Air bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan fondasi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Dalam beberapa dekade terakhir, isu air semakin menonjol dalam diskursus keamanan global. Paper “Water, Security, and Conflict” karya Peter Gleick dan Charles Iceland (WRI, 2018) menjadi salah satu referensi kunci yang membedah keterkaitan antara risiko air, konflik, migrasi, dan ketahanan pangan. Artikel ini merangkum, menganalisis, dan mengkritisi temuan utama paper tersebut, memperkaya dengan studi kasus, data konkret, serta membandingkannya dengan tren global dan pengalaman nyata di berbagai kawasan.
Mengapa Krisis Air Kini Lebih Mendesak?
Tren Global yang Memperparah Risiko Air
- Pertumbuhan Penduduk: Populasi dunia melonjak pesat. Contohnya, populasi Suriah naik empat kali lipat dari 5 juta (1962) menjadi 20 juta (2011), sementara Irak melonjak dari 8 juta menjadi hampir 40 juta dalam periode yang sama. Nigeria bahkan tumbuh dari 45 juta (1960) menjadi 190 juta saat ini. Tekanan terhadap sumber air pun meningkat drastis1.
- Urbanisasi dan Ekonomi: Lebih dari separuh penduduk dunia kini tinggal di perkotaan, dengan hampir 30 megakota berpenduduk di atas 10 juta jiwa. Pertumbuhan kelas menengah di negara berkembang meningkatkan konsumsi air, terutama untuk makanan dan energi1.
- Perubahan Iklim: Pola curah hujan berubah, musim kering dan banjir makin ekstrem, serta kualitas air memburuk akibat suhu yang naik. Dampaknya, ketersediaan air menurun di banyak wilayah, terutama di lintang menengah1.
- Degradasi Lingkungan: Hutan dan lahan basah yang hilang, serta limbah domestik dan industri yang mencemari sungai dan akuifer, membuat banyak sumber air permukaan dan air tanah tak lagi layak digunakan1.
Kerangka Analisis: Jalur Menuju Krisis Air dan Konflik
Gleick dan Iceland mengklasifikasikan jalur risiko air ke dalam tiga kategori utama:
1. Penurunan Pasokan atau Kualitas Air
- Kekeringan: Contoh ekstrem terjadi di Somalia (2010–2012), di mana 260.000 orang tewas akibat kelaparan yang dipicu kekeringan parah dan runtuhnya negara. Kekeringan juga berperan dalam memicu konflik Suriah pada 2011, mendorong migrasi 1,5 juta petani ke kota dan memperburuk instabilitas sosial1.
- Pencemaran: Di São Paulo, Brazil, waduk Billings terlalu tercemar untuk digunakan, memperburuk krisis air saat kekeringan 2014–2015. Hampir setengah dari 20 juta warga metropolitan terancam tanpa pasokan air bersih1.
- Intrusi Air Asin: Jakarta dan kota-kota pesisir lain menghadapi kontaminasi air tanah akibat penarikan berlebih dan naiknya muka laut1.
- Dampak Bendungan dan Diversi Air: Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil memicu ketegangan antara Ethiopia dan Mesir, karena 85% air Nil berasal dari Ethiopia. Di Kenya, pengalihan aliran sungai Ewaso Nyiro menyebabkan Lorian Swamp mengering, memicu migrasi keluar dari kawasan tersebut1.
2. Peningkatan Permintaan Air
- Pertanian Intensif: Kebijakan swasembada pangan Suriah sejak 1960-an meningkatkan produksi pangan, tetapi tidak berkelanjutan karena kebutuhan air melebihi ketersediaan. Over-ekstraksi air tanah memperparah dampak kekeringan 2006–2011 dan memicu migrasi besar-besaran1.
- Urbanisasi: Cape Town, Afrika Selatan, hampir mengalami “Day Zero” pada 2018, di mana pasokan air kota 4 juta jiwa nyaris habis akibat kombinasi pertumbuhan penduduk, kekeringan tiga tahun, dan kurangnya sumber alternatif1.
- Tekanan di Daerah Tadah Hujan: Konflik Darfur (2003) dipicu oleh kelangkaan air dan lahan akibat kekeringan panjang, desertifikasi, dan pertumbuhan penduduk. Persaingan antara penggembala dan petani memicu konflik yang berkepanjangan1.
3. Banjir Ekstrem
- Banjir Sungai dan Badai: Pada Agustus 2017, banjir di Asia Selatan menewaskan lebih dari 1.200 orang dan berdampak pada 40 juta penduduk di India, Nepal, Bangladesh, dan Pakistan1.
