Pertanian
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Ubi kayu, atau disebut juga singkong, kaspe, ketela pohon, ubi sampa atau ubi prancis (Manihot esculenta, sinonim: Manihot utilissima), adalah perdu tropis dan subtropis tahunan dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Deskripsi
Perdu bisa mencapai hingga 7 meter dengan cabang agak jarang. Singkong memiliki akar tunggang dengan sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan. Ukuran umbi rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm, tergantung dari klon/kultivar. Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.
Umbi dari ubi kayu merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, tetapi sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionina.
Sejarah dan pengaruh ekonomi
Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay, sejak kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun ada banyak spesies Manihot yang liar, semua kultivar M. esculenta dapat dibudidayakan. Walaupun demikian, bukti-bukti arkeologis budidaya singkong justru banyak ditemukan di kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.
Produksi singkong dunia, diperkirakan mencapai 192 juta ton pada tahun 2004. Nigeria menempati urutan pertama dengan 52,4 juta ton, disusul Brasil dengan 25,4 juta ton. Indonesia menempati posisi ketiga dengan 24,1 juta ton, diikuti Thailand dengan 21,9 juta ton (FAO, 2004) Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.
Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. “Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu sering kali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,” tulis Haryono.
Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan memercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.
Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. “Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu,” tulisnya, sebagaimana dikutip Creutzberg dan van Laanen. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.
Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi-padian dan jagung.
Hindia Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Di Jawa banyak sekali didirikan pabrik-pabrik pengolahan singkong untuk dijadikan tepung tapioka. Seperti dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928 tercatat 21,9% produksi tapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7% ke Inggris, 8,4% ke Jepang, lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya tepung olahan singkong tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet, industri tekstil dan furniture.
Sampai dan Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Portugis "castilla" (dibaca "kastiya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).
Pengolahan
Umbi singkong dapat dimakan mentah. Kandungan utamanya adalah pati dengan sedikit glukosa sehingga rasanya sedikit manis. Pada keadaan tertentu, terutama bila teroksidasi, akan terbentuk glukosida racun yang selanjutnya membentuk asam sianida (HCN). Sianida ini akan memberikan rasa pahit. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Proses pemasakan dapat secara efektif menurunkan kadar racun.
Dari pati umbi ini dibuat tepung tapioka (kanji).
Penggunaan
Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, cocok untuk pengidap alergi gluten.
Kadar gizi
Kandungan gizi singkong per 100 gram meliputi:
Sedangkan daun singkong yang banyak dijadikan sayuran pada masakan Sunda dan masakan Padang memiliki nutrisi sebagia berikut:
Nutrisi: Protein, Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, Vitamin C
Satuan: gram, mg, mg, mg, IU, mg
Kadar: 6.8, 165, 54, 2.0, 11000, 275
Varietas tanaman singkong
Tanaman singkong disebut manis atau beracun, tergantung kandungan asam hydrocyanic dalam akarnya, yang umum diakui mengandung kurang dari 50 miligram asam hydrocyanic per kilogram bahan segar. Saat ini tersedia 10 varietas ubi kayu di pasaran. Kesepuluh varietas tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni kelompok varietas ubi kayu untuk pangan dan untuk industri.
Varietas untuk pangan adalah
Sedangkan untuk ubi industri adalah
Varietas untuk pangan mempunyai tekstur umbi yang pulen dengan kadar HCN < 50 miligram per kilogram dan mempunyai rasa tidak pahit. Sedangkan ubi jalar untuk industri mempunyai kadar patin atau kadar bahan kering sekitar 0,6 gram per kilogram
Beberapa varietas unggul singkong yang telah dilepas oleh Kementrian Pertanian antara lain Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 1, Malang 2, Darul Hidayah, Malang 4 maupun Malang 6.
Etimologi
Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata "castilla" (dibaca "kastilya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).
