Krisis Air Dunia: Diagnosis, Dampak, dan Jalan Transformasi Menuju Masa Depan Berkeadilan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

25 Juni 2025, 10.22

pixabay.com

Air adalah fondasi kehidupan, ekonomi, dan ekosistem. Namun, laporan “The What, Why and How of the World Water Crisis” dari Global Commission on the Economics of Water (Maret 2023) menegaskan: dunia berada di persimpangan jalan. Krisis air bukan sekadar soal kekurangan, kelebihan, atau polusi air—tetapi juga tentang perubahan siklus air global akibat aktivitas manusia, tata kelola yang tidak adil, dan kegagalan kolektif dalam memandang air sebagai “global common good”. Artikel ini merangkum, menganalisis, dan mengkritisi temuan utama laporan tersebut, memperkaya dengan studi kasus, data konkret, serta membandingkannya dengan tren dan solusi global.

Apa Itu Krisis Air Dunia? Perspektif Baru: Air sebagai Global Common Good

Mengubah Paradigma: Dari Sumber Daya ke Prinsip Pengorganisasian

Laporan ini mengusulkan kerangka baru: air bukan sekadar sektor atau input ekonomi, melainkan prinsip pengorganisasian yang menghubungkan semua SDGs, aksi iklim, dan konservasi biodiversitas. Krisis air kini adalah krisis sistemik siklus air global—terjadi di semua skala, dari lokal hingga planet, dan memengaruhi seluruh aspek kehidupan1.

Dua Warna Air: Blue Water dan Green Water

  • Blue water: Air permukaan (sungai, danau, akuifer) yang menopang 30% produksi pangan dunia dan ekosistem air tawar.
  • Green water: Kelembaban tanah yang menghidupi 70% produksi pangan (rainfed agriculture) dan seluruh vegetasi alami.

Dunia telah melampaui batas aman konsumsi blue water (161–414 km³/tahun pada 2023, diproyeksi naik ke 501–754 km³/tahun pada 2050) dan kemungkinan juga green water, mengancam ketahanan pangan dan ekosistem1.

Mengapa Krisis Air Terjadi? Diagnosis Sistemik dan Data Terkini

1. Faktor Pendorong Utama

  • Pertumbuhan penduduk: Populasi global diproyeksi mencapai 9,7 miliar pada 2050, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, meningkatkan permintaan air, pangan, dan energi1.
  • Urbanisasi: 55% manusia kini tinggal di kota (naik jadi 68% pada 2050), meningkatkan konsumsi air dan limbah, serta memperparah polusi dan banjir perkotaan.
  • Perubahan iklim: Memicu cuaca ekstrem (banjir, kekeringan), kenaikan muka laut, dan gangguan pola hujan. Pada 2070, dua pertiga daratan dunia akan mengalami penurunan cadangan air tanah.
  • Teknologi dan inovasi: Sisi positif—teknologi irigasi presisi, sensor, dan remote sensing. Sisi negatif—over-pumping akuifer, polusi limbah industri, dan teknologi yang memperparah eksploitasi air.
  • Ketimpangan dan tata kelola buruk: Akses air sangat timpang—2 miliar orang tanpa air minum layak, 3,6 miliar tanpa sanitasi layak, dan 670 juta masih buang air sembarangan. 71% beban mengambil air di Afrika Sub-Sahara dipikul perempuan dan anak perempuan1.

2. Tekanan Langsung dan Dampak

  • Konsumsi air global naik 4x lipat sejak 1900 (dari 500 km³ ke 4.000 km³/tahun pada 2022).
  • 80% limbah domestik dan industri dibuang tanpa pengolahan.
  • Setiap tahun, 300–400 juta ton limbah beracun masuk ke air permukaan.
  • Dampak ekonomi: Kekurangan air bisa memangkas 6% PDB di kawasan rawan (West Asia, Sahel Afrika) pada 2050.
  • Dampak kesehatan: 1,4 juta orang tewas per tahun akibat penyakit terkait air kotor; diare saja membunuh 829.000 orang/tahun, termasuk 300.000 anak balita.

