Lembaga sertifikasi profesi

Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Lulusan IPDN 2020–2022: Peluang, Tantangan, dan Rekomendasi Perbaikan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Sertifikasi Kompetensi, Kunci Daya Saing SDM Pemerintahan

Di tengah tuntutan era globalisasi dan birokrasi modern, kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia. Sertifikasi kompetensi bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa calon aparatur negara memiliki standar keahlian yang terukur dan diakui secara nasional. Namun, bagaimana realitas pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN selama tiga tahun terakhir? Apakah sudah memenuhi harapan dan standar nasional?

Artikel ini membedah hasil penelitian Eskandar (2023) tentang evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi bagi calon lulusan IPDN tahun 2020–2022. Dengan pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product), artikel ini akan mengupas data, fakta, studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan rekomendasi agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi nilai tambah bagi lulusan IPDN dan stakeholder.

Mengapa Sertifikasi Kompetensi Penting bagi Lulusan IPDN?

Sertifikasi kompetensi kini menjadi kebutuhan mendesak dalam dunia kerja, baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Pemerintah Indonesia melalui RPJMN 2020–2024 menargetkan peningkatan kualitas SDM, salah satunya dengan memperluas cakupan sertifikasi. Di sektor pemerintahan, sertifikasi kompetensi bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga bukti tertulis keahlian yang mempercepat proses penempatan kerja dan meningkatkan profesionalisme ASN.

Bagi IPDN, lembaga yang menjadi kawah candradimuka calon birokrat, sertifikasi kompetensi diharapkan menjadi pelengkap ijazah sekaligus pengakuan atas keahlian spesifik lulusan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Studi Kasus: Implementasi Sertifikasi Kompetensi di IPDN 2020–2022

Latar Belakang dan Metodologi

Penelitian Eskandar menggunakan model evaluasi CIPP yang menilai empat aspek utama:

  1. Context (konteks): Kesesuaian tujuan, kebijakan, dan lingkungan pelaksanaan.
  2. Input (masukan): Ketersediaan sumber daya seperti asesor, waktu, dan anggaran.
  3. Process (proses): Kesesuaian pelaksanaan dengan standar nasional.
  4. Product (produk): Hasil akhir, kepuasan peserta, dan pengakuan stakeholder.

Data dikumpulkan dari 50 responden yang terdiri dari asesor, peserta, panitia, dan bagian perencanaan melalui angket, wawancara, dan dokumentasi.

Fakta dan Angka: Hasil Sertifikasi Kompetensi

Selama tiga tahun (2020–2022), jumlah peserta uji kompetensi di IPDN meningkat signifikan. Pada tahun 2020, ada 419 peserta yang seluruhnya dinyatakan kompeten. Namun, pada tahun 2021, jumlah peserta melonjak menjadi 1.531 orang, dengan tingkat kelulusan hanya sekitar 60%. Tahun 2022, peserta bertambah menjadi 1.993 orang, dan tingkat kelulusan naik menjadi sekitar 86%.

Dari sisi biaya, rata-rata anggaran per peserta di IPDN jauh di bawah standar nasional. Pada tahun 2020, anggaran per peserta sekitar Rp981 ribu, tahun 2021 turun menjadi sekitar Rp555 ribu, dan tahun 2022 naik sedikit menjadi sekitar Rp607 ribu. Padahal, standar biaya sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp4 juta per peserta.

Bidang uji kompetensi yang diujikan meliputi berbagai program studi di tiga fakultas utama IPDN, seperti Manajemen Pemerintahan, Politik Pemerintahan, dan Perlindungan Masyarakat. Namun, pelaksanaan uji kompetensi ini masih dilakukan secara mandiri oleh IPDN tanpa akreditasi dari BNSP.

Analisis Model CIPP: Kekuatan dan Kelemahan Implementasi

Context: Tujuan dan Kebijakan Sudah Tepat

Dari sisi konteks, tujuan pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN sudah sangat relevan dengan kebutuhan nasional dan stakeholder. Kebijakan internal IPDN juga mendukung sertifikasi sebagai indikator kinerja dan peningkatan kualitas lulusan. Namun, tujuan baik ini belum sepenuhnya didukung oleh pelaksanaan di lapangan.

Input: Sumber Daya dan Anggaran Masih Lemah

Ketersediaan asesor menjadi masalah utama. Mayoritas asesor berasal dari internal IPDN dan belum memiliki lisensi BNSP. Anggaran yang tersedia juga jauh di bawah standar nasional, sehingga berdampak pada kualitas pelaksanaan uji kompetensi. Waktu pelaksanaan dinilai sudah tepat, yakni menjelang kelulusan, namun keterbatasan SDM dan dana menjadi kendala utama.

Process: Proses Belum Terstandar Nasional

Proses pelaksanaan uji kompetensi di IPDN belum mengikuti standar BNSP. Materi uji disusun oleh asesor internal dan eksternal, namun belum terakreditasi BNSP. Proses penilaian juga belum menggunakan perangkat dan standar nasional. Sistem penilaian dinilai belum transparan dan belum sepenuhnya memenuhi harapan peserta.

Product: Hasil Tidak Diakui Secara Nasional

Sertifikat kompetensi yang diterbitkan IPDN tidak diakui secara nasional karena tidak melalui BNSP. Akibatnya, sertifikat tersebut tidak memiliki nilai tambah di pasar kerja. Stakeholder menilai sertifikat ini kurang relevan dan tidak membedakan kompetensi spesifik lulusan. Peserta pun merasa upaya mengikuti uji kompetensi tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

Studi Kasus: Suara Peserta dan Stakeholder

Salah satu peserta uji kompetensi tahun 2022, Avin, mengungkapkan kekecewaannya:
“Saya kira ikut uji kompetensi ini untuk dapat sertifikat yang diakui BNSP, ternyata tidak. Jadi sia-sia capek ujian, sertifikatnya tidak ada artinya.”

Dari sisi pengguna lulusan, seorang pejabat instansi daerah menyatakan:
“Lulusan IPDN kurang menonjol kompetensi spesifik sesuai program studi. Sertifikat kompetensi yang ada tidak membantu kami mengenali keahlian mereka.”

