Mandat BIM: Penelitian Ini Mengungkap Kesenjangan Krusial Kurikulum Arsitektur Indonesia dan Mengapa Lulusan Terancam Tak Kompeten di Era 4.0

Dipublikasikan oleh Hansel

03 Oktober 2025, 13.26

unsplash.com

Perkembangan teknologi bukanlah sekadar tren sampingan; ia adalah sebuah keniscayaan, terutama di era yang kini kita kenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Arsitektur, sebagai salah satu profesi yang bersentuhan langsung dengan inovasi dan pembangunan, menghadapi tantangan transformasi yang mendesak. Sebuah studi eksploratif analitis yang mendalam mencoba memetakan kesiapan pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia dalam menghadapi gelombang digitalisasi ini. Hasilnya cukup mengejutkan: di tengah kewajiban industri untuk menggunakan teknologi canggih seperti Building Information Modelling (BIM), mayoritas lembaga pendidikan arsitektur masih tertinggal jauh.  

Laporan yang diterbitkan dalam JoDA-Journal of Digital Architecture ini menjadi cerminan nyata dari ketegangan yang terjadi antara tuntutan dunia kerja yang serba otomatis dan kurikulum pendidikan yang cenderung bergerak lambat. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi "perluasan otak" (extended brain) bagi arsitek, ternyata masih diperlakukan sebatas "perpanjangan tangan" (extended hand), yaitu hanya sebagai alat gambar teknis biasa.  

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Kerja Arsitektur?

Kepentingan BIM di Indonesia bukan lagi sekadar pilihan, melainkan mandat hukum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan BIM sebagai prasyarat wajib (mandatory tools) dalam mendesain proyek-proyek bangunan negara yang memiliki luas lebih dari 2.000 meter persegi dan tinggi di atas dua lantai. Kebijakan yang tertuang dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018 ini secara efektif menjadikan BIM sebagai pintu gerbang utama untuk proyek infrastruktur skala besar di masa depan.  

Ini adalah cerita di balik data yang paling fundamental: industri telah bergerak, didorong oleh kebutuhan akan otomatisasi yang menjanjikan kecepatan, ketepatan, dan efisiensi yang tinggi—sebuah sistem yang tidak dapat dielakkan lagi. Otomatisasi ini membuat beban kerja manusia menjadi lebih ringan, memungkinkan segala sesuatu menjadi lebih praktis, efektif, efisien, aman, dan nyaman.  

Lalu, siapa yang paling terdampak oleh perubahan ini? Tentu saja, para calon arsitek. Jika perguruan tinggi gagal menyesuaikan diri dengan "super link and match" antara lulusan dan dunia kerja, kompetensi alumni di masa depan akan terancam.  

  • Pentingnya Integrasi Digital: Teknologi digital telah mengubah cara arsitek bekerja sejak era CAD pada 1980-an, berkembang ke Digital Virtual Design (DVD), hingga kini ke AAD (Algorithm Aided Design) dan AAB (Algorithm Aided Building Information Modelling) berbasis parametrik.  
  • Kesenjangan Kesiapan: Berdasarkan rapat kerja Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (APTARI) pada tahun 2018, terungkap fakta mencolok: baru sekitar dua persen Perguruan Tinggi Arsitektur di Indonesia yang telah mengadopsi Arsitektur Digital atau BIM, dan itupun sering kali hanya sebagai mata kuliah pilihan.  

Kesenjangan 98 persen ini menunjukkan perlunya revisi kurikulum secara radikal. Pendidikan arsitektur harus melihat komputerisasi sebagai alat bantu pikir—sebuah alat yang memiliki sifat komputasi fleksibel, saling terhubung, mampu mengelola kompleksitas informatif, dan menghasilkan visualisasi yang sangat realistis.  

 

Kisah di Balik Data: Siapa yang Sebenarnya Siap?

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan mengumpulkan data melalui kuesioner daring yang disebar secara terbuka. Meskipun tujuan studi ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi digital di kalangan pendidikan arsitektur, fokus utama data yang dikumpulkan ternyata sangat didominasi oleh satu kelompok.  

Profil Responden: Jendela Mahasiswa

Dari total 22 responden yang menanggapi kuesioner, dominasi datang dari kalangan mahasiswa, yang mencakup mayoritas dengan persentase hingga 77 persen (setara dengan 17 orang). Sisanya terdiri dari praktisi arsitektur dengan 14 persen (3 orang), pekerja 5 persen (1 orang), dan pegawai swasta 4 persen (1 orang).  

