Lembaga sertifikasi profesi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Sertifikasi Kompetensi, Kunci Daya Saing SDM Pemerintahan
Di tengah tuntutan era globalisasi dan birokrasi modern, kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia. Sertifikasi kompetensi bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa calon aparatur negara memiliki standar keahlian yang terukur dan diakui secara nasional. Namun, bagaimana realitas pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN selama tiga tahun terakhir? Apakah sudah memenuhi harapan dan standar nasional?
Artikel ini membedah hasil penelitian Eskandar (2023) tentang evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi bagi calon lulusan IPDN tahun 2020–2022. Dengan pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product), artikel ini akan mengupas data, fakta, studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan rekomendasi agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi nilai tambah bagi lulusan IPDN dan stakeholder.
Mengapa Sertifikasi Kompetensi Penting bagi Lulusan IPDN?
Sertifikasi kompetensi kini menjadi kebutuhan mendesak dalam dunia kerja, baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Pemerintah Indonesia melalui RPJMN 2020–2024 menargetkan peningkatan kualitas SDM, salah satunya dengan memperluas cakupan sertifikasi. Di sektor pemerintahan, sertifikasi kompetensi bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga bukti tertulis keahlian yang mempercepat proses penempatan kerja dan meningkatkan profesionalisme ASN.
Bagi IPDN, lembaga yang menjadi kawah candradimuka calon birokrat, sertifikasi kompetensi diharapkan menjadi pelengkap ijazah sekaligus pengakuan atas keahlian spesifik lulusan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Studi Kasus: Implementasi Sertifikasi Kompetensi di IPDN 2020–2022
Latar Belakang dan Metodologi
Penelitian Eskandar menggunakan model evaluasi CIPP yang menilai empat aspek utama:
Data dikumpulkan dari 50 responden yang terdiri dari asesor, peserta, panitia, dan bagian perencanaan melalui angket, wawancara, dan dokumentasi.
Fakta dan Angka: Hasil Sertifikasi Kompetensi
Selama tiga tahun (2020–2022), jumlah peserta uji kompetensi di IPDN meningkat signifikan. Pada tahun 2020, ada 419 peserta yang seluruhnya dinyatakan kompeten. Namun, pada tahun 2021, jumlah peserta melonjak menjadi 1.531 orang, dengan tingkat kelulusan hanya sekitar 60%. Tahun 2022, peserta bertambah menjadi 1.993 orang, dan tingkat kelulusan naik menjadi sekitar 86%.
Dari sisi biaya, rata-rata anggaran per peserta di IPDN jauh di bawah standar nasional. Pada tahun 2020, anggaran per peserta sekitar Rp981 ribu, tahun 2021 turun menjadi sekitar Rp555 ribu, dan tahun 2022 naik sedikit menjadi sekitar Rp607 ribu. Padahal, standar biaya sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp4 juta per peserta.
Bidang uji kompetensi yang diujikan meliputi berbagai program studi di tiga fakultas utama IPDN, seperti Manajemen Pemerintahan, Politik Pemerintahan, dan Perlindungan Masyarakat. Namun, pelaksanaan uji kompetensi ini masih dilakukan secara mandiri oleh IPDN tanpa akreditasi dari BNSP.
Analisis Model CIPP: Kekuatan dan Kelemahan Implementasi
Context: Tujuan dan Kebijakan Sudah Tepat
Dari sisi konteks, tujuan pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN sudah sangat relevan dengan kebutuhan nasional dan stakeholder. Kebijakan internal IPDN juga mendukung sertifikasi sebagai indikator kinerja dan peningkatan kualitas lulusan. Namun, tujuan baik ini belum sepenuhnya didukung oleh pelaksanaan di lapangan.
Input: Sumber Daya dan Anggaran Masih Lemah
Ketersediaan asesor menjadi masalah utama. Mayoritas asesor berasal dari internal IPDN dan belum memiliki lisensi BNSP. Anggaran yang tersedia juga jauh di bawah standar nasional, sehingga berdampak pada kualitas pelaksanaan uji kompetensi. Waktu pelaksanaan dinilai sudah tepat, yakni menjelang kelulusan, namun keterbatasan SDM dan dana menjadi kendala utama.