Dalam bahasa lokal, bahasa Jawa menyebutnya Telo, bahasa Sangihe bungkahe, bahasa Tolitoli dan Gorontalo kasubi, dan bahasa Sunda sampeu. Sementara dalam bahasa Rejang, tanaman ini dikenal sebagai ubai.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Pertanian
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Peternakan ayam pedaging merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Riset BRIN menunjukkan bahwa peternakan ayam menghasilkan produksi protein hewani yang dominan, mencapai 71,35% dari produksi daging nasional. Dari sisi sumber daya yang terlibat, jumlah SDM yang menjadi tenaga kerja dalam industri peternakan ini cukup banyak. Berdasarkan publikasi BPS tahun 2022 Tenaga kerja di Subsektor ini tahun 2021 sebanyak 4.9 juta jiwa, mayoritas hanya memiliki pendidikan dasar.
Berdasarkan data itu industri peternakan ini memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Namun pada kenyataannya, kelompok ini masuk dalam kelompok marginal. Terdapat banyak masalah yang dijumpai di lapangan. Ada persoalan mendasar dalam sistem industri yang berlaku. Hal itu kelihatan melalui berbagai bentuk ungkapan aspirasi yang dilakukan para petani peternak, menyuarakan masalah yang mereka hadapi.
Dalam beberapa tahun terakhir, peternak ayam mandiri berulang kali menggelar demonstrasi di Indonesia. Petani mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Mereka mencurigai adanya kecurangan dalam peternakan ayam, ayam pedaging, dan ayam petelur. Hal ini tercermin dari selisih harga antara harga yang berlaku di tingkat konsumen dengan harga unggas hidup di tingkat peternak. Sugeng Wahyudi, Sekjen Gabungan Peternak Unggas Nasional (GOPAN), mengumumkan harga pasaran ayam potong mendekati Rp. 40.000 per kilogram. Padahal harga ayam hidup bervariasi hanya sekitar Rp. 21.000/kg.
Sistem industri yang timpang
Pembahasan tentang persoalan ini dapat dilihat dari analisis sistem industrinya. Sistem industri adalah suatu sistem yang dibangun dari beberapa unsur yang saling berhubungan dan terorganisir yang bertujuan untuk menciptakan, memproduksi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sistem ini mencakup berbagai aspek seperti teknologi, manajemen dan sumber daya manusia.
Dalam konteks industri peternakan ayam, elemen-elemen pembentuk sistemnya berkaitan dengan proses bisnis utama budidaya peternakan ayam yaitu mulai dari produksi bibit, pemberian pakan, pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran produk ayam. masing-masing elemen sistem tersebut memiliki saling ketergantungan yang tinggi untuk berjalannya sistem industri secara efektif. Secara ringkas akan digambarkan dalam bagian berikut.
Setiap proses bisnis utama yang juga dikenal dengan panca usaha ini, dapat dijalankan oleh aktor atau pelaku sama atau berbeda. Hanya saya untuk dapat menjalankan keseluruhannya dibutuhkan skala ekonomi yang sesuai. Mayoritas peternak rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan keseluruhannya. Hal itu disebab di antara proses tersebut membutuhkan investasi yang besar serta memerlukan teknologi tinggi dan mahal. Karena itu para peternak mandiri biasanya hanya fokus pada pengelolaan pemeliharaan di kandang.
Di lain pihak perusahaan pemilik modal yang memiliki akses dana kuat mampu menjalankan keseluruhan proses bisnis itu secara integratif. Mulai dari pembibitan, memproduksi pakan berkualitas, penguasaan distribusi obat, pemeliharaan di kandang hingga mengelola pemasaran. Dengan model integratif tersebut maka akan diperoleh efisiensi yang tinggi. Perusahaan memiliki kemampuan untuk mengontrol input hingga output. Mereka mampu mengontrol biaya produksi, sekaligus posisi tawar harga jual yang kuat.
Hidup mati peternak mandiri ditentukan pemain besar
Jika dilihat dari perspektif supply chain dan value chain, kita akan dapat melihat saling ketergantungan antara proses bisnis utama dan aktor pada setiap segment. Namun pihak yang menguasai lebih banyak proses bisnis akan menjadi penentu dalam industri ini, kemudian menjelma menjadi sistem industri yang monopolistik. Sistem industri peternakan ayam di Indonesia menunjukkan bahwa segelintir perusahaan besar memiliki penguasaan sangat dominan pada keseluruhan aktivitas utama. Sehingga perusahaan itu menjadi pengatur berjalannya sistem.
