Teknologi

Pentingnya Literasi AI di Rumah dan di Sekolah

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Pagi itu, Dika, murid kelas lima SD, menatap layar gawai dengan dahi berkerut. “ChatGPT, tolong buatkan karangan tentang pahlawanku,” tulisnya. Lima detik kemudian, paragraf demi paragraf mengalir rapi. Ia tersenyum puas — tapi ibunya hanya diam.

Di sisi lain kota, Bu Sari, guru bahasa Indonesia di sekolah semi-rural, memeriksa tugas-tugas muridnya yang semua tampak “terlalu sempurna”. Ia gelisah: “Apakah anak-anak ini masih belajar menulis, atau sekadar menyalin dari mesin?”

Kisah kecil ini bukan sekadar anekdot. Ia adalah cermin zaman: anak-anak kita tumbuh bersama kecerdasan buatan (AI) — kadang tanpa tahu bagaimana ia bekerja, apa batasnya, dan kapan harus berkata “tidak” pada mesin pintar.

Artikel ini membahas urgensi literasi AI bagi anak-anak di rumah dan sekolah, menelaah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang perlu dikembangkan, serta meninjau praktik baik dari berbagai negara. Dengan pendekatan reflektif dan berbasis bukti ilmiah, tulisan ini mengajak guru dan orang tua untuk mendampingi anak mengenali AI bukan sebagai “pengganti otak”, melainkan sahabat belajar yang harus dijinakkan dengan akal, hati, dan etika.

 

Pendahuluan: Anak, Mesin, dan Rasa Ingin Tahu

Dika bukan satu-satunya. Di banyak rumah, anak-anak kini terbiasa “berdialog” dengan chatbot — dari mencari ide tugas, minta ringkasan pelajaran, hingga curhat soal teman. Mereka hidup di dunia di mana rekomendasi YouTube, filter spam, dan algoritma TikTok sudah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Namun, di balik kecanggihan itu, muncul tanya yang sunyi: apakah anak-anak memahami *bagaimana* mesin-mesin itu berpikir? Ataukah mereka hanya menuruti logika yang tak mereka pahami?

Dalam salah satu survei UNESCO (2023), lebih dari 60% siswa usia sekolah dasar di Asia mengaku menggunakan alat berbasis AI untuk membantu belajar, tetapi kurang dari 15% memahami prinsip dasarnya. UNICEF (2021) menegaskan bahwa anak berhak mengetahui cara kerja sistem yang memengaruhi kehidupannya — dari algoritma yang menentukan video yang mereka tonton, hingga aplikasi yang mengumpulkan datanya.

Literasi AI bukan soal mengajarkan coding atau robotika semata, tetapi membantu anak memahami hubungan antara manusia dan mesin. Ini soal melatih mereka berpikir kritis terhadap informasi, berempati dalam dunia digital, dan bertanggung jawab dalam menggunakan kecerdasan buatan.

 

Mengapa Anak Perlu Literasi AI

1. AI sudah menjadi lingkungan belajar anak

Kecerdasan buatan bukan lagi “alat masa depan” — ia sudah hadir di ruang belajar hari ini. Sistem adaptive learning seperti Khanmigo atau Duolingo, chatbot seperti ChatGPT, hingga fitur autocorrect dan search prediction di ponsel — semuanya berbasis AI.

Menurut Long & Magerko (2020), anak-anak berinteraksi dengan sistem cerdas rata-rata 30 kali per hari tanpa menyadarinya. Maka, memahami AI berarti memahami dunia di sekitar mereka.

2. Risiko manipulasi dan miskonsepsi

Anak yang tidak memahami batas AI rentan misinformed — mudah percaya pada jawaban yang salah atau bias algoritma. Penelitian dari MIT Media Lab (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang menganggap chatbot “serba benar” cenderung menunjukkan learning helplessness, yakni kehilangan inisiatif belajar mandiri karena terlalu bergantung pada mesin.

Tanpa literasi, anak tidak belajar “berpikir dengan AI”, tetapi “disetir oleh AI”.

3. Kesiapan menghadapi masa depan kerja dan etika digital

OECD (2021) mencatat bahwa 65% pekerjaan masa depan akan melibatkan sistem berbasis AI. Namun, tantangan terbesar bukan sekadar teknis, melainkan etis: bagaimana anak-anak membuat keputusan yang adil, menghormati privasi, dan mempertimbangkan dampak sosial teknologi.

Karenanya, literasi AI juga bagian dari pendidikan karakter — melatih akal sekaligus budi.

 

Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik Literasi AI

Mengacu pada kerangka AI Literacy Framework (Ng et al., 2021; Druga et al., 2019), pendidikan literasi AI yang komprehensif perlu mengembangkan tiga ranah utama:

1. Aspek Kognitif: Memahami dan Menalar

Anak diajak memahami konsep dasar seperti data, algoritma, bias, dan pembelajaran mesin.

Tujuannya bukan menjadikan mereka ahli komputer, tetapi *pembelajar kritis* yang bisa menilai kebenaran informasi. Misalnya, saat chatbot memberi jawaban, anak dilatih untuk bertanya:

> “Dari mana datanya? Apakah semua orang akan mendapatkan jawaban yang sama?”

2. Aspek Afektif: Nilai, Etika, dan Empati Digital

AI sering kali “dingin” — ia tak punya hati. Di sinilah pendidikan berperan.

Anak perlu diajak merenung: apakah adil jika robot menggantikan pekerjaan manusia? Apakah etis jika AI mengenali wajah tanpa izin?

UNESCO (2023) menekankan *rights-based approach* — bahwa setiap anak harus belajar tentang hak privasi, keberagaman, dan tanggung jawab digital.

3. Aspek Psikomotorik: Membuat, Menguji, dan Mengendalikan

Anak belajar *hands-on* membuat model sederhana: mengenali pola, mengatur logika keputusan, atau melatih chatbot mini.

