Keselamatan Kerja

Pelatihan Keselamatan VR: Apakah Kita Mengukur Hal yang Salah?

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025


Video Keselamatan Jadul yang Pernah Kita Tonton Semua

Ingatkah kamu saat dipaksa duduk di ruangan pengap, menatap layar TV tabung yang berkedip-kedip, dan menonton video pelatihan keselamatan dari tahun 90-an? Aktornya kaku, kualitas gambarnya buram, dan musik latarnya terdengar seperti dari lift yang rusak. Saya ingat betul perasaan itu. Pikiran saya melayang ke mana-mana, mencoret-coret buku catatan, dan menghitung menit sampai sesi membosankan itu berakhir. Pelatihan itu sama sekali tidak terasa nyata, dan sejujurnya, tidak ada satu pun informasi yang menempel di kepala.

Ini adalah masalah yang diakui dalam dunia pelatihan profesional. Studi menunjukkan bahwa metode pelatihan tradisional di dalam kelas sering kali "tidak efektif" dan memiliki "tingkat keterlibatan yang terbatas". Kita hanya menonton secara pasif, tidak melakukan apa-apa.   

Lalu, datanglah Virtual Reality (VR).

VR bukan sekadar video. VR adalah sebuah pengalaman. Alih-alih menonton seseorang menjelaskan cara memadamkan api, kamu memegang alat pemadam virtual dan memadamkan api virtual yang berkobar di depanmu. Alih-alih membaca manual tentang bekerja di ketinggian, kamu berdiri di atas gedung pencakar langit virtual, merasakan angin berhembus (secara imajinatif), dan jantungmu berdebar kencang. VR memberikan "tingkat kehadiran yang meningkat" dan kemampuan untuk "gagal dengan aman" dalam skenario berbahaya yang mustahil direplikasi di dunia nyata.   

Perasaan itu tidak bisa disangkal—VR terasa jauh lebih baik. Tapi perasaan bukanlah bukti. Bagaimana kita bisa melampaui faktor "wow" dan membuktikan bahwa teknologi futuristik yang mahal ini benar-benar membuat orang lebih aman di dunia nyata? Pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah studi luar biasa yang mengubah cara saya memandang seluruh industri ini.

Sebuah Tangga Sederhana untuk Mengukur Apa yang Benar-Benar Penting

Sebelum kita menyelami studi tersebut, kita perlu alat ukur. Bayangkan kamu ingin belajar resep rendang yang rumit dari seorang koki di YouTube. Bagaimana kamu tahu jika video tutorial itu benar-benar "efektif"?

Seorang pemikir bernama Donald Kirkpatrick menciptakan kerangka kerja yang brilian untuk ini, yang saya suka bayangkan sebagai "tangga empat anak tangga" untuk mengukur dampak nyata dari pelatihan apa pun.

  • Anak Tangga 1: Reaksi. Apakah kamu menikmati videonya? Apakah sang koki menarik? Apakah kualitas produksinya bagus? Ini adalah perasaan instan dan reaksi emosionalmu.

  • Anak Tangga 2: Pembelajaran. Apakah kamu benar-benar mempelajari resepnya? Bisakah kamu menyebutkan bumbu dan langkah-langkahnya dari ingatan? Ini mengukur perolehan pengetahuan.

  • Anak Tangga 3: Perilaku. Saat kamu memasak rendang minggu depan, apakah kamu benar-benar menggunakan teknik baru yang kamu pelajari? Atau kamu kembali ke kebiasaan lama? Ini mengukur transfer pembelajaran ke dalam tindakan di dunia nyata.

  • Anak Tangga 4: Hasil. Apakah masakanmu secara nyata menjadi lebih baik? Apakah tamu makan malammu memuji-mujinya? Apakah kamu memenangkan kompetisi masak di lingkunganmu? Ini mengukur hasil akhir yang paling penting.

Menurut Kirkpatrick, mendaki tangga ini bukan hanya tentang mencentang kotak. Ini tentang membangun "rantai bukti yang meyakinkan". Reaksi yang baik seharusnya mengarah pada pembelajaran, yang seharusnya mengubah perilaku, yang pada akhirnya menghasilkan hasil yang lebih baik. Jika ada satu mata rantai yang putus, nilai pelatihan itu menjadi dipertanyakan.   

Dengan tangga ini di tangan, mari kita lihat apa yang ditemukan oleh para peneliti saat mereka mengaudit seluruh dunia pelatihan keselamatan VR.

Audit Terbesar: Apa yang Diungkap oleh 136 Studi VR

Sebuah paper penelitian oleh Mortimer, Horan, dan Horan melakukan sesuatu yang ambisius. Mereka mengumpulkan dan menganalisis secara sistematis 136 studi tentang pelatihan keselamatan VR yang diterbitkan antara tahun 2016 dan Agustus 2021. Mengapa tahun 2016? Karena itu adalah tahun ketika headset VR modern seperti Oculus Rift dan HTC Vive dirilis secara komersial, menandai apa yang disebut "gelombang kedua VR". Ini bukan tentang teknologi kuno yang kikuk; ini tentang VR canggih yang kita kenal sekarang.   

Pada dasarnya, para peneliti ini bertanya: "Dari semua penelitian yang ada, seberapa tinggi komunitas riset memanjat tangga Kirkpatrick?" Temuan mereka sangat mengejutkan.

  • 🚀 Titik Panas Inovasi: Sebagian besar penelitian berfokus pada industri berisiko tinggi dan berbiaya tinggi. Layanan Kesehatan (terutama pelatihan bedah) adalah domain terbesar (36,03%), diikuti oleh Konstruksi (19,12%). Ini masuk akal. Di bidang ini, kesalahan bisa berakibat fatal, dan pelatihan tradisional sangat sulit dan mahal.   

  • 🧠 Titik Buta yang Mengerikan: Di sinilah saya menemukan kejutan pertama. Para peneliti mencatat: "menarik untuk dicatat bahwa tidak ada studi yang ditemukan yang berfokus pada pelatihan VR untuk industri pertanian, perikanan, dan kehutanan". Mengapa ini penting? Karena paper yang sama menunjukkan bahwa industri inilah yang memiliki tingkat kematian tertinggi baik di Amerika Serikat maupun Australia. Ini adalah sebuah ironi yang tragis. Penerapan teknologi keselamatan revolusioner ini tampaknya tidak didorong oleh urgensi risiko manusia, melainkan oleh kelayakan komersial dan kemudahan institusional. Kita berinovasi untuk industri yang memiliki simulator komersial yang sudah tersedia (seperti bedah) atau organisasi besar yang dapat mendanai penelitian (seperti perusahaan konstruksi besar). Sementara itu, sektor paling mematikan, yang sering kali diisi oleh wiraswasta atau pekerja di lokasi terpencil, benar-benar diabaikan. Kita memecahkan masalah yang paling mudah didanai, bukan yang paling banyak merenggut nyawa.   

  • 💡 Temuan Paling Krusial: Namun, temuan yang paling mengguncang dari semua ini adalah bagaimana para peneliti mengukur efektivitas VR. Ternyata, hampir semua orang terpaku di bagian paling bawah tangga kita.

Tangga Dua Anak Tangga: Celah Mengejutkan yang Tak Bisa Saya Abaikan

Inilah inti dari masalah ini. Ketika para peneliti mengkategorikan 136 studi tersebut menggunakan tangga empat anak tangga Kirkpatrick, sebuah pola yang mengkhawatirkan muncul.

Kita Terobsesi dengan Dua Anak Tangga Pertama

Data menunjukkan bahwa 72,06% studi mengukur Pembelajaran (Anak Tangga 2), dan 66,18% mengukur Reaksi (Anak Tangga 1).   

Apa artinya ini dalam bahasa manusia? Ini berarti sebagian besar penelitian mengajukan pertanyaan seperti:

  • "Apakah simulasinya realistis?" (Realisme)

  • "Apakah mudah digunakan?" (Usabilitas)

  • "Apakah kamu merasa 'hadir' di dunia virtual?" (Kehadiran)

  • "Apakah kamu menikmatinya?" (Reaksi Afektif)

Kemudian, mereka akan memberikan kuis pengetahuan atau mengukur seberapa baik peserta melakukan tugas di dalam headset VR. Ini semua adalah metrik yang penting, tentu saja. Kita perlu tahu apakah teknologinya berfungsi dan apakah orang-orang mempelajari materinya. Tapi ini hanyalah awal dari cerita.   

Tangga Menuju Dampak Dunia Nyata Ternyata Rusak

Inilah data yang paling mengejutkan:

  • Dari 136 studi, NOL studi yang mengevaluasi perubahan Perilaku di tempat kerja (Anak Tangga 3).

  • Dan hanya TIGA studi (2,21%) yang mengukur Hasil nyata (Anak Tangga 4), seperti penurunan jumlah kecelakaan atau hari kerja yang hilang.   