Yang mengejutkan peneliti adalah tidak adanya respons sama sekali dari pemilik biro konsultan arsitektur. Realitas ini menimbulkan kritik realistis: meskipun studi ini berhasil memetakan kondisi di tingkat akademisi, keterbatasan sampel yang sangat student-centric ini bisa jadi mengecilkan dampak atau tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil biro konsultan dan industri secara umum. Namun, para peneliti berargumen bahwa pengenalan teknologi digital harus dimulai sejak dini—masa pendidikan—mengingat mahasiswa milenial adalah kelompok potensial yang memiliki rasa ingin tahu dan daya ingat yang tinggi untuk menyerap pengetahuan baru.  

Infrastruktur Dasar: Memilih Mobilitas di Atas Kinerja

Terkait dengan perangkat keras (hardware), mayoritas responden, yaitu 91 persen (sekitar 20 orang), memilih laptop. Hanya 9 persen (2 orang) yang menggunakan Personal Computer (PC). Preferensi ini dapat dipahami mengingat mahasiswa arsitektur membutuhkan mobilitas dalam menyelesaikan studinya.  

Namun, di sini pula letak potensi masalah yang dihadapi mahasiswa: laptop memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas memori dan kemampuannya untuk ditingkatkan (upgrade), dibandingkan dengan PC yang lebih unggul. Padahal, semakin tinggi semester yang ditempuh, semakin besar kebutuhan kapasitas RAM untuk menjalankan berbagai aplikasi desain tingkat lanjut—sebuah kendala yang harus diatasi oleh perguruan tinggi.  

 

Alat Sederhana vs. Otak Digital: Jarak Software yang Menganga

Analisis terhadap perangkat lunak (software) yang digunakan mahasiswa mengungkapkan jurang pemisah antara alat yang praktis di mata mahasiswa dengan alat yang diwajibkan oleh industri.

Software Desain: Dominasi Sketsa Digital

Di ranah desain, yang merupakan inti dari pendidikan arsitektur, dua aplikasi sederhana mendominasi:

  • Aplikasi yang paling banyak digunakan adalah SketchUp, dengan 50 persen pengguna (11 orang).  
  • Di posisi kedua, AutoCAD masih populer dengan 41 persen pengguna (9 orang).  

Apa yang mengejutkan dari temuan ini adalah bahwa perangkat lunak yang diwajibkan oleh industri, seperti Revit (aplikasi BIM), hanya digunakan oleh 4 persen responden, dan Rhinoceros/Grasshopper (desain parametrik) digunakan oleh 5 persen responden. Mahasiswa cenderung memilih teknologi digital yang sederhana, praktis, dan sering kali tersedia secara gratis untuk tujuan edukasi. Padahal, program-program seperti Revit dan Rhinoceros yang membutuhkan kapasitas RAM besar menghasilkan desain yang lebih unggul dan terintegrasi.  

Software Rendering: Kecepatan Mengalahkan Detail

Dalam hal rendering, yang erat kaitannya dengan presentasi dan visualisasi desain, temuan ini memberikan narasi yang hidup:

  • Aplikasi yang paling diminati adalah Lumion 3D, dipilih oleh 45 persen responden (10 orang).  
  • Di posisi kedua, Vray digunakan oleh 32 persen responden (7 orang), diikuti oleh Enscape (14 persen atau 3 orang).  

Lumion 3D dipilih karena kemampuannya untuk menghemat waktu secara signifikan, menghasilkan kualitas tampilan presentasi yang andal, dan kompatibilitasnya dengan berbagai program desain. Lumion 3D—yang dapat diunduh gratis untuk pendidikan—bekerja seperti sebuah turbocharger yang memberikan lompatan efisiensi sebesar 45 persen dalam waktu pengerjaan, hampir seperti meningkatkan baterai desain Anda dari 20% ke 65% dalam satu kali proses render, menjadikannya pilihan utama ketika tenggat waktu tugas mendesak.  

Sebaliknya, Vray, yang populer di biro profesional karena hasil rendering yang lebih detail, membutuhkan kapasitas memori yang lebih besar. Preferensi kecepatan di kalangan mahasiswa ini menunjukkan pragmatisme, namun juga mengindikasikan kurangnya penguasaan alat-alat detail yang dibutuhkan oleh biro profesional.  

Software Kalkulasi dan Urban: Kebutuhan yang Terabaikan

Salah satu penemuan paling krusial adalah minimnya penguasaan perangkat lunak di luar area desain visual. Teknologi digital seharusnya tidak hanya digunakan untuk mendesain, tetapi juga untuk perhitungan fisika bangunan, yang sangat kompleks di iklim Indonesia.  

