Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 September 2025
Pembangunan yang Terhenti di Persimpangan Jalan
Industri konstruksi Afghanistan berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, negara ini membutuhkan pembangunan masif dari infrastruktur dasar hingga fasilitas publik modern untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Di sisi lain, proyek-proyek konstruksi di Afghanistan kerap terguncang oleh tantangan besar: ketidakpastian politik, keterbatasan sumber daya manusia, dan lemahnya sistem manajemen.
Ini terjadi karena selama dua dekade terakhir, Afghanistan melakukan banyak Pembangunan, dari jalan raya yang menghubungkan kota-kota besar, jembatan penghubung desa, hingga gedung pemerintahan, rumah sakit, dan sekolah, negara ini berusaha bangkit dari keterpurukan panjang akibat perang. Namun, meski miliaran dolar telah digelontorkan baik dari pemerintah maupun lembaga donor internasional, banyak proyek yang berjalan tersendat, bahkan gagal mencapai targetnya.
Salah satu akar persoalan yang jarang dibicarakan adalah kualitas manajemen di balik proyek-proyek tersebut. Bukan hanya soal kurangnya dana atau material, melainkan keterbatasan kompetensi manajer proyek konstruksi. Penelitian berjudul “Proposed Competencies Required for Construction Project Managers in Afghanistan” yang dilakukan oleh Mohammad Najim Wahedy dan Amanullah Faqiri (2021) menegaskan bahwa di Afghanistan, keberhasilan proyek konstruksi sangat ditentukan oleh kompetensi orang-orang yang memimpin dan mengelola proyek.
Artikel ini mencoba mengurai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kompetensi itu, mengapa ia penting dalam konteks Afghanistan, apa temuan riset terkait, dan bagaimana kompetensi tersebut bisa membentuk masa depan pembangunan di negara tersebut.
Kompleksitas Proyek dan Beban Afghanistan
Proyek konstruksi di mana pun selalu identik dengan kompleksitas. Tetapi di Afghanistan, kompleksitas itu berlipat ganda. Negara ini bukan hanya menghadapi tantangan teknis seperti keterlambatan material atau kekurangan tenaga kerja terampil, melainkan juga problem keamanan, birokrasi yang sering berubah, serta kondisi politik yang tidak stabil.
Banyak proyek jalan raya, misalnya, terpaksa dihentikan karena jalur distribusi material tidak aman. Ada pula proyek sekolah yang terhenti akibat kontraktor mundur setelah menghadapi kendala keamanan. Situasi seperti ini menuntut manajer proyek bukan hanya bisa membaca gambar teknik atau menghitung anggaran, tetapi juga mampu mengelola risiko dalam situasi penuh ketidakpastian.
Wahedy dan Faqiri menegaskan, proyek konstruksi di Afghanistan sering kali gagal bukan karena kesalahan teknis, melainkan karena lemahnya kapasitas manajemen. Proyek yang seharusnya selesai dalam dua tahun bisa molor hingga lima tahun. Anggaran yang semula dihitung 10 juta dolar melonjak menjadi 15 juta atau bahkan 20 juta dolar. Lebih parah lagi, kualitas bangunan yang dihasilkan sering tidak sesuai standar, sehingga umur infrastruktur menjadi pendek. Semua itu menunjukkan perlunya standar kompetensi yang jelas bagi manajer proyek konstruksi.
Mengapa Kompetensi Manajer Proyek Jadi Sorotan?
Banyak orang beranggapan bahwa seorang manajer proyek hanya perlu menguasai aspek teknis: tahu bagaimana membuat jadwal, membaca gambar arsitektur, atau menghitung anggaran. Namun penelitian ini memperlihatkan bahwa kompetensi jauh lebih luas daripada itu. Manajemen proyek pada dasarnya adalah seni mengubah rencana menjadi kenyataan. Namun di sektor konstruksi, proses ini tidak pernah sederhana. Ada tiga faktor utama yang membuat kompetensi manajer proyek krusial:
Bayangkan seorang manajer proyek di Kabul yang harus mengawasi pembangunan gedung pemerintah. Ia tidak hanya berurusan dengan kontraktor lokal, tetapi juga dengan insinyur asing, pemerintah kota, bahkan warga sekitar. Tanpa kemampuan komunikasi lintas budaya, negosiasi, dan kepemimpinan yang adaptif, konflik akan segera muncul. Di sinilah kompetensi memainkan peran yang menentukan. Dalam kondisi seperti itu, seorang manajer proyek bukan hanya pengawas teknis, melainkan pemimpin yang menyatukan visi dan strategi.
Tiga Pilar Kompetensi: IQ, MQ, dan EQ
Penelitian Wahedy dan Faqiri membagi kompetensi manajer proyek dalam tiga pilar utama: Intellectual Quotient (IQ), Managerial Quotient (MQ), dan Emotional Quotient (EQ).
IQ berkaitan dengan kemampuan analitis dan pengetahuan teknis. Seorang manajer proyek dituntut mampu berpikir kritis, merancang strategi, dan mengambil keputusan berdasarkan data. Dalam konteks Afghanistan, IQ diperlukan untuk membaca situasi pasar material yang sering tidak stabil. Misalnya, ketika harga semen melonjak drastis karena hambatan impor, manajer proyek harus segera mencari solusi alternatif tanpa menurunkan kualitas bangunan.