- Dampak Ekonomi: Banjir besar di Thailand (2011) menyebabkan kerugian ekonomi sekitar $46 miliar, mengganggu rantai pasok industri otomotif dan elektronik global selama berbulan-bulan1.
Studi Kasus: Krisis Air sebagai Pemicu Konflik dan Migrasi
A. Suriah: Daur Ulang Konflik, Kekeringan, dan Migrasi
Suriah menjadi contoh klasik bagaimana krisis air memicu ketidakstabilan. Kebijakan pertanian intensif yang tidak berkelanjutan memperparah over-ekstraksi air tanah. Ketika kekeringan terburuk dalam sejarah melanda (2006–2011), 1,5 juta petani dan keluarganya bermigrasi ke kota-kota, meningkatkan pengangguran dan ketegangan sosial. Faktor-faktor ini, bersama tekanan ekonomi dan politik, berkontribusi pada pecahnya perang saudara pada 20111.
B. Somalia: Kekeringan dan Negara Gagal
Antara 2010–2012, Somalia dilanda kekeringan parah yang menewaskan 260.000 orang. Negara yang sudah lemah secara politik dan ekonomi tak mampu merespons krisis, sehingga kekeringan berujung pada kelaparan massal dan migrasi besar-besaran1.
C. São Paulo: Kombinasi Kekeringan dan Pencemaran
Krisis air di São Paulo pada 2014–2015 memperlihatkan bagaimana pencemaran memperparah dampak kekeringan. Waduk utama tercemar limbah sehingga tidak dapat digunakan, memaksa pemerintah mempertimbangkan skenario ekstrem di mana jutaan warga metropolitan kehilangan akses air bersih1.
D. Kenya: Pengalihan Air dan Migrasi
Lorian Swamp di Kenya, yang dulunya menjadi penyangga kehidupan bagi penggembala dan pengungsi Somalia, kini mengering akibat pengalihan air sungai untuk hortikultura dan over-ekstraksi air tanah. Akibatnya, kawasan ini berubah dari tujuan migrasi menjadi sumber migrasi keluar1.
E. Ethiopia: Degradasi Lahan dan Restorasi
Di Tigray, Ethiopia, degradasi lahan akibat penggundulan dan penggembalaan berlebih menyebabkan tanah tidak mampu menahan air. Namun, program restorasi selama 20 tahun—penutupan lahan, pembangunan tanggul batu, dan penanaman pohon—berhasil mengembalikan kesuburan tanah dan mencegah migrasi1.
Air sebagai Senjata dan Korban Konflik
- Senjata Perang: Di Timur Tengah, air kerap dijadikan alat perang. Infrastruktur air seperti bendungan, instalasi air bersih, dan sanitasi menjadi target serangan. ISIS pernah menguasai dan mengatur aliran air di Sungai Tigris dan Efrat sebagai taktik perang. Pemerintah Suriah juga dituduh memotong pasokan air ke wilayah oposisi1.
- Dampak Kemanusiaan: Serangan terhadap infrastruktur air di Yaman menyebabkan wabah kolera besar-besaran1.
Peran Tata Kelola: Mengapa Ada Negara yang Bertahan, Ada yang Runtuh?
Paper ini menekankan bahwa krisis air tidak selalu berujung pada konflik. Banyak masyarakat "bertahan" hingga krisis berlalu, bahkan krisis air kadang menjadi pemicu kerja sama. Namun, bila perubahan fisik (misal: kekeringan ekstrem) berlangsung lebih cepat daripada kemampuan institusi beradaptasi, risiko konflik meningkat. Studi Wolf dkk. (2003) menunjukkan bahwa ketahanan institusi dan tata kelola menjadi penentu utama apakah krisis air berujung pada konflik atau kolaborasi1.
Solusi: Strategi Multipronged untuk Mengurangi Risiko Air dan Konflik
1. Efisiensi dan Diversifikasi Sumber Air
- Irigasi Efisien: Irigasi menyerap 70% konsumsi air dunia. Mengganti sistem irigasi boros dengan teknologi hemat air sangat penting.
- Tanaman Tahan Kekeringan: Diversifikasi varietas tanaman untuk mengurangi risiko gagal panen saat kekeringan.
- Pengolahan dan Daur Ulang Air Limbah: Investasi pada teknologi pengolahan limbah dan pemanfaatan air daur ulang1.
