat posisinya sebagai lumbung padi tertinggi di Jawa Barat.1

Kekuatan daya dukung pangan ini adalah modal utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Konsekuensinya, pembangunan permukiman perdesaan berkelanjutan harus beriringan dengan kebijakan perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).1 Menjaga eksistensi sektor pertanian di Kecamatan Gantar dan Terisi adalah prasyarat mutlak untuk menyeimbangkan ekonomi, budaya, dan lingkungan di tengah gempuran industrialisasi.1

 

Opini dan Kritik Realistis: Batasan Peta dan Perlindungan Lumbung Padi

Penelitian spasial ini telah memberikan blueprint yang sangat berharga dan akurat mengenai potensi lahan.1 Namun, seperti halnya setiap studi teknis, terdapat batasan dan kritik realistis yang perlu dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan.

Kritik Metodologis dan Kerentanan Lahan Pertanian

Pendekatan kuantitatif deskriptif dan overlay yang digunakan, meskipun memberikan kejelasan luar biasa mengenai where to build, cenderung terbatas dalam menilai aspek keberlanjutan secara holistik. Keberlanjutan sejati tidak hanya bergantung pada kemampuan fisik lahan ($147.00\text{ km}^2$ lahan potensial), tetapi juga pada faktor non-fisik seperti ketahanan sosial, pelestarian budaya lokal, dan kualitas interaksi komunitas yang dipengaruhi oleh struktur perumahan.1 Perlu ada tindak lanjut studi yang memasukkan analisis kualitatif mendalam tentang aspek sosiologis.

Selain itu, kriteria penentuan lokasi permukiman menyertakan pedoman untuk menghindari sawah irigasi teknis.1 Kritik realistis muncul di sini: jika perlindungan hanya terfokus pada sawah "teknis," hal ini berpotensi membuka celah bagi konversi lahan sawah tadah hujan yang juga produktif (terutama di wilayah selatan).1 Mengingat peran vital Indramayu sebagai lumbung pangan, perlindungan KP2B harus diperkuat dan diperluas untuk mengamankan seluruh lahan pertanian produktif. Pembangunan harus sangat selektif dan membatasi ekspansi permukiman di kawasan pertanian yang masih vital.1

Mengelola Eksternalitas Negatif Industri

Integrasi permukiman dengan kawasan industri memang membantu penduduk mencari pekerjaan di dekat tempat tinggal.1 Namun, jika jaraknya terlalu dekat, manfaat ekonomi akan tergerus oleh biaya kesehatan dan lingkungan yang timbul dari eksternalitas negatif industri, seperti limbah cair, polusi suara, dan risiko banjir.1

Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya regulasi jarak. Dampak negatif industri terbukti paling parah terjadi dalam radius 0–500 meter, namun risiko masih terasa hingga radius 1.500–2.000 meter.1 Oleh karena itu, blueprint Arahan Pengembangan Permukiman harus diperkuat dengan regulasi jarak absolut yang mengikat, mencontoh kementerian perindustrian.1

Kluster padat populasi yang diidentifikasi, seperti Desa Cikawung dengan potensi 45.963 jiwa, harus ditempatkan secara strategis di luar radius risiko 2.000 meter dari pusat-pusat industri.1 Kegagalan dalam menegakkan regulasi jarak ini dapat menyebabkan kawasan yang direncanakan secara spasial (rapi di peta) berakhir menjadi kawasan yang secara lingkungan dan sosial "kumuh" karena terdampak polusi industri yang tak terkelola.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Pilihan Kebijakan Lima Tahun ke Depan

Hasil penelitian ini menyajikan temuan yang jelas: wilayah perdesaan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu memiliki potensi lahan yang sangat tinggi, dengan 147.00 kilometer persegi lahan potensial.1 Potensi ini mampu menampung 279.028 jiwa dan menjamin kebutuhan hunian hingga tahun 2041.1

Namun, potensi spasial yang luar biasa ini hanya akan terwujud menjadi pembangunan berkelanjutan melalui tindakan kebijakan yang cepat dan tegas. Rekomendasi mendesak ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Indramayu: segera menyusun dokumen kebijakan penataan ruang dan regulasi teknis untuk penataan permukiman berkelanjutan.1

Dampak Nyata dalam Waktu Lima Tahun

Jika rekomendasi ini diimplementasikan secara tegas dan dijadikan Rencana Strategis Pembangunan Daerah (RSPP) dalam kurun waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan sangat transformatif bagi Indramayu:

  1. Mitigasi Slum dan Kapasitas Hunian Terjamin: Implementasi regulasi teknis di lahan prioritas (52.92 kilometer persegi) akan memangkas risiko penyebaran permukiman kumuh akibat urbanisasi tak terencana hingga 70%. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah akan memiliki perangkat untuk mengalokasikan unit rumah sebanyak 25.114 unit di lahan prioritas yang layak huni, menyediakan hunian yang terencana dan terlindungi bagi lebih dari 100.000 jiwa.1
  2. Keamanan Lahan Pangan yang Terjaga: Pengesahan regulasi yang secara eksplisit memperkuat perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) akan mengamankan eksistensi sektor pertanian yang selama ini menjadi identitas Indramayu.1 Dalam lima tahun, hal ini dapat mempertahankan tingkat produksi pangan di Kecamatan Gantar dan Terisi, menciptakan model pembangunan yang benar-benar simbiotik: industri tumbuh pesat, sementara lumbung padi tetap produktif dan terjaga.
  3. Kepastian Investasi dan Kesejahteraan: Penataan ruang yang jelas akan memberikan kepastian hukum bagi investor perumahan untuk membangun hunian berimbang (3:2:1), sekaligus memastikan masyarakat lokal dan pendatang mendapatkan kesejahteraan melalui permukiman yang terintegrasi dan terlindungi dari dampak lingkungan negatif industri.1

Jika pemerintah bertindak sekarang, Indramayu dapat menjadi contoh nasional tentang bagaimana industrialisasi dapat dikelola secara spasial tanpa mengorbankan budaya agraris dan ketahanan pangan. Kawasan Peruntukan Industri Cipali siap dikembangkan, namun pengelolaannya harus didasarkan pada peta jalan keberlanjutan yang telah disajikan para peneliti ini.

 

Sumber Artikel:

Rosa Saefi Yusuf Albanah, Lailannur Fahradiza Hasiani Harahap, Valentino Sarapang Batara (September 2022) Analisis Pengembangan Lahan Permukiman Perdesaan Berkelanjutan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu, (7) 09, Doi 10.36418/syntax-literate.v7i9.11718