Satu Paper, 60 Pekerja, dan Realita K3 yang Menampar Saya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

30 Oktober 2025, 12.30

Satu Paper, 60 Pekerja, dan Realita K3 yang Menampar Saya

Cerita di Balik Angka: Kenapa Selembar Kertas Ini Membuat Saya Berhenti dan Berpikir

Kemarin saya melewati sebuah proyek konstruksi besar. Gedung pencakar langit yang gagah, dikelilingi derek-derek raksasa. Saya melihat para pekerja, titik-titik kecil berwarna cerah dengan helm mereka, bergerak lincah di ketinggian. Spontan saya berpikir, "Mereka pasti sangat terlatih." Lalu saya membaca sebuah paper penelitian, dan pikiran itu hancur.

Ini bukan sekadar jurnal karya Ferdinand Fassa dan Susy Rostiyanti dari Universitas Agung Podomoro. Ini adalah potret 60 nyawa, 60 pekerja konstruksi di Tangerang Selatan, yang suaranya—lewat kuesioner—mengungkap sebuah realita yang jauh lebih rapuh dari beton yang mereka cor.1 Paper ini berjudul "PENGARUH PELATIHAN K3 TERHADAP PERILAKU TENAGA KERJA KONSTRUKSI DALAM BEKERJA SECARA AMAN DI PROYEK," sebuah judul akademis yang menyembunyikan cerita-cerita manusia di dalamnya.1

Kita semua tahu konstruksi itu berbahaya. Data dari International Labor Organization (ILO) bahkan menyebut sektor ini menyumbang 24%-40% kematian pekerja di negara maju.1 Tapi pertanyaan yang diajukan paper ini lebih dalam: Apakah selembar sertifikat pelatihan benar-benar bisa menjadi pembeda antara pulang ke rumah dengan selamat dan menjadi statistik kecelakaan kerja? Jawabannya, ternyata, jauh lebih mengejutkan dan penting dari yang saya kira.

Realita yang Menampar: Potret Tenaga Kerja Konstruksi Kita Hari Ini

Sebelum kita bicara solusi, kita harus berani menatap masalahnya. Dan paper ini melukiskan potret tenaga kerja kita dengan angka-angka yang jujur dan, terus terang, mengkhawatirkan.

Bertemu "Bayu": Wajah di Balik Statistik

Mari kita coba bayangkan seorang pekerja dari data ini. Kita sebut saja dia Bayu. Menurut penelitian ini, Bayu kemungkinan besar adalah seorang pria muda, berusia antara 20 hingga 35 tahun (kelompok ini mencakup 71% dari total responden).1 Dia adalah tulang punggung perekonomian, berada di puncak usia produktifnya.

Namun, ada sisi lain dari profil Bayu. Peluangnya sangat besar bahwa pendidikan formal terakhirnya hanya sampai level SD atau SMP—sebanyak 82% responden berada di kategori ini.1 Pengalamannya di dunia konstruksi pun terbilang baru, dengan 55% responden memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun.1 Dan perannya di proyek kemungkinan besar adalah sebagai "kenek" atau pembantu tukang, posisi yang paling banyak diisi oleh responden (sekitar 41%).1

Jika kita gabungkan semua data ini, sebuah gambaran yang lebih jelas muncul. Tenaga kerja di lapangan didominasi oleh individu yang muda, secara formal tidak berpendidikan tinggi, dan relatif belum berpengalaman. Ini bukan untuk merendahkan, justru sebaliknya—ini untuk menyoroti betapa rentannya mereka. Mereka adalah kelompok yang paling membutuhkan bimbingan, arahan, dan perlindungan di salah satu lingkungan kerja paling berisiko di dunia.

Separuh Tentara Dikirim ke Medan Perang Tanpa Latihan

Sekarang, bayangkan Bayu dan rekan-rekannya. Dengan profil yang sudah kita ketahui, bekal apa yang mereka miliki untuk menghadapi risiko harian seperti bekerja di ketinggian, mengoperasikan alat berat, atau berada di dekat galian tanah?

Di sinilah data yang paling menampar muncul. Paper ini menemukan bahwa 51% dari para pekerja ini—lebih dari separuh—mengaku belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).1

Coba resapi sejenak. Separuh. Ini bukan berarti mereka lupa materi pelatihannya; ini berarti mereka tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Mereka dilepas di medan perang konstruksi hanya dengan bekal helm, sepatu bot, dan harapan. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang dilakukan setiap hari dengan nyawa manusia sebagai taruhannya.

Aturan yang Ada, Kepatuhan yang Tiada

Mungkin Anda berpikir, "Pasti ada aturannya, kan?" Tentu saja ada. Paper ini dengan jelas mengutip Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang pada pasal 70 ayat 1 menyatakan bahwa "Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja".1 Bahkan ada sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja bagi yang melanggar.