MQ atau kecerdasan manajerial lebih menekankan pada keterampilan mengatur orang dan sumber daya. Seorang manajer proyek dengan MQ tinggi mampu mengoordinasikan ratusan pekerja dengan berbagai latar belakang, memastikan setiap bagian dari proyek berjalan sesuai jadwal, dan menjaga anggaran tetap terkendali. Di Afghanistan, tantangan MQ sering terlihat ketika proyek melibatkan subkontraktor lokal yang kurang berpengalaman. Manajer proyek harus pintar membagi tugas, melakukan supervisi, dan memberikan arahan yang jelas agar hasil tetap sesuai standar.
EQ atau kecerdasan emosional, menurut penelitian, sama pentingnya dengan IQ dan MQ. EQ menentukan bagaimana seorang manajer mengendalikan emosinya sendiri sekaligus memahami emosi orang lain. Dalam proyek-proyek Afghanistan, konflik antar kontraktor, tekanan dari pemerintah lokal, hingga kekecewaan masyarakat sering kali menjadi hambatan. Seorang manajer proyek dengan EQ rendah mudah terpancing emosi, kehilangan kendali, dan akhirnya memperburuk situasi. Sebaliknya, manajer dengan EQ tinggi bisa menjadi penengah, meredakan konflik, dan menjaga semangat tim tetap tinggi meski proyek menghadapi hambatan besar.
Dengan kata lain, ketiga aspek ini saling melengkapi. IQ memberikan fondasi pengetahuan, MQ menggerakkan roda organisasi, dan EQ menjaga harmoni dalam perjalanan proyek.
Studi Kasus: Proyek yang Tertunda karena Lemahnya Kompetensi
Penelitian ini mengungkap sejumlah studi kasus yang menggambarkan bagaimana lemahnya kompetensi manajer proyek berujung pada kegagalan. Salah satu contohnya adalah pembangunan sebuah gedung pemerintahan di Kabul. Proyek yang semula direncanakan selesai dalam tiga tahun justru molor hingga lebih dari lima tahun.
Penyebabnya bukan semata-mata persoalan dana, tetapi keputusan manajer proyek yang kurang tepat. Ketika impor material tertahan di perbatasan, manajer proyek memilih menggunakan material lokal yang tidak sesuai standar. Akibatnya, konstruksi harus diulang di beberapa bagian, menambah biaya jutaan dolar. Keputusan darurat yang seharusnya menyelamatkan proyek justru memperburuk keadaan karena tidak dilandasi analisis mendalam.
Ada pula proyek pembangunan sekolah di pedesaan yang gagal total. Konflik antar subkontraktor tidak ditangani dengan baik, sehingga pekerjaan terbengkalai. Ratusan anak akhirnya harus belajar di tenda darurat. Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya kompetensi komunikasi, negosiasi, dan mediasi dalam tugas seorang manajer proyek.
Mengapa Afghanistan Membutuhkan Standar Kompetensi?
Di banyak negara maju, seorang manajer proyek tidak bisa begitu saja diangkat tanpa melalui proses sertifikasi. Ada standar internasional yang harus dipenuhi, seperti PMI (Project Management Institute) atau IPMA (International Project Management Association). Sertifikasi ini memastikan bahwa seorang manajer proyek benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
Namun di Afghanistan, mekanisme seperti itu belum berjalan optimal. Banyak manajer proyek ditunjuk berdasarkan pengalaman lapangan semata, tanpa uji kompetensi yang memadai. Akibatnya, proyek sering ditangani oleh orang-orang yang tidak siap menghadapi kompleksitas sebenarnya.
Wahedy dan Faqiri berargumen bahwa Afghanistan harus segera mengembangkan sistem sertifikasi dan pelatihan yang terstandar internasional. Dengan begitu, manajer proyek lokal tidak hanya bisa menangani proyek dalam negeri, tetapi juga bersaing di tingkat global. Langkah ini penting bukan hanya untuk kualitas proyek, tetapi juga untuk meningkatkan kredibilitas Afghanistan di mata investor dan donor internasional.
Rekomendasi Penelitian: Jalan Menuju Profesionalisme
Penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi konkrit. Pertama, pemerintah dan universitas perlu memperkuat pendidikan manajemen proyek dengan kurikulum yang berbasis standar global. Mata kuliah tentang komunikasi, kepemimpinan, dan resolusi konflik harus menjadi bagian utama, bukan tambahan.
Kedua, perusahaan konstruksi perlu berinvestasi dalam program pelatihan dan mentoring. Manajer proyek junior sebaiknya didampingi oleh mentor senior agar proses transfer pengetahuan berjalan. Hal ini penting mengingat banyak manajer proyek muda di Afghanistan belum memiliki pengalaman menghadapi krisis nyata di lapangan.
Ketiga, lembaga donor internasional yang membiayai proyek di Afghanistan harus ikut mendorong penerapan standar kompetensi. Mereka bisa mensyaratkan sertifikasi tertentu bagi manajer proyek, sehingga proyek yang didanai benar-benar ditangani oleh orang yang tepat.
Langkah-langkah ini, menurut penelitian, akan membantu menciptakan generasi baru manajer proyek yang lebih profesional, berdaya saing global, dan mampu memimpin pembangunan di tengah tantangan Afghanistan.
Catatan Kritis: Apa yang Belum Terjawab?
Meski penelitian ini memberikan kerangka yang jelas, ada beberapa catatan kritis. Pertama, studi ini masih terbatas pada analisis konseptual dan persepsi, belum banyak data kuantitatif yang bisa mengukur secara pasti sejauh mana kompetensi tertentu berpengaruh terhadap keberhasilan proyek.
