Perubahan Iklim

Desentralisasi dan Pendidikan di Papua: Studi Kasus Jayawijaya dan Hambatan Pelayanan Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Desentralisasi sebagai Instrumen Reformasi Tata Kelola

Desentralisasi merupakan salah satu reformasi kelembagaan penting yang bertujuan mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat dan meningkatkan akuntabilitas serta responsivitas layanan publik. Di Indonesia, desentralisasi mulai diterapkan secara luas sejak 1999, termasuk di Papua yang memiliki status otonomi khusus sejak 2001. Namun, meskipun dana dan kewenangan dialihkan ke daerah, capaian pembangunan, khususnya di sektor pendidikan di Jayawijaya, masih jauh dari harapan.

Metodologi dan Fokus Studi

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, analisis dokumen kebijakan, dan observasi lapangan di Jayawijaya. Fokus utama adalah mengidentifikasi hambatan dalam penyediaan layanan pendidikan dasar setelah desentralisasi.

Temuan Utama: Tiga Hambatan Utama dalam Pendidikan di Jayawijaya

1. Uniformitas Kebijakan Nasional yang Tidak Sesuai Konteks Lokal

  • Kebijakan pendidikan dan kurikulum nasional diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan kondisi geografis, budaya, dan sosial Jayawijaya yang unik.
  • Contoh: Standar jarak maksimal sekolah 3 km tidak realistis di wilayah pegunungan dengan akses transportasi terbatas.
  • Buku pelajaran nasional sulit dipahami siswa karena menggunakan konteks budaya yang asing, seperti gambar kereta api dan gunung Bromo.
  • Yayasan Kristen Wamena (YKW) mengembangkan Buku Paket Kontekstual Papua yang lebih relevan, namun belum diakui secara resmi oleh pemerintah.

2. Sistem Insentif yang Tidak Efektif dan Ketidakhadiran Guru

  • Tingginya angka ketidakhadiran guru, terutama guru PNS, menjadi masalah utama.
  • Faktor penyebab: lokasi terpencil, gaji yang rendah, kurangnya fasilitas pendukung (transportasi, perumahan, kesehatan).
  • Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunjangan guru belum efektif karena pengalokasian dana yang tidak sesuai kebutuhan lokal dan minimnya pengawasan.
  • Data UNICEF (2012) menunjukkan ketidakhadiran guru di daerah pegunungan Papua mencapai 50%, jauh lebih tinggi dibanding daerah dataran rendah (25%).

3. Monitoring dan Koordinasi yang Lemah

  • Struktur pemerintahan yang kompleks dan terfragmentasi menyebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah kabupaten, kecamatan, dan sekolah.
  • Monitoring guru dan sekolah sulit dilakukan karena jarak geografis yang jauh dan infrastruktur yang buruk.
  • Kepala sekolah sering tidak hadir, memperparah masalah ketidakhadiran guru dan kualitas pendidikan.
  • Pengawasan lebih efektif jika didelegasikan ke tingkat kecamatan, namun kewenangan masih terbatas.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  • Jayawijaya memiliki luas 7.030 km² dengan 40 kecamatan dan 328 desa.
  • Populasi 268.137 jiwa (2017) dengan kepadatan 1 orang per 25 km², sangat tersebar dan sulit dijangkau.
  • Rata-rata lama sekolah di Jayawijaya hanya 5 tahun, jauh di bawah target nasional 8,8 tahun.
  • Alokasi anggaran pendidikan hanya 0,95% dari total APBD Jayawijaya, terendah di Papua.
  • BOS dialokasikan Rp800.000 per siswa per tahun tanpa penyesuaian kondisi lokal.

Analisis Teoritis: Multi-Level Governance dan Agency Theory

  • Desentralisasi menciptakan hubungan principal-agent antara pemerintah pusat (principal) dan daerah (agent), serta antara pemerintah daerah dan penyedia layanan (guru, sekolah).
  • Masalah muncul ketika tujuan dan kepentingan principal dan agent tidak selaras, serta adanya asimetri informasi dan lemahnya mekanisme kontrol.
  • Kondisi geografis yang sulit memperburuk masalah monitoring dan akuntabilitas.
  • Uniformitas kebijakan nasional menghambat fleksibilitas daerah dalam menyesuaikan layanan dengan kebutuhan lokal.

