Transformasi Tata Kelola Kekeringan di Mediterania: Tantangan, Studi Kasus, dan Rekomendasi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 09.32

pixabay.com

Kekeringan Tantangan Abadi di Mediterania

Kawasan Mediterania, yang mencakup Eropa Selatan, Afrika Utara, dan pesisir Timur Tengah, dikenal sebagai salah satu wilayah semi-kering paling rentan di dunia. Kekeringan di sini bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan krisis multidimensi yang mengancam ketahanan pangan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Dalam paper terbarunya, Martin-Candilejo dkk. (2024) membedah evolusi, capaian, dan kekurangan tata kelola kekeringan di Mediterania, sekaligus menawarkan kerangka baru berbasis pengelolaan sumber daya bersama dan manajemen risiko.

Gambaran Umum: Mengapa Kekeringan di Mediterania Begitu Kompleks?

Karakteristik Wilayah

  • Iklim: Musim panas sangat panas dan kering, musim dingin lembap dan sejuk, serta curah hujan yang tidak merata.
  • Topografi: Pegunungan, pantai terjal, stepa kering, lahan basah, dan pulau-pulau unik.
  • Jejak sejarah manusia: Pengelolaan air dan lahan telah membentuk lanskap selama ribuan tahun.

Definisi Kekeringan

Menurut World Meteorological Organization, kekeringan adalah “periode cuaca kering abnormal yang cukup lama sehingga menyebabkan ketidakseimbangan hidrologis serius.” Namun, definisi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal, baik dari sisi iklim maupun kebutuhan air masyarakat1.

Evolusi Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Kekeringan

Dari Reaktif ke Proaktif

  • Pendekatan lama: Respon reaktif, fokus pada penanggulangan jangka pendek (misal, subsidi pertanian saat krisis).
  • Perkembangan baru: Munculnya kerangka kebijakan berbasis pencegahan, data, dan adaptasi, didorong oleh EU Water Framework Directive, observatorium kekeringan Eropa, dan inisiatif PBB.

Statistik Publikasi dan Kebijakan

  • Dalam 10 tahun terakhir, terdapat 56 publikasi ilmiah dan 28 dokumen kebijakan utama yang menganalisis kekeringan di Mediterania.
  • 30% publikasi membahas aspek teknis dan lingkungan, 27% soal manajemen risiko, dan 30% soal implementasi kebijakan.
  • Fokus utama: aspek teknis, indikator kekeringan, evaluasi ekonomi, serta studi kasus kebijakan di berbagai negara1.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Lapangan

Spanyol: Drought Management Plans (DMPs)

  • Spanyol menjadi pionir dengan DMPs yang mengintegrasikan indikator kekeringan, peringatan dini, dan pembatasan penggunaan air.
  • Dampak nyata: Pada 2017–2019, DMPs membantu menekan kerugian ekonomi akibat kekeringan hingga 20% dibanding periode sebelumnya.
  • Tantangan: Implementasi di tingkat lokal masih lambat, konflik antar pengguna air (pertanian vs. kota) sering terjadi1.

Italia dan Yunani: Ketergantungan pada Air Irigasi

  • Pertanian menyerap >60% konsumsi air di kedua negara.
  • Kekeringan 2018–2019: Produksi gandum turun 15%, kerugian ekonomi mencapai €1,2 miliar.
  • Respon: Pemerintah memberikan subsidi, namun solusi jangka panjang seperti efisiensi irigasi dan diversifikasi tanaman masih minim1.

Maroko dan Tunisia: Krisis Air dan Ketahanan Sosial

  • Wilayah pedesaan mengalami kekurangan air minum hingga 40% saat musim kering.
  • Konflik sosial meningkat, terutama di daerah yang mengandalkan sumur dangkal dan pertanian subsisten.
  • Upaya: Pemerintah memperkenalkan program edukasi dan konservasi air, namun adopsi teknologi masih rendah1.

Hambatan Menuju Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

1. Hambatan Sosial

  • Aturan tidak mengikat: Banyak regulasi air bersifat lokal dan tidak dapat ditegakkan secara efektif.
  • Batas sistem sumber daya tidak jelas: Sulit menentukan siapa berhak menggunakan air, sehingga konflik sering terjadi.
  • Mekanisme resolusi konflik lemah: Akses ke platform penyelesaian sengketa masih terbatas dan mahal1.

2. Hambatan Individual

  • Kurangnya edukasi: Banyak individu tidak memahami nilai ekosistem air dan biaya penggunaan air saat kekeringan.
  • Insentif negatif: Subsidi atau tarif air yang murah justru mendorong konsumsi berlebih.
  • Kurangnya partisipasi: Individu jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan air1.

3. Hambatan Ekonomi

  • Biaya dan manfaat tidak seimbang: Investasi pengelolaan kekeringan sering dianggap mahal, padahal kerugian akibat kekeringan jauh lebih besar.
  • Penilaian ekonomi terbatas: Nilai air untuk ekosistem dan masyarakat sering diabaikan dalam perhitungan biaya-manfaat1.

4. Hambatan Teknologi

  • Data dan monitoring terbatas: Infrastruktur pemantauan air dan kekeringan masih kurang, data sering tidak terintegrasi antar negara dan lembaga.
  • Infrastruktur usang: Banyak jaringan irigasi dan penyimpanan air sudah tua dan tidak efisien1.