Persoalan utama yang ada saat ini adalah nyaris seluruh peternak rakyat atau peternak mandiri berada pada posisi yang sangat lemah. Mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap supplier yang memasok komponen input seperti bibit, pakan dan obat, pada saat yang sama, juga tidak memiliki posisi tawar dari sisi penjualan, karena pasar dikuasai oleh pemain besar.
Dengan posisi peternak rakyat sedemikian di dalam sistem industri peternakan ayam, maka hidup mati mereka ditentukan oleh pemain besar. Pemain besar dapat menentukan harga bibit, harga pakan dan harga obat, sekaligus menentukan harga jual kepada konsumen. Sering menjadi keluhan peternak mandiri bahwa pada saat harga input naik, tidaklah serta merta diikuti dengan harga jual produksinya. Mereka menghadapi situasi sulit, bahkan sering kali harga penjualan lebih tinggi dari biaya pokok produksi yang telah dikeluarkan.
Perlu intervensi pemerintah
Sistem industri peternakan ayam seperti yang telah dipaparkan ini adalah sistem yang timpang dan tidak adil. Terjadi kondisi monopoli atau oligopoli yang parah, sebagai akibat penguasaan mutlak yang ada pada tangan segelintir perusahaan atas proses bisnis utama. Jika terus dibiarkan, maka peternak rakyat atau peternak mandiri akan terusir dari sistem industri ini. Atau pada akhirnya bersedia hanya sekedar menjadi buruh atau pekerja bagi pengusaha besar, meski dikemas dengan istilah kemitraan, namun tidak sejajar.
Sikap keberpihakan pemerintah mendesak untuk diwujudkan. Bahkan di negara ekonomi liberal seperti Amerika Serikat pun sangat sensitif terhadap issue monopoli. Perusahaan raksasa, seperti Microsoft, Google, Facebook menuai begitu banyak gugatan. Dalam beberapa kasus perusahaan itu telah merasakan tajamnya pisau regulasi anti monopoli seperti Google yang didenda US$270 juta atau setara Rp3,86 triliun, akibat monopoli periklanan tahun 2021 lalu.
Pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk mencegah berlanjutnya praktik monopoli dalam sistem industri ini. Perusahaan besar perlu dibatasi penguasaannya, agar peternak rakyat atau peternak mandiri memiliki posisi tawar, berbekal regulasi yang berpihak pada rakyat. Ada jutaan jiwa yang menggantungkan harapan masa depan dalam industri peternakan ini, sehingga mengaturnya agar berjalan sehat adalah bagian dari kewajiban pemerintah untuk mengatur permainan di industri ini agar berlangsung adil.
Sumber: https://unand.ac.id/
Pertanian
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Profil:
Teknologi Hasil Ternak merupakan akar keilmuan produksi peternakan yang ditopang oleh dua sisi yaitu produksi ternak dan produksi hasil ternak. Program Studi Teknologi Hasil Ternak berperan sebagai pengembangan keilmuan di Departemen IPTP dan sekaligus pelengkap hulu hilir Departemen IPTP.
Pada tahun 2016, Departemen IPTP resmi mengelola 2 program studi, yaitu PS TPT dan PS THT. Penyelenggaraan PS THT ditetapkan melalui Surat Keputusan Rektor Institut Pertanian Bogor Nomor 106/IT3/PP/2016 tentang Pembukaan Program Studi Teknologi Hasil Ternak pada Program Pendidikan Sarjana di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. PS THT telah terakreditasi B dari BAN PT dengan Nomor 3209/SK/BAN-PT/Akred/S/VIII/2019.
Visi:
Menjadi program studi unggulan yang menghasilkan sarjana yang kompeten dalam bidang teknologi hasil peternakan.
Misi:
Tujuan:
Learning Outcomes (LO):
Kompetensi lulusan:
Prospek kerja:
Kurikulum:
Pelaksanaan akademik Program Studi Teknologi Hasil Ternak meliputi proses belajar mengajar menggunakan kurikulum 2014 dan kurikulum 2020. Pada tahun 2020, sesuai dengan arah perkembangan yang dilakukan di tingkat IPB. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB University menyusun dan mengembangkan kurikulum 2020 yang diimplementasikan pada tahun akademik 2020/2021.