Process: Proses Belum Terstandar Nasional
Proses pelaksanaan uji kompetensi di IPDN belum mengikuti standar BNSP. Materi uji disusun oleh asesor internal dan eksternal, namun belum terakreditasi BNSP. Proses penilaian juga belum menggunakan perangkat dan standar nasional. Sistem penilaian dinilai belum transparan dan belum sepenuhnya memenuhi harapan peserta.
Product: Hasil Tidak Diakui Secara Nasional
Sertifikat kompetensi yang diterbitkan IPDN tidak diakui secara nasional karena tidak melalui BNSP. Akibatnya, sertifikat tersebut tidak memiliki nilai tambah di pasar kerja. Stakeholder menilai sertifikat ini kurang relevan dan tidak membedakan kompetensi spesifik lulusan. Peserta pun merasa upaya mengikuti uji kompetensi tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
Studi Kasus: Suara Peserta dan Stakeholder
Salah satu peserta uji kompetensi tahun 2022, Avin, mengungkapkan kekecewaannya:
“Saya kira ikut uji kompetensi ini untuk dapat sertifikat yang diakui BNSP, ternyata tidak. Jadi sia-sia capek ujian, sertifikatnya tidak ada artinya.”
Dari sisi pengguna lulusan, seorang pejabat instansi daerah menyatakan:
“Lulusan IPDN kurang menonjol kompetensi spesifik sesuai program studi. Sertifikat kompetensi yang ada tidak membantu kami mengenali keahlian mereka.”
Perbandingan dengan Praktik Terbaik Nasional
Jika dibandingkan dengan SMK dan politeknik, uji kompetensi di lembaga tersebut sudah dilakukan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) terlisensi BNSP. Sertifikat yang dihasilkan diakui secara nasional dan menjadi syarat utama penempatan kerja. Di sektor pariwisata, sertifikasi BNSP bahkan menjadi standar industri dan meningkatkan daya saing tenaga kerja. Sementara di IPDN, sertifikasi masih bersifat internal dan belum memenuhi standar nasional.
Kritik dan Opini: Mengapa IPDN Perlu Berbenah?
Kelemahan utama pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN terletak pada legalitas, kualitas sertifikat, keterbatasan anggaran, dan SDM asesor. Tidak adanya koordinasi dengan BNSP membuat sertifikat yang diterbitkan tidak memiliki kekuatan hukum nasional. Kualitas sertifikat pun diragukan, karena tidak diakui di luar lingkungan internal IPDN. Anggaran yang minim berdampak pada kualitas pelaksanaan uji, dan mayoritas asesor belum bersertifikat BNSP, sehingga validitas penilaian juga dipertanyakan.
Dampak jangka panjangnya, lulusan IPDN berpotensi kalah bersaing dengan lulusan perguruan tinggi lain yang sudah memiliki sertifikat kompetensi BNSP. Stakeholder pun kesulitan menilai keahlian spesifik lulusan, yang pada akhirnya mempengaruhi penempatan kerja dan pengembangan karier mereka.
Rekomendasi dan Solusi
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Nasional
Transformasi ASN menuju jabatan fungsional berbasis keahlian menuntut adanya sertifikasi kompetensi yang diakui nasional. Digitalisasi dan adaptasi global juga menuntut lulusan yang memiliki sertifikat kompetensi nasional maupun internasional. Kebijakan Merdeka Belajar–Kampus Merdeka mendorong kolaborasi antara kampus, industri, dan lembaga sertifikasi untuk menghasilkan lulusan siap kerja.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Sertifikasi Kompetensi yang Diakui
Evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN tahun 2020–2022 menunjukkan bahwa meski tujuan dan kebijakan sudah tepat, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari standar nasional. Keterbatasan anggaran, SDM asesor, dan absennya akreditasi BNSP menjadi hambatan utama. Tanpa perbaikan mendasar, sertifikasi kompetensi di IPDN berisiko menjadi formalitas tanpa nilai tambah nyata bagi lulusan dan stakeholder.