Mari kita biarkan ini meresap. Seluruh komunitas riset global yang mempelajari pelatihan keselamatan VR hampir secara eksklusif mengukur apa yang terjadi di dalam laboratorium atau di dalam headset. Mereka hampir tidak pernah mengikuti peserta kembali ke dunia nyata untuk melihat apakah pelatihan itu benar-benar mengubah cara mereka bekerja.

Paper ini mencatat bahwa bidang ini mulai "matang" karena sebagian besar studi sekarang fokus pada "Evaluasi" daripada hanya "Pengembangan" prototipe. Namun, ini adalah sebuah paradoks. Bidang ini mungkin matang secara teknologi, tetapi masih sangat tidak matang secara metodologi. Kita memiliki alat yang sangat kuat, tetapi kita menggunakannya untuk menjawab pertanyaan yang dangkal.   

Ini seperti memiliki mobil Formula 1 dan hanya pernah mengukur seberapa mengkilap catnya dan seberapa keras suara mesinnya saat di garasi. Kita tidak pernah benar-benar memeriksanya di lintasan balap untuk melihat apakah mobil itu bisa menang.

Akibatnya, "rantai bukti" yang seharusnya menghubungkan pengalaman pelatihan yang baik dengan hasil dunia nyata menjadi putus. Ada lompatan keyakinan yang besar dan belum terbukti antara "Saya mempelajarinya di VR" dan "Saya lebih aman di tempat kerja." Berdasarkan tinjauan komprehensif ini, janji mendasar dari pelatihan keselamatan VR—bahwa itu membuat tempat kerja lebih aman—saat ini adalah sebuah asumsi, bukan kesimpulan berbasis bukti.

Pandangan Saya: Apakah Kita Mengukur yang Mudah, atau yang Penting?

Fokus obsesif pada Anak Tangga 1 dan 2 ini, meskipun dapat dimengerti dari sudut pandang akademis (karena lebih cepat dan lebih murah untuk diukur), adalah sebuah jebakan yang berbahaya. Ini menciptakan apa yang saya sebut "teater inovasi"—penampilan kemajuan tanpa bukti dampak. Perusahaan memamerkan headset VR mereka yang mengkilap, karyawan mengatakan mereka menyukainya (Anak Tangga 1), dan mereka lulus kuis setelahnya (Anak Tangga 2). Semua orang merasa senang dan inovatif. Tapi apakah pabrik menjadi lebih aman? Apakah lokasi konstruksi melihat lebih sedikit insiden? Kita tidak tahu.

Ini bukan hanya masalah bagi para PhD di laboratorium. Ketika perusahaanmu berinvestasi dalam program pelatihan baru, entah itu sistem VR bernilai jutaan dolar atau(https://diklatkerja.com) yang sangat praktis, pertanyaan mendasarnya harus sama: apakah kita mengukur metrik yang membuat kita merasa baik, atau kita mengukur perubahan di dunia nyata? Tujuan dari setiap pelatihan bukan hanya perolehan pengetahuan (Anak Tangga 2); tujuannya adalah modifikasi perilaku yang berkelanjutan (Anak Tangga 3) yang mengarah pada hasil positif yang nyata (Anak Tangga 4).

Kritik saya bukan ditujukan pada paper ini—yang sangat brilian karena telah mengungkap masalah ini—tetapi pada komunitas riset yang lebih luas yang digambarkannya. Paper ini menunjukkan sebuah bidang yang mengambil jalan pintas, mengukur apa yang nyaman daripada apa yang konsekuensial. Ini merugikan para pekerja yang nyawanya dipertaruhkan dan perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ini dengan itikad baik.

Kesimpulan: Mari Tuntut Tangga yang Lengkap

VR memiliki potensi untuk menjadi lompatan paling signifikan dalam pelatihan keselamatan dalam satu generasi. Tapi potensi itu akan sia-sia jika kita terus menilainya dengan metrik yang dangkal. Kita perlu berhenti terkesan dengan teknologinya dan mulai menuntut bukti dampaknya.

Ini adalah panggilan untuk bertindak bagi dua audiens:

  1. Untuk Pemimpin Bisnis & Manajer Keselamatan: Lain kali vendor menawarkan solusi pelatihan VR, jangan hanya bertanya tentang skor keterlibatan. Tanyakan data Anak Tangga 3 dan 4 mereka. Tanyakan, "Bagaimana Anda membuktikan ini mengubah perilaku di lantai pabrik? Tunjukkan studi kasus di mana ini menyebabkan penurunan insiden yang terukur."

  2. Untuk Peneliti & Inovator: Dengarkan panggilan dari paper ini. Sudah waktunya untuk lulus dari laboratorium. Kita membutuhkan studi jangka panjang yang mengikuti peserta kembali ke tempat kerja. Kita perlu menangani pekerjaan yang berantakan dan sulit untuk mengukur perilaku dan hasil di dunia nyata. Dan kita harus mengalihkan perhatian kita ke industri yang diabaikan, seperti pertanian dan kehutanan, di mana teknologi ini dapat memiliki dampak penyelamatan jiwa yang terbesar.

Potensinya ada di sana. Teknologinya sudah siap. Sekarang, kita hanya perlu keberanian dan disiplin untuk mengukurnya dengan benar.

Jika kamu sama terpesonanya dengan saya tentang ini, dan ingin melihat data mentah serta analisisnya sendiri, saya sangat menyarankanmu untuk menjelajahi penelitian aslinya. Ini adalah harta karun wawasan.

(https://doi.org/10.1007/s10055-023-00843-7)

Selengkapnya
Pelatihan Keselamatan VR: Apakah Kita Mengukur Hal yang Salah?

Keselamatan Kerja

Satu Paper, 60 Pekerja, dan Realita K3 yang Menampar Saya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025


Cerita di Balik Angka: Kenapa Selembar Kertas Ini Membuat Saya Berhenti dan Berpikir

Kemarin saya melewati sebuah proyek konstruksi besar. Gedung pencakar langit yang gagah, dikelilingi derek-derek raksasa. Saya melihat para pekerja, titik-titik kecil berwarna cerah dengan helm mereka, bergerak lincah di ketinggian. Spontan saya berpikir, "Mereka pasti sangat terlatih." Lalu saya membaca sebuah paper penelitian, dan pikiran itu hancur.

Ini bukan sekadar jurnal karya Ferdinand Fassa dan Susy Rostiyanti dari Universitas Agung Podomoro. Ini adalah potret 60 nyawa, 60 pekerja konstruksi di Tangerang Selatan, yang suaranya—lewat kuesioner—mengungkap sebuah realita yang jauh lebih rapuh dari beton yang mereka cor.1 Paper ini berjudul "PENGARUH PELATIHAN K3 TERHADAP PERILAKU TENAGA KERJA KONSTRUKSI DALAM BEKERJA SECARA AMAN DI PROYEK," sebuah judul akademis yang menyembunyikan cerita-cerita manusia di dalamnya.1

Kita semua tahu konstruksi itu berbahaya. Data dari International Labor Organization (ILO) bahkan menyebut sektor ini menyumbang 24%-40% kematian pekerja di negara maju.1 Tapi pertanyaan yang diajukan paper ini lebih dalam: Apakah selembar sertifikat pelatihan benar-benar bisa menjadi pembeda antara pulang ke rumah dengan selamat dan menjadi statistik kecelakaan kerja? Jawabannya, ternyata, jauh lebih mengejutkan dan penting dari yang saya kira.

Realita yang Menampar: Potret Tenaga Kerja Konstruksi Kita Hari Ini

Sebelum kita bicara solusi, kita harus berani menatap masalahnya. Dan paper ini melukiskan potret tenaga kerja kita dengan angka-angka yang jujur dan, terus terang, mengkhawatirkan.

Bertemu "Bayu": Wajah di Balik Statistik

Mari kita coba bayangkan seorang pekerja dari data ini. Kita sebut saja dia Bayu. Menurut penelitian ini, Bayu kemungkinan besar adalah seorang pria muda, berusia antara 20 hingga 35 tahun (kelompok ini mencakup 71% dari total responden).1 Dia adalah tulang punggung perekonomian, berada di puncak usia produktifnya.

Namun, ada sisi lain dari profil Bayu. Peluangnya sangat besar bahwa pendidikan formal terakhirnya hanya sampai level SD atau SMP—sebanyak 82% responden berada di kategori ini.1 Pengalamannya di dunia konstruksi pun terbilang baru, dengan 55% responden memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun.1 Dan perannya di proyek kemungkinan besar adalah sebagai "kenek" atau pembantu tukang, posisi yang paling banyak diisi oleh responden (sekitar 41%).1

Jika kita gabungkan semua data ini, sebuah gambaran yang lebih jelas muncul. Tenaga kerja di lapangan didominasi oleh individu yang muda, secara formal tidak berpendidikan tinggi, dan relatif belum berpengalaman. Ini bukan untuk merendahkan, justru sebaliknya—ini untuk menyoroti betapa rentannya mereka. Mereka adalah kelompok yang paling membutuhkan bimbingan, arahan, dan perlindungan di salah satu lingkungan kerja paling berisiko di dunia.