Lalu, bagaimana kenyataannya di lapangan? Penelitian ini mengungkap sebuah "jurang kepatuhan" yang masif. Sebanyak 68% pekerja yang disurvei ternyata tidak memiliki sertifikat kompetensi yang diwajibkan oleh hukum.1

Ini bukan lagi sekadar kelalaian individu. Ini adalah kegagalan sistemik. Ketika dua dari tiga pekerja di lapangan tidak memenuhi syarat legal yang paling mendasar, ini menandakan ada yang salah dengan pengawasan, implementasi, dan mungkin juga kesadaran para penyedia jasa konstruksi itu sendiri. Para pekerja seperti Bayu bukan penyebab masalah ini; mereka adalah korban dari sebuah sistem yang belum berjalan sebagaimana mestinya.

Cahaya di Ujung Terowongan: Pelatihan Ternyata Adalah Kuncinya

Di tengah data-data yang terasa suram, para peneliti menemukan seberkas cahaya. Mereka tidak berhenti pada identifikasi masalah, tapi juga mencari pembuktian apakah solusi yang selama ini kita yakini—yaitu pelatihan—benar-benar bekerja.

Momen "Aha!" dari Uji Chi-Square

Para peneliti menggunakan sebuah alat statistik bernama Uji Chi-Square. Anda tidak perlu tahu rumusnya ($x^{2}=\frac{\Sigma(fo-fe)^{2}}{fe}$) untuk mengerti hasilnya.1 Bayangkan saja alat ini seperti "detektor hubungan" yang sangat canggih. Ia bisa memberitahu kita apakah dua hal saling berkaitan secara nyata atau hanya kebetulan semata.

Dan untuk pertanyaan "Apakah ada hubungan antara pernah ikut pelatihan K3 dengan kesadaran bekerja secara aman?", detektor itu berbunyi sangat nyaring.

Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan secara statistik. Angka signifikansinya adalah $p=0,0168$.1 Dalam dunia statistik, setiap nilai di bawah 0,05 dianggap signifikan. Jadi, 0,0168 adalah angka yang sangat meyakinkan. Ini adalah bukti matematis bahwa pelatihan K3 BUKAN sekadar formalitas. Ia benar-benar mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran para pekerja untuk bekerja dengan lebih aman. Ini adalah momen "aha!" dari penelitian ini.

Efek Dosis: Semakin Sering, Semakin Aman

Penelitian ini menemukan sesuatu yang lebih kuat lagi. Ternyata, efek pelatihan ini mirip seperti minum vitamin—efeknya semakin terasa jika dilakukan secara rutin. Ini bukan soal "sudah pernah" atau "belum pernah" saja. Frekuensi menjadi sangat penting.

Lihatlah data yang luar biasa ini: di antara para pekerja yang pernah mengikuti pelatihan K3 lebih dari tiga kali, 100% dari mereka setuju bahwa pelatihan itu sangat mempengaruhi kesadaran mereka untuk bekerja dengan aman.1 Angka ini turun menjadi 75% bagi yang pernah ikut dua kali, dan 43% bagi yang baru ikut sekali.1

Pola ini sangat jelas. Keselamatan bukanlah pil yang cukup diminum sekali seumur hidup. Ia adalah otot yang harus dilatih secara berkala agar tetap kuat dan waspada. Satu sesi pelatihan mungkin bisa membuka mata, tapi pelatihan yang berulang-ulanglah yang membangun kebiasaan dan menanamkan budaya aman hingga ke alam bawah sadar. Ini adalah argumen telak untuk menentang pendekatan "centang kotak" dalam pelatihan K3.

Temuan yang Paling Mengejutkan: Ijazah Bukanlah Jaminan

Di sinilah paper ini benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya, dan mungkin juga asumsi Anda. Logika umum kita seringkali berkata: semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah ia menyerap informasi, termasuk materi pelatihan. Orang dengan ijazah SMA seharusnya lebih cepat paham daripada yang lulusan SMP, bukan?

Ternyata, data berkata lain.

Para peneliti kembali menggunakan "detektor hubungan" mereka untuk melihat apakah ada kaitan antara tingkat pendidikan (SD/SMP vs. SMA) dengan pengaruh pelatihan K3 terhadap kesadaran keselamatan. Hasilnya? Tidak ada hubungan signifikan sama sekali, dengan nilai $p=0,231$.1 Angka ini jauh di atas ambang batas 0,05, yang artinya secara statistik, tingkat pendidikan formal tidak terbukti menjadi faktor penentu.

Ini adalah pesan yang luar biasa kuat dan demokratis. Keselamatan di tempat kerja bukanlah hak eksklusif mereka yang berijazah tinggi. Ia adalah hak fundamental setiap pekerja. Kemampuan untuk menjadi aman dan sadar akan risiko tidak diukur dari rapor sekolah, melainkan dari kualitas dan relevansi pelatihan yang mereka terima. Seorang pekerja lulusan SD sama mampunya untuk menjadi agen keselamatan bagi dirinya dan rekan-rekannya seperti halnya seorang lulusan SMA, asalkan ia diberi kesempatan belajar dengan cara yang tepat.

"Jangan Cuma Bicara, Tunjukkan Caranya!": Suara Pekerja dari Lapangan

Jika kita sudah tahu bahwa pelatihan itu krusial dan bisa diakses oleh siapa saja terlepas dari latar belakang pendidikannya, pertanyaan logis berikutnya adalah: pelatihan seperti apa yang paling efektif?