Opini dan Kritik

  • Penelitian ini memberikan gambaran mendalam tentang hambatan nyata di lapangan yang sering terabaikan dalam wacana desentralisasi.
  • Penekanan pada konteks geografis dan kelembagaan lokal menjadi kekuatan utama.
  • Namun, solusi yang diusulkan masih terbatas pada rekomendasi kebijakan tanpa eksplorasi mendalam tentang inovasi teknologi atau pendekatan partisipatif yang lebih luas.
  • Studi ini juga membuka ruang untuk riset lebih lanjut mengenai peran masyarakat dan teknologi dalam memperbaiki monitoring dan akuntabilitas.

Rekomendasi Kebijakan

  • Kebijakan pendidikan harus fleksibel dan responsif terhadap konteks lokal, termasuk kurikulum dan standar pelayanan.
  • Penguatan sistem insentif yang sesuai dengan kondisi lokal dan pengawasan yang ketat terhadap kehadiran guru.
  • Delegasi kewenangan monitoring ke tingkat kecamatan dan desa untuk meningkatkan efektivitas pengawasan.
  • Peningkatan alokasi anggaran pendidikan yang proporsional dengan kebutuhan daerah terpencil.
  • Dukungan berkelanjutan untuk pengembangan bahan ajar kontekstual dan pelatihan guru.

Desentralisasi yang Berkeadilan dan Kontekstual

Tesis ini menegaskan bahwa desentralisasi di Papua, khususnya Jayawijaya, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan layanan pendidikan dasar. Uniformitas kebijakan nasional, sistem insentif yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring menjadi hambatan utama. Untuk mewujudkan desentralisasi yang efektif, diperlukan pendekatan yang menghargai keragaman lokal, memperkuat kapasitas pemerintahan daerah, dan meningkatkan akuntabilitas melalui pengawasan yang lebih dekat dengan masyarakat. Hanya dengan demikian, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan di wilayah terpencil dapat tercapai.

Sumber Artikel 

Efriandi, T., Couwenberg, O., Holzhacker, R.L. (2019). Decentralization and public service provision: A case study of the education sector in Jayawijaya District, Papua, Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 41(3), 364-389. http://doi.org/10.1355/cs41-3b

Selengkapnya
Desentralisasi dan Pendidikan di Papua: Studi Kasus Jayawijaya dan Hambatan Pelayanan Publik

Perubahan Iklim

Meningkatkan Tata Kelola Air di Asia: Tantangan, Kerangka Kerja, dan Strategi untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air untuk Masa Depan Asia

Asia, sebagai benua terpadat dan terbesar di dunia, memiliki peran sentral dalam pengelolaan sumber daya air global. Meskipun memiliki sekitar 32% sumber air tawar dunia, kawasan ini menghadapi tantangan besar seperti pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi, industrialisasi, dan perubahan iklim yang memperburuk ketersediaan dan kualitas air. Paper ini melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur tata kelola air (water governance/WG) di Asia antara tahun 2000-2020, mengidentifikasi tantangan utama, kerangka kerja yang digunakan, serta merekomendasikan strategi untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Pendekatan Sistematis dan Luas

Penulis menggunakan metode PRISMA untuk menyeleksi literatur dari database Scopus dan Google Scholar, termasuk artikel peer-reviewed, laporan institusi, dan literatur abu-abu. Dari 350 dokumen yang ditemukan, 145 publikasi dipilih untuk analisis mendalam berdasarkan relevansi, metodologi, dan cakupan studi kasus di Asia.

Tren dan Distribusi Studi Tata Kelola Air di Asia

  • Jumlah publikasi meningkat signifikan sejak 2015, seiring dengan munculnya SDGs.
  • Fokus studi paling banyak di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur. Negara dengan studi terbanyak adalah India, China, Vietnam, dan Thailand.
  • Wilayah Asia Tengah dan Barat kurang mendapat perhatian karena keterbatasan data dan konflik politik.