Kedua, penelitian ini belum sepenuhnya mengakomodasi konteks lokal Afghanistan. Misalnya, bagaimana cara menyesuaikan standar internasional dengan kondisi lapangan yang penuh ketidakpastian? Bagaimana menghadapi keterbatasan dana untuk pelatihan? Pertanyaan-pertanyaan ini masih perlu kajian lanjutan.
Namun demikian, penelitian ini tetap memberi sumbangan penting sebagai pijakan awal. Ia membuka diskusi tentang pentingnya kompetensi manajer proyek, sebuah tema yang selama ini kurang mendapat perhatian di Afghanistan.
Dari Afghanistan untuk Dunia
Meskipun berfokus pada Afghanistan, temuan penelitian ini sejatinya relevan untuk banyak negara berkembang lain. Keterbatasan manajer proyek kompeten juga dialami oleh negara-negara lain di Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Banyak proyek pembangunan gagal karena pemimpinnya tidak siap menghadapi kompleksitas.
Afghanistan, dengan segala tantangannya, bisa menjadi cermin global. Ia menunjukkan betapa pentingnya investasi pada sumber daya manusia, bukan hanya pada material dan dana. Tanpa manajer proyek yang kompeten, pembangunan sebesar apa pun akan mudah runtuh.
Kesimpulan: Menyusun Fondasi Masa Depan
Penelitian yang dilakukan Wahedy dan Faqiri menegaskan satu hal sederhana tetapi krusial: kompetensi manajer proyek adalah jantung dari keberhasilan pembangunan. Afghanistan tidak cukup hanya membangun gedung, jalan, atau jembatan. Negara ini harus membangun kapasitas manusia yang mampu memimpin proyek-proyek tersebut dengan standar profesional.
Jika rekomendasi penelitian ini dijalankan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan Afghanistan bisa memiliki generasi manajer proyek yang lebih terlatih, lebih adaptif, dan lebih siap bersaing di tingkat internasional. Hasilnya tidak hanya infrastruktur yang lebih baik, tetapi juga kepercayaan publik dan donor yang meningkat.
Dengan kata lain, kompetensi manajer proyek bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi bagi masa depan pembangunan Afghanistan.
Sumber Artikel:
Wahedy, M. N., & Faqiri, A. (2021). Proposed competencies required for construction project managers in Afghanistan. International Journal of Advanced Academic Studies, 3(1), 192-203.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 13 Agustus 2025
Pendahuluan
Paper ini membedah hubungan antara persepsi risiko dan perilaku keselamatan di industri konstruksi dengan pendekatan etnografis. Studi dilakukan pada proyek bernilai lebih dari £500 juta di Inggris, memeriksa bagaimana faktor psikologis, sosial, dan situasional membentuk tindakan pekerja—terutama dalam konteks risiko yang sudah dikenal namun sering diremehkan.
Kerangka analisis yang digunakan adalah psychometric paradigm, yang membantu menjelaskan bagaimana persepsi risiko dipengaruhi oleh dimensi seperti dread risk, unknown risk, manfaat pribadi, dan tingkat kontrol. Penelitian ini menawarkan pandangan kritis terhadap penyebab perilaku tidak aman, sekaligus menantang asumsi bahwa pelatihan teknis saja sudah cukup untuk meningkatkan keselamatan kerja.
Kerangka Teori
1. Dimensi Psikometrik
Psikometri persepsi risiko mengidentifikasi dua dimensi dominan:
Dread risk – risiko yang memicu rasa takut besar, sulit dikendalikan, dan berpotensi menimbulkan konsekuensi fatal.
Unknown risk – risiko yang asing atau baru, dengan tingkat ketidakpastian tinggi.
Dua dimensi ini telah terbukti berlaku lintas budaya. Namun, penulis menambahkan dua faktor yang memiliki pengaruh signifikan di konstruksi:
Manfaat pribadi (personal benefit) – semakin besar manfaat langsung, semakin tinggi toleransi terhadap risiko.
Kendali pribadi (controllability) – risiko yang dianggap dapat dikendalikan lebih mudah diterima.
2. Karakter Risiko di Konstruksi
Kebanyakan risiko di sektor konstruksi adalah:
Known – pekerja familiar dengan risiko tersebut.
Non-dread – tidak menimbulkan rasa takut mendalam.
Voluntary dan controllable – diambil secara sadar dan dianggap bisa dikendalikan.
Kombinasi ini menciptakan bias yang membuat pekerja meremehkan bahaya, bahkan saat potensi akibatnya fatal.
Metodologi
Penulis memilih etnografi sebagai pendekatan untuk mengamati langsung perilaku di lapangan. Tantangan dalam penerapannya di konstruksi meliputi:
Sifat industri yang konfrontatif.
Sulit membangun hubungan kepercayaan.
Kesulitan mereplikasi kondisi kerja.
Selama 12 bulan, peneliti menjadi moderate participant observer, mencatat 30 unsafe acts. Insiden-insiden ini kemudian dikodekan berdasarkan faktor-faktor seperti:
Tekanan waktu.
Kurangnya pelatihan.
Overconfidence.
Pencarian sensasi.
Manfaat langsung.
Pengaruh zat adiktif.
Manajemen lemah.
Hasilnya menunjukkan hampir semua kejadian dipengaruhi oleh persepsi risiko yang keliru.
Temuan Kunci
1. Semua Risiko adalah “Known” dan “Non-Dread”
Dalam 10 contoh naratif yang dianalisis secara mendalam, seluruhnya:
Sudah dikenal oleh pekerja (known).
Tidak menimbulkan rasa takut besar (non-dread).