Melalui kegiatan ini, mereka bukan hanya pengguna, tetapi *pencipta sadar*. Di sekolah dasar Finlandia, misalnya, anak-anak dilatih membuat sistem klasifikasi warna menggunakan *machine learning* sederhana — bukan untuk lomba, tapi untuk memahami cara berpikir mesin.

.

Best Practices Literasi AI di Berbagai Negara

Finlandia – “Elements of AI” untuk Semua Usia

Program nasional Elements of AI tidak hanya untuk mahasiswa, tapi juga diadaptasi untuk anak-anak. Pendekatannya humanistik: AI diajarkan sebagai cara berpikir, bukan sekadar teknologi. Guru dibekali modul “AI for Teachers” agar bisa mengintegrasikan konsep sederhana ke pelajaran harian.

Amerika – "AI + Ethics”

MIT mengembangkan kurikulum AI + Ethics for Kids (2023) yang mengajarkan anak usia 8–13 tahun melalui permainan peran dan eksperimen. Anak belajar menebak bagaimana mesin mengambil keputusan dan mendiskusikan apakah keputusan itu adil.

Singapura – AI For Everyone (AIFE) dan AI for Students

Singapura memasukkan literasi AI sejak SD melalui program “AI for Students” (Infocomm Media Development Authority, 2022). Fokusnya: awareness, ethics, dan application. Anak diajak melihat manfaat AI dalam kehidupan nyata — dari transportasi hingga lingkungan.

Korea Selatan – Smart Learning Schools

Korea membangun ekosistem pembelajaran berbasis AI di sekolah semi-rural, agar kesenjangan digital tidak makin lebar. Programnya menekankan *AI inclusion*, memastikan setiap anak, meski di desa, memiliki akses dan pemahaman dasar.

.

Refleksi dan Implikasi bagi Pendidikan di Indonesia

Indonesia menghadapi dua realitas: anak-anak kota yang sudah akrab dengan ChatGPT, dan anak-anak desa yang baru mengenal ponsel pintar. Namun keduanya menghadapi bahaya yang sama: *ketergantungan tanpa pemahaman.*

Guru perlu menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat — bukan sekadar mengajarkan teknologi, tetapi membimbing anak bertanya, menguji, dan berefleksi. Orang tua, di sisi lain, harus hadir sebagai “penerjemah zaman”: tidak melarang teknologi, tapi menuntun arah penggunaannya.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan bagi segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Di era AI, tuntunan itu berarti membimbing mereka agar tetap menjadi *manusia merdeka berpikir* — bukan manusia yang digerakkan oleh mesin.

.

 

Penutup: Antara Hati, Otak, dan Mesin

Malam itu, Dika kembali membuka laptopnya. Ia menatap kursor yang berkedip di layar. Kali ini ia tidak langsung mengetik “ChatGPT, buatkan karangan…”. Ia menulis sendiri, lalu bertanya pada mesin:

> “Bisakah kamu bantu saya memperbaikinya?”

Sang ibu tersenyum dari pojok dapur. Bukan karena Dika menulis sempurna, tapi karena ia *belajar berdialog dengan teknologi, bukan diperintah olehnya*.

Itulah tujuan akhir literasi AI — bukan menolak kecerdasan buatan, melainkan menumbuhkan *kecerdasan manusia* yang lebih jernih, beretika, dan berpihak pada kehidupan.

.

Glosarium

AI (Artificial Intelligence): Sistem komputer yang meniru cara berpikir dan belajar manusia.

Algoritma: Serangkaian instruksi logis yang mengatur bagaimana komputer membuat keputusan.

Bias algoritmik:Ketidakseimbangan hasil keputusan AI akibat data yang tidak netral.

Chatbot:Program yang bisa “berdialog” dengan manusia, seperti ChatGPT.

Learning Helplessness:Kondisi ketika anak terlalu bergantung pada bantuan luar hingga kehilangan motivasi belajar mandiri.

Adaptive Learning:Sistem pembelajaran yang menyesuaikan materi dengan kemampuan dan gaya belajar pengguna.

Ethical AI: Prinsip penggunaan AI yang adil, transparan, dan menghormati hak manusia.

.

Daftar Pustaka:

Druga, S., Williams, R., Breazeal, C., & Resnick, M. (2019). *How do children conceptualize AI?* Proceedings of the 2019 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems, 1–13. [ https://doi.org/10.1145/3290605.3300533 ] ( https://doi.org/10.1145/3290605.3300533 )

Infocomm Media Development Authority. (2022). *AI for Students: Building an AI-ready generation.* Government of Singapore.

Long, D., & Magerko, B. (2020). *What is AI literacy? Proceedings of the 2020 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems*, 1–16. [ https://doi.org/10.1145/3313831.3376727 ] ( https://doi.org/10.1145/3313831.3376727 )

MIT Media Lab. (2023). *AI + Ethics for Kids Curriculum.* Massachusetts Institute of Technology.

Ng, D., Chu, S., & Koo, A. (2021). *A Framework for Artificial Intelligence Literacy in K–12 Education.* SpringerOpen.

OECD. (2021). *AI and the Future of Skills, Volume 1: Capabilities and Assessments.* OECD Publishing.

UNESCO. (2023). *Guidelines for Policy Makers on Child Rights and AI.* United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.

UNICEF. (2021). *Policy Guidance on AI for Children.* United Nations Children’s Fund.

Selengkapnya
Pentingnya Literasi AI di Rumah dan di Sekolah

Ekonomi

ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Uang, Klik, dan Kepercayaan

Di sebuah ruang redaksi kecil di Yogyakarta, seorang jurnalis bercerita lirih,

> “Kami ingin menulis berita yang jujur, tapi kalau tidak viral, kami tidak bisa bertahan.”