Perbandingan dengan Praktik Terbaik Nasional

Jika dibandingkan dengan SMK dan politeknik, uji kompetensi di lembaga tersebut sudah dilakukan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) terlisensi BNSP. Sertifikat yang dihasilkan diakui secara nasional dan menjadi syarat utama penempatan kerja. Di sektor pariwisata, sertifikasi BNSP bahkan menjadi standar industri dan meningkatkan daya saing tenaga kerja. Sementara di IPDN, sertifikasi masih bersifat internal dan belum memenuhi standar nasional.

Kritik dan Opini: Mengapa IPDN Perlu Berbenah?

Kelemahan utama pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN terletak pada legalitas, kualitas sertifikat, keterbatasan anggaran, dan SDM asesor. Tidak adanya koordinasi dengan BNSP membuat sertifikat yang diterbitkan tidak memiliki kekuatan hukum nasional. Kualitas sertifikat pun diragukan, karena tidak diakui di luar lingkungan internal IPDN. Anggaran yang minim berdampak pada kualitas pelaksanaan uji, dan mayoritas asesor belum bersertifikat BNSP, sehingga validitas penilaian juga dipertanyakan.

Dampak jangka panjangnya, lulusan IPDN berpotensi kalah bersaing dengan lulusan perguruan tinggi lain yang sudah memiliki sertifikat kompetensi BNSP. Stakeholder pun kesulitan menilai keahlian spesifik lulusan, yang pada akhirnya mempengaruhi penempatan kerja dan pengembangan karier mereka.

Rekomendasi dan Solusi

  1. Segera Bentuk LSP Internal IPDN
    IPDN perlu membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sendiri yang terakreditasi BNSP. Dengan LSP internal, pelaksanaan uji kompetensi akan diakui secara nasional dan memberikan nilai tambah bagi lulusan.
  2. Tingkatkan Kompetensi dan Jumlah Asesor
    Asesor harus mengikuti pelatihan dan sertifikasi BNSP agar penilaian lebih objektif dan diakui. Kolaborasi dengan LSP eksternal bisa menjadi solusi sementara.
  3. Penyesuaian Anggaran
    IPDN perlu menyesuaikan anggaran pelaksanaan sertifikasi agar setara dengan standar nasional. Optimalisasi dana bisa dilakukan melalui efisiensi dan prioritas pada program strategis.
  4. Sistem Seleksi Transparan
    Hingga LSP internal terbentuk, pelaksanaan sertifikasi bisa dilakukan melalui seleksi terbuka dan transparan, sehingga hanya peserta terbaik yang mengikuti uji kompetensi.
  5. Kolaborasi dengan Industri dan Stakeholder
    Libatkan instansi pengguna lulusan dalam penyusunan materi uji dan penilaian, agar sertifikasi lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Nasional

Transformasi ASN menuju jabatan fungsional berbasis keahlian menuntut adanya sertifikasi kompetensi yang diakui nasional. Digitalisasi dan adaptasi global juga menuntut lulusan yang memiliki sertifikat kompetensi nasional maupun internasional. Kebijakan Merdeka Belajar–Kampus Merdeka mendorong kolaborasi antara kampus, industri, dan lembaga sertifikasi untuk menghasilkan lulusan siap kerja.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Sertifikasi Kompetensi yang Diakui

Evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN tahun 2020–2022 menunjukkan bahwa meski tujuan dan kebijakan sudah tepat, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari standar nasional. Keterbatasan anggaran, SDM asesor, dan absennya akreditasi BNSP menjadi hambatan utama. Tanpa perbaikan mendasar, sertifikasi kompetensi di IPDN berisiko menjadi formalitas tanpa nilai tambah nyata bagi lulusan dan stakeholder.

Langkah strategis seperti pembentukan LSP internal, peningkatan kompetensi asesor, penyesuaian anggaran, dan kolaborasi dengan industri mutlak diperlukan agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi instrumen peningkatan kualitas SDM aparatur yang diakui dan dibutuhkan di era persaingan global.

Sumber artikel asli:
Eskandar. (2023). Evaluation of Competence Certification for The Prospective Graduates of Institut Pemerintahan Dalam Negeri Year 2020-2022. Jurnal MSDA (Manajemen Sumber Daya Aparatur), Vol 11, No. 1, 2023, pp. 101-129.

Selengkapnya
Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Lulusan IPDN 2020–2022: Peluang, Tantangan, dan Rekomendasi Perbaikan

Risiko Bencana

Mendorong Transformasi Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Resensi Kritis dan Praktis atas Studi OECD 2023

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana Menjadi Kunci Masa Depan Indonesia?

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana. Dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi pesat, dan dampak perubahan iklim, kebutuhan akan sistem pembiayaan air yang inovatif dan strategi pengurangan risiko bencana yang efektif menjadi semakin mendesak. Laporan OECD (2023) “Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia” menawarkan analisis mendalam dan rekomendasi konkret untuk menjawab tantangan ini, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, studi kasus, serta angka-angka kunci dari laporan tersebut. Selain itu, resensi ini juga membandingkan pendekatan Indonesia dengan praktik internasional, memberikan opini dan kritik, serta menghubungkannya dengan tren industri dan kebijakan terbaru.

Tantangan Utama Pengelolaan Air di Indonesia

1. Ketersediaan dan Kualitas Air

  • Kekurangan air diproyeksikan akan semakin parah pada 2045 akibat perubahan iklim, degradasi lahan, dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan.
  • 67% aktivitas ekonomi diperkirakan akan berada di wilayah yang kekurangan air pada 2045.
  • 80% konsumsi air digunakan untuk irigasi, namun produktivitas air di Indonesia termasuk yang terendah di Asia.
  • Lebih dari 50% sungai di Indonesia tercemar berat akibat limbah domestik, pertanian, dan industri.

2. Risiko Bencana Air

  • 75% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi (banjir, kekeringan, tanah longsor).
  • Kerugian ekonomi akibat bencana air mencapai 2–3 miliar USD per tahun, setara dengan 2–3% PDB nasional.
  • 325 kota dan wilayah diklasifikasikan sebagai daerah berisiko tinggi banjir.
  • Frekuensi banjir meningkat hampir tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

3. Ketimpangan Akses dan Kualitas Layanan

  • Hanya 23% penduduk yang memiliki akses ke air perpipaan, dan hanya 11,9% yang menikmati air “aman”.
  • PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) menghadapi tantangan keuangan dan operasional, dengan 104 dari 388 PDAM dinilai “tidak sehat” dan 59 “sakit”.

