Di Balik Rompi Oranye, Ada Cerita yang Tak Terucap
Setiap kali saya melewati proyek konstruksi, saya bukan hanya melihat gedung yang sedang dibangun. Saya melihat puluhan manusia berhelm kuning dan rompi oranye, bekerja di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Di balik setiap ayunan palu dan deru mesin, ada risiko yang sering kita lupakan. Kita melihat progresi sebuah bangunan, tapi jarang sekali memikirkan progresi keselamatan orang-orang yang membangunnya.
Pikiran itu membawa saya pada sebuah disertasi tebal karya Dr. Ika Triwati dari Universitas Negeri Makassar. Dan angka-angka di halaman pertamanya membuat saya terdiam. Menurut data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan, kasus kecelakaan kerja di industri konstruksi melonjak drastis hanya dalam beberapa tahun—dari 182.835 kasus pada 2019 menjadi 360.635 kasus hanya dalam periode Januari hingga November 2023.1 Angka ini hampir dua kali lipat. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerita tentang ratusan ribu nyawa, keluarga, dan masa depan yang terancam.
Data global dari International Labour Organization (ILO) bahkan lebih mencengangkan: setiap 15 detik, ada 160 pekerja yang mengalami kecelakaan terkait pekerjaan.1 Angka-angka ini memaksa kita bertanya: Jika aturan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sudah ada dan pelatihan sudah sering dilakukan, mengapa grafik kecelakaan ini terus merangkak naik? Disertasi ini tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan jawaban yang fundamental dan, terus terang, mengejutkan.
Jebakan 'Ruang Kelas' dan Mengapa Teori Saja Membahayakan
Disertasi Dr. Ika Triwati membuka mata saya pada sebuah ironi besar dalam dunia pelatihan K3. Selama ini, kita terjebak dalam sebuah pendekatan yang ternyata keliru.
Belajar Berenang dengan Membaca Buku
Bayangkan kamu ingin belajar berenang. Instruktur memberimu buku setebal 500 halaman tentang hidrodinamika, teknik gaya bebas, dan cara mengatur napas. Kamu mempelajarinya dengan tekun di ruang kelas yang nyaman dan ber-AC. Kamu bahkan lulus ujian tertulis dengan nilai sempurna. Apakah setelah itu kamu bisa langsung terjun ke laut dan berenang dengan selamat? Tentu tidak. Kamu mungkin malah tenggelam.
Inilah gambaran kasar dari banyak pelatihan K3 yang ada saat ini. Riset ini menyoroti bahwa banyak model pelatihan yang ada bersifat sangat teoritis, berpusat pada instruktur, dan seringkali gagal menjangkau audiens yang paling penting: para pekerja tukang yang berada di garis depan risiko.1 Pelatihan seringkali ditujukan untuk level supervisor atau manajer, sementara para pekerja di lapangan—yang setiap hari berhadapan dengan paku, besi, dan ketinggian—hanya mendapatkan instruksi seadanya. Mereka diajari apa aturannya, tapi tidak pernah benar-benar merasakan mengapa aturan itu penting dalam konteks pekerjaan mereka sehari-hari.
Hasilnya? Riset ini menyajikan data lapangan yang brutal. Di salah satu perusahaan konstruksi yang diteliti, ditemukan bahwa 72% pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar.1 Ketika ditanya lebih dalam, alasannya sangat manusiawi: helm terasa berat dan panas, sepatu safety kaku dan tidak nyaman, atau sekadar karena kebiasaan dan merasa "tidak apa-apa".1 Ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan presentasi PowerPoint atau ancaman sanksi.
Ini membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam. Ketidakpatuhan pekerja terhadap prosedur K3 bukanlah murni masalah kedisiplinan individu. Ini adalah gejala dari kegagalan desain sistem pelatihan. Ketika sebuah pelatihan gagal membuat risiko terasa nyata dan relevan dengan pekerjaan sehari-hari, maka bagi seorang pekerja, ketidaknyamanan jangka pendek (memakai helm panas) akan selalu terasa lebih mendesak daripada risiko jangka panjang yang abstrak (kemungkinan tertimpa sesuatu). Perilaku "tidak disiplin" bukanlah akar masalahnya, melainkan buah dari sistem edukasi yang gagal menghubungkan teori dengan praktik di lapangan.