Kalimat sederhana itu merangkum dilema eksistensial jurnalisme digital: integritas butuh waktu, sedangkan iklan butuh klik. Ekonomi klik menempatkan media pada posisi sulit. Setiap artikel adalah pertarungan antara etika dan algoritma. Yang paling cepat menang, bukan yang paling benar. Namun, pertanyaannya:

Apakah kita harus memilih antara bertahan hidup dan bertahan bermoral?

Apakah jurnalisme etis selalu berarti jurnalisme miskin?

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa jawabannya: tidak. Masih ada jalan tengah antara trafik dan integritas — sebuah paradigma baru yang disebut etika ekonomi klik.

 

1. Krisis Model Lama: Ketika Iklan Menjadi Tuan

Sampai satu dekade lalu, model bisnis media sederhana: konten → pembaca → iklan → pendapatan.

Namun setelah dua raksasa, Google dan Meta, menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital global, media kehilangan kendali atas sirkulasi uang dan perhatian.

Menurut laporan Pew Research (2022), hanya 15–20% pendapatan iklan digital yang benar-benar kembali ke media pembuat konten. Sisanya diserap oleh platform melalui sistem lelang otomatis dan algoritma rekomendasi. Di Indonesia, efeknya lebih terasa: portal berita menumpuk konten ringan demi page view, sementara media lokal kesulitan membiayai liputan investigatif yang mahal. Kita menghadapi apa yang disebut Victor Pickard (2020) sebagai “market failure of journalism.” Dalam sistem ini, setiap klik adalah transaksi kecil — tapi tidak ada nilai tambah sosial di baliknya. Kita menghasilkan “lalu lintas” tanpa arah, bukan literasi yang mencerahkan.

 

2. Membangun Ekonomi Kepercayaan

Namun tidak semua media menyerah pada logika klik.

Beberapa mulai bereksperimen dengan model berbasis kepercayaan (trust-based journalism).

🔹 The Guardian

Menolak paywall sejak 2016 dan mengandalkan donasi sukarela pembaca.

Kini memiliki lebih dari 1,5 juta pendukung aktif dan membukukan laba.

Mereka menjual nilai, bukan sensasi:

> “Support the journalism you can trust.”

🔹 ProPublica

Dibiayai oleh sumbangan lembaga dan publik, semua data investigasi dibuka gratis.

Mereka menukar eksklusivitas dengan kolaborasi: berita mereka dipakai ratusan media lokal.

🔹 The Conversation

Menjembatani ilmuwan dan jurnalis, menulis dengan bahasa sederhana tanpa clickbait.

Pendekatannya: slow journalism for fast minds.

Contoh-contoh itu membuktikan bahwa trust bisa menjadi currency baru.

Kepercayaan menghasilkan loyalitas, dan loyalitas menghasilkan keberlanjutan.

 

3. Prinsip Etika Baru dalam Ekonomi Klik

Bagaimana prinsip ini bisa diterapkan di konteks media Indonesia?

Ada empat rumusan etika ekonomi klik yang dapat menjadi pedoman redaksi dan regulator:

1. Transparansi sebagai Modal Dasar

Media harus terbuka tentang sumber pendapatan dan proses editorialnya.

Pembaca berhak tahu apakah berita ditulis murni informatif atau berbayar (sponsored content).

Kejujuran finansial adalah bentuk pertama dari kejujuran editorial.

> “Kalau pembaca tak tahu siapa yang membayar berita,

> mereka takkan tahu siapa yang sedang berbicara kepada mereka.”

2. Nilai Sosial sebagai Keuntungan Utama

Setiap berita harus mengandung manfaat publik — bukan sekadar menarik perhatian.

Media perlu menilai keberhasilan bukan hanya lewat traffic analytics, tapi juga impact metrics:

apakah berita ini mendorong debat sehat, kebijakan baru, atau perubahan perilaku positif?

Model seperti Solutions Journalism Network (SJN) di AS menunjukkan bahwa

berita yang konstruktif lebih mungkin dibagikan secara organik dibanding berita sensasional.

3. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan

Daripada bersaing dalam sensasi, media bisa saling menguatkan lewat kolaborasi data dan liputan.

Contoh: proyek lintas redaksi “IndonesiaLeaks” yang menyatukan investigasi korupsi.

Kolaborasi seperti ini menurunkan biaya, meningkatkan dampak, dan menjaga etika.

4. Literasi Pembaca sebagai Tanggung Jawab Redaksi

Media tidak bisa menunggu publik menjadi cerdas; media harus ikut mencerdaskan publik.

Program literasi media — seperti rubrik “Belajar dari Judul” atau “Fakta vs Framing” — dapat memperkuat kepercayaan dua arah.

Seperti kata Jay Rosen (2006) dalam esainya yang terkenal :

> “Audience are not consumers anymore — they are the public.”

> Pembaca bukan target; mereka bagian dari ekosistem kejujuran.

 

5. Klik yang Punya Nurani

Etika ekonomi klik berarti mengembalikan klik ke makna moralnya. Klik bukan sekadar tindakan konsumsi, tapi tanda kepercayaan mikro. Setiap klik adalah “ya kecil” dari pembaca kepada media:

“Ya, saya percaya pada niatmu memberi tahu saya sesuatu yang penting.”

Jika kepercayaan itu dikhianati berkali-kali, pembaca akan berhenti mengklik — dan yang hilang bukan sekadar trafik, tapi kredibilitas. Karena itu, ekonomi jurnalisme masa depan harus beralih dari attention economy ke trust economy. Dari sekadar menghitung jumlah klik menjadi menakar kualitas hubungan antara media dan pembacanya.

 

5. Model “Clickworth Ecosystem”

Untuk menyeimbangkan idealisme dan bisnis, kita bisa membayangkan model tiga lapis berikut:

1. Lapisan Konten:

Produksi berita berbasis verifikasi dan kebermanfaatan.

Hindari “factory news,” perbanyak explanatory journalism.

