Pembangunan yang Terhenti di Persimpangan Jalan
Industri konstruksi Afghanistan berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, negara ini membutuhkan pembangunan masif dari infrastruktur dasar hingga fasilitas publik modern untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Di sisi lain, proyek-proyek konstruksi di Afghanistan kerap terguncang oleh tantangan besar: ketidakpastian politik, keterbatasan sumber daya manusia, dan lemahnya sistem manajemen.
Ini terjadi karena selama dua dekade terakhir, Afghanistan melakukan banyak Pembangunan, dari jalan raya yang menghubungkan kota-kota besar, jembatan penghubung desa, hingga gedung pemerintahan, rumah sakit, dan sekolah, negara ini berusaha bangkit dari keterpurukan panjang akibat perang. Namun, meski miliaran dolar telah digelontorkan baik dari pemerintah maupun lembaga donor internasional, banyak proyek yang berjalan tersendat, bahkan gagal mencapai targetnya.
Salah satu akar persoalan yang jarang dibicarakan adalah kualitas manajemen di balik proyek-proyek tersebut. Bukan hanya soal kurangnya dana atau material, melainkan keterbatasan kompetensi manajer proyek konstruksi. Penelitian berjudul “Proposed Competencies Required for Construction Project Managers in Afghanistan” yang dilakukan oleh Mohammad Najim Wahedy dan Amanullah Faqiri (2021) menegaskan bahwa di Afghanistan, keberhasilan proyek konstruksi sangat ditentukan oleh kompetensi orang-orang yang memimpin dan mengelola proyek.
Artikel ini mencoba mengurai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kompetensi itu, mengapa ia penting dalam konteks Afghanistan, apa temuan riset terkait, dan bagaimana kompetensi tersebut bisa membentuk masa depan pembangunan di negara tersebut.
Kompleksitas Proyek dan Beban Afghanistan
Proyek konstruksi di mana pun selalu identik dengan kompleksitas. Tetapi di Afghanistan, kompleksitas itu berlipat ganda. Negara ini bukan hanya menghadapi tantangan teknis seperti keterlambatan material atau kekurangan tenaga kerja terampil, melainkan juga problem keamanan, birokrasi yang sering berubah, serta kondisi politik yang tidak stabil.
Banyak proyek jalan raya, misalnya, terpaksa dihentikan karena jalur distribusi material tidak aman. Ada pula proyek sekolah yang terhenti akibat kontraktor mundur setelah menghadapi kendala keamanan. Situasi seperti ini menuntut manajer proyek bukan hanya bisa membaca gambar teknik atau menghitung anggaran, tetapi juga mampu mengelola risiko dalam situasi penuh ketidakpastian.
Wahedy dan Faqiri menegaskan, proyek konstruksi di Afghanistan sering kali gagal bukan karena kesalahan teknis, melainkan karena lemahnya kapasitas manajemen. Proyek yang seharusnya selesai dalam dua tahun bisa molor hingga lima tahun. Anggaran yang semula dihitung 10 juta dolar melonjak menjadi 15 juta atau bahkan 20 juta dolar. Lebih parah lagi, kualitas bangunan yang dihasilkan sering tidak sesuai standar, sehingga umur infrastruktur menjadi pendek. Semua itu menunjukkan perlunya standar kompetensi yang jelas bagi manajer proyek konstruksi.
Mengapa Kompetensi Manajer Proyek Jadi Sorotan?
Banyak orang beranggapan bahwa seorang manajer proyek hanya perlu menguasai aspek teknis: tahu bagaimana membuat jadwal, membaca gambar arsitektur, atau menghitung anggaran. Namun penelitian ini memperlihatkan bahwa kompetensi jauh lebih luas daripada itu. Manajemen proyek pada dasarnya adalah seni mengubah rencana menjadi kenyataan. Namun di sektor konstruksi, proses ini tidak pernah sederhana. Ada tiga faktor utama yang membuat kompetensi manajer proyek krusial:
- Kompleksitas Proyek. Proyek konstruksi melibatkan ratusan bahkan ribuan pekerja, vendor, serta kontraktor. Satu kesalahan kecil dalam koordinasi bisa berakibat penundaan besar.
- Risiko dan Ketidakpastian. Di Afghanistan, risiko lebih tinggi karena faktor keamanan, regulasi yang sering berubah, serta keterbatasan logistik.
- Keterlibatan Multi-Stakeholder. Banyak proyek dibiayai lembaga internasional. Artinya, manajer proyek harus memahami standar global, melaporkan secara transparan, dan menjaga kepercayaan donor.
Bayangkan seorang manajer proyek di Kabul yang harus mengawasi pembangunan gedung pemerintah. Ia tidak hanya berurusan dengan kontraktor lokal, tetapi juga dengan insinyur asing, pemerintah kota, bahkan warga sekitar. Tanpa kemampuan komunikasi lintas budaya, negosiasi, dan kepemimpinan yang adaptif, konflik akan segera muncul. Di sinilah kompetensi memainkan peran yang menentukan. Dalam kondisi seperti itu, seorang manajer proyek bukan hanya pengawas teknis, melainkan pemimpin yang menyatukan visi dan strategi.
Tiga Pilar Kompetensi: IQ, MQ, dan EQ
Penelitian Wahedy dan Faqiri membagi kompetensi manajer proyek dalam tiga pilar utama: Intellectual Quotient (IQ), Managerial Quotient (MQ), dan Emotional Quotient (EQ).
IQ berkaitan dengan kemampuan analitis dan pengetahuan teknis. Seorang manajer proyek dituntut mampu berpikir kritis, merancang strategi, dan mengambil keputusan berdasarkan data. Dalam konteks Afghanistan, IQ diperlukan untuk membaca situasi pasar material yang sering tidak stabil. Misalnya, ketika harga semen melonjak drastis karena hambatan impor, manajer proyek harus segera mencari solusi alternatif tanpa menurunkan kualitas bangunan.
MQ atau kecerdasan manajerial lebih menekankan pada keterampilan mengatur orang dan sumber daya. Seorang manajer proyek dengan MQ tinggi mampu mengoordinasikan ratusan pekerja dengan berbagai latar belakang, memastikan setiap bagian dari proyek berjalan sesuai jadwal, dan menjaga anggaran tetap terkendali. Di Afghanistan, tantangan MQ sering terlihat ketika proyek melibatkan subkontraktor lokal yang kurang berpengalaman. Manajer proyek harus pintar membagi tugas, melakukan supervisi, dan memberikan arahan yang jelas agar hasil tetap sesuai standar.
EQ atau kecerdasan emosional, menurut penelitian, sama pentingnya dengan IQ dan MQ. EQ menentukan bagaimana seorang manajer mengendalikan emosinya sendiri sekaligus memahami emosi orang lain. Dalam proyek-proyek Afghanistan, konflik antar kontraktor, tekanan dari pemerintah lokal, hingga kekecewaan masyarakat sering kali menjadi hambatan. Seorang manajer proyek dengan EQ rendah mudah terpancing emosi, kehilangan kendali, dan akhirnya memperburuk situasi. Sebaliknya, manajer dengan EQ tinggi bisa menjadi penengah, meredakan konflik, dan menjaga semangat tim tetap tinggi meski proyek menghadapi hambatan besar.
Dengan kata lain, ketiga aspek ini saling melengkapi. IQ memberikan fondasi pengetahuan, MQ menggerakkan roda organisasi, dan EQ menjaga harmoni dalam perjalanan proyek.
Studi Kasus: Proyek yang Tertunda karena Lemahnya Kompetensi
Penelitian ini mengungkap sejumlah studi kasus yang menggambarkan bagaimana lemahnya kompetensi manajer proyek berujung pada kegagalan. Salah satu contohnya adalah pembangunan sebuah gedung pemerintahan di Kabul. Proyek yang semula direncanakan selesai dalam tiga tahun justru molor hingga lebih dari lima tahun.
Penyebabnya bukan semata-mata persoalan dana, tetapi keputusan manajer proyek yang kurang tepat. Ketika impor material tertahan di perbatasan, manajer proyek memilih menggunakan material lokal yang tidak sesuai standar. Akibatnya, konstruksi harus diulang di beberapa bagian, menambah biaya jutaan dolar. Keputusan darurat yang seharusnya menyelamatkan proyek justru memperburuk keadaan karena tidak dilandasi analisis mendalam.
Ada pula proyek pembangunan sekolah di pedesaan yang gagal total. Konflik antar subkontraktor tidak ditangani dengan baik, sehingga pekerjaan terbengkalai. Ratusan anak akhirnya harus belajar di tenda darurat. Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya kompetensi komunikasi, negosiasi, dan mediasi dalam tugas seorang manajer proyek.
Mengapa Afghanistan Membutuhkan Standar Kompetensi?
Di banyak negara maju, seorang manajer proyek tidak bisa begitu saja diangkat tanpa melalui proses sertifikasi. Ada standar internasional yang harus dipenuhi, seperti PMI (Project Management Institute) atau IPMA (International Project Management Association). Sertifikasi ini memastikan bahwa seorang manajer proyek benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
Namun di Afghanistan, mekanisme seperti itu belum berjalan optimal. Banyak manajer proyek ditunjuk berdasarkan pengalaman lapangan semata, tanpa uji kompetensi yang memadai. Akibatnya, proyek sering ditangani oleh orang-orang yang tidak siap menghadapi kompleksitas sebenarnya.
Wahedy dan Faqiri berargumen bahwa Afghanistan harus segera mengembangkan sistem sertifikasi dan pelatihan yang terstandar internasional. Dengan begitu, manajer proyek lokal tidak hanya bisa menangani proyek dalam negeri, tetapi juga bersaing di tingkat global. Langkah ini penting bukan hanya untuk kualitas proyek, tetapi juga untuk meningkatkan kredibilitas Afghanistan di mata investor dan donor internasional.
Rekomendasi Penelitian: Jalan Menuju Profesionalisme
Penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi konkrit. Pertama, pemerintah dan universitas perlu memperkuat pendidikan manajemen proyek dengan kurikulum yang berbasis standar global. Mata kuliah tentang komunikasi, kepemimpinan, dan resolusi konflik harus menjadi bagian utama, bukan tambahan.
Kedua, perusahaan konstruksi perlu berinvestasi dalam program pelatihan dan mentoring. Manajer proyek junior sebaiknya didampingi oleh mentor senior agar proses transfer pengetahuan berjalan. Hal ini penting mengingat banyak manajer proyek muda di Afghanistan belum memiliki pengalaman menghadapi krisis nyata di lapangan.
Ketiga, lembaga donor internasional yang membiayai proyek di Afghanistan harus ikut mendorong penerapan standar kompetensi. Mereka bisa mensyaratkan sertifikasi tertentu bagi manajer proyek, sehingga proyek yang didanai benar-benar ditangani oleh orang yang tepat.
Langkah-langkah ini, menurut penelitian, akan membantu menciptakan generasi baru manajer proyek yang lebih profesional, berdaya saing global, dan mampu memimpin pembangunan di tengah tantangan Afghanistan.
Catatan Kritis: Apa yang Belum Terjawab?
Meski penelitian ini memberikan kerangka yang jelas, ada beberapa catatan kritis. Pertama, studi ini masih terbatas pada analisis konseptual dan persepsi, belum banyak data kuantitatif yang bisa mengukur secara pasti sejauh mana kompetensi tertentu berpengaruh terhadap keberhasilan proyek.
Kedua, penelitian ini belum sepenuhnya mengakomodasi konteks lokal Afghanistan. Misalnya, bagaimana cara menyesuaikan standar internasional dengan kondisi lapangan yang penuh ketidakpastian? Bagaimana menghadapi keterbatasan dana untuk pelatihan? Pertanyaan-pertanyaan ini masih perlu kajian lanjutan.
Namun demikian, penelitian ini tetap memberi sumbangan penting sebagai pijakan awal. Ia membuka diskusi tentang pentingnya kompetensi manajer proyek, sebuah tema yang selama ini kurang mendapat perhatian di Afghanistan.
Dari Afghanistan untuk Dunia
Meskipun berfokus pada Afghanistan, temuan penelitian ini sejatinya relevan untuk banyak negara berkembang lain. Keterbatasan manajer proyek kompeten juga dialami oleh negara-negara lain di Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Banyak proyek pembangunan gagal karena pemimpinnya tidak siap menghadapi kompleksitas.
Afghanistan, dengan segala tantangannya, bisa menjadi cermin global. Ia menunjukkan betapa pentingnya investasi pada sumber daya manusia, bukan hanya pada material dan dana. Tanpa manajer proyek yang kompeten, pembangunan sebesar apa pun akan mudah runtuh.
Kesimpulan: Menyusun Fondasi Masa Depan
Penelitian yang dilakukan Wahedy dan Faqiri menegaskan satu hal sederhana tetapi krusial: kompetensi manajer proyek adalah jantung dari keberhasilan pembangunan. Afghanistan tidak cukup hanya membangun gedung, jalan, atau jembatan. Negara ini harus membangun kapasitas manusia yang mampu memimpin proyek-proyek tersebut dengan standar profesional.
Jika rekomendasi penelitian ini dijalankan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan Afghanistan bisa memiliki generasi manajer proyek yang lebih terlatih, lebih adaptif, dan lebih siap bersaing di tingkat internasional. Hasilnya tidak hanya infrastruktur yang lebih baik, tetapi juga kepercayaan publik dan donor yang meningkat.
Dengan kata lain, kompetensi manajer proyek bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi bagi masa depan pembangunan Afghanistan.
Sumber Artikel:
Wahedy, M. N., & Faqiri, A. (2021). Proposed competencies required for construction project managers in Afghanistan. International Journal of Advanced Academic Studies, 3(1), 192-203.