Definisi dan Konsep Tata Kelola Air

  • Tata kelola air mencakup sistem politik, sosial, ekonomi, dan administratif yang mengatur penggunaan dan pengelolaan air di berbagai tingkat masyarakat.
  • Tidak ada definisi tunggal yang disepakati, namun prinsip utama meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keberlanjutan.
  • Konsep “effective water governance” menekankan keterlibatan aktif pemangku kepentingan, keadilan sosial, dan responsivitas terhadap perubahan.

Isu Utama dalam Tata Kelola Air di Asia

Pengelolaan Air Lintas Batas (Transboundary Water Management/TWM)

  • Asia memiliki 57 DAS lintas batas, namun hanya 10 yang memiliki perjanjian pengelolaan resmi.
  • Konflik air timbul akibat pembangunan bendungan, alokasi irigasi, dan perubahan iklim.
  • Contoh: Konflik di DAS Ganges-Brahmaputra-Meghna dan Mekong.

Manajemen Irigasi

  • Pertanian menggunakan porsi terbesar air, namun efisiensi irigasi rendah.
  • Fragmentasi kelembagaan dan teknologi usang menjadi kendala utama.

Kualitas Air

  • Polusi limbah domestik, industri, dan pertanian mengancam kesehatan dan ekosistem.
  • Studi di China dan India menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan limbah.

Nexus Air-Pangan-Energi-Iklim

  • Interdependensi sektor ini menuntut tata kelola terintegrasi dan adaptif.
  • Contoh: Pengelolaan bendungan untuk energi dan irigasi harus mempertimbangkan dampak iklim dan kebutuhan pangan.

Kerangka Kerja Tata Kelola Air yang Digunakan

  • Kerangka hukum dan kelembagaan (Legal and Institutional Framework/LIF) paling banyak digunakan untuk analisis kasus.
  • Teori Ostrom (Institutional Analysis and Development/IAD) dan Adaptive Integrated Water Management (AIWM) banyak dipakai untuk memahami dinamika kelembagaan dan adaptasi.
  • OECD Water Governance Indicator and Measurement (WGIM) framework digunakan untuk menilai efektivitas dan transparansi tata kelola.
  • Kerangka ini menekankan regulasi jelas, pengelolaan adaptif, keterlibatan pemangku kepentingan, koordinasi lintas sektor, dan transparansi data.

Tantangan Tata Kelola Air di Asia

  • Fragmentasi kelembagaan dan tumpang tindih peran antar lembaga.
  • Keterbatasan kapasitas teknis dan finansial.
  • Kurangnya koordinasi dan kepercayaan antar pemangku kepentingan, khususnya di wilayah lintas batas.
  • Data dan sistem informasi yang belum terintegrasi dan kurang transparan.
  • Pengaruh politik dan ketidakstabilan menghambat reformasi.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  • Perbaikan kerangka hukum dan kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih dan memperjelas tanggung jawab.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia.
  • Peningkatan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan.
  • Pengembangan mekanisme koordinasi lintas sektor dan lintas negara.
  • Implementasi sistem monitoring dan evaluasi berbasis data.
  • Adopsi pendekatan adaptif dan inovatif untuk menghadapi perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • Konflik dan kerjasama di DAS Mekong antara negara hilir dan hulu.
  • Pengelolaan air irigasi dan kualitas air di perbatasan India dan Bangladesh.
  • Pengelolaan air perkotaan dan pertanian di Delta Mekong, Vietnam.
  • Reformasi kelembagaan air di China.

Tata Kelola Air sebagai Pilar Pencapaian SDGs di Asia

Tata kelola air yang efektif dan adaptif adalah kunci mengatasi tantangan air di Asia dan mencapai SDG 6. Dengan kerangka kerja yang tepat, penguatan kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor serta negara, kawasan ini dapat mengelola sumber daya airnya secara berkelanjutan. Studi ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi untuk memperbaiki tata kelola air di Asia.

Sumber Artikel

Nguyen Hong Duc, Pankaj Kumar, Pham Tam Long, Gowhar Meraj, Pham Phuong Lan, Mansour Almazroui, Ram Avtar. (2024). A Systematic Review of Water Governance in Asian Countries: Challenges, Frameworks, and Pathways Toward Sustainable Development Goals. Earth Systems and Environment.