Separuh Tentara Dikirim ke Medan Perang Tanpa Latihan

Sekarang, bayangkan Bayu dan rekan-rekannya. Dengan profil yang sudah kita ketahui, bekal apa yang mereka miliki untuk menghadapi risiko harian seperti bekerja di ketinggian, mengoperasikan alat berat, atau berada di dekat galian tanah?

Di sinilah data yang paling menampar muncul. Paper ini menemukan bahwa 51% dari para pekerja ini—lebih dari separuh—mengaku belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).1

Coba resapi sejenak. Separuh. Ini bukan berarti mereka lupa materi pelatihannya; ini berarti mereka tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Mereka dilepas di medan perang konstruksi hanya dengan bekal helm, sepatu bot, dan harapan. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang dilakukan setiap hari dengan nyawa manusia sebagai taruhannya.

Aturan yang Ada, Kepatuhan yang Tiada

Mungkin Anda berpikir, "Pasti ada aturannya, kan?" Tentu saja ada. Paper ini dengan jelas mengutip Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang pada pasal 70 ayat 1 menyatakan bahwa "Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja".1 Bahkan ada sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja bagi yang melanggar.

Lalu, bagaimana kenyataannya di lapangan? Penelitian ini mengungkap sebuah "jurang kepatuhan" yang masif. Sebanyak 68% pekerja yang disurvei ternyata tidak memiliki sertifikat kompetensi yang diwajibkan oleh hukum.1

Ini bukan lagi sekadar kelalaian individu. Ini adalah kegagalan sistemik. Ketika dua dari tiga pekerja di lapangan tidak memenuhi syarat legal yang paling mendasar, ini menandakan ada yang salah dengan pengawasan, implementasi, dan mungkin juga kesadaran para penyedia jasa konstruksi itu sendiri. Para pekerja seperti Bayu bukan penyebab masalah ini; mereka adalah korban dari sebuah sistem yang belum berjalan sebagaimana mestinya.

Cahaya di Ujung Terowongan: Pelatihan Ternyata Adalah Kuncinya

Di tengah data-data yang terasa suram, para peneliti menemukan seberkas cahaya. Mereka tidak berhenti pada identifikasi masalah, tapi juga mencari pembuktian apakah solusi yang selama ini kita yakini—yaitu pelatihan—benar-benar bekerja.

Momen "Aha!" dari Uji Chi-Square

Para peneliti menggunakan sebuah alat statistik bernama Uji Chi-Square. Anda tidak perlu tahu rumusnya ($x^{2}=\frac{\Sigma(fo-fe)^{2}}{fe}$) untuk mengerti hasilnya.1 Bayangkan saja alat ini seperti "detektor hubungan" yang sangat canggih. Ia bisa memberitahu kita apakah dua hal saling berkaitan secara nyata atau hanya kebetulan semata.

Dan untuk pertanyaan "Apakah ada hubungan antara pernah ikut pelatihan K3 dengan kesadaran bekerja secara aman?", detektor itu berbunyi sangat nyaring.

Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan secara statistik. Angka signifikansinya adalah $p=0,0168$.1 Dalam dunia statistik, setiap nilai di bawah 0,05 dianggap signifikan. Jadi, 0,0168 adalah angka yang sangat meyakinkan. Ini adalah bukti matematis bahwa pelatihan K3 BUKAN sekadar formalitas. Ia benar-benar mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran para pekerja untuk bekerja dengan lebih aman. Ini adalah momen "aha!" dari penelitian ini.

Efek Dosis: Semakin Sering, Semakin Aman

Penelitian ini menemukan sesuatu yang lebih kuat lagi. Ternyata, efek pelatihan ini mirip seperti minum vitamin—efeknya semakin terasa jika dilakukan secara rutin. Ini bukan soal "sudah pernah" atau "belum pernah" saja. Frekuensi menjadi sangat penting.

Lihatlah data yang luar biasa ini: di antara para pekerja yang pernah mengikuti pelatihan K3 lebih dari tiga kali, 100% dari mereka setuju bahwa pelatihan itu sangat mempengaruhi kesadaran mereka untuk bekerja dengan aman.1 Angka ini turun menjadi 75% bagi yang pernah ikut dua kali, dan 43% bagi yang baru ikut sekali.1

Pola ini sangat jelas. Keselamatan bukanlah pil yang cukup diminum sekali seumur hidup. Ia adalah otot yang harus dilatih secara berkala agar tetap kuat dan waspada. Satu sesi pelatihan mungkin bisa membuka mata, tapi pelatihan yang berulang-ulanglah yang membangun kebiasaan dan menanamkan budaya aman hingga ke alam bawah sadar. Ini adalah argumen telak untuk menentang pendekatan "centang kotak" dalam pelatihan K3.

Temuan yang Paling Mengejutkan: Ijazah Bukanlah Jaminan

Di sinilah paper ini benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya, dan mungkin juga asumsi Anda. Logika umum kita seringkali berkata: semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah ia menyerap informasi, termasuk materi pelatihan. Orang dengan ijazah SMA seharusnya lebih cepat paham daripada yang lulusan SMP, bukan?

Ternyata, data berkata lain.

Para peneliti kembali menggunakan "detektor hubungan" mereka untuk melihat apakah ada kaitan antara tingkat pendidikan (SD/SMP vs. SMA) dengan pengaruh pelatihan K3 terhadap kesadaran keselamatan. Hasilnya? Tidak ada hubungan signifikan sama sekali, dengan nilai $p=0,231$.1 Angka ini jauh di atas ambang batas 0,05, yang artinya secara statistik, tingkat pendidikan formal tidak terbukti menjadi faktor penentu.

Ini adalah pesan yang luar biasa kuat dan demokratis. Keselamatan di tempat kerja bukanlah hak eksklusif mereka yang berijazah tinggi. Ia adalah hak fundamental setiap pekerja. Kemampuan untuk menjadi aman dan sadar akan risiko tidak diukur dari rapor sekolah, melainkan dari kualitas dan relevansi pelatihan yang mereka terima. Seorang pekerja lulusan SD sama mampunya untuk menjadi agen keselamatan bagi dirinya dan rekan-rekannya seperti halnya seorang lulusan SMA, asalkan ia diberi kesempatan belajar dengan cara yang tepat.

"Jangan Cuma Bicara, Tunjukkan Caranya!": Suara Pekerja dari Lapangan

Jika kita sudah tahu bahwa pelatihan itu krusial dan bisa diakses oleh siapa saja terlepas dari latar belakang pendidikannya, pertanyaan logis berikutnya adalah: pelatihan seperti apa yang paling efektif?

Daripada berspekulasi, para peneliti langsung bertanya kepada sumbernya: para pekerja itu sendiri. Dan jawaban mereka sangat lantang dan jelas.

Sebanyak 77% responden menginginkan metode pelatihan dengan cara praktik langsung.1 Hanya sebagian kecil yang memilih metode ceramah (13%) atau video/visual (10%).1 Ini bukan sekadar preferensi, ini adalah sebuah mandat. Para pekerja, yang setiap hari bekerja dengan tangan mereka, secara intuitif tahu bahwa mereka belajar paling baik dengan cara yang sama: dengan melakukan, bukan hanya mendengar atau melihat.

Ini adalah kritik telak bagi program-program pelatihan yang hanya mengandalkan slide PowerPoint di ruangan ber-AC. Para pekerja tidak butuh lebih banyak teori; mereka butuh simulasi. Mereka tidak butuh ceramah panjang; mereka butuh merasakan langsung bagaimana cara memasang harness pengaman dengan benar, bagaimana cara mengidentifikasi struktur galian yang tidak stabil, atau bagaimana cara menggunakan alat pemadam api ringan. Mereka meminta pembelajaran kinestetik.

Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) yang berfokus pada kursus online berbasis kompetensi praktis menjadi sangat relevan. Platform semacam ini dapat menjembatani kebutuhan akan pembelajaran yang aplikatif dan mudah diakses, memberikan pengetahuan yang bisa langsung dipraktikkan di lapangan.

Refleksi dan Kritik Halus: Apa yang Tidak Dikatakan oleh Data?

Studi ini brilian dalam mengukur "kesadaran." Temuannya bahwa pelatihan K3 secara signifikan meningkatkan kesadaran adalah sebuah kemenangan besar. Namun, sebagai seorang praktisi yang terbiasa melihat implementasi di dunia nyata, saya tahu ada satu langkah lagi yang krusial: menjembatani kesenjangan antara kesadaran (awareness) dan perilaku konsisten (consistent behavior) di lapangan.

Paper ini, karena keterbatasannya (yang diakui oleh para penulis, seperti cakupan wilayah dan jumlah responden yang terbatas), belum mengukur apakah peningkatan kesadaran ini berhasil diterjemahkan menjadi penurunan angka kecelakaan atau insiden nyaris celaka.1 Ini tentu bukan kelemahan studi, melainkan sebuah panggilan untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. Kita sudah tahu cara membuat pekerja 'tahu' akan bahayanya. Tantangan kita berikutnya adalah membangun sistem dan budaya perusahaan yang memastikan mereka 'melakukan' hal yang aman, setiap saat, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi.