Langkah strategis seperti pembentukan LSP internal, peningkatan kompetensi asesor, penyesuaian anggaran, dan kolaborasi dengan industri mutlak diperlukan agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi instrumen peningkatan kualitas SDM aparatur yang diakui dan dibutuhkan di era persaingan global.
Sumber artikel asli:
Eskandar. (2023). Evaluation of Competence Certification for The Prospective Graduates of Institut Pemerintahan Dalam Negeri Year 2020-2022. Jurnal MSDA (Manajemen Sumber Daya Aparatur), Vol 11, No. 1, 2023, pp. 101-129.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana Menjadi Kunci Masa Depan Indonesia?
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana. Dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi pesat, dan dampak perubahan iklim, kebutuhan akan sistem pembiayaan air yang inovatif dan strategi pengurangan risiko bencana yang efektif menjadi semakin mendesak. Laporan OECD (2023) “Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia” menawarkan analisis mendalam dan rekomendasi konkret untuk menjawab tantangan ini, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, studi kasus, serta angka-angka kunci dari laporan tersebut. Selain itu, resensi ini juga membandingkan pendekatan Indonesia dengan praktik internasional, memberikan opini dan kritik, serta menghubungkannya dengan tren industri dan kebijakan terbaru.
Tantangan Utama Pengelolaan Air di Indonesia
1. Ketersediaan dan Kualitas Air
2. Risiko Bencana Air
3. Ketimpangan Akses dan Kualitas Layanan
Studi Kasus: Inovasi dan Tantangan Pembiayaan Air di Indonesia
A. Tarik Ulur Tarif Air Nasional
Indonesia tengah mempertimbangkan penerapan tarif air nasional yang seragam. Studi OECD menyoroti pro dan kontra:
Angka kunci: Tarif air domestik di Indonesia berkisar antara Rp 2.553/m³ hingga Rp 8.239/m³, dengan rata-rata kenaikan 11% per tahun (2011–2015).
B. Kinerja dan Kesehatan PDAM
C. Inovasi Pembiayaan: Land Value Capture (LVC)
LVC adalah mekanisme pemanfaatan kenaikan nilai lahan akibat pembangunan infrastruktur publik untuk membiayai proyek air dan mitigasi bencana.
Pengurangan Risiko Bencana: Dari Struktural ke Non-Struktural
A. Integrasi Manajemen Risiko Bencana
B. Non-Structural Measures: Early Warning System & ICT
C. Studi Kasus: Han River Flood Control Office, Korea
Analisis Kritis: Apa yang Perlu Dibenahi?
1. Kelemahan Regulasi dan Insentif
2. Ketergantungan pada Pendanaan Pemerintah Pusat
3. Tantangan Implementasi LVC
Rekomendasi Praktis dan Opini
A. Reformasi Tarif dan Regulasi
B. Diversifikasi Sumber Pembiayaan
C. Penguatan Sistem Informasi dan Early Warning
D. Tata Kelola dan Otonomi Daerah
Perbandingan dengan Praktik Global
Studi Kasus Inspiratif: Jakarta dan Urbanisasi
Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan Air dan Ketangguhan Bencana di Indonesia
Laporan OECD 2023 menegaskan bahwa masa depan pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana di Indonesia sangat bergantung pada inovasi pembiayaan, reformasi regulasi, dan penguatan tata kelola. Kombinasi antara tarif air yang adil, penerapan LVC, investasi pada sistem informasi, dan penguatan kapasitas daerah akan menjadi kunci untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan dan ketangguhan nasional.
Peluang besar terbuka jika Indonesia mampu mengintegrasikan pembiayaan inovatif, teknologi, dan tata kelola yang adaptif. Namun, tantangan implementasi, kapasitas, dan koordinasi lintas sektor harus segera diatasi agar transformasi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi nyata dirasakan oleh masyarakat luas.
Sumber Artikel:
OECD (2023), Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia: Highlights of a National Dialogue on Water, OECD Studies on Water, OECD Publishing, Paris.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Monitoring Dampak Kekeringan Penting untuk Masa Depan?
Kekeringan seringkali dipersepsikan sebagai bencana yang hanya berdampak saat curah hujan sangat rendah. Namun, studi terbaru oleh David W. Walker dkk. (2024) membongkar paradigma ini dengan menyoroti pentingnya monitoring dampak kekeringan secara langsung di lapangan. Artikel ini tidak hanya membahas kekeringan sebagai fenomena iklim, tetapi juga menyoroti peran faktor sosial, teknis, dan kebijakan dalam membentuk kerentanan masyarakat. Dengan pendekatan yang inovatif dan relevan dengan tren global, resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, serta memberikan opini kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.
Apa Itu Monitoring Dampak Kekeringan?
Monitoring dampak kekeringan adalah proses pengumpulan data secara rutin tentang efek kekeringan terhadap masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Berbeda dengan pemantauan kekeringan konvensional yang mengandalkan indeks hidrometeorologi seperti SPI (Standardized Precipitation Index), monitoring dampak menempatkan pengalaman nyata masyarakat sebagai sumber utama informasi. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi kerentanan dan respons yang lebih tepat sasaran, serta membuka peluang mitigasi proaktif sebelum bencana membesar.
Studi Kasus: Sertão, Brasil Timur Laut
Gambaran Wilayah
Sertão di Brasil Timur Laut adalah kawasan semi-arid seluas 1,1 juta km², dihuni sekitar 27 juta jiwa. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan kekeringan di dunia, dengan curah hujan tahunan rata-rata 750 mm namun evapotranspirasi melebihi 2000 mm. Sebagian besar penduduknya adalah petani kecil yang sangat bergantung pada pertanian tadah hujan dan infrastruktur air yang terbatas.
Sistem Monitoring di Ceará
Sejak 2014, Brasil mengembangkan Brazilian Drought Monitor, sebuah sistem pemetaan kekeringan bulanan berbasis data meteorologi, penginderaan jauh, dan validasi lapangan. Di negara bagian Ceará, monitoring dampak dilakukan oleh lebih dari 3600 laporan lapangan yang dikumpulkan oleh petugas penyuluh pertanian antara 2019–2022. Setiap bulan, rata-rata 80 dari 182 kota di Ceará mengirimkan laporan, dengan cakupan wilayah yang merata di seluruh zona iklim dan tutupan lahan.
Metodologi Unik
Temuan Utama: Dampak, Penyebab, dan Normalisasi Kekeringan
Dampak Kekeringan yang Terjadi
Penyebab Dampak: Bukan Hanya Kekeringan
Data dan Angka Kunci
Hubungan dengan Indeks Kekeringan Konvensional
Analisis matriks konfusi antara laporan dampak dan kategori kekeringan dari Drought Monitor menunjukkan:
Hal ini menegaskan bahwa indeks konvensional sering gagal menangkap realitas di lapangan, terutama untuk dampak yang dipicu oleh faktor non-klimatik atau peristiwa hidroklim kecil.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?
Kekuatan Studi
Keterbatasan
Perbandingan dengan Praktik Global
Impl
kasi untuk Kebijakan dan Industri
Rekomendasi Praktis
Peluang Inovasi
Studi Kasus Inspiratif: Adaptasi di Tengah Keterbatasan
Salah satu temuan menarik adalah bagaimana masyarakat Sertão beradaptasi dengan kondisi “normal baru” pasca-kekeringan panjang 2012–2018. Misalnya, penggunaan truk air yang dulunya dianggap darurat kini menjadi bagian dari sistem suplai rutin. Petani juga mulai menyesuaikan waktu tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap variabilitas iklim. Namun, adaptasi ini juga membawa risiko baru, seperti kerentanan terhadap hujan intensitas tinggi yang merusak panen di dataran rendah.
Opini dan Kritik: Menuju Monitoring Dampak yang Lebih Efektif
Studi ini membuktikan bahwa monitoring dampak kekeringan berbasis pengalaman masyarakat jauh lebih kaya informasi dibandingkan sekadar mengandalkan data iklim. Namun, tantangan utama adalah bagaimana mengharmonisasikan data subjektif dengan kebutuhan analisis kebijakan yang objektif. Diperlukan pelatihan, standarisasi pelaporan, dan integrasi teknologi untuk meningkatkan akurasi dan relevansi data.
Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu lebih proaktif dalam mengidentifikasi dan mengatasi kerentanan sosial-teknis sebelum bencana membesar. Investasi pada infrastruktur, edukasi, dan inovasi teknologi harus menjadi prioritas, terutama di wilayah rawan seperti Sertão.
Kesimpulan: Monitoring Dampak, Kunci Ketahanan Masa Depan
Monitoring dampak kekeringan bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana iklim. Studi di Brasil Timur Laut membuktikan bahwa banyak dampak terjadi di luar radar indeks konvensional, dan seringkali sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan mengintegrasikan data lapangan, inovasi teknologi, dan kebijakan proaktif, kita dapat membangun sistem peringatan dini dan mitigasi yang lebih efektif, relevan, dan berkeadilan.
Sumber Artikel:
Walker, D. W., Oliveira, J. L., Cavalcante, L., Kchouk, S., Ribeiro Neto, G., Melsen, L. A., Fernandes, F. B. P., Mitroi, V., Gondim, R. S., Martins, E. S. P. R., & van Oel, P. R. (2024). It's not all about drought: What <drought impacts= monitoring can reveal. International Journal of Disaster Risk Reduction, 103, 104338.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?
Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.
Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?
Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana
Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan
Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:
Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).
Temuan Angka Kunci
Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang
Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim
Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.
Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.
Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah
Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.
Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?
Faktor Penentu Ketangguhan
Tantangan di Negara Berkembang
Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global
Sendai Framework dan SDGs
Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan
Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.
Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan
Peluang
Tantangan
Rekomendasi Praktis
Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.
Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan
Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Semakin Penting?
Perubahan iklim membawa tantangan besar, terutama di wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan erosi. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) menjadi sorotan sebagai alternatif inovatif untuk mengatasi risiko tersebut. NBS tidak hanya menawarkan perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Namun, bagaimana persepsi para pemangku kepentingan di daerah pegunungan terhadap NBS? Apakah mereka siap berkolaborasi dalam merancang dan mengimplementasikan solusi ini?
Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian Lupp et al. (2021) yang mengeksplorasi persepsi stakeholder terhadap NBS di kawasan pegunungan Eropa melalui studi kasus PHUSICOS. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global, resensi ini juga membandingkan temuan PHUSICOS dengan literatur lain serta memberikan opini kritis terkait peluang dan tantangan implementasi NBS di masa depan.
Apa Itu Nature-Based Solutions (NBS)?
NBS adalah solusi yang terinspirasi dan didukung oleh alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan. Contohnya meliputi restorasi sungai, reforestasi, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur hijau. Menurut definisi Uni Eropa, NBS harus memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati dan mendukung berbagai layanan ekosistem.
Studi Kasus PHUSICOS: Kolaborasi di Tiga Wilayah Pegunungan Eropa
Lokasi Studi
PHUSICOS (EU H2020) memilih tiga lokasi utama sebagai demonstrator NBS di kawasan pegunungan:
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan utama:
Temuan Utama: Persepsi, Tantangan, dan Harapan Stakeholder
Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran
Sekitar sepertiga responden baru mengenal konsep NBS melalui proyek PHUSICOS. Sebagian besar lainnya memperoleh pengetahuan dari universitas, pelatihan institusi, dan pengalaman proyek sebelumnya. Menariknya, banyak petani dan pelaku usaha yang menganggap diri mereka sudah ahli di bidangnya, tetapi belum tentu memahami risiko bencana atau solusi NBS secara menyeluruh.
Manfaat NBS Menurut Stakeholder
Di daerah pegunungan, manfaat yang paling ditekankan oleh stakeholder adalah aspek ekonomi dan perlindungan alam. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang sering menyoroti manfaat sosial seperti rekreasi dan kesehatan, di pegunungan fokusnya adalah pada keberlanjutan ekonomi lokal dan pengurangan risiko bencana.
