Pengantar: Air, Iklim, dan Masa Depan Umat Manusia
Krisis air dan perubahan iklim adalah dua tantangan terbesar abad ke-21 yang saling terkait erat. Laporan “United Nations World Water Development Report 2020: Water and Climate Change” (WWDR 2020) yang diterbitkan UNESCO atas nama UN-Water, menjadi salah satu referensi paling komprehensif untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air dunia, sekaligus menawarkan solusi lintas sektor yang berbasis sains, kebijakan, dan aksi nyata1.
Artikel ini akan membedah temuan utama laporan, menyajikan data dan studi kasus aktual, serta mengaitkannya dengan tren global, kritik, dan peluang inovasi. Dengan gaya penulisan yang SEO-friendly dan mudah dicerna, artikel ini ditujukan bagi pembaca umum, pemerhati lingkungan, pembuat kebijakan, dan pelaku industri yang ingin memahami kenapa air adalah “jantung” dari aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumber Daya Air: Fakta Global
Gambaran Umum Krisis Air Dunia
- Konsumsi air global meningkat 6 kali lipat dalam 100 tahun terakhir dan terus bertambah sekitar 1% per tahun akibat pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan perubahan pola konsumsi1.
- Empat miliar orang mengalami kelangkaan air fisik setidaknya satu bulan setiap tahun. Sekitar 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air karena infrastruktur yang buruk1.
- Perubahan iklim memperburuk variabilitas air, menyebabkan banjir dan kekeringan yang lebih sering dan ekstrem, serta menurunkan kualitas air akibat suhu yang lebih tinggi dan polusi1.
- Pada tahun 2050, 52% populasi dunia diproyeksikan tinggal di wilayah dengan tekanan air tinggi1.
Studi Kasus: Kota-Kota Besar Terancam Krisis Air
Diperkirakan pada 2050, sebanyak 685 juta penduduk di lebih dari 570 kota akan mengalami penurunan ketersediaan air bersih minimal 10% akibat perubahan iklim. Beberapa kota seperti Amman, Cape Town, dan Melbourne bisa kehilangan 30–49% pasokan airnya, sementara Santiago di Chile bahkan lebih dari 50%1.
Kerentanan Wilayah Tertentu
- Negara kepulauan kecil (SIDS): Terancam kekurangan air akibat kenaikan muka air laut dan curah hujan yang menurun. Contoh: Tuvalu pernah mengalami krisis air total selama 6 bulan pada 2011, memaksa 1.500 dari 11.000 penduduknya hidup tanpa akses air tawar1.
- Daerah semi-kering: Sekitar 20–35% lahan kering dunia sudah mengalami degradasi dan diperkirakan akan bertambah, memperburuk risiko kelaparan dan kemiskinan1.
- Wilayah pesisir: Lebih dari 600 juta orang tinggal di dataran rendah pesisir yang rawan banjir dan intrusi air laut1.
- Daerah pegunungan: Pencairan gletser mempercepat perubahan pola aliran sungai, mengancam jutaan orang di Asia Selatan, Andes, dan pegunungan lainnya1.
Air, Iklim, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
Air adalah penghubung utama antara berbagai tujuan pembangunan global:
- SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi): Terancam gagal tercapai tanpa adaptasi iklim yang efektif.
- SDG 2 (Tanpa Kelaparan): 69% air tawar dunia digunakan untuk irigasi. Perubahan pola curah hujan dan kekeringan mengancam produksi pangan, terutama di negara tropis dan berkembang1.
- SDG 13 (Aksi Iklim): Air belum menjadi prioritas eksplisit dalam Perjanjian Paris, padahal hampir semua strategi adaptasi dan mitigasi iklim sangat bergantung pada pengelolaan air yang baik1.
Dampak Sektoral: Dari Pertanian, Energi, hingga Permukiman
Pertanian dan Ketahanan Pangan
- Pertanian menyerap 69% air tawar global. Proyeksi FAO: kebutuhan air irigasi naik 5,5% dari 2008 hingga 20501.
- Wilayah tropis dan lintang rendah akan mengalami penurunan produktivitas pangan akibat kekeringan, sementara lintang tinggi bisa mendapat manfaat dari curah hujan yang bertambah1.