Pelajaran yang Bisa Kita Bawa Pulang Hari Ini

Jika saya harus merangkum seluruh kebijaksanaan dari 14 halaman paper ini ke dalam beberapa poin singkat, inilah dia:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Pelatihan K3 bukan sekadar formalitas birokrasi. Ia terbukti secara statistik ($p=0,0168$) mampu meningkatkan kesadaran pekerja untuk bekerja dengan aman. Ini adalah investasi yang terukur dampaknya.1

  • 🧠 Inovasinya: Lupakan asumsi lama. Studi ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan formal tidak ada hubungannya dengan keberhasilan pelatihan keselamatan. Kemauan untuk belajar dan cara penyampaian yang tepat jauh lebih penting.1

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir 'satu untuk semua'. Dengarkan audiens Anda. Pekerja konstruksi kita (77% dari mereka) meminta pelatihan praktik, bukan teori. Berikan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang paling mudah kita sediakan.1

Langkah Anda Selanjutnya: Dari Membaca Menjadi Bertindak

Membaca tulisan ini adalah langkah pertama yang baik. Tapi perubahan nyata terjadi saat pengetahuan diubah menjadi tindakan.

Jika Anda seorang manajer, pemimpin tim, atau profesional HR di industri konstruksi atau industri berisiko tinggi lainnya, tanyakan pada diri Anda hari ini: Kapan terakhir kali tim Anda mendapatkan pelatihan K3 yang benar-benar praktis dan interaktif? Apakah program Anda hanya dirancang untuk mencentang kotak kepatuhan, atau untuk benar-benar membangun otot keselamatan?

Keselamatan bukan hanya tugas mandor atau manajer K3. Ia adalah tanggung jawab kita bersama. Kita semua, sebagai bagian dari ekosistem industri, punya peran untuk memastikan setiap 'Bayu' di luar sana tidak hanya diberi helm, tapi juga pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri untuk pulang ke rumah menemui keluarga mereka dalam keadaan selamat setiap hari.

Diskusi ini baru permulaan. Jika Anda ingin menyelami data dan metodologi yang mendasari cerita ini, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Pengetahuan adalah langkah pertama menuju perubahan yang lebih baik.

(https://www.researchgate.net/publication/383226273_PENGARUH_PELATIHAN_K3_TERHADAP_PERILAKU_TENAGA_KERJA_KONSTRUKSI_DALAM_BEKERJA_SECARA_AMAN_DI_PROYEK)

Selengkapnya
Satu Paper, 60 Pekerja, dan Realita K3 yang Menampar Saya

Keselamatan Kerja

Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Di Balik Rompi Oranye, Ada Cerita yang Tak Terucap

Setiap kali saya melewati proyek konstruksi, saya bukan hanya melihat gedung yang sedang dibangun. Saya melihat puluhan manusia berhelm kuning dan rompi oranye, bekerja di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Di balik setiap ayunan palu dan deru mesin, ada risiko yang sering kita lupakan. Kita melihat progresi sebuah bangunan, tapi jarang sekali memikirkan progresi keselamatan orang-orang yang membangunnya.

Pikiran itu membawa saya pada sebuah disertasi tebal karya Dr. Ika Triwati dari Universitas Negeri Makassar. Dan angka-angka di halaman pertamanya membuat saya terdiam. Menurut data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan, kasus kecelakaan kerja di industri konstruksi melonjak drastis hanya dalam beberapa tahun—dari 182.835 kasus pada 2019 menjadi 360.635 kasus hanya dalam periode Januari hingga November 2023.1 Angka ini hampir dua kali lipat. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerita tentang ratusan ribu nyawa, keluarga, dan masa depan yang terancam.

Data global dari International Labour Organization (ILO) bahkan lebih mencengangkan: setiap 15 detik, ada 160 pekerja yang mengalami kecelakaan terkait pekerjaan.1 Angka-angka ini memaksa kita bertanya: Jika aturan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sudah ada dan pelatihan sudah sering dilakukan, mengapa grafik kecelakaan ini terus merangkak naik? Disertasi ini tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan jawaban yang fundamental dan, terus terang, mengejutkan.

Jebakan 'Ruang Kelas' dan Mengapa Teori Saja Membahayakan

Disertasi Dr. Ika Triwati membuka mata saya pada sebuah ironi besar dalam dunia pelatihan K3. Selama ini, kita terjebak dalam sebuah pendekatan yang ternyata keliru.

Belajar Berenang dengan Membaca Buku

Bayangkan kamu ingin belajar berenang. Instruktur memberimu buku setebal 500 halaman tentang hidrodinamika, teknik gaya bebas, dan cara mengatur napas. Kamu mempelajarinya dengan tekun di ruang kelas yang nyaman dan ber-AC. Kamu bahkan lulus ujian tertulis dengan nilai sempurna. Apakah setelah itu kamu bisa langsung terjun ke laut dan berenang dengan selamat? Tentu tidak. Kamu mungkin malah tenggelam.

Inilah gambaran kasar dari banyak pelatihan K3 yang ada saat ini. Riset ini menyoroti bahwa banyak model pelatihan yang ada bersifat sangat teoritis, berpusat pada instruktur, dan seringkali gagal menjangkau audiens yang paling penting: para pekerja tukang yang berada di garis depan risiko.1 Pelatihan seringkali ditujukan untuk level supervisor atau manajer, sementara para pekerja di lapangan—yang setiap hari berhadapan dengan paku, besi, dan ketinggian—hanya mendapatkan instruksi seadanya. Mereka diajari apa aturannya, tapi tidak pernah benar-benar merasakan mengapa aturan itu penting dalam konteks pekerjaan mereka sehari-hari.

Hasilnya? Riset ini menyajikan data lapangan yang brutal. Di salah satu perusahaan konstruksi yang diteliti, ditemukan bahwa 72% pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar.1 Ketika ditanya lebih dalam, alasannya sangat manusiawi: helm terasa berat dan panas, sepatu safety kaku dan tidak nyaman, atau sekadar karena kebiasaan dan merasa "tidak apa-apa".1 Ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan presentasi PowerPoint atau ancaman sanksi.

Ini membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam. Ketidakpatuhan pekerja terhadap prosedur K3 bukanlah murni masalah kedisiplinan individu. Ini adalah gejala dari kegagalan desain sistem pelatihan. Ketika sebuah pelatihan gagal membuat risiko terasa nyata dan relevan dengan pekerjaan sehari-hari, maka bagi seorang pekerja, ketidaknyamanan jangka pendek (memakai helm panas) akan selalu terasa lebih mendesak daripada risiko jangka panjang yang abstrak (kemungkinan tertimpa sesuatu). Perilaku "tidak disiplin" bukanlah akar masalahnya, melainkan buah dari sistem edukasi yang gagal menghubungkan teori dengan praktik di lapangan.

Sebuah Terobosan dari Makassar: Belajar K3 Langsung di 'Medan Perang'

Di tengah masalah sistemik ini, disertasi Dr. Ika Triwati tidak hanya berhenti pada kritik. Ia menawarkan sebuah solusi konkret: Model Diklat K3 Berbasis Lingkungan Kerja. Idenya sederhana namun revolusioner: ubah lokasi proyek konstruksi dari sekadar tempat bekerja menjadi laboratorium belajar raksasa.

Model ini tidak lagi menempatkan pekerja di ruang kelas yang steril, melainkan membawa proses belajar langsung ke "medan perang" mereka. Tujuannya adalah mengubah aturan K3 dari sekadar teks di buku panduan menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi.

Empat Langkah yang Mengubah Aturan Menjadi Kebiasaan

Model ini memiliki empat tahapan (sintaks) yang dirancang secara sistematis untuk membangun pemahaman dari dasar hingga menjadi tindakan nyata.1

Tahap 1: Internalisasi (Momen 'Kenapa')

Bayangkan jika sesi pelatihanmu dimulai bukan dengan daftar panjang "dilarang ini, wajib itu". Sebaliknya, kamu dan rekan-rekanmu diajak berkumpul di pinggir area galian. Instruktur tidak berceramah, tapi bertanya, "Menurut kalian, apa yang paling berbahaya di area ini? Apa yang membuat kalian khawatir saat bekerja di sini?"

Ini adalah tahap Internalisasi. Tujuannya bukan menghafal, tapi memancing kesadaran dari dalam diri sendiri. Dengan mendiskusikan risiko nyata yang mereka lihat setiap hari, para pekerja mulai menghubungkan aturan K3 dengan keselamatan pribadi mereka. Ini adalah momen untuk memahami 'kenapa' di balik setiap prosedur.

Tahap 2: K3 Training (Praktik Langsung)

Setelah semua orang sadar akan risikonya, pelatihan dilanjutkan ke tahap praktik. Kamu tidak lagi melihat gambar cara memakai safety harness di layar proyektor. Sebaliknya, kamu diajari langsung cara memasang dan mengaitkannya dengan benar, sambil berdiri di dekat perancah. Kamu merasakan sendiri bagaimana alat itu mengunci, bagaimana rasanya bergantung padanya. Ini adalah K3 Training yang relevan dan kontekstual. Teori bertemu dengan realitas fisik.