2. Lapisan Komunitas:

Bangun forum diskusi pembaca, buletin, atau membership yang mendorong partisipasi.

Gunakan data untuk memahami kebutuhan sosial, bukan memanipulasi preferensi emosional.

3. Lapisan Keberlanjutan:

Kombinasikan donasi pembaca, iklan etis, dan kemitraan dengan lembaga pendidikan atau sains.

Ukur keberhasilan dengan trust score, bukan click score.

> Dalam ekosistem ini, “klik” menjadi pintu masuk menuju relasi, bukan akhir dari transaksi.

 

6. Harapan di Tengah Algoritma

Teknologi tidak harus jadi musuh jurnalisme; ia bisa menjadi alat kebenaran jika diarahkan dengan nurani. AI, misalnya, bisa membantu redaksi menganalisis bias, memeriksa fakta, atau mengukur kepercayaan publik secara real time. Yang dibutuhkan bukan perang melawan mesin, melainkan reprogramming moral: menjadikan integritas sebagai parameter algoritma. Bayangkan jika suatu hari “berita yang paling dipercaya” diberi peringkat lebih tinggi daripada “berita yang paling banyak diklik.” Itulah cita-cita ekonomi klik yang beradab — tempat nilai dan trafik tidak lagi bertentangan, tetapi saling memperkuat.

 

✍️

Penutup – Menyusuri Jalan Tengah

Di ujung serial “Menggugah, Bukan Menggoda”, satu pelajaran utama tersisa :  Jurnalisme tidak akan mati karena kurang klik, tetapi karena kehilangan makna.

Ekonomi klik telah mengajarkan kita bahwa perhatian manusia bisa dibeli. Namun jurnalisme sejati mengingatkan bahwa kepercayaan tidak bisa. Etika baru ini tidak menghapus pasar, tapi menginsankan pasar. Ia mengajak kita menulis berita bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dipercayai. Maka, biarlah media masa depan bukan hanya menghitung klik, tetapi juga menghitung hati yang disentuh dan pikiran yang tercerahkan.

 

📚

Referensi & Bacaan Pendukung

Victor Pickard – Democracy Without Journalism? (2020)

Pew Research Center – State of the News Media 2022

Jay Rosen – The People Formerly Known as the Audience (2006)

Solutions Journalism Network – Restoring Trust in News (2020)

The Guardian – Annual Report on Reader Contributions (2023)

Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism (2019)

Reuters Institute – Paying for News Report (2024)

 

🚧

sby, 08-10-2025

Selengkapnya
ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Industri & Teknologi AI

Strategi Jenius Nvidia: Mahakarya Bisnis AI atau Ilusi Finansial?

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Di dunia bisnis biasa, pabrik menjual barang, pembeli membayar, lalu cerita selesai. Tapi di dunia Jensen Huang, si pendiri Nvidia, kisah itu diputar balik seperti film fiksi ilmiah: vendor-nya ikut membiayai pembelinya. Begitu chip keluar dari pabrik, uang kembali lewat jalur investasi. Hasilnya? Valuasi Nvidia melesat ke 4,5 triliun dolar AS — setara 24 kali APBN Indonesia.

Apakah ini mahakarya strategi bisnis AI?

Atau justru ilusi finansial yang menunggu waktu untuk meletus?

 

🕹️💵

Dari Chip ke Cuan

Nvidia dulunya hanyalah pembuat chip grafis untuk gamer. Kini, di tangan Jensen Huang yang selalu memakai jaket kulit hitam itu, Nvidia menjelma jadi “tulang belakang peradaban AI.” Setiap kali ada startup kecerdasan buatan baru lahir, kemungkinan besar mereka butuh GPU Nvidia. Yang menarik: Nvidia bukan cuma menjual GPU — mereka juga ikut mendanai perusahaan-perusahaan yang akan membeli GPU itu.

Contohnya, Nvidia berinvestasi ke OpenAI, CoreWeave, Tesla AI, hingga Mistral AI di Eropa.

Bahkan perusahaan raksasa seperti Microsoft, AWS, Google Cloud, dan Oracle Cloud yang menjadi “penyalur GPU” pun mendapat sokongan teknologi dan kadang pendanaan strategis dari Nvidia.

Rantai uangnya seperti ini :

Investor → Nvidia → perusahaan hilir (AI, cloud, robotik) → pembelian GPU Nvidia → pendapatan Nvidia naik → harga saham Nvidia terbang → Nvidia punya lebih banyak modal untuk berinvestasi lagi.

Lingkaran ini menciptakan apa yang oleh sebagian analis disebut “funding flywheel” — roda pendanaan yang terus berputar tanpa jeda. Nvidia menjual chip dan sekaligus membiayai pembelian chip-nya sendiri.

 

🌀

Ekosistem atau Rekayasa?

Sebagian orang menyebut strategi ini ekosistem bisnis paling jenius abad ke-21. Nvidia memastikan pasar untuk produknya selalu hidup dan tumbuh. Bagi mereka, mendanai pembeli berarti memperpanjang umur bisnis sendiri. Namun, sebagian ekonom mengernyit. Mereka menyebutnya vendor financing atau financial engineering—sejenis “gelembung pembiayaan” yang bisa meledak jika antusiasme pasar turun. Khawatiran mereka sederhana: apa yang naik tanpa fondasi riil, cepat atau lambat akan jatuh.

Analogi klasiknya : seperti subprime mortgage tahun 2008, ketika bank memberi pinjaman ke pembeli rumah yang dibiayai dengan utang lain — hingga semuanya runtuh saat kepercayaan pasar hilang. Bedanya, Nvidia bukan menjual rumah, tapi menjual otak buatan.

 

💸

Uang, Ilusi, dan Inovasi

Yang membuat fenomena ini menarik adalah percampuran antara inovasi teknologi dan rekayasa finansial. Jensen Huang tahu, masa depan AI bukan hanya soal chip tercepat, tapi juga siapa yang mampu menciptakan pasar untuk chip itu. Alih-alih menunggu permintaan, Nvidia menciptakan permintaan itu sendiri — dengan cara membiayainya.