Studi Kasus: Inovasi dan Tantangan Pembiayaan Air di Indonesia

A. Tarik Ulur Tarif Air Nasional

Indonesia tengah mempertimbangkan penerapan tarif air nasional yang seragam. Studi OECD menyoroti pro dan kontra:

  • Kelebihan: Potensi mengurangi ketimpangan antarwilayah, meningkatkan stabilitas pendapatan, dan memperkuat daya tarik investasi.
  • Kekurangan: Risiko tidak mencerminkan biaya operasional lokal, menurunkan insentif efisiensi, dan membuka peluang “cherry-picking” oleh investor swasta.

Angka kunci: Tarif air domestik di Indonesia berkisar antara Rp 2.553/m³ hingga Rp 8.239/m³, dengan rata-rata kenaikan 11% per tahun (2011–2015).

B. Kinerja dan Kesehatan PDAM

  • Dari 388 PDAM, hanya 225 yang dinilai “sehat”.
  • Satu dari tiga liter air yang didistribusikan menjadi “non-revenue water” akibat kebocoran dan pencurian.
  • Hanya 9% kebutuhan air domestik dipenuhi oleh PDAM; sisanya dari sumur bor dan sumber lain.

C. Inovasi Pembiayaan: Land Value Capture (LVC)

LVC adalah mekanisme pemanfaatan kenaikan nilai lahan akibat pembangunan infrastruktur publik untuk membiayai proyek air dan mitigasi bencana.

  • Contoh internasional: Di São Paulo, Brasil, penerapan CEPACs (Certificates of Additional Building Potential) berhasil mengumpulkan lebih dari USD 820 juta untuk infrastruktur kota.
  • Potensi di Indonesia: Urbanisasi pesat dan pertumbuhan ekonomi membuka peluang besar untuk LVC, namun implementasi masih terbatas pada beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta.

Pengurangan Risiko Bencana: Dari Struktural ke Non-Struktural

A. Integrasi Manajemen Risiko Bencana

  • Lebih dari 100 juta orang (38% populasi) terpapar risiko banjir.
  • Kerugian akibat banjir dapat menurunkan PDB hingga 1,65% untuk kejadian banjir 50 tahunan.
  • Kebijakan nasional menekankan pentingnya integrasi pengelolaan air, tata ruang, dan mitigasi bencana.

B. Non-Structural Measures: Early Warning System & ICT

  • Sistem peringatan dini berbasis ICT dan data real-time menjadi rekomendasi utama.
  • CCTV dan sensor otomatis mulai digunakan untuk pemantauan debit sungai dan prediksi banjir.
  • Smartphone penetration di Indonesia sangat tinggi (238 juta pengguna), membuka peluang untuk early warning berbasis aplikasi.

C. Studi Kasus: Han River Flood Control Office, Korea

  • Korea berhasil menurunkan kerugian banjir secara signifikan dengan investasi besar pada sistem peringatan dini, integrasi data, dan penggunaan AI untuk prediksi banjir.
  • Pelajaran untuk Indonesia: Investasi pada sistem informasi dan integrasi data lintas lembaga sangat krusial.

Analisis Kritis: Apa yang Perlu Dibenahi?

1. Kelemahan Regulasi dan Insentif

  • Belum ada regulator ekonomi independen di tingkat nasional untuk sektor air (kecuali DKI Jakarta).
  • Penerapan pajak dan retribusi lingkungan masih lemah, sehingga insentif untuk efisiensi dan pengurangan polusi kurang efektif.

2. Ketergantungan pada Pendanaan Pemerintah Pusat

  • 80% pendapatan pemerintah daerah berasal dari transfer pusat, membatasi otonomi fiskal dan inovasi pembiayaan lokal.
  • Hanya 0,3% investasi air yang berasal dari pemerintah daerah.

3. Tantangan Implementasi LVC

  • 60% lahan di Indonesia belum terdaftar secara resmi, menyulitkan penerapan LVC.
  • Kapasitas administrasi daerah masih rendah, terutama di luar kota besar.

Rekomendasi Praktis dan Opini

A. Reformasi Tarif dan Regulasi

  • Perlu regulator ekonomi independen untuk mengawasi tarif, kinerja, dan investasi PDAM.
  • Tarif air harus berbasis formula yang mempertimbangkan biaya operasional, lingkungan, dan sosial, bukan sekadar seragam nasional.

B. Diversifikasi Sumber Pembiayaan

  • LVC harus diintegrasikan dalam perencanaan infrastruktur air dan mitigasi bencana, dengan dukungan regulasi dan kapasitas teknis di daerah.
  • Kolaborasi dengan sektor swasta dan skema PPP (Public-Private Partnership) perlu diperluas, dengan insentif fiskal dan jaminan pemerintah.

C. Penguatan Sistem Informasi dan Early Warning

  • Investasi pada ICT dan integrasi data lintas lembaga harus menjadi prioritas, termasuk pengembangan dashboard real-time dan aplikasi mobile untuk peringatan dini.
  • Pelatihan dan edukasi masyarakat tentang risiko bencana dan penggunaan teknologi harus digencarkan.

D. Tata Kelola dan Otonomi Daerah

  • Peningkatan kapasitas administrasi daerah dalam pengelolaan lahan, penilaian nilai tanah, dan penegakan regulasi sangat penting untuk keberhasilan LVC dan inovasi pembiayaan lainnya.
  • Penyederhanaan proses perizinan dan percepatan pendaftaran lahan akan mempercepat implementasi kebijakan baru.

Perbandingan dengan Praktik Global

  • Korea dan Jepang sukses menerapkan land readjustment dan LVC untuk membiayai infrastruktur air dan mitigasi bencana, didukung oleh sistem registrasi lahan yang kuat dan kapasitas administrasi tinggi.
  • Singapura menggunakan mekanisme akuisisi lahan dengan harga pra-pengembangan untuk menghindari spekulasi dan memastikan keadilan.
  • Brasil menunjukkan bahwa LVC dapat menjadi sumber pendanaan utama untuk infrastruktur kota, asalkan didukung regulasi dan transparansi.