Studi Kasus Krisis dan Dampak Nyata

A. Banjir Pakistan 2022

  • Curah hujan naik 190% (Juni–Agustus) dari rata-rata 30 tahun.
  • 33 juta orang terdampak, 10 juta anak butuh bantuan, ribuan rumah rusak.
  • Kerugian ekonomi: USD 15,2 miliar (setara 4% PDB Pakistan).
  • Dampak lanjutan: Krisis kesehatan—malnutrisi, diare, malaria, demam berdarah, tifus, infeksi saluran pernapasan, dan penyakit kulit1.

B. Badai Ian, Florida 2022

  • Kategori 4, salah satu badai terkuat di AS.
  • 140+ korban jiwa, 11.000 rumah hancur.
  • Kerugian ekonomi: USD 41–70 miliar.
  • Tren: Biaya bencana air makin naik dari tahun ke tahun1.

C. Proyeksi Krisis Pangan 2050

Model GTAP-DynW memproyeksikan penurunan pasokan pangan global akibat stres air dan panas:

  • Penurunan pasokan pangan global 6–14% (tergantung skenario iklim).
  • Di Afrika, penurunan pasokan pangan bisa mencapai 11%, Australia 14,7%, Amerika Selatan 19,4%, China 22,4%, India 16,1%.
  • Jumlah orang rawan pangan berat naik tajam di Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan, dan ASEAN.
  • Pada 2050, China dan negara ASEAN diproyeksi berubah dari eksportir jadi importir pangan1.

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan: Biaya Inaction yang Fantastis

  • Kerugian ekonomi akibat air kotor dan sanitasi buruk: USD 260 miliar/tahun.
  • Kerugian ekosistem: USD 4,3–20,2 triliun/tahun.
  • Displacement: 700 juta orang berisiko mengungsi akibat air pada 2030.
  • Dampak konflik: 202 konflik terkait air pada 2020–2022, 795 kasus di Environmental Justice Atlas, 629 konflik 2010–2019.
  • Konflik lintas negara: Sungai Nil (Mesir–Ethiopia), Indus, Mekong, Colorado, dan lain-lain. Meski ada 700+ perjanjian lintas batas, ketegangan tetap tinggi, terutama karena belum ada ratifikasi luas atas konvensi global (hanya 25% negara ratifikasi UN Watercourses Convention 1997)1.

Mengapa Solusi Lama Gagal? Hambatan Tata Kelola dan Investasi

1. Institutional Lock-in

  • Tata kelola air terfragmentasi: 30+ lembaga PBB, ratusan perjanjian, namun tak ada koordinasi global atas siklus air.
  • Hak kepemilikan air timpang: Di Australia, AS, Kanada, Afrika Selatan, dan India, hak air terkonsentrasi pada kelompok tertentu, seringkali mengorbankan masyarakat adat dan petani kecil.
  • Korupsi dan vested interests: Investasi air sering menguntungkan elite politik/korporasi, bukan masyarakat luas.
  • Remunicipalisasi: Banyak negara kembali ke pengelolaan air publik setelah privatisasi gagal memperbaiki layanan1.

2. Infrastructural Lock-in

  • Biaya pembaruan infrastruktur air dan sanitasi global: USD 6,7 triliun/tahun hingga 2050 (7% PDB dunia).
  • Investasi lebih condong ke infrastruktur abu-abu (bendungan, pipa), kurang pada solusi hijau (restorasi lahan basah, hutan).
  • Subsidisasi air dan energi sering salah sasaran, memperparah ketimpangan dan eksploitasi berlebih (misal: subsidi listrik irigasi di India mempercepat penurunan akuifer).

3. Technology Gaps

  • Teknologi desalinasi mahal dan menghasilkan limbah brine.
  • Teknologi irigasi presisi sering gagal menurunkan konsumsi air karena efek rebound.
  • Kurangnya adopsi teknologi pemantauan dan pengelolaan berbasis data di negara berkembang.

4. Behavioural Lock-in

  • Silo sektoral di pemerintahan/perusahaan menghambat solusi lintas sektor.
  • Kurangnya pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan adat dalam tata kelola air.
  • Norma sosial yang menghambat perubahan perilaku konservasi air.

Solusi dan Kerangka Baru: Air sebagai “Global Common Good”

1. Mengubah Cara Pandang dan Tata Kelola

  • Air sebagai common good: Mengakui air sebagai hak asasi, sumber daya bersama, dan fondasi ekosistem.
  • Pendekatan misi: Kebijakan ekonomi harus berorientasi pada misi (mission-oriented), bukan sekadar memperbaiki kegagalan pasar.
  • Keadilan sebagai prinsip utama: Transformasi tata kelola air harus mengedepankan keadilan antar-generasi, antar-negara, antar-komunitas, dan antar-spesies.

2. Reformasi Ekonomi Air

  • Valuasi air menyeluruh: Mengintegrasikan nilai ekonomi, ekologi, budaya, dan sosial dalam pengambilan keputusan.
  • Harga air yang adil: Harga harus mencerminkan kelangkaan, biaya lingkungan, dan tetap memperhatikan keterjangkauan bagi kelompok rentan.
  • Reformasi subsidi: Mengalihkan subsidi dari kelompok kaya ke kelompok miskin dan investasi pada infrastruktur hijau.

3. Pembentukan dan Regulasi Pasar Air

  • Pasar air formal (contoh: Murray-Darling Basin, Australia) bisa efektif jika diatur dengan baik dan memperhatikan hak masyarakat adat dan kelompok rentan.
  • Pasar kualitas air masih terbatas, namun bisa dikembangkan (contoh: salinity credits di Australia).
  • Perlu pengawasan ketat dan audit hidrologi untuk mencegah manipulasi dan ketimpangan.

4. Inovasi dan Skala Investasi

  • Kebutuhan investasi untuk SDG 6 (air bersih dan sanitasi): butuh kenaikan 4x lipat dari tingkat saat ini.
  • Lebih dari 50% dana harus diarahkan ke kelompok 40% termiskin.
  • Perlu insentif bagi sektor swasta, model blended finance, dan investasi pada solusi berbasis alam.
  • Contoh: Sektor keuangan Belanda terekspos EUR 83 miliar pada aset di wilayah rawan air tinggi—risiko sistemik jika tak diantisipasi1.

5. Integrasi Pengetahuan dan Kolaborasi

  • Braiding knowledge: Menggabungkan pengetahuan adat dan sains modern dalam perencanaan dan perlindungan sumber air (contoh: Chippewas of Nawash Unceded First Nation di Kanada).
  • Kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat kunci untuk solusi berkelanjutan.

Kritik, Opini, dan Perbandingan Global

Kritik

  • Transformasi butuh kemauan politik dan perubahan sistemik, bukan sekadar teknologi atau investasi.
  • Tantangan terbesar adalah mengatasi vested interests, korupsi, dan fragmentasi tata kelola.
  • Pasar air tanpa regulasi dan keadilan justru memperparah ketimpangan.

Perbandingan dengan Praktik Terbaik

  • Australia: Sukses membangun pasar air formal, namun masih timpang bagi masyarakat adat.
  • Singapura: Diversifikasi sumber air, investasi besar pada teknologi dan edukasi publik.
  • Israel: Irigasi presisi, daur ulang air limbah, dan pricing progresif.
  • Belanda: Integrasi tata kelola air, keuangan, dan risiko sistemik.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs: Air terkait langsung dengan SDG 6 (air bersih), SDG 13 (iklim), SDG 2 (pangan), SDG 15 (ekosistem darat), dan SDG 16 (keadilan).
  • Ekonomi sirkular dan nature-based solutions: Investasi pada restorasi lahan basah, hutan, dan solusi hijau makin diminati.
  • Digitalisasi: Sensor, big data, dan remote sensing mulai diadopsi untuk monitoring dan alokasi air.

Jalan Transformasi Menuju Masa Depan Air Berkeadilan

Krisis air dunia adalah krisis sistemik—soal tata kelola, keadilan, dan kegagalan kolektif, bukan sekadar kelangkaan fisik. Laporan ini menegaskan: tanpa perubahan paradigma, dunia akan menghadapi kerugian ekonomi, sosial, dan ekologi yang jauh lebih besar daripada biaya transformasi. Kunci solusi adalah mengelola air sebagai global common good, memperkuat keadilan, dan membangun tata kelola kolaboratif lintas sektor dan negara.

Saatnya bergerak dari “business as usual” ke transformasi sistemik—demi masa depan yang adil, tangguh, dan lestari bagi semua.

Sumber Artikel

The What, Why and How of the World Water Crisis: Global Commission on the Economics of Water Phase 1 Review and Findings. March 2023.