- Studi kasus Australia: 28% lahan gandum diprediksi akan lebih kering antara 2020–2060. Afrika Selatan: 99% lahan jagung akan lebih kering pada 2030–20701.
- Solusi: Climate-Smart Agriculture (CSA), pengelolaan air irigasi efisien, dan pergeseran kalender tanam1.
Energi dan Industri
- Dua pertiga emisi gas rumah kaca berasal dari energi. Sektor energi sangat tergantung pada air untuk pendinginan dan proses industri1.
- Risiko bisnis: Kekurangan air dapat menghentikan produksi listrik dan industri. Perusahaan mulai mengadopsi teknologi efisiensi air dan energi, serta mengukur jejak air (water footprint) dalam rantai pasoknya1.
- Tren: Peralihan ke energi terbarukan seperti surya dan angin yang minim kebutuhan air, serta pemanfaatan biogas dari pengolahan air limbah1.
Permukiman dan Urbanisasi
- Urbanisasi memperbesar risiko kekurangan air. Infrastruktur air dan sanitasi di kota-kota besar rentan rusak akibat banjir, kekeringan, dan polusi1.
- Penyakit menular: Banjir menyebabkan lonjakan penyakit seperti malaria, leptospirosis, dan demam berdarah1.
- Solusi: Kota spons (sponge city), sistem drainase adaptif, dan prioritas air domestik di atas pertanian/industri1.
Ekosistem Air dan Biodiversitas: Krisis yang Sering Terlupakan
- 84% spesies air tawar punah sejak 1970. Separuh lahan basah dunia hilang dalam 100 tahun terakhir1.
- Wetlands menyimpan dua kali lipat karbon dibanding hutan. Degradasi lahan basah mempercepat emisi gas rumah kaca dan menghilangkan fungsi penahan banjir serta penjernihan air1.
- Contoh nyata: Lebih dari 60% danau di Tiongkok mengalami eutrofikasi dan ledakan alga beracun akibat kombinasi polusi dan pemanasan air1.
Banjir, Kekeringan, dan Bencana Air Lainnya: Tren Meningkat
- Banjir dan hujan ekstrem meningkat lebih dari 50% sejak 1980. Kekeringan, badai, dan gelombang panas naik lebih dari sepertiga1.
- Dalam 20 tahun terakhir, banjir dan kekeringan menyebabkan 166.000 kematian, memengaruhi 3 miliar orang, dan kerugian ekonomi hampir US$700 miliar1.
- Studi kasus: Pada 2017, hampir seluruh Amerika Utara mengalami kekeringan ekstrem, sementara Asia Tenggara dan Afrika Selatan dilanda banjir parah1.
Kualitas Air: Ancaman Ganda dari Polusi dan Iklim
- Lebih dari 80% air limbah dunia dibuang tanpa pengolahan. Pencemaran organik, patogen, logam berat, dan polutan baru (emerging pollutants) meningkat pesat1.
- Eutrofikasi dan ledakan alga: Pemanasan air memperburuk masalah ini, menyebabkan air minum beracun dan kerusakan ekosistem1.
- Studi kasus Tiongkok: 60% danau tercemar, menyebabkan krisis air minum dan perikanan1.
Adaptasi dan Mitigasi: Solusi Terintegrasi untuk Masa Depan
Adaptasi
- Adaptasi air mencakup solusi alami, teknologi, dan kelembagaan: Perlindungan lahan basah, pertanian konservasi, sistem peringatan dini, asuransi banjir/kekeringan, dan pelibatan komunitas1.
- Teknologi baru: Sensor nirkabel, satelit, dan big data untuk pemantauan air dan iklim, serta crowdsourcing data dari masyarakat1.
- Pendekatan kota spons: Kota-kota seperti Shanghai dan Rotterdam membangun taman, danau buatan, serta sistem drainase adaptif untuk menahan banjir dan menyimpan air hujan1.
Mitigasi
- Pengelolaan air dapat mengurangi emisi: Pengolahan air limbah menghasilkan biogas, lahan basah menyerap karbon, dan efisiensi air mengurangi kebutuhan energi1.