Apakah ini manipulasi? Tidak sepenuhnya.

Apakah ini berisiko? Sangat.

Namun, di dunia yang sedang fomo (fear of missing out) terhadap AI, risiko itu justru menjadi bahan bakar valuasi. Ketika pasar percaya, uang mengalir deras. Dan selama uang mengalir, Nvidia tetap jadi bintang paling terang di langit Silicon Valley.

 

✍️

Refleksi di Penghujung

Dalam satu dekade, mungkin kita akan menilai strategi ini dengan dua kemungkinan: Sebagai mahakarya bisnis digital, atau ilusi besar abad modern. Tapi yang pasti, Nvidia telah mengajarkan satu hal: Bahwa di zaman AI, nilai bukan lagi ditentukan oleh produk yang dijual, melainkan oleh cerita yang berhasil membuat orang percaya untuk membeli masa depan.

 

📖

Glosarium Mini

- GPU (Graphic Processing Unit): Prosesor khusus untuk komputasi paralel, sangat penting dalam AI dan machine learning.

- Vendor Financing: Strategi ketika pemasok membiayai pelanggan untuk membeli produknya sendiri.

- Financial Engineering: Rekayasa keuangan untuk meningkatkan valuasi atau kinerja bisnis, sering kali lewat investasi internal.

- Valuasi: Nilai ekonomi perusahaan, sering mencerminkan ekspektasi pasar, bukan keuntungan riil.

- FOMO (Fear of Missing Out): Ketakutan tertinggal tren yang mendorong perilaku investasi spekulatif.

.

Daftar Pustaka 

Azhar, R. M., & Kiendra, R. M. (2019). System as Integration Concept in Industrial Engineering and Islam. Proceedings of INCRE 2019. DOI:10.4108/eai.8-10-2019.2294528

Financial Times. (2024). Nvidia invests in AI start-ups buying its own chips. Retrieved from https://www.ft.com/

The Economist. (2024). The Nvidia Flywheel: How a chipmaker became a market maker for AI.

Bloomberg. (2025). Jensen Huang’s trillion-dollar loop: Inside Nvidia’s AI ecosystem.

CNBC. (2025). Is Nvidia’s rise sustainable? Analysts split over AI investment bubble.

Selengkapnya
Strategi Jenius Nvidia: Mahakarya Bisnis AI atau Ilusi Finansial?

Industri & Teknologi AI

Alam Yang Bercanda, Manusia Yang Malas: Percakapan Di Zaman AI

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Dulu, wartawan sejati bisa berjalan kaki berkilometer hanya untuk bertemu narasumber yang belum tentu mau diwawancara. Sekarang? Wartawan tak perlu keluar rumah. Cukup buka laptop, panggil “AI”, dan lima menit kemudian berita pun jadi — seperti mie instan: cepat, harum, dan sering kali penuh pengawet.

Pagi itu, di sebuah warkop digital ~ grup percakapan kecil, dua orang kawan bertukar pikiran. Iqbal menulis seperti orang yang baru meneguk secangkir kopi pahit,

> “Sekarang makin banyak media pakai AI untuk menulis berita. Prosesnya sih sah-sah saja, tapi akurasinya makin menurun. Banyak berita tanpa narasumber, data tanpa validitas, wawancara palsu.”

Heru, yang selalu punya stok humor untuk menambal seriusnya hidup, langsung menimpali,

> “Kontradiktif, tuh. AI seharusnya meningkatkan akurasi, bukan sebaliknya. Apa yang salah? Alatnya, atau manusianya?”

Dan begitulah, percakapan itu berubah jadi duel kecil dua pemikir warung kopi — tentang teknologi, kemalasan, dan masa depan kepercayaan.

.

🎭

AI: MESIN PENIRU YANG RAJIN, TAPI TAK PUNYA RASA

“Kalau hasil AI salah dan penulisnya tidak memeriksa, itu bukan salah AI — itu salah manusia yang malas,” kata Heru mantap.

Pernyataan itu seperti tamparan kecil di pipi dunia media. Karena memang, bukan AI yang salah tulis, tapi manusia yang tak lagi merasa perlu berpikir. Kita terlalu cepat percaya pada kalimat yang rapi. AI menulis dengan struktur indah, diksi cemerlang, logika yang nyaris meyakinkan. Tapi justru di sanalah jebakannya: di balik keindahan itu sering tersembunyi kebenaran yang pincang.

AI tahu apa yang sering dikatakan manusia, tapi tak tahu mana yang benar.

Dan di sinilah komedinya: manusia menciptakan mesin pintar untuk meringankan beban berpikir, lalu dengan penuh suka cita menyerahkan seluruh pikirannya kepada mesin itu. Seolah-olah berpikir itu pekerjaan rendahan, dan yang penting sekarang hanyalah “tulisan terlihat pintar”.

.

🌀

LOOP TAK BERUJUNG : KETIKA KEBOHONGAN MENULIS DIRINYA SENDIRI

Iqbal melanjutkan, kali ini dengan nada filosofis,

> “AI belajar dari internet. Kalau sumbernya saja tidak akurat, lalu AI menulis lagi berdasarkan itu, terjadilah loop—lingkaran tanpa ujung yang menelan akurasi.”

Heru tertawa kecil, tapi bukan karena lucu.

> “Ya, tapi kita juga punya saham dalam loop itu. Ini amal jariyah ilmu, kan?”

Di titik ini, tawa mereka jadi doa yang aneh ~ semoga kebohongan yang terus berulang itu suatu hari menemukan kebenaran di ujungnya. Tapi barangkali, justru di sinilah “humor tinggi” yang sering disebut Heru — bahwa alam punya cara bercanda yang elegan. 