2. Tata Kelola dan Kerja Sama Lintas Batas
- Perjanjian Sungai Internasional: Banyak konflik air terjadi di DAS lintas negara. Perjanjian seperti UN Convention on the Law of Non-navigational Uses of International Watercourses (1997) menjadi acuan penting, meski implementasinya masih terbatas di beberapa kawasan1.
- Sistem Data dan Informasi: Penguatan sistem data air dan pemantauan kondisi air sangat krusial untuk deteksi dini dan respons cepat1.
3. Pendekatan Sosial dan Ekonomi
- Jaring Pengaman Sosial: Program bantuan pangan dan tunai membantu masyarakat rentan bertahan saat krisis air.
- Pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk: Edukasi dan layanan kesehatan reproduksi untuk menekan tekanan populasi pada sumber air1.
- Pengurangan Food Loss dan Waste: Mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan berarti mengurangi tekanan pada air1.
4. Investasi Infrastruktur dan Restorasi Alam
- Bendungan, Tanggul, dan Kanal: Infrastruktur fisik untuk mengatur distribusi air dan mengurangi risiko banjir.
- Restorasi Hutan dan Lahan Basah: Mengembalikan fungsi ekosistem sebagai penyangga air dan pengendali banjir1.
5. Diplomasi dan Penguatan Kapasitas Lokal
- Proyek Water, Peace, and Security (WPS): Inisiatif global untuk mengembangkan sistem peringatan dini berbasis data dan membangun kapasitas negara-negara rawan air1.
Kritik dan Opini: Tantangan dan Peluang ke Depan
A. Kelemahan Tata Kelola dan Politik
Krisis air sering kali bukan masalah teknis, melainkan kelemahan politik dan tata kelola. Negara-negara dengan institusi lemah sulit mengelola krisis air, bahkan solusi teknis pun gagal jika tidak didukung kepemimpinan yang efektif dan legitimasi politik1.
B. Potensi Kolaborasi dan Inovasi
Walau konflik air sering menjadi sorotan, lebih banyak kasus di mana krisis air justru mendorong kerja sama lintas negara. Contohnya, lebih banyak perjanjian air lintas batas yang tercipta daripada konflik bersenjata terkait air1.
C. Perbandingan Global
- Singapura: Sukses dengan diversifikasi sumber air (NEWater, desalinasi, panen air hujan) dan tata kelola berbasis data.
- Israel: Pionir irigasi tetes dan daur ulang air limbah untuk pertanian.
- Australia: Investasi besar pada efisiensi air dan edukasi publik selama krisis kekeringan.
D. Tren Industri dan Teknologi
- Digitalisasi: Sistem pemantauan air berbasis IoT dan cloud dapat meningkatkan respons krisis.
- Ekonomi Sirkular: Daur ulang air limbah dan pemanfaatan limbah organik menjadi tren baru dalam industri air.
Relevansi dengan Tren Global dan Masa Depan
- SDGs dan Agenda Global: Krisis air sangat terkait dengan SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 16 (perdamaian dan keadilan).
- Migrasi dan Stabilitas Politik: Krisis air akan makin sering menjadi pemicu migrasi dan instabilitas politik di kawasan rentan, terutama di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
- Peran Swasta dan Inovasi Pembiayaan: Investasi swasta, blended finance, dan green bonds bisa menjadi sumber dana baru untuk infrastruktur air dan restorasi ekosistem.
Kesimpulan: Krisis Air Adalah Krisis Ketahanan dan Keadilan
Paper Gleick dan Iceland menegaskan bahwa air adalah isu keamanan global yang semakin mendesak. Krisis air bukan hanya soal kekurangan fisik, melainkan juga kelemahan tata kelola, ketidakadilan sosial, dan kegagalan politik. Solusi harus bersifat holistik—menggabungkan inovasi teknis, tata kelola yang kuat, kolaborasi lintas sektor dan negara, serta pemberdayaan masyarakat lokal.
Kunci keberhasilan ada pada kesiapan institusi, investasi pada data dan sistem peringatan dini, serta komitmen politik untuk mencegah krisis sebelum menjadi bencana. Dunia harus bergerak cepat, karena semakin lama menunda, risiko konflik, migrasi, dan instabilitas sosial akan semakin besar.
Sumber Artikel dalam Bahasa Asli (tanpa link):
Gleick, Peter & Iceland, Charles.
Water, Security, and Conflict.
World Resources Institute Issue Brief, August 2018.