Studi Kasus Inspiratif: Jakarta dan Urbanisasi

  • Jakarta menghadapi tantangan besar berupa penurunan tanah (hingga 12 cm/tahun) akibat ekstraksi air tanah berlebih dan kurangnya air perpipaan.
  • Proyek normalisasi sungai dan pembangunan tanggul didanai sebagian dari pajak dan retribusi lahan, namun potensi LVC belum dimaksimalkan.
  • Urbanisasi di Indonesia meningkat 15% dalam 20 tahun terakhir, dengan kebutuhan infrastruktur air dan mitigasi bencana yang terus melonjak.

Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan Air dan Ketangguhan Bencana di Indonesia

Laporan OECD 2023 menegaskan bahwa masa depan pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana di Indonesia sangat bergantung pada inovasi pembiayaan, reformasi regulasi, dan penguatan tata kelola. Kombinasi antara tarif air yang adil, penerapan LVC, investasi pada sistem informasi, dan penguatan kapasitas daerah akan menjadi kunci untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan dan ketangguhan nasional.

Peluang besar terbuka jika Indonesia mampu mengintegrasikan pembiayaan inovatif, teknologi, dan tata kelola yang adaptif. Namun, tantangan implementasi, kapasitas, dan koordinasi lintas sektor harus segera diatasi agar transformasi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi nyata dirasakan oleh masyarakat luas.

Sumber Artikel:
OECD (2023), Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia: Highlights of a National Dialogue on Water, OECD Studies on Water, OECD Publishing, Paris.

Selengkapnya
Mendorong Transformasi Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Resensi Kritis dan Praktis atas Studi OECD 2023

Perubahan Iklim

Mengungkap Sisi Lain Kekeringan: Kritis Studi Monitoring Dampak Kekeringan di Brasil

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Monitoring Dampak Kekeringan Penting untuk Masa Depan?

Kekeringan seringkali dipersepsikan sebagai bencana yang hanya berdampak saat curah hujan sangat rendah. Namun, studi terbaru oleh David W. Walker dkk. (2024) membongkar paradigma ini dengan menyoroti pentingnya monitoring dampak kekeringan secara langsung di lapangan. Artikel ini tidak hanya membahas kekeringan sebagai fenomena iklim, tetapi juga menyoroti peran faktor sosial, teknis, dan kebijakan dalam membentuk kerentanan masyarakat. Dengan pendekatan yang inovatif dan relevan dengan tren global, resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, serta memberikan opini kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.

Apa Itu Monitoring Dampak Kekeringan?

Monitoring dampak kekeringan adalah proses pengumpulan data secara rutin tentang efek kekeringan terhadap masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Berbeda dengan pemantauan kekeringan konvensional yang mengandalkan indeks hidrometeorologi seperti SPI (Standardized Precipitation Index), monitoring dampak menempatkan pengalaman nyata masyarakat sebagai sumber utama informasi. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi kerentanan dan respons yang lebih tepat sasaran, serta membuka peluang mitigasi proaktif sebelum bencana membesar.

Studi Kasus: Sertão, Brasil Timur Laut

Gambaran Wilayah

Sertão di Brasil Timur Laut adalah kawasan semi-arid seluas 1,1 juta km², dihuni sekitar 27 juta jiwa. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan kekeringan di dunia, dengan curah hujan tahunan rata-rata 750 mm namun evapotranspirasi melebihi 2000 mm. Sebagian besar penduduknya adalah petani kecil yang sangat bergantung pada pertanian tadah hujan dan infrastruktur air yang terbatas.

Sistem Monitoring di Ceará

Sejak 2014, Brasil mengembangkan Brazilian Drought Monitor, sebuah sistem pemetaan kekeringan bulanan berbasis data meteorologi, penginderaan jauh, dan validasi lapangan. Di negara bagian Ceará, monitoring dampak dilakukan oleh lebih dari 3600 laporan lapangan yang dikumpulkan oleh petugas penyuluh pertanian antara 2019–2022. Setiap bulan, rata-rata 80 dari 182 kota di Ceará mengirimkan laporan, dengan cakupan wilayah yang merata di seluruh zona iklim dan tutupan lahan.

Metodologi Unik

  • Kuesioner Lapangan: Petugas mengisi kuesioner bulanan yang mencakup kondisi kekeringan, curah hujan, produksi tanaman, ketersediaan air, dan pertanyaan terbuka tentang dampak nyata di masyarakat.
  • Analisis Kualitatif: Dari 3641 laporan, 3399 dapat dianalisis secara manual menggunakan coding induktif untuk mengidentifikasi dampak, penyebab, respons, dan informasi tambahan.
  • Wawancara Observasi: 29 petugas lapangan diwawancarai untuk memastikan cakupan data dan memahami konteks lokal.

Temuan Utama: Dampak, Penyebab, dan Normalisasi Kekeringan

Dampak Kekeringan yang Terjadi

  • Dampak Negatif: Kekurangan air lokal, kerugian hasil panen, kekurangan pakan ternak, dan kebutuhan distribusi air dengan truk.
  • Dampak Positif: Laporan tentang kondisi air yang cukup, panen yang baik, atau tidak ada masalah kekeringan.
  • Normalisasi Dampak: Kerugian panen hingga 50% dianggap “normal” dan tidak selalu dilaporkan sebagai masalah besar. Demikian pula, level waduk yang rendah (misal 15–25% kapasitas) dianggap cukup selama kebutuhan air dasar terpenuhi.

Penyebab Dampak: Bukan Hanya Kekeringan

  • Faktor Hidroklim Non-Ekstrem: Banyak dampak justru dipicu oleh “veranico” (kekeringan singkat di musim tanam) atau hujan intensitas tinggi yang merusak panen, bukan kekeringan ekstrem.
  • Faktor Sosio-Teknis: Infrastruktur air yang kurang memadai, akses air yang terbatas di daerah terpencil, dan keputusan pertanian yang kurang adaptif (misal menanam di dataran rendah pasca-kekeringan panjang).
  • Kebijakan dan Manajemen: Keterbatasan anggaran, lemahnya pengelolaan air lokal, dan kurangnya koordinasi antar lembaga memperparah dampak.

Data dan Angka Kunci

  • Jumlah laporan dampak: 3641 (2019–2022)
  • Rata-rata kota yang melapor per bulan: 80 dari 182
  • Kerugian panen “normal”: hingga 50% (berdasarkan kriteria program jaminan pendapatan Garantia Safra)
  • Level waduk “aman”: bisa serendah 15% kapasitas, tergantung sistem distribusi lokal
  • Dampak air: Penggunaan truk air menjadi bagian rutin sistem suplai, bukan hanya respons darurat

Hubungan dengan Indeks Kekeringan Konvensional

Analisis matriks konfusi antara laporan dampak dan kategori kekeringan dari Drought Monitor menunjukkan:

  • Hanya 36% dampak terjadi bersamaan dengan kategori “kekeringan sedang”
  • Kurang dari 4% dampak terjadi saat “kekeringan parah”
  • Banyak dampak terjadi saat indeks kekeringan menunjukkan kondisi normal atau ringan

Hal ini menegaskan bahwa indeks konvensional sering gagal menangkap realitas di lapangan, terutama untuk dampak yang dipicu oleh faktor non-klimatik atau peristiwa hidroklim kecil.

Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?

Kekuatan Studi

  • Pendekatan Partisipatif: Melibatkan petugas lokal yang memahami konteks sosial dan ekonomi masyarakat.
  • Data Spasial-Temporal: Monitoring bulanan di banyak lokasi memungkinkan identifikasi tren dan anomali.
  • Fokus pada Dampak Nyata: Tidak hanya mengandalkan data statistik, tetapi juga pengalaman dan persepsi masyarakat.

Keterbatasan

  • Subjektivitas Laporan: Interpretasi dampak bisa berbeda antar pelapor, terutama untuk kategori “normal” vs “masalah”.
  • Cakupan Data: Tidak semua kota melapor setiap bulan, dan beberapa dampak mungkin tidak terlaporkan.
  • Keterbatasan Indeks: Indeks kekeringan nasional tidak selalu relevan untuk skala lokal.

Perbandingan dengan Praktik Global

  • Crowdsourcing di AS dan Eropa: Program seperti CoCoRaHS di AS dan EDII di Eropa juga mengandalkan laporan masyarakat, namun seringkali hanya pasca-bencana, bukan monitoring rutin.
  • Kebijakan Proaktif: Studi ini menegaskan pentingnya pergeseran dari respons reaktif ke mitigasi proaktif, sejalan dengan rekomendasi WMO dan Global Water Partnership.
  • Multi-Hazard Monitoring: Banyak negara mulai mengintegrasikan pemantauan multi-bencana (banjir, kekeringan, tanah longsor) untuk respons yang lebih adaptif.

Impl

kasi untuk Kebijakan dan Industri

Rekomendasi Praktis

  • Integrasi Data Lapangan: Sistem pemantauan kekeringan harus menggabungkan data indeks dengan laporan dampak nyata untuk respons yang lebih tepat.
  • Peningkatan Infrastruktur Air: Investasi pada jaringan distribusi air dan pemeliharaan infrastruktur sangat krusial, terutama di daerah terpencil.
  • Edukasi dan Pelatihan: Petani dan petugas lapangan perlu dilatih untuk adaptasi terhadap variabilitas iklim dan penggunaan teknologi prediksi cuaca.
  • Pengembangan Indeks Baru: Indeks kekeringan harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, termasuk memperhitungkan “veranico” dan dampak hujan intensitas tinggi.
  • Pemberdayaan Komunitas: Keterlibatan masyarakat dalam monitoring dan pengambilan keputusan meningkatkan ketahanan sosial dan ekonomi.

Peluang Inovasi

  • Dashboard Real-Time: Pengembangan dashboard GIS berbasis laporan lapangan untuk pemantauan dan respons cepat.
  • Machine Learning untuk Analisis Dampak: Otomatisasi analisis laporan dengan NLP (Natural Language Processing) untuk deteksi dini pola dampak.
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Sinergi antara pemerintah, universitas, LSM, dan sektor swasta untuk pengelolaan risiko bencana yang lebih efektif.

Studi Kasus Inspiratif: Adaptasi di Tengah Keterbatasan

Salah satu temuan menarik adalah bagaimana masyarakat Sertão beradaptasi dengan kondisi “normal baru” pasca-kekeringan panjang 2012–2018. Misalnya, penggunaan truk air yang dulunya dianggap darurat kini menjadi bagian dari sistem suplai rutin. Petani juga mulai menyesuaikan waktu tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap variabilitas iklim. Namun, adaptasi ini juga membawa risiko baru, seperti kerentanan terhadap hujan intensitas tinggi yang merusak panen di dataran rendah.

Opini dan Kritik: Menuju Monitoring Dampak yang Lebih Efektif

Studi ini membuktikan bahwa monitoring dampak kekeringan berbasis pengalaman masyarakat jauh lebih kaya informasi dibandingkan sekadar mengandalkan data iklim. Namun, tantangan utama adalah bagaimana mengharmonisasikan data subjektif dengan kebutuhan analisis kebijakan yang objektif. Diperlukan pelatihan, standarisasi pelaporan, dan integrasi teknologi untuk meningkatkan akurasi dan relevansi data.

Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu lebih proaktif dalam mengidentifikasi dan mengatasi kerentanan sosial-teknis sebelum bencana membesar. Investasi pada infrastruktur, edukasi, dan inovasi teknologi harus menjadi prioritas, terutama di wilayah rawan seperti Sertão.

Kesimpulan: Monitoring Dampak, Kunci Ketahanan Masa Depan

Monitoring dampak kekeringan bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana iklim. Studi di Brasil Timur Laut membuktikan bahwa banyak dampak terjadi di luar radar indeks konvensional, dan seringkali sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan mengintegrasikan data lapangan, inovasi teknologi, dan kebijakan proaktif, kita dapat membangun sistem peringatan dini dan mitigasi yang lebih efektif, relevan, dan berkeadilan.

Sumber Artikel:
Walker, D. W., Oliveira, J. L., Cavalcante, L., Kchouk, S., Ribeiro Neto, G., Melsen, L. A., Fernandes, F. B. P., Mitroi, V., Gondim, R. S., Martins, E. S. P. R., & van Oel, P. R. (2024). It's not all about drought: What <drought impacts= monitoring can reveal. International Journal of Disaster Risk Reduction, 103, 104338.

Selengkapnya
Mengungkap Sisi Lain Kekeringan: Kritis Studi Monitoring Dampak Kekeringan di Brasil

Perubahan Iklim

Membangun Kota Tangguh Bencana: Studi “Natural Disasters, Resilience-Building, and Risk: Achieving Sustainable Cities and Human Settlements”

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?

Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.

Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?

Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.

Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana

Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan

Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:

  • Indeks Risiko Bencana: Mengukur tingkat bahaya, paparan, dan kerentanan dengan 15 indikator.
  • Indeks Ketangguhan Bencana: Mengukur 9 dimensi ketangguhan (ekonomi, pangan, infrastruktur, tenaga darurat, kualitas institusi, modal manusia, pemberdayaan perempuan, TIK, dan modal sosial) dengan 62 indikator.

Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).

Temuan Angka Kunci

  • Rata-rata korban bencana per juta penduduk:
    • LMICs: 24.726,8
    • LICs: 21.325,0
    • UMICs: 17.334,7
    • HICs: 2.488,2
  • Nilai rata-rata indeks risiko bencana:
    • LICs: 0,40 (tertinggi)
    • HICs: 0,278 (terendah)
  • Nilai rata-rata indeks ketangguhan:
    • HICs: 0,674 (tertinggi)
    • LICs: 0,314 (terendah)
  • Negara dengan risiko bencana tertinggi: Angola, Burundi, Afrika Selatan, Filipina, Gambia, Mozambik, India, Nigeria, Namibia, Zambia, Bangladesh.
  • Negara dengan ketangguhan tertinggi: Swiss, Jerman, Prancis, Selandia Baru, Australia, Belgia, Kanada, Austria, Belanda, Italia.

Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang

Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim

Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.

Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.

Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah

Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.

Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.

Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?

Faktor Penentu Ketangguhan

  • Infrastruktur Dasar: Sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan mempercepat pemulihan pasca-bencana.
  • Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK): Sistem peringatan dini, aplikasi cuaca, dan komunikasi darurat terbukti menyelamatkan banyak nyawa.
  • Kualitas Institusi: Pemerintahan yang transparan, responsif, dan terkoordinasi mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.
  • Pemberdayaan Perempuan: Peran aktif perempuan dalam komunitas terbukti memperkuat jejaring sosial dan distribusi bantuan.
  • Modal Sosial: Solidaritas, gotong royong, dan partisipasi masyarakat mempercepat adaptasi dan pemulihan.

Tantangan di Negara Berkembang

  • Ketimpangan Akses: Banyak wilayah pedesaan belum menikmati infrastruktur dasar dan akses TIK.
  • Keterbatasan Dana: Anggaran mitigasi dan pemulihan bencana masih minim.
  • Kualitas Data: Kurangnya data akurat menyulitkan perencanaan dan evaluasi kebijakan.
  • Budaya dan Literasi: Rendahnya kesadaran dan edukasi bencana membuat masyarakat kurang siap menghadapi risiko.

Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global

Sendai Framework dan SDGs

Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.

Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan

  • Toya & Skidmore (2007): Menemukan bahwa pendidikan, pendapatan, dan keterbukaan perdagangan menurunkan kerugian bencana—selaras dengan temuan studi ini.
  • Padli et al. (2018): Menyoroti pentingnya pembangunan ekonomi dan investasi pemerintah dalam menekan korban bencana.
  • Taghizadeh-Hesary et al. (2019, 2021): Infrastruktur berkualitas dan tata kelola yang baik menurunkan kerugian bencana di Asia dan Pasifik.

Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.

Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan

Peluang

  • Digitalisasi dan Smart City: Kota-kota yang mengadopsi teknologi digital untuk sistem peringatan dini, pemetaan risiko, dan manajemen bencana akan lebih siap menghadapi ancaman masa depan.
  • Kolaborasi Global: Negara maju dapat berperan sebagai “mentor” bagi negara berkembang melalui transfer teknologi, pendanaan, dan pelatihan.
  • Inovasi Pembiayaan: Skema asuransi bencana, obligasi hijau, dan dana darurat berbasis komunitas dapat memperkuat ketangguhan finansial.

Tantangan

  • Kesenjangan Kapasitas: Tanpa investasi besar-besaran pada infrastruktur dan SDM, negara berkembang akan terus tertinggal dalam membangun ketangguhan.
  • Perubahan Iklim: Intensitas dan frekuensi bencana diprediksi meningkat, sehingga adaptasi harus menjadi agenda utama.
  • Keterlibatan Masyarakat: Ketangguhan tidak bisa dibangun hanya dari atas; partisipasi aktif masyarakat adalah kunci.

Rekomendasi Praktis

  • Investasi Infrastruktur Dasar: Prioritaskan pembangunan sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan di wilayah rawan bencana.
  • Penguatan Sistem Peringatan Dini: Integrasikan TIK dan data real-time untuk deteksi dan respons cepat.
  • Edukasi dan Literasi Bencana: Libatkan sekolah, media, dan komunitas dalam kampanye sadar bencana.
  • Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Rentan: Berikan ruang dan peran strategis dalam perencanaan dan respons bencana.
  • Penguatan Institusi dan Tata Kelola: Reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi untuk mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.

Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas

Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.

Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan

Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.

Selengkapnya
Membangun Kota Tangguh Bencana: Studi “Natural Disasters, Resilience-Building, and Risk: Achieving Sustainable Cities and Human Settlements”

Perubahan Iklim

Nature-Based Solutions di Pegunungan: Resensi Kritis Studi PHUSICOS dan Implikasinya untuk Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Semakin Penting?

Perubahan iklim membawa tantangan besar, terutama di wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan erosi. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) menjadi sorotan sebagai alternatif inovatif untuk mengatasi risiko tersebut. NBS tidak hanya menawarkan perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Namun, bagaimana persepsi para pemangku kepentingan di daerah pegunungan terhadap NBS? Apakah mereka siap berkolaborasi dalam merancang dan mengimplementasikan solusi ini?

Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian Lupp et al. (2021) yang mengeksplorasi persepsi stakeholder terhadap NBS di kawasan pegunungan Eropa melalui studi kasus PHUSICOS. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global, resensi ini juga membandingkan temuan PHUSICOS dengan literatur lain serta memberikan opini kritis terkait peluang dan tantangan implementasi NBS di masa depan.

Apa Itu Nature-Based Solutions (NBS)?

NBS adalah solusi yang terinspirasi dan didukung oleh alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan. Contohnya meliputi restorasi sungai, reforestasi, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur hijau. Menurut definisi Uni Eropa, NBS harus memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati dan mendukung berbagai layanan ekosistem.

Studi Kasus PHUSICOS: Kolaborasi di Tiga Wilayah Pegunungan Eropa

Lokasi Studi

PHUSICOS (EU H2020) memilih tiga lokasi utama sebagai demonstrator NBS di kawasan pegunungan:

  • Lembah Gudbrandsdalen, Norwegia
    Lembah sepanjang 140 km ini merupakan salah satu wilayah terpadat di Norwegia. Tantangan utama di sini adalah banjir sungai, longsor, guguran batu, dan salju yang dapat menimbulkan risiko besar bagi masyarakat. Solusi yang diterapkan berupa restorasi floodplain dan peningkatan kapasitas penyimpanan air untuk mengurangi risiko banjir.
  • Pegunungan Pyrenees (Perbatasan Prancis-Spanyol)
    Wilayah ini menghadapi risiko banjir, longsor, dan salju. Upaya NBS yang dilakukan meliputi reforestasi dan teknik terasering untuk stabilisasi lereng, yang membantu mengurangi erosi dan meningkatkan ketahanan tanah.
  • Cekungan Sungai Serchio, Italia
    Daerah ini mengalami tantangan kekeringan, banjir, risiko seismik, dan polusi air. Solusi yang diterapkan adalah revegetasi dan praktik pertanian ramah lingkungan yang bertujuan mengurangi limpasan air dan meningkatkan kualitas tanah.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan utama:

  • Literature Review: Dari 727 publikasi yang ditemukan, hanya 49 yang relevan untuk analisis mendalam terkait NBS di pegunungan.
  • Wawancara Kualitatif: Melibatkan 13 stakeholder dari berbagai sektor seperti pemerintah, bisnis, akademisi, dan LSM untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif.
  • Living Labs: Pendekatan kolaboratif yang menempatkan semua pihak dalam posisi setara untuk bersama-sama merancang dan mengimplementasikan NBS.

Temuan Utama: Persepsi, Tantangan, dan Harapan Stakeholder

Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran

Sekitar sepertiga responden baru mengenal konsep NBS melalui proyek PHUSICOS. Sebagian besar lainnya memperoleh pengetahuan dari universitas, pelatihan institusi, dan pengalaman proyek sebelumnya. Menariknya, banyak petani dan pelaku usaha yang menganggap diri mereka sudah ahli di bidangnya, tetapi belum tentu memahami risiko bencana atau solusi NBS secara menyeluruh.

Manfaat NBS Menurut Stakeholder

Di daerah pegunungan, manfaat yang paling ditekankan oleh stakeholder adalah aspek ekonomi dan perlindungan alam. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang sering menyoroti manfaat sosial seperti rekreasi dan kesehatan, di pegunungan fokusnya adalah pada keberlanjutan ekonomi lokal dan pengurangan risiko bencana.

Seorang perwakilan administrasi kehutanan menyatakan, “Solusi ini terbarukan, jejak karbonnya kecil, dan lebih baik untuk ekonomi lokal.” Hal ini menunjukkan bahwa NBS dipandang sebagai solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Stakeholder juga melihat potensi untuk mengembangkan dan mereplikasi solusi yang berhasil di satu wilayah ke wilayah lain, membuka peluang untuk skala yang lebih besar.

Kekhawatiran dan Hambatan

Meskipun banyak yang optimis, terdapat beberapa kekhawatiran yang cukup signifikan:

  • Efektivitas NBS: Skeptisisme muncul terkait daya tahan dan efektivitas NBS, terutama dalam menghadapi bencana besar yang ekstrim.
  • Biaya dan Profitabilitas: Ada kekhawatiran bahwa biaya pemeliharaan NBS cukup tinggi dan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokal belum jelas.
  • Kurangnya Parameter Teknis: NBS dianggap kurang terukur dan kurang dapat dibandingkan dengan solusi konvensional seperti bendungan atau tanggul.
  • Kolaborasi yang Lemah: Kurangnya komunikasi dan kerja sama lintas sektor menjadi hambatan utama dalam implementasi.

Harapan terhadap Proses Kolaboratif

Living Labs diharapkan menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para stakeholder. Melalui proses ini, mereka dapat berbagi pengalaman, belajar langsung dari implementasi lapangan, serta mengembangkan model bisnis baru yang menarik bagi petani dan pemilik lahan. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap NBS.

Data dan Angka Kunci dari Studi

  • Dari 727 publikasi awal, hanya 49 yang relevan untuk analisis mendalam.
  • Sebanyak 13 stakeholder dari berbagai sektor diwawancara secara mendalam.
  • Sekitar sepertiga responden baru mengenal NBS melalui proyek PHUSICOS.
  • Fokus manfaat NBS di pegunungan adalah pada ekonomi lokal dan perlindungan alam.
  • Hambatan utama meliputi skeptisisme efektivitas, biaya, kurangnya parameter teknis, dan kolaborasi yang lemah.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global

Urban vs Rural: Perbedaan Fokus

Studi-studi sebelumnya di kawasan perkotaan, seperti oleh Han & Kuhlicke (2019) dan Pagano et al. (2019), menyoroti manfaat sosial NBS seperti rekreasi, estetika, dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, studi PHUSICOS menegaskan bahwa di kawasan pegunungan, manfaat ekonomi dan perlindungan alam menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan kebutuhan stakeholder sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial.