Selengkapnya
Meningkatkan Tata Kelola Air di Asia: Tantangan, Kerangka Kerja, dan Strategi untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air di Era Globalisasi

Paper ini mengulas secara komprehensif empat generasi riset terkait perjalanan kebijakan air di berbagai negara dan konteks sosial-politik. Farhad Mukhtarov mengkaji kekuatan dan kelemahan pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding kebijakan air, serta bagaimana kebijakan tersebut tidak hanya berpindah, tapi juga berubah dan dibentuk ulang oleh konteks lokal dan kekuatan global.

Empat Generasi Riset Kebijakan Air

1. Difusi Kebijakan (Diffusion)

  • Fokus pada pola penyebaran kebijakan secara luas dan statistik, termasuk tipping points dan pola adopsi.
  • Menekankan faktor struktural seperti globalisasi dan norma internasional.
  • Contoh: Penyebaran Integrated Water Resources Management (IWRM) sebagai norma global.
  • Kelemahan: Kurang memperhatikan politik nasional dan transformasi kebijakan saat diadopsi.

2. Transfer Kebijakan (Transfer)

  • Studi kasus kecil yang meneliti aktor, motivasi, dan kondisi transfer kebijakan.
  • Transfer bisa bersifat sukarela, negosiasi, atau paksaan (coercion).
  • Contoh: Transfer Water User Associations (WUAs) di Uzbekistan dan Turki dengan berbagai tingkat keberhasilan dan penyesuaian.
  • Menyoroti peran aktor transnasional dan domestik serta konteks politik.

3. Translasi Kebijakan (Translation)

  • Memperhatikan bagaimana kebijakan mengalami perubahan makna dan bentuk saat berpindah konteks.
  • Fokus pada politik makna, kekuasaan, dan interpretasi lokal.
  • Contoh: Adaptasi Dutch Delta Approach di Bangladesh dan Vietnam yang melibatkan negosiasi dan kontestasi politik.
  • Menolak pandangan kebijakan sebagai objek tetap, melainkan sebagai proses dinamis dan kontingen.

4. Branding Kebijakan (Branding)

  • Fenomena baru di mana negara/kota memposisikan diri sebagai pusat keunggulan tata kelola air (Global Hydro-Hubs).
  • Melibatkan diplomasi, pemasaran, dan kolaborasi publik-swasta.
  • Contoh: Singapore International Water Week sebagai ajang promosi keahlian air.
  • Branding menjadi strategi geopolitik dan ekonomi di tengah krisis iklim dan kebutuhan air global.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • Tennessee Valley Authority (TVA) AS: Model pengelolaan air yang berpengaruh di banyak DAS internasional.
  • IWRM: Sebagai kebijakan hegemonik global yang menyebar melalui jaringan internasional.
  • Dutch Delta Approach: Branding dan transfer kebijakan adaptasi delta ke negara-negara Asia Tenggara.
  • Singapore: Branding sebagai pusat solusi air urban melalui event dan diplomasi air.
  • EU Water Framework Directive (WFD): Transfer kebijakan dengan adaptasi kontekstual di Turki dan negara anggota.

Analisis Kritis

  • Paper ini berhasil menggabungkan berbagai pendekatan riset dan menempatkannya dalam dialog kritis.
  • Menekankan pentingnya konteks lokal dan politik dalam memahami perjalanan kebijakan air.
  • Branding sebagai fenomena baru menandai pergeseran peran negara dan swasta dalam tata kelola air global.
  • Kritik utama terhadap riset difusi dan transfer adalah asumsi linearitas dan kurangnya perhatian pada politik lokal dan transformasi kebijakan.

Relevansi dan Implikasi

  • Kebijakan air tidak bisa dipahami hanya sebagai objek statis, melainkan sebagai proses dinamis yang dipengaruhi oleh aktor, konteks, dan kekuasaan.
  • Pemahaman ini penting bagi pembuat kebijakan, donor, dan praktisi agar dapat mengelola transfer kebijakan dengan efektif dan sensitif terhadap konteks.
  • Branding dan diplomasi air menjadi instrumen penting dalam geopolitik air dan pasar global yang bernilai miliaran dolar.

Memahami Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air

Mukhtarov memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kebijakan air bergerak, berubah, dan dibentuk ulang di berbagai belahan dunia. Pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding masing-masing menawarkan perspektif unik yang saling melengkapi. Tantangan utama adalah mengintegrasikan pendekatan ini untuk menghasilkan kebijakan air yang efektif, adil, dan berkelanjutan di tengah dinamika global dan lokal.