Daripada berspekulasi, para peneliti langsung bertanya kepada sumbernya: para pekerja itu sendiri. Dan jawaban mereka sangat lantang dan jelas.

Sebanyak 77% responden menginginkan metode pelatihan dengan cara praktik langsung.1 Hanya sebagian kecil yang memilih metode ceramah (13%) atau video/visual (10%).1 Ini bukan sekadar preferensi, ini adalah sebuah mandat. Para pekerja, yang setiap hari bekerja dengan tangan mereka, secara intuitif tahu bahwa mereka belajar paling baik dengan cara yang sama: dengan melakukan, bukan hanya mendengar atau melihat.

Ini adalah kritik telak bagi program-program pelatihan yang hanya mengandalkan slide PowerPoint di ruangan ber-AC. Para pekerja tidak butuh lebih banyak teori; mereka butuh simulasi. Mereka tidak butuh ceramah panjang; mereka butuh merasakan langsung bagaimana cara memasang harness pengaman dengan benar, bagaimana cara mengidentifikasi struktur galian yang tidak stabil, atau bagaimana cara menggunakan alat pemadam api ringan. Mereka meminta pembelajaran kinestetik.

Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) yang berfokus pada kursus online berbasis kompetensi praktis menjadi sangat relevan. Platform semacam ini dapat menjembatani kebutuhan akan pembelajaran yang aplikatif dan mudah diakses, memberikan pengetahuan yang bisa langsung dipraktikkan di lapangan.

Refleksi dan Kritik Halus: Apa yang Tidak Dikatakan oleh Data?

Studi ini brilian dalam mengukur "kesadaran." Temuannya bahwa pelatihan K3 secara signifikan meningkatkan kesadaran adalah sebuah kemenangan besar. Namun, sebagai seorang praktisi yang terbiasa melihat implementasi di dunia nyata, saya tahu ada satu langkah lagi yang krusial: menjembatani kesenjangan antara kesadaran (awareness) dan perilaku konsisten (consistent behavior) di lapangan.

Paper ini, karena keterbatasannya (yang diakui oleh para penulis, seperti cakupan wilayah dan jumlah responden yang terbatas), belum mengukur apakah peningkatan kesadaran ini berhasil diterjemahkan menjadi penurunan angka kecelakaan atau insiden nyaris celaka.1 Ini tentu bukan kelemahan studi, melainkan sebuah panggilan untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. Kita sudah tahu cara membuat pekerja 'tahu' akan bahayanya. Tantangan kita berikutnya adalah membangun sistem dan budaya perusahaan yang memastikan mereka 'melakukan' hal yang aman, setiap saat, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi.

Pelajaran yang Bisa Kita Bawa Pulang Hari Ini

Jika saya harus merangkum seluruh kebijaksanaan dari 14 halaman paper ini ke dalam beberapa poin singkat, inilah dia:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Pelatihan K3 bukan sekadar formalitas birokrasi. Ia terbukti secara statistik ($p=0,0168$) mampu meningkatkan kesadaran pekerja untuk bekerja dengan aman. Ini adalah investasi yang terukur dampaknya.1

  • 🧠 Inovasinya: Lupakan asumsi lama. Studi ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan formal tidak ada hubungannya dengan keberhasilan pelatihan keselamatan. Kemauan untuk belajar dan cara penyampaian yang tepat jauh lebih penting.1

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir 'satu untuk semua'. Dengarkan audiens Anda. Pekerja konstruksi kita (77% dari mereka) meminta pelatihan praktik, bukan teori. Berikan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang paling mudah kita sediakan.1

Langkah Anda Selanjutnya: Dari Membaca Menjadi Bertindak

Membaca tulisan ini adalah langkah pertama yang baik. Tapi perubahan nyata terjadi saat pengetahuan diubah menjadi tindakan.

Jika Anda seorang manajer, pemimpin tim, atau profesional HR di industri konstruksi atau industri berisiko tinggi lainnya, tanyakan pada diri Anda hari ini: Kapan terakhir kali tim Anda mendapatkan pelatihan K3 yang benar-benar praktis dan interaktif? Apakah program Anda hanya dirancang untuk mencentang kotak kepatuhan, atau untuk benar-benar membangun otot keselamatan?

Keselamatan bukan hanya tugas mandor atau manajer K3. Ia adalah tanggung jawab kita bersama. Kita semua, sebagai bagian dari ekosistem industri, punya peran untuk memastikan setiap 'Bayu' di luar sana tidak hanya diberi helm, tapi juga pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri untuk pulang ke rumah menemui keluarga mereka dalam keadaan selamat setiap hari.

Diskusi ini baru permulaan. Jika Anda ingin menyelami data dan metodologi yang mendasari cerita ini, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Pengetahuan adalah langkah pertama menuju perubahan yang lebih baik.

(https://www.researchgate.net/publication/383226273_PENGARUH_PELATIHAN_K3_TERHADAP_PERILAKU_TENAGA_KERJA_KONSTRUKSI_DALAM_BEKERJA_SECARA_AMAN_DI_PROYEK)