Sumber: https://iptp-fapet.ipb.ac.id/
Pertanian
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 17 Februari 2025
Kepala Laboratorium Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwidjono Hadi Darwanto, mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap gandum semakin mengkhawatirkan. Tiap tahun, konsumsi gandum Indonesia terus meningkat, padahal 100 persen kebutuhan gandum dalam negeri berasal dari impor.
Tahun 2021 silam, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gandum Indonesia mencapai 11,17 juta ton dengan nilai impor 3,55 miliar USD atau sekitar Rp 51,45 triliun (kurs= Rp 14.500). Jumlah ini tentu sangat membebani keuangan negara, terlebih harga gandum saat ini semakin tinggi seiring dengan kebijakan 22 negara produsen gandum yang menghentikan ekspornya.
“Sebagai negara yang tingkat konsumsi gandumnya tinggi tapi tidak bisa memproduksi gandum, situasinya sangat mengkhawatirkan,” kata Dwidjono Hadi Darwanto saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Rabu (13/7).
Tak hanya akan membebani keuangan negara, situasi ini juga membuat Indonesia ikut terancam krisis pangan. Mengingat semua mie, roti, bahkan gorengan yang banyak dijual di Indonesia masih bergantung pada bahan baku terigu atau tepung gandum.
Untuk mencegah situasi makin memburuk, Indonesia mesti segera melakukan diversifikasi terigu dengan bahan pangan lokal. Misalnya yang memiliki potensi besar menurut Dwidjono adalah tepung singkong atau mocaf.
Tepung mocaf menurutnya bisa menjadi bahan substitusi terigu dalam pembuatan mie. Memang belum bisa 100 persen memakai bahan mocaf, tapi porsinya bisa mencapai 60 sampai 70 persen.
“Dan itu tidak mempengaruhi rasa, rasanya sama seperti mie dari gandum, begitu juga jika dipakai untuk membuat roti, sama,” ujarnya.
Artinya, negara bisa hemat antara Rp 32 triliun sampai Rp 36 triliun per tahun jika bisa melakukan substitusi 60 sampai 70 persen tepung gandum dengan tepung mocaf.
“Nilai yang fantastis itu, bisa digunakan untuk mendukung pemenuhan bahan lokalnya,” lanjutnya.
Jika tepung mocaf atau singkong masih kurang, masih banyak juga bahan lain yang punya potensi besar. Seperti ubi jalar, talas, sorgum, hingga porang, yang semuanya bisa dijadikan substitusi tepung gandum asalkan diolah dengan benar.
Tapi untuk melakukan diversifikasi, tak bisa hanya mendorong petani menanam singkong, ubi jalar, atau sorgum. Justru yang perlu disiapkan menurutnya adalah pasar dan industrinya. Industri-industri pangan yang saat ini menggunakan bahan baku terigu, mesti didorong untuk mulai mensubstitusi dengan tepung mocaf atau bahan lain yang berasal dari pangan lokal.
Di sisi lain, produk-produk makanan berbahan baku pangan lokal, misalnya mie dan roti dari tepung singkong, mesti lebih intens diperkenalkan ke masyarakat.
“Nanti kalau pasarnya sudah ada, petani pasti mau nanam tanpa disuruh. Tapi kalau tidak ada yang menyerap, mana mau petani nanam,” kata Dwidjono.
Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Achmad Yakub, mengatakan bahwa jika pemerintah berhasil melakukan substitusi tepung gandum, katakanlah 50 persen saja, merupakan capaian yang luar biasa. Artinya akan Rp 26 triliun tambahan uang yang beredar di dalam negeri yang akan sangat membantu pergerakan ekonomi nasional.
Hal ini juga akan membuat dampak positif lain, misalnya mengurangi laju konversi lahan pertanian, sebab jika lahan pertanian produktif maka petani tidak akan menjual lahannya. Industri lokal juga akan bergeliat, misalnya industri pengolahan umbi-umbian menjadi tepung yang bisa dipakai sebagai bahan berbagai jenis makanan. Kemudian industri manufaktur akan tumbuh dan diikuti dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang semakin besar.
“Dampaknya akan berganda banget, tidak hanya Rp 26 triliun, lebih dari itu nanti,” kata Achmad Yakub.
Rencana program diversifikasi pangan ini menurutnya layak untuk didukung. Dengan catatan, tidak sekadar jadi proyek pemerintah yang hanya menguntungkan elit saja, atau sekadar menjadi ajang lip service bagi pemerintah saja.
“Nanti giliran harga gandum turun, pindah ke gandum lagi. Kan percuma, hanya lip service saja,” ujarnya.
Sumber: kumparan.com
Pertanian
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Februari 2025
Mencuatnya isu mengenai industri 4.0 yang mentransformasi industri menjadi berbasis digital mulai merambah ke berbagai bidang. Salah satu bidang yang ikut terdapat adalah bidang pertanian. Indonesia sebagai negara agraris membutuhkan inovasi dalam sektor agrikultur sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Penggunaan teknologi dalam bidang pertanian yang familier disebut agritech atau agricultural technology telah berkembang cukup lama. Namun, iklim usaha yang mulai berbasis pada teknologi informasi membuat perkembangan agritech sedikit berubah. Salah satu contohnya adalah dengan munculnya berbagai jenis agritech yang berbasis pada teknologi informasi (Meydora, 2019).
Terjadinya pandemi Covid-19 yang mengubah gaya beli masyarakat dari daring menjadi luring juga ikut merambah pada bidang pertanian. Beberapa startup dalam bidang pertanian mulai dikembangkan, berikut adalah beberapa contohnya:
Sebenarnya masih banyak start up yang bergerak di bidang pertanian. Hal ini dapat dipelajari untuk membentuk start up lokal di wilayah Kabupaten Cilacap, seperti Lapak Petani Online yang saat ini masih dalam pengembangan. Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah Indonesia, diperkirakan Indonesia akan mengalami peningkatan permintaan produk pertanian pada tahun 2020 sampai 2030 (Ardiansyah, 2017). Maka dari itu diperlukan adanya pengembangan pada bidang pertanian dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas kegiatan pertanian. Startup bisa menjadi penghubung dan solusi bagi petani seperti meningkatkan produktivitas hasil tani maupun meningkatkan penjualan komoditas produk tani dengan memperluas akses pasar bagi produk pertanian dan tak kalah penting untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan bagi para petani.
Pengembangan startup pada bidang pertanian tentu bukan hanya membuka peluang namun juga menemui berbagai tantangan. Kebutuhan pasokan produk pertanian bagi masyarakat Indonesia terbilang cukup besar namun produk hasil pertanian yang dihasilkan terkadang kurang memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri. Tantangan inilah yang dapat dijadikan peluang untuk terus mengembangkan startup sebagai jembatan penghubung antara petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen. Tantangan lain bagi pelaku bisnis startup adalah kualitas produksi produk pertanian yang masih rendah selain itu juga kebutuhan konsumen setiap waktu tidak tetap atau fluktuatif. Harga produk pertanian yang bergantung kepada musim juga dapat menjadi tantangan di masa depan (Ariwibowo, 2018).
Sumber: https://dispertan.cilacapkab.go.id/
Pertanian
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Februari 2025
Kesejahteraan hewan merupakan ukuran kondisi atau kualitas hidup hewan nonmanusia. Konsep ini berhubungan erat dengan etika terhadap hewan. Kesejahteraan hewan mencakup kondisi fisik dan mental hewan, dan sejauh mana sifat alamiahnya terpenuhi.
Penerapan kesejahteraan hewan sering kali didasarkan pada keyakinan bahwa hewan nonmanusia memiliki sensibilitas dan bahwa manusia harus mempertimbangkan kesejahteraan atau penderitaan mereka, terutama ketika mereka berada di bawah kendali manusia. Kondisi-kondisi yang harus dipertimbangkan tersebut misalnya bagaimana hewan pangan disembelih, bagaimana hewan digunakan dalam penelitian ilmiah, bagaimana hewan dipelihara (sebagai hewan kesayangan, di kebun binatang, peternakan, sirkus, dan sebagainya), dan bagaimana aktivitas manusia memengaruhi kesejahteraan dan kelangsungan hidup satwa liar.