Manusia sibuk menciptakan mesin yang bisa berpikir, tapi lupa menyiapkan manusia yang mau berpikir ulang.

Kita menulis di internet, lalu AI mempelajarinya, lalu menulis ulang, lalu kita membacanya, lalu percaya — tanpa sadar bahwa kita sedang membaca ulang kebodohan kolektif dalam kemasan baru.

🎭

ANTARA PENGETAHUAN DAN DATA

“Ke depan,” kata Iqbal, “AI mungkin tak lagi cuma mengolah data, tapi pengetahuan.”

Heru menyahut dengan optimismenya yang khas,

> “Kalau begitu, penulis yang berkualitas akan makin mahal. Karena manusia yang berpikir jernih justru akan langka.”

Di dunia yang menuhankan kecepatan, berpikir pelan adalah bentuk perlawanan.

Dan dalam perlawanan itulah nilai manusia diukur — bukan dari seberapa cepat dia menulis, tapi dari seberapa dalam ia memahami.

Penulis yang jujur, yang rela memeriksa ulang datanya, yang tidak terburu-buru percaya pada mesin — akan jadi sejenis manusia langka. Barang antik yang suatu hari mungkin dilelang di museum kebenaran.

.

🎯

KEPERCAYAAN : MATA UANG YANG MULAI USANG

“Trust tetap jadi mata uang,” kata Iqbal pelan. “Masalahnya nanti, siapa yang bisa dipercaya?”

Pertanyaan itu menggantung di udara seperti bau hujan yang tak jadi turun.

Kini, semua orang bisa menulis, semua media bisa terbit, semua berita bisa tampak benar. Tapi semakin banyak yang bicara tentang kebenaran, semakin sulit kita menemukannya.

Mungkin karena kebenaran itu tidak terletak pada kata, tapi pada niat.

Dan niat — sayangnya — tak bisa di-generate oleh AI.

Heru lalu menutup percakapan pagi itu dengan senyum khas orang yang lebih percaya pada takdir daripada algoritma ...

> “Aku percaya, alam punya cita rasa humor tinggi. Ia akan menyeimbangkan dirinya. Kadang lewat krisis, kadang lewat kejatuhan.”

Mungkin benar. Mungkin, ketika manusia sudah terlalu malas berpikir, alam akan menurunkan versi update-nya: bukan AI 2.0, tapi kesadaran 2.0.

.

✍️

EPILOG : KETIKA ALAM TERTAWA

AI tidak pernah lelah. Ia tidak punya emosi, tidak butuh kopi, dan tidak menunda kerja dengan alasan “butuh inspirasi.” Tapi di situlah justru letak kekalahannya: ia tidak bisa jatuh cinta pada kebenaran, tidak bisa rindu pada kejujuran, dan tidak bisa takut pada dosa intelektual. Manusia, dengan segala kelemahannya, masih punya itu semua. Dan justru karena itulah ia lebih unggul.

Asal … tidak malas.

Maka, bila suatu hari nanti semua berita ditulis mesin, biarlah manusia yang membaca dengan hati.

Karena, seperti kata Heru sambil menutup percakapan,

> “Kiamat itu ketika alam sudah sempurna — sempurna buruknya, atau sempurna baiknya.”

Sampai hari itu tiba, semoga kita tidak ikut mempercepat kiamat dengan menjadi manusia yang malas berpikir.

Dan jika alam tertawa melihat kita, biarlah — karena mungkin itu satu-satunya cara alam mengingatkan:

bahwa akal sehat masih hadiah terbesar yang pernah ia titipkan kepada manusia.

 

🚧

warkop digital sby, 09-10-2025

Selengkapnya
Alam Yang Bercanda, Manusia Yang Malas: Percakapan Di Zaman AI

Industri & Teknologi AI

AI SUDAH MENEMANI HIDUP KITA: Cerita dari 126 Juta Orang Indonesia yang Scroll, Chat, dan Hidup Bareng AI Setiap Hari

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Pagi ini kamu buka HP, langsung disambut rekomendasi TikTok yang pas banget. Chatbot Shopee jawab pertanyaanmu secepat kilat. Foto kamu diubah jadi kartun lucu dalam hitungan detik.

Tanpa disadari, semua itu kerjaannya AI — si “teman digital” yang pelan-pelan sudah jadi bagian dari hidup sehari-hari.

Tapi… apa sih kata orang Indonesia sendiri soal AI?

Ternyata, dari 126 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia (DataReportal 2025), makin banyak yang sadar bahwa hidup digital mereka setiap hari sudah dipenuhi teknologi berbasis kecerdasan buatan. Dari TikTok sampai Tokopedia, dari Gojek sampai Google Lens, AI jadi “pemeran diam” yang ikut menentukan apa yang kita tonton, beli, dengar, dan bahkan pikirkan. Cerita-cerita di bawah ini diambil dari survei resmi, komentar viral, dan curhatan warganet yang mewakili denyut digital bangsa kita hari ini.

📌

1. “AI Bikin Konten Jadi Gampang Banget !”

> “Dulu bikin Reels tiga jam, sekarang lima belas menit pakai AI. Eh, malah viral!”

— @kreator.indonesia, TikTok (2 juta likes)

Bikin video animasi, face swap, sampai remix musik kini cukup pakai sentuhan AI.

Sejak Meta meluncurkan fitur Vibes pada September 2025, kreator Indonesia langsung berlomba-lomba mencoba. Hasilnya? Konten makin cepat, lucu, dan sering masuk FYP. Tak heran, rata-rata orang Indonesia kini menonton video pendek lebih dari 45 jam per bulan — tertinggi di Asia.

Tapi, di sisi lain, muncul keluhan.

> “Konten AI terus. Mana yang masih karya manusia?”

— @realhumanonly, X (50 ribu retweet)

AI memang memudahkan, tapi juga menimbulkan kerinduan akan sentuhan “manusia asli”.