Sumber Artikel

Mukhtarov, F. (2022). A review of water policies on the move: Diffusion, transfer, translation or branding? Water Alternatives, 15(2), 290-306.

Selengkapnya
Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Perubahan Iklim

Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Irigasi di Tengah Perubahan Iklim

Irigasi memainkan peran krusial dalam ketahanan pangan global dengan menghasilkan sekitar 40% produksi pangan dunia meski hanya mengairi 20% lahan pertanian. Namun, irigasi juga menjadi pengguna air terbesar, menyerap hampir 47% air tawar yang diambil dari sumber permukaan dan air tanah. Dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi, tekanan terhadap sumber daya air semakin meningkat. Perubahan iklim menambah kompleksitas dengan mengubah pola curah hujan, meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem, dan menaikkan permintaan air untuk irigasi.

Dokumen ini menyajikan pendekatan Climate-Smart Irrigation (CSI) sebagai bagian integral dari Climate-Smart Agriculture (CSA), yang bertujuan meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem irigasi.

Konsep Climate-Smart Irrigation (CSI)

CSI merupakan pendekatan holistik yang menggabungkan tiga pilar utama CSA:

  • Produktivitas: Meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani tanpa merusak lingkungan atau mengurangi ketersediaan air bagi pengguna lain.
  • Adaptasi: Memperkuat ketahanan sistem irigasi dan rantai nilai terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan.
  • Mitigasi: Mengurangi emisi GRK dari seluruh siklus produksi, mulai dari penggunaan energi hingga pengelolaan lahan.

CSI menekankan pentingnya konteks agroklimatik dan sosial-ekonomi lokal serta dukungan kebijakan dan kelembagaan yang sesuai.

Tantangan Utama Sektor Irigasi

  • Ketidakpastian iklim: Perubahan pola curah hujan dan suhu yang sulit diprediksi memengaruhi ketersediaan air.
  • Reformasi sektor: Hambatan politik dan kelembagaan menghambat adopsi praktik berkelanjutan.
  • Efisiensi dan produktivitas: Meningkatkan efisiensi penggunaan air dan hasil panen secara bersamaan masih menjadi tantangan.
  • Resistensi terhadap perubahan: Petani dan pengelola irigasi sering enggan mengubah praktik lama tanpa jaminan hasil.
  • Pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan: Menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertanian, ekosistem, dan pengguna lain.

Pilar CSI dan Implementasinya

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan

  • Fokus pada menutup kesenjangan hasil panen antara potensi dan realisasi.
  • Model “Save and Grow” mengintegrasikan konservasi tanah dan air dengan praktik berkelanjutan.
  • Penerapan di tingkat DAS, skema irigasi, dan lahan petani.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Perencanaan berbasis risiko dan skenario masa depan.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan dukungan teknis.
  • Pendekatan pengelolaan DAS dan irigasi yang fleksibel.

Mitigasi Emisi GRK

  • Pengurangan penggunaan energi fosil dengan teknologi hemat energi dan energi terbarukan.
  • Pengelolaan pupuk dan lahan untuk memaksimalkan penyerapan karbon.
  • Pengurangan kehilangan hasil panen dan efisiensi rantai nilai.

Studi Kasus Penting

  • Misión Posible II, Spanyol: Pengurangan konsumsi air irigasi hingga 20% tanpa menurunkan hasil panen dengan konservasi di lahan basah Las Tablas de Daimiel.
  • Kavre, Nepal: Pengembangan strategi adaptasi berbasis partisipasi menghadapi banjir dan kekeringan.
  • Danau Urmia, Iran: Proyek restorasi dengan pengelolaan irigasi dan konservasi DAS untuk memulihkan danau hypersaline terbesar kedua dunia.
  • Sub-Sahara Afrika: Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan pengelolaan irigasi dan hasil panen.
  • Andean Agroforestry: Keterlibatan masyarakat dalam pemantauan sumber daya air dan hutan meningkatkan kapasitas adaptasi.