Dilakukan secara sukarela (voluntary).
Dianggap dapat dikendalikan (controllable).
Efeknya, risiko sering dianggap sepele.
2. Kategori Faktor yang Mengubah Persepsi Risiko
Penulis membagi narasi etnografis ke dalam kategori berikut:
a. Risk Compensation
Penggunaan alat pelindung justru memicu perilaku lebih berisiko.
Contoh: Baju tahan api membuat pekerja mengambil posisi kerja yang lebih nyaman tapi lebih berbahaya, menyebabkan luka bakar.
b. Overconfidence & Trust
Kepercayaan pada keterampilan pribadi atau orang lain menurunkan kewaspadaan.
Contoh: Kapten kapal memilih jalur cepat pada malam hari, hampir bertabrakan dengan kapal tanker.
c. Thrill-Seeking
Tindakan berbahaya dilakukan demi sensasi.
Contoh: Memanjat rangka tubular daripada menggunakan tangga.
d. Inexperience
Kurangnya pengalaman membuat pekerja salah menilai bahaya.
Contoh: Banksman berdiri di belakang dump truck saat muatan diturunkan.
e. Benefit & Time Pressure
Keuntungan langsung, khususnya penghematan waktu, menjadi alasan melanggar prosedur.
Contoh: Memadatkan pekerja di area sempit untuk mempercepat pemasangan balok.
3. Analisis Psikometrik
Data yang dipetakan ke dimensi psikometrik menunjukkan:
Tidak ada risiko yang bersifat “catastrophic” secara global.
Voluntariness dan controllability yang tinggi membuat bahaya tampak lebih kecil.
Manfaat yang dirasakan hampir selalu terkait efisiensi waktu.
Kontribusi Ilmiah
Validasi Kerangka Psikometrik di Konstruksi
Menunjukkan jebakan persepsi ketika risiko dianggap known, non-dread, dan controllable.
Penggunaan Etnografi yang Efektif
Memberikan gambaran kaya tentang perilaku dan keputusan pekerja yang tidak bisa dijangkau oleh metode survei.
Penggabungan Faktor Psikologis dan Organisasional
Menjelaskan bagaimana tekanan proyek dan manfaat langsung memperkuat toleransi risiko.
Opini & Kritik Metodologi
Keterbatasan Generalisasi: Hasil penelitian terkait erat dengan konteks proyek spesifik.
Bias Observasi: Kehadiran peneliti mungkin memengaruhi perilaku subjek.
Ketiadaan Data Kuantitatif: Tidak ada ukuran numerik kontribusi faktor terhadap risiko.
Meski demikian, pendekatan naratif ini justru memperlihatkan kedalaman analisis dan kemampuan menangkap konteks yang kaya.
Implikasi Ilmiah
Pelatihan keselamatan harus mencakup aspek persepsi risiko, bukan hanya prosedur teknis.
Pengaturan target proyek harus mempertimbangkan dampaknya terhadap perilaku pekerja.
Pendekatan lintas budaya dapat diadopsi, karena pola bias persepsi ini berlaku umum.
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap bahwa bahaya terbesar bukan pada risiko yang asing, melainkan risiko yang sudah dikenal namun diremehkan. Ketika rasa percaya diri, manfaat langsung, dan tekanan waktu berpadu, prosedur keselamatan sering dikorbankan.
Pendekatan yang lebih efektif adalah membentuk pola pikir baru, memastikan bahwa risiko “biasa” dipandang dengan keseriusan yang sama seperti risiko “luar biasa”. Hal ini berpotensi membangun budaya keselamatan yang lebih matang, berkelanjutan, dan adaptif di industri konstruksi
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Musim penghujan merupakan bagian tak terhindarkan dari siklus iklim Indonesia. Namun dalam dunia konstruksi, fenomena ini tidak hanya menjadi tantangan cuaca, tetapi juga dapat menjadi penyebab gangguan serius terhadap durasi, biaya, bahkan kualitas proyek. Dalam konteks ini, penelitian Rahmadian Ade mencoba mengurai kompleksitas risiko yang dihadapi proyek pembangunan gedung di Yogyakarta saat musim hujan dan menyajikan pendekatan mitigasi yang aplikatif serta relevan bagi kontraktor dan konsultan pengawas.
Risiko Konstruksi di Tengah Hujan: Sebuah Tantangan Nyata
Sebagaimana dijelaskan dalam studi ini, proyek konstruksi di Indonesiayang mayoritas dilakukan di ruang terbuka sangat rentan terhadap gangguan akibat curah hujan. Dengan iklim Yogyakarta yang memiliki bulan basah selama 5–6 bulan per tahun, intensitas curah hujan mencapai 1500–2000 mm, dan waktu pengerjaan proyek selama 8–10 bulan, maka hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar proyek di kota ini akan bersinggungan langsung dengan cuaca ekstrem tersebut.
Genangan air di lubang galian dan area kerja. Kenaikan muka air tanah yang menyulitkan pengerjaan fondasi. Penurunan produktivitas tenaga kerja akibat hujan atau sakit. Keterlambatan pengiriman material. Kerusakan alat berat dan material yang belum terpakai. Ketidaksesuaian kualitas pekerjaan akibat curah hujan tinggi saat proses pengecoran atau pengeringan. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap anggaran dan jadwal, dua aspek vital dalam kesuksesan sebuah proyek.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan wawancara terhadap 30 responden dari kalangan kontraktor dan konsultan pengawas yang pernah terlibat dalam proyek pembangunan gedung di wilayah DIY antara 2022–2023. Selain itu, penulis mengembangkan 13 variabel risiko teknis utama berdasarkan studi literatur dan validasi lapangan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode Severity Index untuk mengukur probabilitas dan dampak risiko berdasarkan persepsi responden. Hasil SI tersebut kemudian dipetakan ke dalam Probability Impact Matrix untuk menentukan tingkat keparahan risiko (low, medium, atau high).