 

2. “Chatbot Lebih Cepat dari Teman !”

> “Jam dua pagi tanya ke Gojek, langsung dijawab. AI lebih tanggap dari pacar!”

— @ojol_life, Instagram Story

Delapan dari sepuluh orang Indonesia sekarang senang menggunakan AI untuk urusan kerja atau hidup harian — mulai dari nulis email, nyusun jadwal, sampai cari resep makan malam.

AI jadi semacam asisten pribadi gratis yang tidak pernah lelah.

Namun, tidak semua merasa nyaman.

> “Jawaban AI dingin banget. Aku kangen ngobrol sama CS yang bisa bercanda.”

— @customer_love, X

AI memang cepat, tapi belum tentu hangat.

📌

3. “AI Bantu PR, Tapi Guru Marah !”

> “Tugas esai seribu kata? Dua menit kelar pakai AI. Nilai A pula!”

— @siswa_genz, (grup WA anonim)

Dunia pendidikan juga kena imbas. Banyak siswa dan mahasiswa mulai mengandalkan AI untuk tugas, sementara guru dan dosen masih beradaptasi.

Dalam sebuah kuliah di Unpam (Oktober 2025), Anies Baswedan mengingatkan:

> “AI boleh bantu, tapi kalau cuma disalin mentah, anak-anak kehilangan kemampuan berpikir kritis.”

Data pun menunjukkan hal yang sama: 9 dari 10 pekerja kantoran di Indonesia mengaku memakai AI untuk menulis laporan.

Di media sosial, banyak yang mengusulkan agar sekolah dan kampus mengajarkan literasi AI, bukan sekadar melarang penggunaannya.

> “Ajarin cara pakai AI dengan bijak, bukan suruh jangan pakai.”

— @guru_masa_depan, X

📌

4. “AI Bisa Selamatkan Nyawa... atau Bikin Pengangguran ?”

> “Mama didiagnosis kanker lebih cepat gara-gara AI baca rontgen. Dokter bilang: ini penyelamat.”

— @hope_story, Instagram Reels (1 juta views)

Di rumah sakit, AI sudah membantu dokter membaca hasil rontgen atau memprediksi risiko penyakit. Di sisi lain, banyak pekerja mulai waswas.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa AI justru bisa membuka 97 juta lapangan kerja baru dalam beberapa tahun ke depan. Tapi survei Populix menunjukkan enam dari sepuluh orang tetap khawatir akan kehilangan pekerjaan karena otomatisasi.

> “Kalau AI bisa nulis laporan, terus kerjaanku apa?”

— @karyawan_kantor, LinkedIn Poll

AI hadir sebagai peluang sekaligus tantangan baru dalam dunia kerja.

📌

5. “Brand Dengerin Aku Lewat AI !”

> “Kemarin aku komen di IG, ‘menunya kurang pedes’. Minggu depannya langsung keluar menu baru yang super pedes. AI bener-bener dengerin!”

— @foodie.jkt, X

Fenomena ini disebut

🔹Social Listening — AI yang membaca jutaan komentar di media sosial untuk memahami selera publik.

Berkat itu, iklan jadi lebih relevan, kampanye lebih lucu, dan produk terasa lebih “nyambung” dengan konsumen.

Kadang terasa ajaib, kadang agak menakutkan. Tapi satu hal pasti: AI sedang mengubah cara merek berkomunikasi dengan manusia.

🗣️

*Apa Kata Netizen Indonesia Tentang AI?*

Kalau dirangkum, suara warganet terbagi dua.

▪️Sebagian bilang AI bikin hidup lebih mudah, murah, dan kreatif.

▪️Sebagian lain takut manusia kehilangan skill dasar dan privasi makin rapuh.

Mayoritas (85%) merasa optimis pada masa depan AI di Indonesia, tapi hanya 27% yang benar-benar memakainya secara rutin.

Alasannya sederhana: banyak yang masih bingung mulai dari mana.

📌

Jadi, AI Itu Musuh atau Teman?

Seorang pengguna X menulis dengan jujur:

> “AI itu kayak pisau. Bisa buat masak, bisa juga buat nyakitin. Tergantung siapa yang pegang.”

— @bijak.ai (viral di X)

AI sudah jadi bagian dari keseharian kita — entah disadari atau tidak.

Sekarang tinggal kita yang menentukan: mau jadi pengguna yang cerdas, atau sekadar penonton di era digital ini?

Kamu sendiri gimana?

AI bantu apa di hidupmu hari ini?

 

📖

Glosarium Mini

AI (Artificial Intelligence) — Kecerdasan buatan; komputer yang bisa “berpikir” seperti manusia.

Chatbot — Robot chat otomatis yang menjawab pertanyaanmu.

Face Swap — Teknologi ganti wajah di foto/video pakai AI.

Social Listening — Proses ketika brand “mendengar” opini publik lewat AI.

AI Literacy — Kemampuan memahami dan memakai AI secara bijak.

GenAI — Generative AI; AI yang bisa mencipta tulisan, gambar, atau musik dari nol.

📚

 

Pustaka & Rekomendasi Bacaan

DataReportal 2025: Indonesia – Statistik medsos dan perilaku digital

APJII Internet Survey 2025 – Laporan pengguna internet dan AI

Kumparan–Populix AI Report (2025) – Opini publik tentang AI

Podcast “Ngopi Pagi: AI untuk Orang Awam” (Spotify) – Obrolan ringan tentang AI

Video “AI Bikin Konten Viral” – @tech.gampang (TikTok)

Coba langsung: Meta Vibes di Instagram, atau tanya ChatGPT/Grok buat bikin caption IG!

 

Sumber

DataReportal, APJII, KIC, Kumparan–Populix, We Are Social, X, Instagram, TikTok — diperbarui hingga Oktober 2025.