Sebuah Terobosan dari Makassar: Belajar K3 Langsung di 'Medan Perang'
Di tengah masalah sistemik ini, disertasi Dr. Ika Triwati tidak hanya berhenti pada kritik. Ia menawarkan sebuah solusi konkret: Model Diklat K3 Berbasis Lingkungan Kerja. Idenya sederhana namun revolusioner: ubah lokasi proyek konstruksi dari sekadar tempat bekerja menjadi laboratorium belajar raksasa.
Model ini tidak lagi menempatkan pekerja di ruang kelas yang steril, melainkan membawa proses belajar langsung ke "medan perang" mereka. Tujuannya adalah mengubah aturan K3 dari sekadar teks di buku panduan menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi.
Empat Langkah yang Mengubah Aturan Menjadi Kebiasaan
Model ini memiliki empat tahapan (sintaks) yang dirancang secara sistematis untuk membangun pemahaman dari dasar hingga menjadi tindakan nyata.1
Tahap 1: Internalisasi (Momen 'Kenapa')
Bayangkan jika sesi pelatihanmu dimulai bukan dengan daftar panjang "dilarang ini, wajib itu". Sebaliknya, kamu dan rekan-rekanmu diajak berkumpul di pinggir area galian. Instruktur tidak berceramah, tapi bertanya, "Menurut kalian, apa yang paling berbahaya di area ini? Apa yang membuat kalian khawatir saat bekerja di sini?"
Ini adalah tahap Internalisasi. Tujuannya bukan menghafal, tapi memancing kesadaran dari dalam diri sendiri. Dengan mendiskusikan risiko nyata yang mereka lihat setiap hari, para pekerja mulai menghubungkan aturan K3 dengan keselamatan pribadi mereka. Ini adalah momen untuk memahami 'kenapa' di balik setiap prosedur.
Tahap 2: K3 Training (Praktik Langsung)
Setelah semua orang sadar akan risikonya, pelatihan dilanjutkan ke tahap praktik. Kamu tidak lagi melihat gambar cara memakai safety harness di layar proyektor. Sebaliknya, kamu diajari langsung cara memasang dan mengaitkannya dengan benar, sambil berdiri di dekat perancah. Kamu merasakan sendiri bagaimana alat itu mengunci, bagaimana rasanya bergantung padanya. Ini adalah K3 Training yang relevan dan kontekstual. Teori bertemu dengan realitas fisik.
Tahap 3: Assesment (Menjadi 'Detektif Keselamatan')
Di tahap ini, peran dibalik. Kamu dan timmu tidak lagi menjadi audiens pasif. Kalian diberi tugas untuk berjalan di sekitar lokasi proyek dan secara aktif mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin terlewatkan: kabel yang terkelupas, tumpukan material yang tidak stabil, atau area licin yang belum diberi tanda. Kalian menjadi "detektif keselamatan". Ini adalah Assesment aktif yang melatih mata untuk peka terhadap risiko, bukan sekadar ujian pilihan ganda yang menguji hafalan.
Tahap 4: Aktualisasi (Menjadi Kebiasaan)
Ini adalah tahap penutup yang krusial. Di akhir sesi, kamu tidak hanya diberi nilai, tapi diajak berdiskusi dan merefleksikan: "Setelah pelatihan ini, apa satu hal yang akan kamu lakukan secara berbeda besok pagi?" Mungkin jawabannya adalah "Saya akan selalu memeriksa perancah sebelum naik," atau "Saya akan mengingatkan teman saya jika dia lupa memakai sarung tangan."
Keselamatan tidak lagi menjadi topik pelatihan yang selesai dalam satu hari, tapi menjadi bagian integral dari cara bekerja. Inilah tahap Aktualisasi, di mana pengetahuan diubah menjadi perilaku dan, pada akhirnya, menjadi budaya.
Angka-Angka Berbicara: Seberapa Ampuh Model Baru Ini?