Tantangan Monetisasi Manfaat NBS

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengukur dan mengkomersialisasikan manfaat NBS. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang diberikan seringkali tidak tercermin dalam harga pasar, sehingga sulit menarik investasi swasta. Kebijakan subsidi yang ada, seperti Common Agricultural Policy (CAP) di Eropa, belum sepenuhnya mendukung adopsi NBS oleh petani.

Solusi yang diusulkan meliputi pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan, insentif fiskal, dan model bisnis inovatif yang dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada pelaku usaha.

Kolaborasi dan Living Labs: Kunci Sukses

Living Labs terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, dan mendorong aksi kolektif antar stakeholder. Namun, proses kolaboratif ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Tidak semua pihak siap untuk terlibat aktif, sehingga diperlukan pendekatan yang inklusif dan fleksibel.

Opini dan Rekomendasi: Bagaimana Masa Depan NBS di Pegunungan?

Peluang

NBS memiliki potensi besar sebagai solusi masa depan untuk adaptasi perubahan iklim di kawasan pegunungan, asalkan didukung oleh bukti efektivitas dan model bisnis yang jelas. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk mengatasi hambatan implementasi dan memastikan keberlanjutan solusi.

Tantangan

Skeptisisme dan kurangnya pengetahuan masih menjadi penghalang utama. Diperlukan lebih banyak studi kasus nyata dan demonstrasi keberhasilan NBS di lapangan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Selain itu, kebijakan dan insentif ekonomi harus lebih proaktif mendukung adopsi NBS, terutama bagi petani dan pemilik lahan.

Rekomendasi Praktis

  • Edukasi dan Pelatihan: Libatkan universitas dan lembaga riset untuk menyebarkan pengetahuan tentang NBS secara luas.
  • Demonstrasi Lapangan: Adakan kunjungan dan workshop di lokasi NBS yang sudah berhasil untuk membangun kepercayaan dan pemahaman.
  • Pengembangan Indikator Kinerja: Kembangkan parameter teknis yang jelas untuk mengukur efektivitas NBS secara objektif.
  • Inovasi Model Bisnis: Dorong skema pembayaran jasa lingkungan dan insentif bagi pelaku usaha yang mengadopsi NBS agar lebih menarik secara ekonomi.

Kesimpulan: NBS, Kolaborasi, dan Masa Depan Adaptasi Iklim

Penelitian PHUSICOS menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NBS di kawasan pegunungan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, edukasi, dan inovasi model bisnis. Dengan pendekatan Living Labs, peluang untuk memperluas adopsi NBS semakin terbuka, asalkan didukung oleh komitmen bersama dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. NBS bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera bagi komunitas pegunungan.

Sumber Artikel:
Lupp, G., Huang, J.J., Zingraff-Hamed, A., Oen, A., Del Sepia, N., Martinelli, A., Lucchesi, M., Wulff Knutsen, T., Olsen, M., Fjøsne, T.F., Balaguer, E.-M., Arauzo, I., Solheim, A., Kalsnes, B., & Pauleit, S. (2021). Stakeholder Perceptions of Nature-Based Solutions and Their Collaborative Co-Design and Implementation Processes in Rural Mountain Areas—A Case Study From PHUSICOS. Frontiers in Environmental Science, 9, 678446.

Selengkapnya
Nature-Based Solutions di Pegunungan: Resensi Kritis Studi PHUSICOS dan Implikasinya untuk Masa Depan

Sosiohidrologi

Game & Simulasi Agen: Cara Baru Mengelola Air di Komunitas Periurban

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


 Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial

Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.

 Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi

Penelitian ini menggunakan dua alat utama:

  •  WaDiGa (Water Distribution Game): RPG berbasis papan yang mensimulasikan pengambilan keputusan petani terkait jenis tanaman, penggunaan air, dan investasi sumur.
  •  ABM di platform GAMA: Model komputer yang mereplikasi perilaku petani berdasarkan hasil RPG, lalu mensimulasikan enam skenario iklim dan pasar.

Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.

 Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air

Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:

  •  Krisis air 2016–2018 akibat kekeringan dan ekspansi urban ilegal.
  •  Ketimpangan akses air antara petani hulu dan hilir.
  •  Ketergantungan pada sumur pribadi, yang mahal dan tidak merata.

 Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi

Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:

  •  Petani lebih memilih lahan dekat sungai.
  •  Agroforestri (AFS) populer karena dianggap konservatif dan menguntungkan.
  •  Saat curah hujan tinggi, konsumsi air meningkat drastis tanpa koordinasi.
  •  Dialog kolektif hanya muncul saat air langka, tapi tidak menghasilkan kesepakatan.

Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:

  •  Pemain kaya membeli sumur pribadi, memperkuat ketimpangan.
  •  Sumur kolektif diabaikan karena konflik sosial.
  •  62,5% lahan memiliki sumur pribadi di akhir sesi, mencerminkan realitas lokal.

Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.

Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi

Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:

  •  Skenario 1 (hujan tinggi, pasar bagus): profit tinggi (R$1,1 juta), tapi air habis dalam 5,8 tahun.
  •  Skenario 2 (hujan tinggi, pasar buruk): profit turun 45%, tapi air bertahan 28 tahun.
  •  Skenario 6 (hujan rendah, pasar buruk): tidak ada tanaman irigasi, muncul properti urban, profit nyaris nol.

AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.

 Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi

Artikel ini menonjol karena:

  •  Menggabungkan edukasi dan simulasi dalam satu pendekatan partisipatif.
  •  Merefleksikan realitas sosial lewat RPG, bukan hanya model statistik.
  •  Menunjukkan bahwa kesadaran tidak otomatis menghasilkan kolaborasi—akses dan insentif tetap krusial.

Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.

 Nilai Tambah dan Relevansi Global

Pendekatan ini sangat relevan untuk:

  •  Wilayah periurban di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis air.
  •  Program edukasi lingkungan, karena RPG terbukti meningkatkan kesadaran dan empati.
  •  Perencanaan partisipatif berbasis data, karena ABM dapat digunakan untuk diskusi kebijakan.

 Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan

Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.

Sumber Artikel

Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.

Selengkapnya
Game & Simulasi Agen: Cara Baru Mengelola Air di Komunitas Periurban
« First Previous page 68 of 1.167 Next Last »