- Konservasi lahan basah dan hutan: Penting untuk penyerapan karbon dan perlindungan biodiversitas1.
- Inovasi industri: Perusahaan mengadopsi teknologi hemat air dan energi, serta mengurangi jejak air dalam rantai pasok global1.
Studi Kasus: Kota Cape Town, Afrika Selatan
Pada 2018, Cape Town hampir menjadi kota besar pertama yang kehabisan air (“Day Zero”). Kombinasi kekeringan parah, pertumbuhan penduduk, dan buruknya manajemen air membuat bendungan utama hanya terisi 13%. Pemerintah melakukan pembatasan air ekstrem, mempercepat adopsi teknologi efisiensi air, dan mengedukasi masyarakat. Hasilnya, konsumsi air turun dari 1,2 juta m³/hari menjadi 500 ribu m³/hari, menyelamatkan kota dari krisis total1.
Tata Kelola, Pembiayaan, dan Keadilan Sosial
Tata Kelola Air
- Fragmentasi kelembagaan dan birokrasi menghambat integrasi kebijakan air dan iklim1.
- Solusi: Pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM), pelibatan publik, dan penguatan kapasitas lokal1.
- Keadilan sosial: Kelompok rentan (perempuan, minoritas, masyarakat miskin) paling terdampak dan harus diprioritaskan dalam kebijakan air dan iklim1.
Pembiayaan
- Kebutuhan investasi air global hingga 2050 mencapai US$22,6 triliun. Untuk SDG 6 saja, investasi perlu tiga kali lipat dari saat ini1.
- Akses ke climate finance: Hanya sebagian kecil dana iklim global yang dialokasikan untuk proyek air, padahal mitigasi dan adaptasi air menawarkan co-benefits besar (kesehatan, gender, ekonomi)1.
- Inovasi pembiayaan: Proyek air yang “bankable” harus jelas mengaitkan aksi dengan dampak iklim dan manfaat lintas sektor1.
Inovasi Teknologi dan Partisipasi Warga
- Big data, sensor, dan satelit: Memungkinkan pemantauan curah hujan, debit sungai, kualitas air, dan anomali iklim secara real-time1.
- Crowdsourcing dan citizen science: Masyarakat dapat melaporkan banjir, kekeringan, atau pencemaran melalui aplikasi, mempercepat respons pemerintah1.
- Edukasi dan literasi air: Penting untuk membangun budaya hemat air dan kesiapsiagaan bencana1.
Kritik dan Opini: Tantangan dan Peluang
Kelemahan dan Tantangan
- Ketidakpastian model iklim: Proyeksi curah hujan dan pola ekstrem masih bervariasi tinggi, terutama di zona transisi1.
- Kesenjangan data: Hanya 10% negara berkembang punya sistem pemantauan air memadai1.
- Kurangnya integrasi air dalam kebijakan iklim global: Air jarang disebut dalam Perjanjian Paris dan SDG 13, padahal sangat krusial1.
Peluang dan Rekomendasi
- Integrasi penuh air dalam aksi iklim nasional (NDCs).
- Investasi pada solusi berbasis alam dan teknologi digital.
- Kolaborasi lintas sektor dan negara, terutama di wilayah sungai lintas batas.
- Pemberdayaan komunitas dan kelompok rentan sebagai aktor utama adaptasi.
Kesimpulan: Air sebagai Kunci Masa Depan Berkelanjutan
Laporan WWDR 2020 menegaskan bahwa tanpa pengelolaan air yang adaptif, inklusif, dan inovatif, upaya melawan perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan akan gagal. Air bukan sekadar korban perubahan iklim, melainkan solusi utama—dari pertanian, energi, kesehatan, hingga tata kota.
Aksi nyata, investasi, dan inovasi lintas sektor harus segera dilakukan. Dengan mengintegrasikan air ke dalam seluruh kebijakan iklim dan pembangunan, dunia punya peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih tangguh, adil, dan lestari.
Sumber Artikel :
UNESCO, UN-Water, 2020: United Nations World Water Development Report 2020: Water and Climate Change, Paris, UNESCO.