Sejarah
Meskipun pandangan dan tulisan mengenai kesejahteraan hewan telah ada sejak lama, tetapi produk hukum modern berupa undang-undang nasional baru ditetapkan pada abad ke-19. Salah satu undang-undang pertama yang melindungi hewan adalah "Undang-Undang Kekejaman terhadap Hewan 1835" di Britania Raya yang kemudian diikuti oleh "Undang-Undang Perlindungan Hewan 1911". Amerika Serikat butuh waktu bertahun-tahun sampai terbit undang-undang nasional untuk melindungi hewan, yakni "Undang-Undang Kesejahteraan Hewan 1966", meskipun sebelumnya telah ada sejumlah negara bagian yang mengesahkan undang-undang anti-kekejaman terhadap hewan antara tahun 1828 dan 1898.
Pada tahun 1965, pemerintah Britania Raya melakukan investigasi mengenai kesejahteraan hewan-hewan yang diternakkan secara intensif. Investigasi yang dipimpin oleh Profesor Roger Brambell ini dilakukan sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang diangkat dalam buku Mesin Hewan karya Ruth Harrison pada tahun 1964. Berdasarkan laporan Brambell, pemerintah Inggris lalu membentuk Komite Penasihat Kesejahteraan Hewan Ternak pada tahun 1967, yang menjadi Dewan Kesejahteraan Hewan Ternak pada tahun 1979. Pedoman pertama yang diterbitkan komite tersebut merekomendasikan bahwa hewan memerlukan kebebasan untuk "berdiri, berbaring, berbalik, merawat diri mereka sendiri, dan meregangkan anggota badan mereka." Pedoman tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep lima kebebasan.
Penilaian
Salah satu model atau pendekatan yang banyak digunakan untuk menilai derajat kesejahteraan hewan adalah lima kebebasan hewan, yaitu:
Pada perkembangan selanjutnya, penilaian kesejahteraan hewan bergeser dari kondisi negatif yang berusaha dihindari menjadi kondisi positif yang perlu dipromosikan. Konsep lima ranah pun dikembangkan guna menilai kesejahteraan hewan untuk keperluan ini, yang meliputi (1) nutrisi, (2) lingkungan, (3) kesehatan, (4) perilaku, dan (5) kondisi mental. Empat ranah pertama berkaitan dengan fisik atau fungsional (ranah kesatu hingga ketiga merupakan faktor yang berhubungan dengan kelangsungan hidup, sedangkan ranah keempat merupakan faktor yang berhubungan dengan situasi yang dialami hewan). Sementara itu, ranah kelima berhubungan dengan pengalaman afektif hewan.
Organisasi
Selain menangani masalah kesehatan hewan, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) juga mengurusi kesejahteraan hewan. Menurut WOAH, kesrawan adalah "keadaan fisik dan mental seekor hewan dalam hubungannya dengan kondisi tempatnya hidup dan mati". Dua standar yang diterbitkan WOAH, yaitu Kode Kesehatan Hewan Terestrial dan Kode Kesehatan Hewan Akuatik berisi bab yang menguraikan pedoman kesrawan pada hewan terestrial (meliputi aktivitas transportasi hewan, penyembelihan hewan, pemusnahan hewan untuk keperluan pengendalian penyakit, penggunaan hewan untuk penelitian dan pendidikan, manajemen populasi anjing, serta sistem produksi pada peternakan) dan pedoman kesrawan pada hewan akuatik yang dibudidayakan (meliputi aktivitas transportasi ikan serta pemingsanan dan pematian ikan).
Beberapa organisasi internasional didirikan untuk mempromosikan kesejahteraan hewan, seperti World Federation for the Protection of Animals (WFPA) yang didirikan pada tahun 1950 dan International Society for the Protection of Animals (ISPA) yang didirikan pada tahun 1959. Kedua organisasi ini bergabung menjadi World Society for the Protection of Animals (WSPA) pada tahun 1981 dan kemudian berubah menjadi World Animal Protection (WAP) pada tahun 2014. Organisasi ini menerbitkan Indeks Perlindungan Hewan pada tahun 2014 dan 2020 yang menilai penerapan kesrawan di 50 negara. Sebanyak lima tema dan 15 indikator digunakan sebagai bahan penilaian. Suatu negara akan mendapatkan nilai dari A (nilai terbaik) hingga G (nilai terburuk).
Sumber: https://id.wikipedia.org/