5. Hambatan Lingkungan

  • Perubahan iklim: Variabilitas curah hujan dan suhu ekstrem memperburuk kekeringan dan mempercepat degradasi ekosistem.
  • Degradasi lahan basah dan hutan: Mengurangi kapasitas alam menyimpan dan memurnikan air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan dan Peluang

Kesenjangan Utama

  • Pendekatan masih reaktif: Mayoritas kebijakan masih fokus pada respons jangka pendek, bukan pencegahan dan adaptasi.
  • Kurangnya integrasi sosial: Sains sosial kurang dilibatkan dalam perencanaan, padahal konflik dan persepsi publik sangat menentukan efektivitas kebijakan.
  • Minim insentif sukarela: Kebijakan berbasis insentif dan partisipasi masyarakat masih langka, padahal terbukti efektif di beberapa studi1.

Peluang dan Rekomendasi

  • Pengelolaan berbasis sumber daya bersama: Terapkan prinsip Ostrom (pengelolaan komunal) untuk memperkuat kolaborasi dan tanggung jawab bersama.
  • Perencanaan adaptif: Drought management plan harus dinamis, mengakomodasi skenario perubahan iklim dan sosial, serta dapat dievaluasi dan diperbarui secara berkala.
  • Pembentukan Sekretariat Teknis Regional: Sebuah badan khusus untuk mengoordinasikan data, kebijakan, dan kolaborasi lintas negara di Mediterania1.

Studi Perbandingan dan Tren Global

Belajar dari Luar Mediterania

  • Australia: Sukses dengan pendekatan risk management berbasis data dan insentif ekonomi, namun tetap menghadapi tantangan adaptasi sosial.
  • Amerika Serikat: Drought plans di tingkat negara bagian menekankan perencanaan sebelum krisis, edukasi publik, dan integrasi sains sosial.
  • Eropa Utara: Negara seperti Swedia dan Denmark mengadopsi sistem monitoring real-time dan keterlibatan komunitas dalam pengelolaan air1.

Tren Industri dan Kebijakan

  • Digitalisasi dan big data: Pemanfaatan teknologi untuk prediksi kekeringan, monitoring penggunaan air, dan transparansi kebijakan.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions): Restorasi lahan basah, reforestasi, dan konservasi DAS untuk meningkatkan ketahanan alami terhadap kekeringan.
  • Inovasi pembiayaan: Green bonds, pembayaran jasa lingkungan, dan skema asuransi pertanian berbasis risiko1.

Studi Kasus: Tensi Individu vs. Kolektif dalam Kekeringan

Ilustrasi Konflik

  • Petani di Spanyol: Saat kekeringan, petani cenderung meningkatkan irigasi untuk menyelamatkan panen, meski secara kolektif hal ini memperparah krisis air.
  • Solusi: Melibatkan asosiasi petani dalam perencanaan, memberikan insentif untuk efisiensi air, dan menerapkan sanksi progresif bagi pelanggar aturan1.

Peran Otoritas DAS

  • River Basin Authorities: Penting sebagai penengah antara kepentingan individu dan kolektif, namun perlu didukung data, kewenangan, dan partisipasi masyarakat1.

Menuju Masa Depan: Kerangka Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

Empat Pilar Transformasi

  1. Pengukuran manfaat nyata: Kebijakan harus mampu menunjukkan manfaat konkret dari pengelolaan kekeringan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
  2. Analisis risiko dan keuntungan: Setiap keputusan harus mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan jangka panjang, bukan hanya solusi instan.
  3. Inkorporasi skenario masa depan: Perencanaan harus adaptif, mengakomodasi perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial.
  4. Kode etik regional dan Sekretariat Teknis: Diperlukan kode etik regional (soft law) dan lembaga khusus untuk koordinasi, pertukaran data, dan evaluasi kebijakan lintas negara1.

Kritik dan Opini

Kelebihan Paper

  • Analisis komprehensif: Menggabungkan data ilmiah, kebijakan, dan studi kasus nyata.
  • Pendekatan lintas disiplin: Memadukan sains alam, sosial, dan ekonomi.
  • Relevansi tinggi: Menjawab kebutuhan aktual kawasan Mediterania yang makin rentan terhadap perubahan iklim.

Kekurangan dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Banyak rekomendasi masih bersifat konseptual, perlu roadmap teknis dan pendanaan jelas.
  • Politik dan birokrasi: Fragmentasi kebijakan dan kepentingan politik sering menghambat adopsi solusi inovatif.
  • Keterbatasan data: Masih banyak wilayah dengan data terbatas, sehingga monitoring dan evaluasi kebijakan tidak optimal.

Kesimpulan: Dari Krisis Menuju Ketahanan

Pengelolaan kekeringan di kawasan Mediterania telah berkembang, namun masih menghadapi tantangan besar di era perubahan iklim dan tekanan sosial-ekonomi. Paper ini menegaskan pentingnya transformasi dari pendekatan reaktif ke proaktif, penguatan kolaborasi lintas negara, serta integrasi sains sosial dan ekonomi dalam perencanaan. Dengan mengadopsi kerangka adaptif, insentif sukarela, dan koordinasi regional, Mediterania dapat membangun ketahanan air yang berkelanjutan dan inklusif.

Sumber Artikel

Martin-Candilejo, A.; Martin-Carrasco, F.J.; Iglesias, A.; Garrote, L. Heading into the Unknown? Exploring Sustainable Drought Management in the Mediterranean Region. Sustainability 2024, 16, 21. https://doi.org/10.3390/su16010021