Hasil Penelitian: Risiko yang Paling Mencolok
Dari hasil analisis, ditemukan bahwa risiko yang paling dominan (kategori high) adalah penurunan produktivitas tenaga kerja, dengan dampak yang signifikan terhadap keterlambatan jadwal proyek antara 7–30 hari. Hujan yang terus menerus membuat pekerja tidak bisa melakukan aktivitas di lapangan atau bekerja dalam kondisi tidak optimal.
Risiko-risiko lain yang dikategorikan sebagai risiko sedang (medium) meliputi:
Terganggunya ketersediaan material akibat pengiriman yang tertunda. Kenaikan harga material akibat gangguan pasokan. Kerusakan alat berat seperti tower crane dan genset. Tenaga kerja yang jatuh sakit akibat kondisi kerja basah. Kecelakaan kerja akibat kondisi licin atau penglihatan yang terbatas. Kekurangan tenaga kerja karena ketidakhadiran. Timbulnya kemacetan di sekitar lokasi proyek. Genangan air di lubang galian fondasi dan basement. Kenaikan muka air tanah. Kualitas pekerjaan yang tidak sesuai akibat pengecoran saat hujan. Terkendalanya pekerjaan leveling akibat genangan. Dengan dominasi risiko-risiko teknis tersebut, peneliti menegaskan bahwa proyek yang dilakukan pada musim hujan di wilayah tropis seperti Yogyakarta harus memiliki strategi manajemen risiko yang matang.
Strategi Mitigasi Risiko: Bukan Hanya Prediksi, Tapi Solusi
Setelah memetakan risiko, penelitian ini memberikan respons strategis untuk mengurangi dampak risiko. Beberapa pendekatan yang disarankan meliputi:
Menghindari Risiko (Avoidance): Menjadwalkan ulang pekerjaan fondasi dan pengecoran ke bulan yang lebih kering jika memungkinkan. Mengurangi Risiko (Reduction): Melakukan pelindungan area kerja dengan terpal atau kanopi, meningkatkan sistem drainase di area proyek untuk mencegah genangan. Memindahkan Risiko (Transfer): Menyertakan klausul risiko cuaca dalam kontrak kerja, sehingga kerugian akibat penundaan dapat dibagi dengan pihak ketiga seperti asuransi atau subkontraktor. Menerima Risiko (Acceptance): Jika hujan ringan tidak bisa dihindari, perlu dilakukan penyesuaian jam kerja atau metode kerja untuk tetap menjaga produktivitas. Risk Sharing: Bekerja sama dengan pemasok lokal untuk memastikan fleksibilitas pengiriman material dalam situasi darurat. Dalam wawancara dengan beberapa kontraktor, terungkap bahwa penggunaan sistem kerja shift dan intensifikasi kegiatan internal saat hujan adalah praktik mitigasi umum. Beberapa juga menyarankan penggunaan rapid setting concrete untuk proses pengecoran saat cuaca tidak menentu.
Kontribusi Penelitian: Praktis dan Relevan
Keunggulan utama dari studi ini adalah kombinasi antara pendekatan teoretis yang komprehensif dan relevansi praktis terhadap kebutuhan lapangan. Pendekatan Severity Index yang digunakan memberikan pengukuran yang akurat berdasarkan pengalaman langsung pelaku proyek. Di sisi lain, respons risiko yang diberikan bukan sekadar teori, tapi berdasarkan wawancara dengan para pelaku konstruksi yang sudah berhadapan langsung dengan tantangan cuaca ekstrem.
Selain itu, penelitian ini juga membandingkan temuannya dengan studi sebelumnya, seperti penelitian oleh Labomang (2011), Dewi (2012), dan Handoko (2015). Dibandingkan dengan studi-studi tersebut yang fokus pada risiko secara umum atau aspek kontraktual, tesis ini unggul dalam mengelaborasi dampak musiman dengan pendekatan studi kasus konkret dan lokasi spesifik.
Implikasi Bagi Industri Konstruksi dan Pemerintah
Dari sisi praktis, temuan studi ini sangat relevan bagi: Kontraktor: Dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun strategi pelaksanaan proyek terutama dalam merencanakan pekerjaan kritis pada musim penghujan. Konsultan pengawas: Menjadi dasar dalam menetapkan metode kerja dan kontrol kualitas selama musim hujan. Pemerintah daerah: Dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan penjadwalan pembangunan gedung pemerintah agar tidak menabrak bulan-bulan dengan curah hujan tinggi. Penelitian ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya perencanaan berbasis iklim (climate-based planning) dalam proyek-proyek pembangunan nasional. Mengingat tren perubahan iklim yang semakin ekstrem, manajemen risiko cuaca seharusnya menjadi bagian integral dari kontrak dan perencanaan konstruksi.
Kritik dan Saran Pengembangan Penelitian
Meskipun sangat bermanfaat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Peneliti tidak membahas secara mendalam tentang estimasi kerugian biaya yang ditimbulkan akibat risiko-risiko tersebut. Estimasi biaya tambahan akibat keterlambatan dan perbaikan kualitas akan memperkaya hasil kajian. Selain itu, pembahasan belum menyentuh potensi pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) atau sistem peringatan cuaca sebagai alat bantu mitigasi.