Analisis dan Nilai Tambah

  • Pendekatan CSI menggabungkan aspek teknis, kelembagaan, sosial, dan ekonomi secara holistik.
  • Menekankan integrasi adaptasi dan mitigasi dalam kerangka kerja yang fleksibel dan kontekstual.
  • Memberikan contoh nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi negara berkembang dan maju.
  • Menyoroti pentingnya sistem monitoring berbasis teknologi digital dan sensor modern.

Kritik dan Tantangan

  • Resistensi budaya dan politik masih menjadi hambatan utama implementasi.
  • Kebutuhan investasi dan kapasitas teknis yang besar belum merata.
  • Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengatasi trade-off antara produktivitas, adaptasi, dan mitigasi.
  • Studi kasus masih terbatas di wilayah tertentu, perlu perluasan cakupan.

Menuju Irigasi Cerdas Iklim yang Berkelanjutan

Dokumen ini menjadi rujukan penting bagi pengambil kebijakan dan praktisi dalam menghadapi tantangan irigasi di era perubahan iklim. Climate-Smart Irrigation bukan hanya teknologi, tetapi juga tata kelola, kapasitas, dan kolaborasi multi-level. Dengan pendekatan ini, irigasi dapat meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi jejak karbon, mendukung pencapaian SDG 2, 6, dan 13 secara simultan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Batchelor, C., Schnetzer, J. (2018). Compendium on Climate-Smart Irrigation: Concepts, evidence and options for a climate-smart approach to improving the performance of irrigated cropping systems. Global Alliance for Climate-Smart Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Selengkapnya
Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi

Perubahan Iklim

Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Hubungan Kompleks antara Iklim dan Pembangunan

Bab ini menyoroti hubungan timbal balik yang kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Pembatasan ini dinilai dapat mengurangi risiko kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan, serta memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan tambahan 122 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Sumber Daya Air

Tata Kelola Air di Asia: Tantangan Kompleks dan Strategi Menuju Pencapaian SDG 6

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air untuk Masa Depan Asia

Asia adalah benua terluas dan terpadat di dunia, dengan sekitar 60% populasi global dan 32% sumber daya air tawar dunia. Namun, kawasan ini menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air yang berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang yang mengalami urbanisasi cepat, pertumbuhan industri, dan perubahan iklim. Tata kelola air (Water Governance/WG) menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah ini dan mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 tentang air bersih dan sanitasi.

Paper ini melakukan tinjauan sistematis literatur WG di Asia selama 2000-2020, mengidentifikasi isu-isu utama, kerangka kerja yang digunakan, dan merekomendasikan model tata kelola yang efektif.

Tinjauan Sistematis dan Analisis Literatur

Penulis menggunakan metode PRISMA untuk menyeleksi 350 dokumen dari database Scopus dan sumber lain, kemudian menyaring menjadi 145 publikasi yang relevan. Studi ini mencakup artikel peer-reviewed, laporan institusi, dan literatur abu-abu (gray literature) yang membahas WG di Asia.

Tren dan Distribusi Studi WG di Asia

  • Jumlah publikasi WG meningkat signifikan sejak 2015, sejalan dengan pengesahan SDGs dan meningkatnya perhatian global terhadap isu air.
  • Sebagian besar studi fokus pada Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur, dengan negara yang paling banyak diteliti adalah India, China, Vietnam, dan Thailand.
  • Wilayah Asia Tengah dan Barat kurang mendapat perhatian karena keterbatasan data dan konflik politik.

Definisi dan Konsep Tata Kelola Air

  • Tidak ada konsensus tunggal tentang definisi WG, namun GWP 2003 menjadi acuan utama: WG mencakup sistem politik, sosial, ekonomi, dan administratif yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan layanan air.
  • WG melibatkan aspek formal dan informal, serta menekankan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
  • Konsep “effective WG” menekankan pada keterlibatan aktif pemangku kepentingan, keadilan, efisiensi, dan adaptasi terhadap perubahan.

Isu Utama dalam Tata Kelola Air di Asia

1. Pengelolaan Air Lintas Batas (Transboundary Water Management/TWM)

  • Asia memiliki 57 DAS lintas batas, namun hanya 10 yang memiliki perjanjian pengelolaan resmi.
  • Konflik air sering muncul akibat pembangunan bendungan, alokasi air irigasi, dan perubahan iklim.
  • Contoh: Konflik air di DAS Ganges-Brahmaputra-Meghna antara India, Bangladesh, dan Nepal; dan DAS Mekong antara China dan negara-negara hilir.