Selengkapnya
AI SUDAH MENEMANI HIDUP KITA: Cerita dari 126 Juta Orang Indonesia yang Scroll, Chat, dan Hidup Bareng AI Setiap Hari

Analisis Data

Mengoptimalkan Data sebagai Produk: Pendekatan untuk Organisasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Organisasi di era digital sering punya dua tantangan sekaligus: bagaimana mengumpulkan banyak data, dan bagaimana menjadikannya nilai nyata—bukan hanya laporan yang menumpuk di dashboard. Banyak perusahaan investasi besar di data dan teknologi, tetapi gagal menghasilkan perubahan operasional atau bisnis yang signifikan. Para penulis dalam artikel tersebut menegaskan bahwa data perlu diperlakukan seperti produk: dikemas, dipasarkan, dan diukur dampaknya.

Di Indonesia, konteks ini sangat relevan. Banyak perusahaan BUMN, institusi publik, dan perusahaan swasta tengah memperkuat aset data mereka—mulai dari integrasi sistem ERP, sensor IoT, hingga platform pelanggan digital. Tantangannya bukan sekadar teknologi, tetapi bagaimana data tersebut dikemas dalam bentuk yang bisa digunakan secara luas oleh lini bisnis, operasional dan pengambilan keputusan.

Data sebagai Produk: Konsep dan Implikasi

Memperlakukan data sebagai produk berarti organisasi perlu memastikan tiga hal utama:

(1) data harus berkualitas dan siap pakai, (2) tersedia akses yang mudah dan aman bagi pengguna yang tepat, dan (3) harus ada metrik nilai yang mengukur dampak data terhadap hasil bisnis atau operasional.

Penulis menggambarkan bahwa banyak organisasi mengumpulkan data tetapi gagal “menjual” atau “menyebarkan” nya ke pengguna yang membutuhkan—akibatnya banyak data hanya menjadi arsip pasif.

Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti misalnya: sebuah BUMN energi mengumpulkan data sensor pembangkit, jaringan distribusi, dan pemeliharaan. Tetapi—jika data tidak terstruktur menjadi “layanan data” yang bisa diakses melalui dashboard untuk tim operasional atau tim perencanaan, maka kemampuannya meningkatkan efisiensi atau prediksi kerusakan akan terbatas.

Penulis juga menekankan perlunya tim lintas fungsi yang bertanggung jawab mengelola siklus produk data—mulai dari pengumpulan, pembersihan, penyajian, hingga pemantauan dampak. Tanpa tim semacam ini, data tetap tersebar di silo dan tidak digunakan secara optimal.

Membangun Organisasi yang Data-Mature

Pendekatan tradisional untuk “menjadi perusahaan berbasis data” sering menekankan teknologi atau infrastruktur. Artikel ini menyarankan orientasi yang berbeda: fokus pada penggunaan nyata data dan percobaan (piloting) yang cepat. Organisasi perlu memilih proyek data yang memiliki potensi nilai nyata, menerapkannya dengan cepat, lalu skala jika terbukti berhasil.

Di Indonesia, perusahaan dan lembaga publik bisa mengambil langkah-langkah berikut:

  • Identifikasi kasus penggunaan data yang jelas dan berdampak tinggi (misalnya prediksi pemeliharaan aset, analitik pelanggan, layanan publik digital).

  • Kembangkan produk data minimum viable (minimum viable data product)—versi sederhana yang bisa diuji dan diperbaiki.

  • Lakukan pengukuran dampak—berapa penghematan biaya, seberapa cepat waktu respons, atau pengurangan kegagalan operasional.

  • Siapkan mekanisme untuk skala—jika produk data berhasil, maka perlu ada proses rutin untuk memperluas, menduplikasi, dan memelihara.

Strategi ini membantu organisasi di Indonesia menghindari “tumpukan data tanpa aksi”, dan memilih pendekatan yang pragmatis dan berdampak.

Tantangan dan Adaptasi untuk Konteks Indonesia

Walaupun konsep “data sebagai produk” sangat menjanjikan, organisasi di Indonesia menghadapi hambatan khusus:

  • Kualitas data yang beragam: Banyak sistem lama, pencatatan manual, atau data yang tersebar di banyak unit menyebabkan pembersihan dan integrasi data menjadi tantangan besar.

  • Akses pengguna internal yang terbatas: Divisi bisnis atau operasional sering belum memiliki akses atau kapasitas untuk menggunakan produk data yang tersedia.

  • Metrik nilai yang belum jelas: Banyak organisasi belum menetapkan pengukuran dampak data, sehingga sulit memprioritaskan proyek data yang tepat.

  • Budaya uji coba dan skala masih terbatas: Organisasi cenderung mencari “proyek besar” daripada memulai dari usaha kecil yang bisa diuji dulu.

Beradaptasi dengan konteks ini berarti manajemen perlu memastikan kualitas data sejak awal, membangun akses yang mudah untuk pengguna, dan menetapkan ukuran keberhasilan yang konkret. Kebijakan internal seperti data governance, pelatihan data literacy bagi karyawan, dan struktur tim produk data menjadi krusial.

Penutup

Mengubah data menjadi nilai nyata bukanlah tugas teknologi semata — ini soal produk, pengguna, dan hasil yang diukur. Organisasi yang mampu memperlakukan data seperti produk internal dan eksternal akan lebih siap menghadapi persaingan digital.

Bagi organisasi di Indonesia, kuncinya adalah memulai dengan proyek data berbasis nilai kecil, membangun tim lintas fungsi untuk mengelola siklusnya, dan menetapkan pengukuran dampak secara nyata. Dengan demikian, aset data tidak hanya menjadi “barang yang dikoleksi”, tetapi menjadi motor inovasi dan efisiensi yang mendorong keberlanjutan organisasi.

Selengkapnya
Mengoptimalkan Data sebagai Produk: Pendekatan untuk Organisasi di Indonesia
« First Previous page 68 of 1.345 Next Last »