Ke depan, penelitian lanjutan dapat memperluas skala geografis, melibatkan kota-kota lain di Indonesia dengan kondisi iklim berbeda, atau menambahkan pendekatan pemodelan dinamis untuk memprediksi dampak hujan secara real-time pada jadwal proyek.
Kesimpulan
Tesis ini menyajikan kontribusi penting dalam bidang manajemen risiko konstruksi, khususnya dalam konteks iklim tropis basah seperti Yogyakarta. Melalui pendekatan empiris yang kuat dan pemetaan risiko yang terstruktur, penelitian ini menegaskan bahwa pengaruh musim penghujan terhadap proyek konstruksi bukanlah hal sepele, melainkan faktor kritis yang harus diantisipasi secara sistematis. Dengan manajemen risiko yang tepat, proyek tidak hanya bisa menyelesaikan target waktu dan biaya, tetapi juga mempertahankan kualitas di tengah tantangan cuaca yang tak terelakkan.
Sumber asli artikel: Rahmadian Ade. (2022). Analisis Risiko Pengaruh Musim Penghujan Terhadap Penyelesaian Proyek Konstruksi (Studi Kasus Proyek Bangunan Gedung di Yogyakarta). Program Magister Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan proyek infrastruktur, khususnya rumah sakit, adalah tugas kompleks yang penuh risiko. Artikel berjudul “Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit” oleh Kyrra Sandra Sarkisian dkk., menawarkan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko keterlambatan proyek konstruksi menggunakan metode House of Risk (HOR). Resensi ini akan membahas secara menyeluruh isi paper tersebut dengan penekanan pada studi kasus, angka-angka yang signifikan, dan relevansi praktisnya di industri konstruksi Indonesia.
Tantangan dalam Proyek Rumah Sakit: Kompleksitas dan Kebutuhan Khusus
Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan rumah sakit tujuh lantai di Sidoarjo yang menjadi bagian dari fasilitas penunjang tambahan sebuah rumah sakit eksisting. Rumah sakit, berbeda dengan bangunan komersial lain seperti ruko atau apartemen, memiliki regulasi dan standar infrastruktur khusus, seperti sistem sanitasi, sterilisasi, dan sirkulasi udara yang kompleks. Ini menjadikan proyek rumah sakit jauh lebih menantang.
Dalam proyek ini, keterlambatan mulai terlihat dari minggu ke-7 sampai minggu ke-10. Rinciannya:
Minggu ke-7: deviasi keterlambatan 0,369%
Minggu ke-8: 1,876%
Minggu ke-9: 2,940%
Minggu ke-10: 1,440%
Keterlambatan ini terjadi pada fase pekerjaan pondasi tiang pancang, yang diperparah oleh akses lokasi yang terbatas dan kondisi site yang tidak mendukung.
Pendekatan HOR: Sistematik dan Berbasis Data
House of Risk (HOR) adalah metode yang dikembangkan oleh Pujawan dan Geraldin (2009), dengan dua fase utama:
Fase 1: Identifikasi risiko dan prioritas pemicu keterlambatan
Fase 2: Formulasi langkah mitigasi terhadap pemicu yang diprioritaskan
HOR menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menggunakan data observasi, kuesioner, wawancara dengan staf ahli di lapangan, dan teknik evaluasi seperti Pareto Analysis dan perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP).
Hasil Identifikasi Risiko (Fase 1)
Penelitian menemukan 7 risk agent (pemicu risiko) utama:
Lamanya proses fabrikasi material
Terlambatnya pengiriman material akibat perubahan spesifikasi tiang pancang
Perubahan desain pondasi dan titik pondasi
Perubahan kedalaman tiang pancang
Perubahan lokasi water tank
Lokasi proyek yang sulit diakses
Kerusakan alat berat
Melalui analisis Pareto, tiga faktor teratas dengan kontribusi signifikan terhadap keterlambatan diprioritaskan:
Kerusakan alat berat
Lokasi site yang sulit
Perubahan kedalaman tiang pancang
Misalnya, faktor "kerusakan alat berat" menyumbang 47,09% potensi keterlambatan (ADPj = 172 dari total 81). Ini menunjukkan betapa krusialnya manajemen peralatan berat di lapangan.
Strategi Mitigasi Efektif (Fase 2)
Setelah mengidentifikasi prioritas risiko, peneliti menyusun lima langkah mitigasi yang kemudian dievaluasi berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitannya:
PA4: Melakukan penjadwalan ulang (reschedule)
Strategi ini menjadi yang paling efektif karena mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi lapangan dan fleksibel terhadap dinamika proyek. Memiliki nilai efektivitas tertinggi (TEk = 375) dan rasio efektivitas terhadap kesulitan (ETDk) sebesar 375.
PA3: Pembagian zona kerja (scope)
Membagi pekerjaan menjadi beberapa zona mengurangi ketergantungan antar aktivitas dan mempercepat eksekusi bagian yang tidak terdampak. Nilai efektivitasnya cukup tinggi (TEk = 375) dengan ETDk = 168.75.
PA2: Penyesuaian jadwal mobilisasi dan fabrikasi material
Langkah ini mengatur ulang proses logistik proyek untuk menghindari bottleneck akibat keterlambatan material. TEk = 225 dengan ETDk = 112.5.