Seorang perwakilan administrasi kehutanan menyatakan, “Solusi ini terbarukan, jejak karbonnya kecil, dan lebih baik untuk ekonomi lokal.” Hal ini menunjukkan bahwa NBS dipandang sebagai solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Stakeholder juga melihat potensi untuk mengembangkan dan mereplikasi solusi yang berhasil di satu wilayah ke wilayah lain, membuka peluang untuk skala yang lebih besar.
Kekhawatiran dan Hambatan
Meskipun banyak yang optimis, terdapat beberapa kekhawatiran yang cukup signifikan:
Harapan terhadap Proses Kolaboratif
Living Labs diharapkan menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para stakeholder. Melalui proses ini, mereka dapat berbagi pengalaman, belajar langsung dari implementasi lapangan, serta mengembangkan model bisnis baru yang menarik bagi petani dan pemilik lahan. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap NBS.
Data dan Angka Kunci dari Studi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Urban vs Rural: Perbedaan Fokus
Studi-studi sebelumnya di kawasan perkotaan, seperti oleh Han & Kuhlicke (2019) dan Pagano et al. (2019), menyoroti manfaat sosial NBS seperti rekreasi, estetika, dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, studi PHUSICOS menegaskan bahwa di kawasan pegunungan, manfaat ekonomi dan perlindungan alam menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan kebutuhan stakeholder sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial.
Tantangan Monetisasi Manfaat NBS
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengukur dan mengkomersialisasikan manfaat NBS. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang diberikan seringkali tidak tercermin dalam harga pasar, sehingga sulit menarik investasi swasta. Kebijakan subsidi yang ada, seperti Common Agricultural Policy (CAP) di Eropa, belum sepenuhnya mendukung adopsi NBS oleh petani.
Solusi yang diusulkan meliputi pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan, insentif fiskal, dan model bisnis inovatif yang dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada pelaku usaha.
Kolaborasi dan Living Labs: Kunci Sukses
Living Labs terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, dan mendorong aksi kolektif antar stakeholder. Namun, proses kolaboratif ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Tidak semua pihak siap untuk terlibat aktif, sehingga diperlukan pendekatan yang inklusif dan fleksibel.
Opini dan Rekomendasi: Bagaimana Masa Depan NBS di Pegunungan?
Peluang
NBS memiliki potensi besar sebagai solusi masa depan untuk adaptasi perubahan iklim di kawasan pegunungan, asalkan didukung oleh bukti efektivitas dan model bisnis yang jelas. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk mengatasi hambatan implementasi dan memastikan keberlanjutan solusi.
Tantangan
Skeptisisme dan kurangnya pengetahuan masih menjadi penghalang utama. Diperlukan lebih banyak studi kasus nyata dan demonstrasi keberhasilan NBS di lapangan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Selain itu, kebijakan dan insentif ekonomi harus lebih proaktif mendukung adopsi NBS, terutama bagi petani dan pemilik lahan.
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: NBS, Kolaborasi, dan Masa Depan Adaptasi Iklim
Penelitian PHUSICOS menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NBS di kawasan pegunungan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, edukasi, dan inovasi model bisnis. Dengan pendekatan Living Labs, peluang untuk memperluas adopsi NBS semakin terbuka, asalkan didukung oleh komitmen bersama dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. NBS bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera bagi komunitas pegunungan.
Sumber Artikel:
Lupp, G., Huang, J.J., Zingraff-Hamed, A., Oen, A., Del Sepia, N., Martinelli, A., Lucchesi, M., Wulff Knutsen, T., Olsen, M., Fjøsne, T.F., Balaguer, E.-M., Arauzo, I., Solheim, A., Kalsnes, B., & Pauleit, S. (2021). Stakeholder Perceptions of Nature-Based Solutions and Their Collaborative Co-Design and Implementation Processes in Rural Mountain Areas—A Case Study From PHUSICOS. Frontiers in Environmental Science, 9, 678446.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial
Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.
Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi
Penelitian ini menggunakan dua alat utama:
Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.
Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air
Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:
Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi
Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:
Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:
Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.
Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi
Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:
AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.
Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi
Artikel ini menonjol karena:
Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.
Nilai Tambah dan Relevansi Global
Pendekatan ini sangat relevan untuk:
Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan
Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.
Sumber Artikel :
Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.