2. Manajemen Irigasi

  • Pertanian menyerap porsi terbesar air di Asia, namun efisiensi irigasi masih rendah.
  • Tantangan meliputi fragmentasi kelembagaan, konflik pengguna, dan teknologi usang.

3. Kualitas Air

  • Polusi dari limbah domestik, industri, dan pertanian mengancam kesehatan dan ekosistem.
  • Studi di China dan India menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan limbah dan perlindungan sumber air.

4. Nexus Air-Pangan-Energi-Iklim

  • Interdependensi sektor air, pangan, energi, dan iklim menuntut tata kelola yang terintegrasi dan adaptif.
  • Contoh: Pengelolaan bendungan untuk energi hidro dan irigasi harus mempertimbangkan dampak iklim dan kebutuhan pangan.

Kerangka dan Model Tata Kelola yang Digunakan

  • Kerangka hukum dan kelembagaan (Legal and Institutional Framework/LIF) paling banyak digunakan untuk menganalisis kasus.
  • Teori Ostrom (Institutional Analysis and Development/IAD) dan Adaptive Integrated Water Management (AIWM) banyak dipakai untuk memahami dinamika kelembagaan dan adaptasi.
  • OECD Water Governance Indicator and Measurement (WGIM) framework digunakan untuk menilai efektivitas dan transparansi tata kelola.
  • Kerangka ini menekankan pentingnya: regulasi yang jelas, pengelolaan yang adaptif, keterlibatan pemangku kepentingan, koordinasi lintas sektor, dan transparansi data.

Tantangan Umum Tata Kelola Air di Asia

  • Fragmentasi kelembagaan dan tumpang tindih peran antar lembaga.
  • Keterbatasan kapasitas teknis dan finansial untuk implementasi kebijakan.
  • Kurangnya koordinasi dan kepercayaan antar pemangku kepentingan, terutama di wilayah lintas batas.
  • Data dan sistem informasi yang belum terintegrasi dan kurang transparan.
  • Pengaruh politik dan ketidakstabilan yang menghambat reformasi tata kelola.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  • Perbaikan kerangka hukum dan kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih dan memperjelas tanggung jawab.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, termasuk pelatihan dan teknologi informasi.
  • Peningkatan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
  • Pengembangan mekanisme koordinasi lintas sektor dan lintas negara, khususnya untuk DAS lintas batas.
  • Implementasi sistem monitoring dan evaluasi yang transparan dan berbasis data.
  • Adopsi pendekatan adaptif dan inovatif untuk menghadapi perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • DAS Mekong: Konflik dan kerjasama antara negara-negara hilir dan hulu terkait pembangunan bendungan dan pengelolaan air.
  • India dan Bangladesh: Tantangan pengelolaan air irigasi dan kualitas air di wilayah perbatasan.
  • Vietnam: Pengelolaan air perkotaan dan pertanian di Delta Mekong menghadapi tekanan urbanisasi dan perubahan iklim.
  • China: Reformasi kelembagaan air dan pengembangan sistem pengelolaan air yang adaptif dan terintegrasi.

Kesimpulan: Tata Kelola Air sebagai Pilar Pencapaian SDG di Asia

Paper ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif adalah kunci untuk mengatasi tantangan air di Asia dan mencapai SDG 6. Dengan kerangka kerja yang tepat, penguatan kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor serta negara, kawasan ini dapat mengelola sumber daya airnya secara berkelanjutan. Studi ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dan memperbaiki tata kelola air di Asia.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Nguyen Hong Duc, Pankaj Kumar, Pham Tam Long, Gowhar Meraj, Pham Phuong Lan, Mansour Almazroui, Ram Avtar. (2024). A Systematic Review of Water Governance in Asian Countries: Challenges, Frameworks, and Pathways Toward Sustainable Development Goals. Earth Systems and Environment. https://doi.org/10.1007/s41748-024-00385-1

Selengkapnya
Tata Kelola Air di Asia: Tantangan Kompleks dan Strategi Menuju Pencapaian SDG 6
« First Previous page 66 of 1.103 Next Last »