PA1: Pemeriksaan berkala alat berat
Pemeliharaan rutin menjadi langkah pencegahan sederhana namun penting untuk menghindari kerusakan alat berat. ETDk = 125 meskipun skor efektivitasnya (TEk = 375) sama dengan PA4 dan PA3, tetapi karena tingkat kesulitannya lebih tinggi, rankingnya lebih rendah.
PA5: Survei awal desain tanah
Langkah ini berguna untuk meminimalkan perubahan mendadak terkait desain pondasi. Namun ETDk-nya hanya 66, menjadi opsi mitigasi dengan ranking terendah karena tantangan pelaksanaan awal yang tinggi.
Relevansi Strategi HOR dalam Industri Konstruksi
Metode HOR memberikan cara yang terstruktur dan berbasis data untuk mengelola risiko konstruksi. Hal ini menjadi sangat relevan di Indonesia yang memiliki dinamika proyek kompleks dan kerap menghadapi kendala administratif, geografis, serta logistik. Dalam studi kasus ini, penggabungan data primer (wawancara) dan sekunder (kurva S, laporan deviasi) memperkaya analisis dan menjadikan rekomendasi lebih praktis dan implementatif.
Strategi seperti rescheduling dan scope splitting bukan hanya relevan dalam pembangunan rumah sakit, tetapi juga di proyek-proyek besar lainnya seperti pembangunan gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, bahkan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan.
Meski paper ini sangat aplikatif, terdapat beberapa kekurangan:
Jumlah responden terbatas (hanya dua staf proyek), padahal validitas data bisa lebih kuat dengan melibatkan lebih banyak pihak seperti vendor material, konsultan perencana, atau manajemen rumah sakit.
Evaluasi efektivitas mitigasi lebih banyak mengandalkan persepsi responden daripada data historis proyek sejenis, yang bisa menjadi peluang pengembangan penelitian lebih lanjut.
Penelitian lanjutan dapat memperluas metode HOR dengan tambahan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memperkirakan keterlambatan secara lebih presisi.
Penelitian oleh Sarkisian dkk. menjadi kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan klasik dunia konstruksi: keterlambatan proyek. Metode House of Risk terbukti mampu mengidentifikasi dan mengatasi penyebab keterlambatan secara sistematis, dengan hasil konkret yang bisa dijadikan pedoman teknis oleh manajer proyek dan pelaksana lapangan.
Langkah mitigasi seperti penjadwalan ulang, pemecahan zona kerja, hingga pengawasan alat berat bukan hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek. Dengan mengadopsi pendekatan seperti ini secara luas, proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih tepat waktu, efisien, dan sesuai mutu yang direncanakan.
Sumber asli artikel (dalam bahasa Indonesia):
Sarkisian, Kyrra Sandra; Gede Sarya; Masca Indra Triana. "Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit." PORTAL: Jurnal Teknik Sipil, Volume 16, Edisi Khusus, Januari 2023.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan
Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.
Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.
Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis
Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.
Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).
Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.
Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:
Tahap Perencanaan
Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.
Tahap Pelaksanaan
Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.
Tahap Pasca Konstruksi
Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.
Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh
Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.
Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.
Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.
Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.
Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.
Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.
Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.
Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.
Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya
Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:
Perencanaan dan Desain
Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.
Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.
Pemberdayaan Masyarakat
Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.
Pelaksanaan dan Konstruksi
Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.
Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.
Pemeliharaan dan Evaluasi
Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.
Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?
Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.
Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.
Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.
Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan
Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.
Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.
Sumber Asli Artikel:
Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Jalan Tol sebagai Urat Nadi Pertumbuhan Ekonomi Baru
Di tengah ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju, pembangunan infrastruktur menjadi kunci utama dalam membuka akses ekonomi baru, mempercepat mobilitas, dan mengurangi ketimpangan wilayah. Salah satu proyek andalan pemerintah dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah Jalan Tol Serang–Panimbang di Provinsi Banten. Jalan tol ini bukan hanya menjanjikan kemudahan transportasi, tetapi juga menjadi penghubung vital menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, destinasi unggulan pariwisata nasional.
Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam artikel ilmiah berjudul "Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang – Panimbang" karya Rina Nur Utami dkk., impian besar ini masih dibayangi oleh berbagai persoalan di lapangan. Kajian ini menyoroti realitas pahit dari kebijakan yang diharapkan mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi—dari target yang meleset, keterlambatan pembangunan, hingga kerentanan sosial di tingkat komunitas.
Metodologi: Pendekatan Kualitatif Berbasis Model Van Metter dan Van Horn
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan kerangka evaluasi berdasarkan model implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Enam variabel utama dijadikan tolok ukur dalam menilai keberhasilan implementasi:
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, serta observasi lapangan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, yang berada dalam radius 5 km dari Gerbang Tol Rangkasbitung—ujung dari seksi 1 Jalan Tol Serang–Panimbang.
Gambaran Umum Proyek: Ambisi Besar, Kenyataan Tak Mudah
Jalan Tol Serang–Panimbang memiliki panjang total 83,67 km dan dibagi menjadi tiga seksi: Seksi 1 (Serang–Rangkasbitung, 26,5 km), Seksi 2 (Rangkasbitung–Cileles, 24,17 km), dan Seksi 3 (Cileles–Panimbang, 33 km). Proyek ini dikelola oleh PT Wijaya Karya Serang Panimbang, sebuah konsorsium dari tiga BUMN: PT Wijaya Karya (WIKA), PT Pembangunan Perumahan (PP), dan PT Jababeka Infrastruktur.
Meski telah ditetapkan sebagai PSN dengan berbagai kemudahan kebijakan, kenyataannya pembangunan tol ini masih menghadapi keterlambatan signifikan. Dari target integrasi penuh pada tahun 2023, kini mundur ke 2025. Hingga saat ini, hanya Seksi 1 yang telah beroperasi, sedangkan dua seksi lainnya masih dalam tahap konstruksi dan pengadaan pembiayaan.
Studi Kasus: Ketimpangan Target Lalu Lintas dan Dampaknya terhadap Konsesi
Salah satu indikator keterlambatan dan kegagalan pencapaian target adalah realisasi lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang jauh di bawah proyeksi awal. Berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), target LHR untuk tahun 2022 adalah 9.340 kendaraan, namun realisasi hanya 5.590 kendaraan (59,85%). Di tahun 2023, target 10.274 kendaraan hanya tercapai 5.770 kendaraan (56,16%).
Rendahnya trafik ini berdampak pada perpanjangan masa konsesi PT WIKA Serang Panimbang, dari 40 tahun menjadi 50 tahun. Ini menandakan bahwa asumsi awal proyek, khususnya dalam proyeksi pengguna dan pendapatan, belum mencerminkan realitas di lapangan.
Masalah Klasik: Legalitas Lahan dan Pendanaan
Salah satu kendala terbesar yang dihadapi proyek ini adalah pembebasan lahan. Meskipun masyarakat menerima harga ganti rugi yang ditawarkan, banyak dari mereka tidak memiliki dokumen legal atas tanahnya. Hal ini memperlambat proses pembebasan karena perlu intervensi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk penerbitan sertifikat baru.
Di sisi lain, pendanaan proyek juga menghadapi hambatan. Pemerintah telah memberikan Viability Gap Fund (VGF) untuk mendukung pembangunan seksi 1 dan 2. Namun, pendanaan untuk seksi 3 mengandalkan pinjaman luar negeri dari Tiongkok yang ternyata hanya mampu membiayai sebagian proyek. Akibatnya, penyelesaian seksi 3 yang vital bagi akses ke KEK Tanjung Lesung tertunda.
Infrastruktur Minim, Dampak Sosial Terbatas
Jalan tol yang telah beroperasi baru memiliki satu Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) di arah Rangkasbitung, dengan fasilitas yang minim: hanya ada warung kecil, toilet, musala, dan tambal ban. SPBU belum tersedia, kios masih kosong, dan jumlah pengunjung sangat rendah. Hal ini memperkuat kesan bahwa proyek ini belum memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat sekitar.
Masyarakat yang sebelumnya berharap pada peningkatan pendapatan, terutama pedagang makanan dan minuman, justru menyatakan bahwa peningkatan pelanggan hanya terjadi saat akhir pekan atau libur panjang. Artinya, manfaat ekonomi jalan tol belum menyentuh kehidupan sehari-hari mereka secara signifikan.
Realitas Sosial: Antara Dukungan dan Kekhawatiran
Observasi lapangan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan jalan tol. Mereka mengapresiasi kemudahan akses ke Jakarta, Merak, dan daerah lain karena terhubung dengan jaringan Tol Trans Jawa. Bahkan muncul minat dari investor untuk membuka usaha di Rangkasbitung, yang menunjukkan sinyal positif dari sektor properti dan UMKM.
Namun, ada kekhawatiran lain. Harga lahan di sekitar Kecamatan Cibadak melonjak dari di bawah Rp2 juta menjadi Rp3 juta per meter persegi, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya urbanisasi liar dan spekulasi tanah. Di sisi lain, tarif tol yang tergolong mahal membuat masyarakat lebih memilih menggunakan KRL commuter line dari Rangkasbitung ke Jakarta. Biaya perjalanan tol mencapai Rp40 ribu per sekali jalan lebih tinggi dari tarif kereta api yang hanya sekitar Rp8.000–Rp10.000.
Kritik terhadap Implementasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Meski struktur organisasi dan pelaksana proyek telah ditetapkan secara rapi, kenyataannya belum semua berjalan lancar. Pemerintah daerah Provinsi Banten sebenarnya telah aktif melakukan monitoring dan evaluasi, terutama terkait pembebasan lahan dan progress konstruksi. Namun, kendala di level teknis dan administratif tetap menjadi tantangan berat.
Beberapa kelemahan utama yang teridentifikasi antara lain:
Pelajaran untuk Proyek Strategis Nasional Lainnya
Dari studi kasus Serang–Panimbang ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil untuk perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis nasional lainnya:
Kesimpulan: Infrastruktur Tidak Cukup, Perlu Kebijakan yang Adaptif
Kehadiran Jalan Tol Serang–Panimbang memang menjanjikan peningkatan konektivitas dan integrasi kawasan ekonomi baru. Namun, seperti yang disorot dalam penelitian ini, kebijakan saja tidak cukup. Harus ada penyesuaian strategi di tengah pelaksanaan agar proyek tidak hanya selesai secara fisik, tetapi juga berdampak nyata secara sosial dan ekonomi.
Implementasi kebijakan PSN harus lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, tidak sekadar mengikuti kerangka kerja birokratis. Dengan perencanaan yang lebih responsif, komunikasi yang aktif antar pemangku kepentingan, dan strategi pembiayaan yang fleksibel, proyek jalan tol semacam ini bisa menjadi katalisator pembangunan wilayah, bukan sekadar monumen infrastruktur.
Sumber Asli Artikel
Utami, R. N., Wicaksana, H. H., Bratakusumah, D. S., & Hidayat, Y. R. (2024). Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang - Panimbang. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 7, No. 1, Juni 2024, hlm. 64–73. ISSN 2622–0253.