  • Hanya 41 persen (9 orang) responden yang menggunakan aplikasi Term & Window untuk kalkulasi fisika bangunan, dan 23 persen (5 orang) menggunakan WUFI.  
  • Puncaknya, sekitar 23 persen (5 orang) responden menyatakan tidak pernah, belum tahu, atau tidak menggunakan aplikasi-aplikasi kalkulasi tersebut.  

Ini adalah risiko besar di era 4.0: arsitek masa depan tidak hanya dituntut memiliki desain kreatif, tetapi juga mampu menganalisa dan mengatasi persoalan klimatologi, beban, dan termal dengan perhitungan yang cepat dan akurat. Penguasaan software sains sejak dini dapat membantu mahasiswa memahami dan mengatasi persoalan fisika bangunan dengan lebih mudah dan akurat.  

Di bidang perencanaan kota, meskipun adopsi program-program seperti CityCAD (41 persen atau 9 orang) dan CityEngine (27 persen atau 6 orang) sudah ada, program-program skala kota ini masih lebih banyak digunakan oleh biro konsultan dan jarang diajarkan pada jenjang sarjana.  

 

Kritik dan Langkah Nyata ke Depan

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan arsitektur di Indonesia masih berada di persimpangan jalan. Meskipun kebutuhan akan BIM dan teknologi digital adalah keniscayaan yang harus segera ditindaklanjuti, praktik di lapangan belum sepenuhnya mendukung.  

Kritik Realistis:

  • Keterbatasan Sampel: Keterbatasan studi ini pada sampel yang kecil (22 responden) dan sangat didominasi mahasiswa (77%) bisa jadi mengecilkan gambaran dampak secara umum di seluruh Indonesia, terutama dari sudut pandang biro konsultan besar yang nol persen merespons.  
  • Fokus yang Keliru: Sebagian besar pendidikan teknologi digital di arsitektur masih terbatas pada alat gambar visual saja (extended hand), dan belum sepenuhnya memasuki ranah integrasi informasi, analisis, dan simulasi (extended brain) seperti yang ditawarkan oleh BIM. Penggunaan BIM yang mengintegrasikan desain, RAB, material, struktur, utilitas, hingga perhitungan termal secara online dan real time belum menjadi standar akademik.  

Usulan Para Peneliti:

Para peneliti menyimpulkan bahwa penguasaan teknologi digital harus dimulai sedini mungkin, saat mahasiswa masih memiliki potensi, rasa ingin tahu, dan daya ingat yang segar. Usulan dan saran yang muncul dari responden juga sangat terpusat pada perlunya peningkatan:  

  • Pembaruan Infrastruktur: Mutlak dibutuhkan laboratorium komputer yang memadai dengan RAM dan kapasitas penyimpanan yang besar untuk menjalankan aplikasi BIM.  
  • Pembaruan Kurikulum Berkelanjutan: Kurikulum harus selalu diperbarui dan ditingkatkan secara berkala (update dan upgrade) agar sesuai dengan perkembangan teknologi.  
  • Pelatihan Komprehensif: Kata kunci yang banyak muncul dalam saran responden adalah bimbingan, pelatihan, pembelajaran, dan praktik untuk berbagai program komputasi, memastikan mereka siap memasuki era Industri 4.0.  

Teknologi digital adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh arsitek masa depan. Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi digital harus segera diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan arsitektur Indonesia.  

Dampak Nyata:

Revolusi Industri 4.0 telah mengubah tatanan peradaban, menjadikan Big Data sebagai sumber informasi melimpah, Internet of Things (IoT) sebagai infrastruktur global, dan Artificial Intelligence (AI) sebagai alat bantu mandiri. Jika pendidikan tinggi arsitektur Indonesia segera merespons kesenjangan ini dengan mengintegrasikan BIM dan perangkat lunak kalkulasi secara wajib ke dalam kurikulum dasar, hal ini dapat menghasilkan arsitek yang kompeten, percaya diri dalam TI, mampu memahami ruang 3D, dan terampil teknis. Jika diterapkan dengan keseriusan penuh, temuan ini bisa memangkas jurang kompetensi lulusan arsitektur di Indonesia menjadi nol persen—sebuah langkah krusial untuk memastikan mereka mampu bersaing di pasar global dan mengurangi biaya kegagalan proyek akibat miskomunikasi dan ketidakakuratan desain hingga batas minimal—dalam waktu lima tahun.

 

Sumber Artikel: Setiadi, W., & Purwanto, L. M. F. (2021). Teknologi Digital pada Pendidikan Arsitektur di Era Industri 4.0. JoDA-Journal of Digital Architecture, 1(1), 42–51.