Tahap 3: Assesment (Menjadi 'Detektif Keselamatan')

Di tahap ini, peran dibalik. Kamu dan timmu tidak lagi menjadi audiens pasif. Kalian diberi tugas untuk berjalan di sekitar lokasi proyek dan secara aktif mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin terlewatkan: kabel yang terkelupas, tumpukan material yang tidak stabil, atau area licin yang belum diberi tanda. Kalian menjadi "detektif keselamatan". Ini adalah Assesment aktif yang melatih mata untuk peka terhadap risiko, bukan sekadar ujian pilihan ganda yang menguji hafalan.

Tahap 4: Aktualisasi (Menjadi Kebiasaan)

Ini adalah tahap penutup yang krusial. Di akhir sesi, kamu tidak hanya diberi nilai, tapi diajak berdiskusi dan merefleksikan: "Setelah pelatihan ini, apa satu hal yang akan kamu lakukan secara berbeda besok pagi?" Mungkin jawabannya adalah "Saya akan selalu memeriksa perancah sebelum naik," atau "Saya akan mengingatkan teman saya jika dia lupa memakai sarung tangan."

Keselamatan tidak lagi menjadi topik pelatihan yang selesai dalam satu hari, tapi menjadi bagian integral dari cara bekerja. Inilah tahap Aktualisasi, di mana pengetahuan diubah menjadi perilaku dan, pada akhirnya, menjadi budaya.

Angka-Angka Berbicara: Seberapa Ampuh Model Baru Ini?

Ide yang bagus di atas kertas seringkali gagal saat diuji di dunia nyata. Tapi, model ini berbeda. Disertasi ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga mengujinya secara ketat di lapangan dengan metodologi penelitian dan pengembangan (R&D). Hasilnya? Sangat meyakinkan.

Saya akan merangkum temuan utamanya untuk Anda:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Efektivitas model ini diukur menggunakan metode N-Gain Score yang membandingkan peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan. Kelompok pekerja yang menggunakan model baru ini menunjukkan peningkatan pengetahuan sebesar 61%. Bandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode pelatihan konvensional, yang peningkatannya hanya 3%.1 Ini bukan sekadar perbaikan, ini adalah sebuah lompatan kuantum dalam efektivitas pelatihan.

  • 🧠 Inovasinya Terbukti Valid: Sebelum diuji coba, model ini divalidasi oleh tiga orang pakar di bidang K3, industri konstruksi, dan desain pelatihan. Hasilnya? Model ini mendapatkan skor validitas rata-rata $3,36$ dari skala $4,00$ (kategori "Sangat Valid").1 Ini membuktikan bahwa model ini tidak hanya kreatif, tetapi juga kokoh secara akademis dan teoretis.

  • 💡 Pelajaran Penting: Mudah Diterapkan! Mungkin temuan yang paling penting bagi para praktisi adalah kepraktisannya. Para instruktur yang menjalankan model ini di lapangan memberikannya skor kepraktisan rata-rata $3,46$ dari $4,00$ (kategori "Sangat Praktis").1 Ini adalah bukti bahwa model ini bukanlah konsep rumit yang hanya bisa ada di atas kertas, tapi sebuah kerangka kerja yang bisa langsung diadopsi dan diterapkan oleh tim di berbagai proyek.

Opini Pribadi Saya: Permata Tersembunyi di Tumpukan Jurnal

Membaca disertasi Dr. Ika Triwati ini seperti menemukan sebuah peta harta karun di tengah tumpukan jurnal akademis yang padat. Di dalamnya ada solusi nyata, teruji, dan aplikatif untuk masalah yang sangat serius dan seringkali diabaikan. Metodologi R&D yang ketat, analisis data yang cermat, dan hasilnya yang luar biasa membuatnya menjadi sebuah karya yang solid dan berdampak.

Namun, ada satu hal yang membuat saya sedikit gemas. Meskipun temuannya hebat, cara penyajiannya dalam format disertasi yang kaku dan penuh istilah teknis—seperti The Solomon Fourth Group Design atau analysis of covariance—membuatnya sulit diakses oleh orang-orang yang paling membutuhkannya: para manajer proyek, kepala HRD, dan praktisi K3 di lapangan.

Inilah mengapa tulisan seperti ini penting. Ada begitu banyak permata riset seperti ini yang tersembunyi di perpustakaan universitas. Tugas kita bersama adalah mengambilnya, memolesnya, dan membawanya ke 'medan perang' yang sesungguhnya—ke lokasi proyek, ke ruang rapat, dan ke dalam modul-modul pelatihan di seluruh Indonesia.

Langkah Anda Berikutnya: Dari Pengetahuan Menjadi Tindakan

Pada akhirnya, disertasi ini mengajarkan kita satu hal fundamental: helm kuning dan rompi oranye adalah pelindung fisik, tetapi pelindung terbaik adalah pengetahuan yang kontekstual dan kebiasaan yang terbentuk dari praktik nyata. Keselamatan bukanlah soal menghafal aturan, tapi soal memahami dunia di sekitar kita dan bertindak berdasarkan pemahaman itu.

Model yang dikembangkan di Makassar ini adalah bukti bahwa kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Kita bisa mengubah pelatihan dari sebuah kewajiban yang membosankan menjadi sebuah pengalaman belajar yang memberdayakan.

Jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami lebih jauh tentang pelatihan kerja yang efektif dan bersertifikat untuk meningkatkan kompetensi Anda dan tim, platform seperti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik.

Selengkapnya
Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Keselamatan Kerja

Paradoks Keselamatan Konstruksi di Kuwait: Mengapa Niat Baik Para Desainer Gagal Menyelamatkan Nyawa

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Bagian 1: Sebuah Kisah Mengusik yang Saya Temukan dalam Cetak Biru Konstruksi Kuwait

Pernahkah kamu merasa seperti itu? Tahu persis apa yang seharusnya dilakukan—makan lebih sehat, lebih sering berolahraga, tidur lebih awal—tapi entah kenapa, tanganmu tetap meraih camilan di tengah malam. Kesenjangan antara tahu dan melakukan ini adalah salah satu cerita paling manusiawi. Biasanya, ini hanya berdampak pada lingkar pinggang kita. Tapi baru-baru ini, saya menemukan sebuah studi akademis yang menunjukkan bahwa di dunia konstruksi Kuwait yang bernilai triliunan dolar, kesenjangan yang sama ini bisa berarti hidup atau mati.

Industri konstruksi di kawasan Teluk (GCC) adalah mesin ekonomi raksasa, dengan nilai pasar mencapai US$3,2 triliun. Kuwait adalah pemain kunci di dalamnya, dengan proyek-proyek mega yang menjulang ke langit. Namun, di balik fasad kemajuan yang gemerlap, ada kenyataan yang suram. Industri konstruksi secara resmi dianggap sebagai industri paling berbahaya di negara itu.   

Angka-angkanya sangat mengejutkan. Sektor ini bertanggung jawab atas sebagian besar dari semua cedera di tempat kerja yang dilaporkan di Kuwait: 29% pada tahun 2014, 28% pada tahun 2015, dan 34% pada tahun 2016. Ini bukan masalah kecil; ini adalah krisis kesehatan masyarakat yang tersembunyi di depan mata. Ketika sebuah industri yang mempekerjakan sekitar 9,9% dari total tenaga kerja nasional menyumbang sepertiga dari semua cedera, kita tahu masalahnya bukan lagi soal insiden acak. Masalahnya bersifat sistemik, terpatri dalam cara kerja industri itu sendiri.   

Di tengah krisis inilah sebuah ide elegan muncul, sebuah konsep yang begitu kuat hingga berpotensi merevolusi segalanya: Design for Safety (DfS), atau Desain untuk Keselamatan.

Apa itu DfS? Paper penelitian mendefinisikannya sebagai, "Mencegah dan mengendalikan cedera, penyakit, dan kematian akibat kerja dengan cara menghilangkan bahaya dan paparan berbahaya dari tempat kerja sejak tahap desain".   

Bayangkan mencoba mencegah kecelakaan mobil. Kamu bisa memberi pengemudi lebih banyak pelatihan (yang penting), atau kamu bisa mendesain bundaran yang secara fisik memaksa lalu lintas melambat, membuat tabrakan parah hampir mustahil terjadi. DfS adalah bundaran untuk konstruksi. Ini bukan tentang menyalahkan pekerja karena melakukan kesalahan, tetapi tentang menciptakan lingkungan di mana kesalahan itu sulit atau bahkan mustahil terjadi.

Konsep ini didukung oleh ide kuat yang disebut "Kurva Pengaruh Waktu-Keselamatan". Kurva ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk memengaruhi keselamatan berada pada titik tertinggi di awal proyek—tahap desain—dan menurun drastis seiring berjalannya waktu. Keputusan yang dibuat oleh seorang arsitek atau insinyur di depan komputer mereka memiliki dampak yang jauh lebih besar pada keselamatan daripada seratus helm atau rompi keselamatan di lokasi proyek setahun kemudian.   

Ini adalah ide yang indah, proaktif, dan menyelamatkan nyawa. Dan di Kuwait, para profesional desain mengetahuinya. Mereka memahaminya. Mereka bahkan ingin melakukannya. Tapi di sinilah ceritanya menjadi aneh.

Bagian 2: Paradoks yang Mengejutkan—Niat Baik yang Terjebak di Atas Kertas

Ketika para peneliti dari The University of Manchester dan institusi lainnya mensurvei 73 arsitek dan insinyur di Kuwait, mereka menemukan sesuatu yang pada awalnya tampak seperti kabar baik yang luar biasa. Sentimen terhadap DfS sangat positif, bahkan hampir universal.   

Data dari studi tersebut melukiskan gambaran para profesional yang tercerahkan dan bermotivasi tinggi:

  • 🧠 Kesadaran Sangat Tinggi: Sebanyak 82,2% desainer mengaku sadar akan konsep DfS. Mereka tahu itu ada dan apa tujuannya.   

  • 👍 Sikap Sangat Positif: Sejumlah 92% responden menganggap implementasi DfS "penting" atau "sangat penting". Mereka percaya pada nilainya.   

  • 🙋 Kemauan Hampir Universal: Yang paling menakjubkan, 95,9% menyatakan mereka bersedia menerapkan DfS dalam desain mereka. Mereka ingin melakukannya.   

Melihat data ini, kamu mungkin berpikir, "Luar biasa! Masalahnya sudah terpecahkan." Dengan tingkat kesadaran dan kemauan seperti ini, lokasi konstruksi di Kuwait seharusnya menjadi salah satu yang teraman di dunia, bukan?

Di sinilah paradoks itu muncul.

Meskipun semua niat baik ini, studi tersebut menemukan bahwa frekuensi aktual implementasi praktik DfS di dunia nyata hanya "moderat". Bukan "tinggi" atau "sangat tinggi", melainkan moderat. Rata-rata. Biasa saja.   

Ini adalah jurang yang menganga antara niat dan tindakan. Ini adalah sebuah misteri. Jika hampir semua orang tahu tentang DfS, percaya pada pentingnya, dan ingin melakukannya, mengapa itu tidak terjadi? Kekuatan tak terlihat apa yang menahan para profesional yang cerdas dan bermaksud baik ini?

Masalah di industri konstruksi Kuwait bukanlah defisit pengetahuan atau niat buruk. Ini adalah krisis implementasi. Ini menggeser fokus kita dari menyalahkan individu dan memaksa kita untuk memeriksa sistem, budaya, dan insentif yang mengatur pekerjaan mereka. Sesuatu dalam sistem itu sendiri menghalangi niat baik untuk menjadi tindakan yang menyelamatkan nyawa.

Bagian 3: Sehari dalam Kehidupan: Rapor tentang Apa yang Sebenarnya Dilakukan (dan Tidak Dilakukan) oleh Desainer

Untuk memecahkan paradoks ini, kita perlu beralih dari yang umum ke yang spesifik. Studi ini tidak hanya bertanya tentang perasaan para desainer; studi ini juga menanyakan apa yang sebenarnya mereka lakukan, dengan mengukur frekuensi keterlibatan mereka dalam 15 praktik DfS yang konkret. Hasilnya seperti rapor sekolah—ada beberapa nilai bagus, tetapi juga ada beberapa nilai merah yang sangat mengkhawatirkan di mata pelajaran yang paling penting.   

Kemenangan (Di Mana Mereka Berhasil)

Ada beberapa area di mana para desainer di Kuwait menunjukkan kinerja yang baik. Praktik-praktik ini cenderung merupakan "buah yang mudah dipetik" dalam hal keselamatan.

  • Menghilangkan Risiko Kebakaran: Sebanyak 82,2% desainer secara teratur menghilangkan material yang dapat menimbulkan risiko kebakaran signifikan selama konstruksi. Ini adalah tindakan pencegahan dasar yang masuk akal, seperti seorang koki yang tidak menempatkan bahan yang mudah terbakar di dekat api terbuka.   

  • Memilih Material Tahan Lama: Sebanyak 79,5% secara konsisten memilih material yang membutuhkan perawatan atau penggantian yang lebih jarang. Ini adalah pemikiran jangka panjang yang cerdas. Dengan memilih material yang kuat, mereka tidak hanya membangun struktur yang lebih aman bagi pekerja saat ini, tetapi juga mengurangi frekuensi pekerja pemeliharaan di masa depan harus menghadapi risiko.   

Kegagalan Kritis (Di Mana Mereka Gagal Total)

Namun, kemenangan kecil ini dibayangi oleh kegagalan besar di area-area yang memiliki dampak paling langsung dan mematikan pada keselamatan pekerja.

KEGAGALAN KRITIS #1: Mengabaikan Prefabrikasi

Hanya 28,8% desainer yang merancang elemen bangunan (seperti dinding atau lantai) untuk dapat dibuat di luar lokasi (prefabrikasi). Mengapa ini penting? Prefabrikasi memindahkan pekerjaan konstruksi yang rumit dari lokasi proyek yang kacau, tidak dapat diprediksi, dan terpapar cuaca, ke lingkungan pabrik yang terkontrol dan aman. Ini secara drastis mengurangi risiko di lokasi.   

Ini seperti memilih untuk merakit perabot yang rumit di tengah jalan tol yang sibuk saat hujan badai, padahal kamu memiliki bengkel yang terang dan lengkap. Kegagalan untuk merangkul prefabrikasi adalah pilihan sadar untuk bekerja di lingkungan yang lebih berbahaya.

KEGAGALAN KRITIS #2: Merancang Pekerjaan Berbahaya di Ketinggian

Ini adalah temuan yang paling memberatkan. Hanya 26% desainer yang secara aktif merancang untuk meminimalkan atau menghilangkan kebutuhan untuk bekerja di ketinggian.   

Mari kita biarkan fakta ini meresap. Data eksternal menunjukkan bahwa jatuh dari ketinggian adalah penyebab tunggal terbesar kecelakaan konstruksi di Kuwait, menyumbang 33,2% dari total insiden.   

Ada garis lurus yang tak terbantahkan antara keputusan di cetak biru dan potensi kematian di lokasi proyek. Penyebab kematian nomor satu di lokasi konstruksi Kuwait adalah jatuh. Dan hal nomor satu yang gagal dilakukan oleh para desainer adalah merancang cara agar orang tetap bisa bekerja di darat. Mereka bisa saja merancang dinding parapet permanen alih-alih hanya mengandalkan pagar sementara, atau merancang sistem pemeliharaan bangunan yang dapat diakses dari permukaan tanah. Namun, mayoritas tidak melakukannya.

Bagian 4: Akar Masalah: Membongkar Peran Pendidikan, Pelatihan, dan Budaya Menunggu

Jadi, mengapa? Mengapa para profesional yang berpendidikan ini gagal dalam mata pelajaran yang paling penting? Studi ini menunjuk pada beberapa penyebab sistemik yang dalam.

Pipa Pengetahuan yang Bocor

Masalahnya dimulai jauh sebelum seorang arsitek atau insinyur menginjakkan kaki di lokasi proyek. Masalahnya dimulai di ruang kelas. Hanya 50,7% responden yang diajari DfS sebagai bagian dari pendidikan formal mereka.   

Ini adalah sebuah kegagalan mendasar. Keselamatan tidak diperlakukan sebagai prinsip inti teknik dan arsitektur sejak hari pertama. Keselamatan diperlakukan sebagai tambahan opsional, yang berarti separuh dari profesional yang memasuki dunia kerja sudah tertinggal. Mereka tidak memiliki "naluri" keselamatan yang tertanam dalam DNA profesional mereka.

Kasus Aneh Pelatihan yang Tak Diikuti

Kesenjangan pendidikan ini menciptakan kebutuhan mendesak akan pelatihan di tempat kerja. Dan para desainer sangat menginginkannya. Sebanyak 93,2% menyatakan minat untuk berpartisipasi dalam pelatihan DfS. Namun, inilah yang aneh: hanya 47,9% yang pernah benar-benar mengikutinya.   

Ini adalah padanan profesional dari sebuah kota di mana semua orang haus dan meminta air, tetapi sumur-sumurnya kering atau tidak dapat diakses. Masalahnya bukan kurangnya permintaan; ini adalah kegagalan pasokan yang katastrofik. Studi ini secara statistik membuktikan bahwa para desainer yang memiliki pendidikan dan pelatihan formal lebih sering menerapkan praktik DfS. Jadi, kita tahu solusinya berhasil; kita hanya tidak menyediakannya.   

Mentalitas "Itu Masalah Orang Lain"

Kurangnya bekal pendidikan dan pelatihan ini tampaknya menumbuhkan rasa ketidakberdayaan. Ketika ditanya faktor apa yang paling berpengaruh untuk mendorong implementasi DfS, jawaban para desainer sangat mengungkap. Faktor-faktor teratas semuanya bersifat eksternal: PeraturanPanduan IndustriPendidikan Formal, dan Pelatihan.   

Sementara itu, faktor-faktor yang lebih bersifat internal atau spesifik proyek, seperti "pengaruh klien" atau "ketersediaan perangkat lunak komputer," berada di peringkat bawah.

Meskipun temuan studi ini sangat kuat, mereka mengisyaratkan pertanyaan yang lebih dalam dan tidak ditanyakan tentang tekanan komersial. Apakah para desainer secara implisit atau eksplisit tidak dianjurkan untuk menerapkan DfS karena dianggap menambah waktu atau biaya pada tahap desain awal? Data menunjukkan adanya budaya reaktif yang menunggu mandat dari atas ke bawah, daripada profesi proaktif yang mengambil kepemilikan atas tanggung jawab etisnya untuk melindungi nyawa. Sikap pasif ini mungkin merupakan temuan yang paling berbahaya dari semuanya.

Ini menciptakan lingkaran setan: sistem yang tidak mendidik para profesionalnya menciptakan tenaga kerja yang tidak dapat menerapkan praktik terbaik, yang pada gilirannya menyebabkan catatan keselamatan yang buruk. Catatan buruk ini kemudian memicu seruan untuk regulasi. Industri ini terperangkap dalam siklus reaktif kegagalan yang diikuti oleh regulasi, alih-alih siklus proaktif pendidikan yang mengarah pada pencegahan.

Bagian 5: Pelajaran untuk Semua Orang: Cara Menjembatani Kesenjangan Sebelum Terlambat

Analisis ini mungkin berfokus pada Kuwait, tetapi pelajarannya bersifat universal. Kesenjangan antara kesadaran dan tindakan ada di setiap industri. Kabar baiknya adalah, studi ini tidak hanya mengidentifikasi masalah; studi ini juga menunjukkan jalan ke depan.

Kebutuhan akan perubahan ini sangat mendesak. Kuwait akan memulai ledakan pembangunan bersejarah, dengan proyek-proyek seperti kota futuristik Madinat Al Hareer (Kota Sutra) dan perluasan besar-besaran Bandara Internasional Kuwait. Jika paradoks keselamatan ini tidak diselesaikan sekarang, korban jiwa akan sangat besar.   

Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil:

  • 💡 Pelajaran 1: Kesadaran Bukanlah Tindakan. Niat baik tidak ada artinya tanpa sistem, insentif, dan alat untuk menerjemahkannya ke dalam praktik.

  • 💡 Pelajaran 2: Keselamatan Harus Diajarkan, Bukan Sekadar Diharapkan. DfS harus menjadi komponen inti dan wajib dari setiap kurikulum teknik dan arsitektur. Ini tidak bisa menjadi renungan.

  • 💡 Pelajaran 3: Jangan Menunggu Hukum untuk Melakukan Hal yang Benar. Budaya keselamatan proaktif, yang didorong oleh etika profesional dan kepemimpinan industri, lebih cepat dan lebih efektif daripada menunggu mandat pemerintah.

Berdasarkan kesimpulan paper, berikut adalah seruan untuk bertindak bagi para pemangku kepentingan:

  • Untuk Pemerintah & Badan Profesional: Penuhi permintaan. Ciptakan dan subsidi program pelatihan DfS yang dapat diakses. Kembangkan panduan industri yang jelas dan praktis.

  • Untuk Universitas: Integrasikan DfS ke dalam kurikulum inti. Jadikan sama mendasarnya dengan fisika atau ilmu material.

  • Untuk Profesional Desain: Mulailah sekarang. Pilih satu praktik berdampak tinggi dengan implementasi rendah dari "rapor" di atas (seperti merancang untuk prefabrikasi atau mengurangi kerja di ketinggian) dan perjuangkan di proyek Anda berikutnya.

Bagi para profesional yang siap mengambil langkah berikutnya dan memperdalam keahlian mereka, jalur pembelajaran yang terstruktur sangat penting.(https://diklatkerja.com/) berkualitas tinggi menawarkan cara praktis untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara mengetahui dan melakukan, mengubah niat baik menjadi desain yang menyelamatkan nyawa.

Bagian 6: Pikiran Akhir dan Ajakan untuk Bertindak

Kisah yang diceritakan oleh data dari Kuwait adalah kisah tentang sebuah paradoks—bahwa di salah satu pusat konstruksi paling ambisius di dunia, kesenjangan antara mengetahui cara aman dan bertindak berdasarkan pengetahuan itu sangat besar. Ini bukan hanya masalah Kuwait; ini adalah tantangan universal bagi manusia dan organisasi.

Saya telah membagikan cerita yang diceritakan oleh data, tetapi sekarang saya ingin mendengar dari Anda. Pernahkah Anda melihat "kesenjangan kesadaran-tindakan" serupa di industri Anda sendiri? Menurut Anda, apa hambatan terbesar yang menghalangi orang-orang cerdas dan bermaksud baik untuk melakukan hal yang benar?

Seluruh analisis ini dipicu oleh satu paper akademis yang menarik. Jika Anda seorang penggila data seperti saya atau ingin melihat metodologi lengkapnya, saya sangat merekomendasikannya. Ini adalah sebuah mahakarya dalam mengungkap kebenaran yang tersembunyi.

(https://doi.org/10.1108/IJBPA-01-2022-0015)

Selengkapnya
Paradoks Keselamatan Konstruksi di Kuwait: Mengapa Niat Baik Para Desainer Gagal Menyelamatkan Nyawa

Keselamatan Kerja

Pelatihan K3 Sebagai Pilar Utama Keselamatan Konstruksi Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian The Role of Safety Training in Preventing Accidents at Construction Sites (2022) menegaskan bahwa safety training memiliki korelasi langsung terhadap penurunan angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Negara-negara dengan sistem pelatihan terstruktur—seperti Jepang dan Korea Selatan—mencatat penurunan insiden fatal hingga sekitar 40% dalam lima tahun terakhir, berkat investasi dalam pelatihan, sertifikasi, pengawasan, dan pemeliharaan fasilitas keselamatan.

Dalam konteks Indonesia, situasi serupa sangat mendesak. Proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, jembatan, gedung pemerintah, atau proyek institusi pendidikan masih sering mencatat kecelakaan akibat kelalaian prosedur keselamatan, penggunaan APD yang tidak memadai, dan minimnya pelatihan awal bagi pekerja. Banyak pekerja lapangan mulai proyek tanpa pelatihan formal, dengan konsekuensi tinggi seperti kesalahan operasional, kecelakaan ringan hingga fatal, serta kehilangan produktivitas.

Sebagaimana dibahas dalam artikel “Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi”, pelatihan yang baik dan SDM yang kompeten adalah fondasi utama SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi). Artikel tersebut menyebutkan bahwa pelatihan SMKK Ahli Muda telah diselenggarakan oleh BPSDM PUPR, menunjukkan bahwa kebijakan memang mulai diarahkan ke penguatan kompetensi SDM di lapangan. 

Artikel lain, Panduan Komprehensif untuk Pencegahan Kecelakaan di Lokasi Konstruksi, menegaskan bahwa pelatihan dan pendidikan yang tepat adalah langkah awal yang sangat penting sebelum pekerja mulai bertugas di lokasi kerja. Pelatihan identifikasi bahaya, penggunaan APD, dan pemahaman prosedur keselamatan merupakan elemen-elemen yang sering diabaikan dalam proyek dengan tenggat waktu ketat. diklatkerja.com

Selain itu, Evaluasi Praktik Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Sektor Konstruksi: Tantangan dan Arah Kebijakan menunjukkan bahwa meskipun kesadaran terhadap keselamatan meningkat, implementasi pelatihan sering kali tidak optimal, karena kurangnya audit, pengawasan, dan sumber daya instruktur bersertifikat. 

Kebijakan pelatihan keselamatan bukan hanya kewajiban administratif, tetapi harus menjadi investasi nyata dalam pencegahan kecelakaan, efisiensi proyek, serta perlindungan pekerja. Penguatan regulasi SMKK/SMK3, penyediaan pelatihan berkualitas, dan sertifikasi instruktur harus dikombinasikan dengan pengawasan yang konsisten dan penggunaan indikator hasil nyata.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Pekerja yang menerima pelatihan K3 secara rutin memiliki tingkat kepatuhan APD lebih tinggi dan tingkat kecelakaan 30–50% lebih rendah.

  • Terbentuknya budaya komunikasi antarpekerja dan supervisor tentang keselamatan kerja.

  • Perusahaan mampu mendeteksi potensi bahaya lebih cepat karena meningkatnya pengetahuan teknis pekerja.

Hambatan:

  • Banyak kontraktor kecil belum memiliki unit pelatihan internal atau akses terhadap lembaga pelatihan terakreditasi.

  • Kurangnya tenaga instruktur K3 bersertifikat di daerah.

  • Belum adanya sistem audit nasional yang memantau efektivitas pelatihan secara berkelanjutan.

Peluang:

  • Penguatan kemitraan dengan lembaga, yang menyediakan kursus online Behavior Based Safety (Keselamatan Kerja Berdasarkan Perilaku) untuk mendukung perubahan budaya keselamatan di sektor konstruksi.

  • Integrasi modul pelatihan digital berbasis simulasi, seperti yang diuraikan dalam artikel “Digitalisasi Keselamatan Konstruksi di Era Industri 4.0”, agar pelatihan K3 dapat diakses lebih luas oleh pekerja daerah.

  • Kolaborasi antar-kementerian (PUPR, Ketenagakerjaan, dan Pendidikan) untuk memasukkan Construction Safety Training dalam kurikulum vokasi teknik dan politeknik.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan Sertifikasi K3 untuk Semua Pekerja Konstruksi Publik
    Pemerintah perlu mewajibkan minimal satu kali pelatihan resmi sebelum pekerja diperbolehkan masuk proyek besar.

  2. Audit Nasional Efektivitas Pelatihan K3
    Evaluasi tahunan terhadap dampak pelatihan berbasis indikator Training Effectiveness Index (TEI).

  3. Subsidi Pelatihan untuk UMKM Konstruksi
    Agar kontraktor kecil tetap dapat melatih pekerjanya tanpa terbebani biaya tinggi.

  4. Integrasikan Pelatihan Digital dan E-Learning
    Gunakan platform seperti Diklatkerja sebagai pusat pembelajaran daring bersertifikat nasional.

  5. Bentuk “Construction Safety Training Center” di Setiap Provinsi
    Kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas teknik, dan lembaga pelatihan untuk memperluas jangkauan K3 training di luar kota besar.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pelatihan K3 dapat gagal jika hanya difokuskan pada sertifikasi tanpa tindak lanjut penerapan di lapangan. Banyak proyek hanya mengadakan pelatihan formalitas agar lolos audit. Selain itu, kurangnya sistem monitoring pasca-pelatihan membuat dampak pembelajaran tidak berkelanjutan.

Penutup

Pelatihan K3 bukan hanya alat edukasi, tetapi fondasi kebijakan keselamatan nasional. Dengan pendekatan training-based prevention, Indonesia dapat menekan angka kecelakaan di proyek publik dan meningkatkan daya saing industri konstruksi di tingkat ASEAN.
Melalui sinergi pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan, sistem keselamatan nasional dapat bergerak dari compliance-based menuju commitment-based safety culture—di mana setiap pekerja merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan diri dan timnya.

Sumber

The Role of Safety Training in Preventing Accidents at Construction Sites. (2022). Journal of Construction Safety Studies.

Selengkapnya
Pelatihan K3 Sebagai Pilar Utama Keselamatan Konstruksi Nasional

Keselamatan Kerja

Standarisasi Material untuk Keselamatan Tukang: Kebijakan K3 Baru di Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian Akomolafe et al. (2022) mengungkap bahwa penggunaan bahan bangunan tidak standar — terutama bata dan blok non-pabrikan — memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan tukang (artisans) di sektor konstruksi. Dengan menggunakan metode Partial Least Squares-Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini menemukan bahwa kualitas material berhubungan langsung dengan risiko gangguan muskuloskeletal, luka kulit, dan paparan debu berbahaya.

Temuan ini membuka suatu “celah kebijakan” yang selama ini kurang diperhatikan dalam diskusi K3: material konstruksi sebagai variabel penting dalam sistem keselamatan kerja. Selama ini, banyak kebijakan K3 berfokus pada alat pelindung diri (APD), pelatihan, atau regulasi keselamatan operasi, tanpa menaruh perhatian serius pada kualitas material yang digunakan di lapangan. Padahal bahan yang tidak standar ini menciptakan kondisi kerja yang lebih berat, tidak aman, dan tidak konsisten dalam standar mutu.

Untuk kontekstualisasi lokal, Diklatkerja memiliki kursus di kategori Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang mengaji bagaimana manajemen keselamatan harus memperhatikan aspek teknis, prosedural, dan material secara terpadu. Misalnya, kursus Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) memperkenalkan standar manajemen keselamatan konstruksi termasuk aspek teknis dan administratif. 

Selain itu, kursus lain seperti Penerapan SMKK dan SMAP sebagai Pemenuhan Standar Usaha Jasa Konstruksi juga berfokus pada standar keselamatan teknis dan kesehatan kerja dalam praktik usaha konstruksi. 

Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang mempertimbangkan material tidak bisa dilepaskan dari arsitektur program pelatihan, audit, dan regulasi yang sudah dirintis melalui platform-pelatihan serta kursus yang dikelola oleh lembaga seperti Diklatkerja.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak:

  • Bahan non-standar yang dimensinya tidak konsisten menyebabkan pekerja mengambil langkah improvisasi, seperti memaksa potongan atau mengangkat beban tidak simetris, yang meningkatkan risiko cedera muskuloskeletal.

  • Pekerja yang rutin menangani bahan berat tanpa kontrol mutu lebih rentan mengalami nyeri punggung, luka tangan, hingga gangguan pernapasan akibat debu dari material tidak berkualitas.

  • Proyek yang menggunakan material terstandar sejak tahap perencanaan menunjukkan peningkatan efisiensi kerja, pengurangan limbah material, dan klaim asuransi K3 yang lebih rendah (hingga ~30 %) dalam studi empiris.

Hambatan:

  • Kurangnya regulasi nasional yang mewajibkan standar material khusus dengan perspektif kesehatan kerja (tidak hanya struktural).

  • Banyak UMKM konstruksi memilih material murah yang tidak memenuhi mutu, karena tekanan biaya proyek kecil.

  • Minimnya sosialisasi dan literasi teknis mengenai dampak kualitas material terhadap keselamatan kerja.

Peluang:

  • Mengintegrasikan kebijakan standarisasi bahan ke dalam sistem pengadaan proyek publik agar bahan yang dipakai sudah dalam standar mutu yang memperhatikan aspek kesehatan pekerja.

  • Kolaborasi dengan lembaga pelatihan yang menyelenggarakan kursus terkait SMKK dan manajemen keselamatan konstruksi.

  • Pengembangan sistem audit material konstruksi yang melibatkan Kementerian PUPR, Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan lembaga independen untuk memastikan bahwa setiap produk memenuhi Occupational Health Compliance Index (OHCI).

  • Memanfaatkan artikel terkini mengenai material konstruksi berkelanjutan, seperti “Material Konstruksi Berkelanjutan: Solusi Masa Depan untuk Industri Bangunan” sebagai sumber ilmu dan referensi kebijakan material yang aman. 

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar mutu yang memasukkan aspek kesehatan kerja pada setiap material bangunan yang digunakan dalam proyek publik.

  2. Tambahkan aspek material safety dalam SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) — misalnya audit mutu material secara berkala sesuai modul kursus Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).

  3. Pelatihan ergonomi dan teknik pengangkatan material bagi tukang agar beban kerja material bisa diminimalkan dan cedera punggung dikurangi.

  4. Bentuk pusat riset K3 material konstruksi, bekerja sama dengan perguruan tinggi teknik dan industri material, untuk mengembangkan material yang aman dan ramah pekerja.

  5. Berikan insentif pajak atau kemudahan regulasi bagi produsen material yang memenuhi standar K3, untuk mendorong produksi bahan bangunan yang aman dan berkualitas tinggi.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

  • Jika standar material hanya dilihat sebagai kewajiban administratif tanpa mekanisme pengawasan terpadu di tingkat lokal, kebijakan bisa dijadikan celah formalitas.

  • Pemerintah daerah atau otoritas lokal kadang tidak mempunyai kapasitas uji mutu material di lapangan, sehingga regulasi sulit diterapkan.

  • Jika kebijakan terlalu ketat tanpa support teknis bagi UMKM produsen material lokal, bisa berdampak negatif terhadap sektor industri kecil.

  • Kurangnya sinergi antara regulasi material dan kebijakan K3 lainnya (pelatihan, audit, sanksi) mungkin membuat kebijakan menjadi fragmen yang tidak holistik.

  • Jika materi kebijakan tidak disertai program edukasi dan sosialisasi intensif, produsen dan pekerja akan kesulitan memahami serta menerapkannya.

Penutup

Kebijakan keselamatan kerja di sektor konstruksi harus melampaui batas kontrol perilaku pekerja dan memperluas perhatian kepada lingkungan kerja material dan metode kerja. Penelitian Akomolafe et al. menegaskan bahwa kesehatan tukang bergantung tak hanya pada APD dan pelatihan, tetapi juga pada kualitas material yang setiap hari mereka gunakan.

Dengan kebijakan kombinasi material terstandar + pelatihan berbasis K3 + insentif regulatif, Indonesia dapat beralih ke industri konstruksi yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

Sumber

Akomolafe, O. F., Ogunbode, T. O., & Akinola, O. A. (2022). PLS-SEM Assessment of the Effect of Using Standardized Blocks on Artisans’ Health in the Construction Industry.

Selengkapnya
Standarisasi Material untuk Keselamatan Tukang: Kebijakan K3 Baru di Industri Konstruksi
page 1 of 14 Next Last »