Ide yang bagus di atas kertas seringkali gagal saat diuji di dunia nyata. Tapi, model ini berbeda. Disertasi ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga mengujinya secara ketat di lapangan dengan metodologi penelitian dan pengembangan (R&D). Hasilnya? Sangat meyakinkan.
Saya akan merangkum temuan utamanya untuk Anda:
-
🚀 Hasilnya Luar Biasa: Efektivitas model ini diukur menggunakan metode N-Gain Score yang membandingkan peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan. Kelompok pekerja yang menggunakan model baru ini menunjukkan peningkatan pengetahuan sebesar 61%. Bandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode pelatihan konvensional, yang peningkatannya hanya 3%.1 Ini bukan sekadar perbaikan, ini adalah sebuah lompatan kuantum dalam efektivitas pelatihan.
-
🧠 Inovasinya Terbukti Valid: Sebelum diuji coba, model ini divalidasi oleh tiga orang pakar di bidang K3, industri konstruksi, dan desain pelatihan. Hasilnya? Model ini mendapatkan skor validitas rata-rata $3,36$ dari skala $4,00$ (kategori "Sangat Valid").1 Ini membuktikan bahwa model ini tidak hanya kreatif, tetapi juga kokoh secara akademis dan teoretis.
-
💡 Pelajaran Penting: Mudah Diterapkan! Mungkin temuan yang paling penting bagi para praktisi adalah kepraktisannya. Para instruktur yang menjalankan model ini di lapangan memberikannya skor kepraktisan rata-rata $3,46$ dari $4,00$ (kategori "Sangat Praktis").1 Ini adalah bukti bahwa model ini bukanlah konsep rumit yang hanya bisa ada di atas kertas, tapi sebuah kerangka kerja yang bisa langsung diadopsi dan diterapkan oleh tim di berbagai proyek.
Opini Pribadi Saya: Permata Tersembunyi di Tumpukan Jurnal
Membaca disertasi Dr. Ika Triwati ini seperti menemukan sebuah peta harta karun di tengah tumpukan jurnal akademis yang padat. Di dalamnya ada solusi nyata, teruji, dan aplikatif untuk masalah yang sangat serius dan seringkali diabaikan. Metodologi R&D yang ketat, analisis data yang cermat, dan hasilnya yang luar biasa membuatnya menjadi sebuah karya yang solid dan berdampak.
Namun, ada satu hal yang membuat saya sedikit gemas. Meskipun temuannya hebat, cara penyajiannya dalam format disertasi yang kaku dan penuh istilah teknis—seperti The Solomon Fourth Group Design atau analysis of covariance—membuatnya sulit diakses oleh orang-orang yang paling membutuhkannya: para manajer proyek, kepala HRD, dan praktisi K3 di lapangan.
Inilah mengapa tulisan seperti ini penting. Ada begitu banyak permata riset seperti ini yang tersembunyi di perpustakaan universitas. Tugas kita bersama adalah mengambilnya, memolesnya, dan membawanya ke 'medan perang' yang sesungguhnya—ke lokasi proyek, ke ruang rapat, dan ke dalam modul-modul pelatihan di seluruh Indonesia.
Langkah Anda Berikutnya: Dari Pengetahuan Menjadi Tindakan
Pada akhirnya, disertasi ini mengajarkan kita satu hal fundamental: helm kuning dan rompi oranye adalah pelindung fisik, tetapi pelindung terbaik adalah pengetahuan yang kontekstual dan kebiasaan yang terbentuk dari praktik nyata. Keselamatan bukanlah soal menghafal aturan, tapi soal memahami dunia di sekitar kita dan bertindak berdasarkan pemahaman itu.
Model yang dikembangkan di Makassar ini adalah bukti bahwa kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Kita bisa mengubah pelatihan dari sebuah kewajiban yang membosankan menjadi sebuah pengalaman belajar yang memberdayakan.
Jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami lebih jauh tentang pelatihan kerja yang efektif dan bersertifikat untuk meningkatkan kompetensi Anda dan tim, platform seperti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik.