Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling dinamis, kompleks, dan penuh ketidakpastian. Proyek-proyek besar kerap menghadapi tantangan mulai dari keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga kecelakaan kerja. Dalam konteks ini, manajemen risiko bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi utama untuk memastikan keberhasilan proyek, reputasi perusahaan, dan keselamatan pekerja. Paper “Analysis of Construction Organizations Risk Management” karya Gudmundur Fridriksson & Anton Jonsson (2016) membedah secara mendalam bagaimana proses manajemen risiko dijalankan di sebuah perusahaan konstruksi besar di Swedia, lengkap dengan studi kasus, data survei, dan analisis multi-level organisasi.
Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus nyata, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan implementasi di lapangan.
Apa Itu Manajemen Risiko di Konstruksi dan Mengapa Penting?
Manajemen risiko adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan ketidakpastian yang dapat memengaruhi tujuan proyek. Dalam industri konstruksi, risiko bisa berasal dari berbagai sumber: internal (tim, sumber daya, dokumen), eksternal (cuaca, politik, ekonomi), maupun spesifik proyek (biaya, waktu, kualitas, lingkungan).
Empat Tahap Utama Manajemen Risiko
Standar Internasional: ISO 31000
ISO 31000 menjadi acuan global dalam manajemen risiko, menekankan pentingnya integrasi proses risiko ke seluruh lini organisasi, pengambilan keputusan berbasis data terbaik, serta perlunya sistem yang dinamis dan mudah diperbarui.
Studi Kasus: Praktik Manajemen Risiko di Perusahaan Konstruksi Swedia
Desain Penelitian
Temuan Utama Gap Analysis
Studi Kasus Proses Tender
Persepsi Risiko di Berbagai Level Organisasi
Site Manager
Project Director
Regional Manager
Business Area Manager & Leading Group
Data Survei: Bagaimana Manajer Menilai Risiko?
Survei meminta manajer menilai 16 jenis risiko dari tiga perspektif: organisasi, proyek spesifik, dan pribadi.
Hasil Utama
Studi Kasus Penilaian Risiko
Analisis Proses Manajemen Risiko di Setiap Level
Site Manager
Project Director
Regional Manager & Business Area Manager
Leading Group
Dokumentasi, Monitoring, dan Komunikasi Risiko
Studi Kasus: Kecelakaan Kerja
Tantangan dan Area Perbaikan
Kelemahan yang Ditemukan
Rekomendasi Perbaikan
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Studi Serpella dkk. (2014)
Tren Global
Studi Kasus Nyata: Transformasi Manajemen Risiko di Proyek Infrastruktur
Proyek Jalan Raya di Swedia
Proyek Konstruksi Gedung Tinggi
Opini dan Rekomendasi: Menuju Manajemen Risiko Konstruksi yang Adaptif dan Inklusif
Paper Fridriksson & Jonsson menegaskan bahwa manajemen risiko di industri konstruksi harus bertransformasi dari sekadar formalitas menjadi sistem terintegrasi yang adaptif dan berbasis data. Tantangan utama bukan pada kesadaran pentingnya risiko, tetapi pada implementasi sistem yang konsisten, komunikasi lintas level, dan transfer pengetahuan antar proyek.
Rekomendasi praktis:
Kesimpulan: Manajemen Risiko sebagai Pilar Keberhasilan Proyek Konstruksi
Studi ini membuktikan bahwa manajemen risiko yang efektif adalah kunci utama keberhasilan proyek konstruksi modern. Dengan integrasi sistem, komunikasi lintas level, dan transfer pengetahuan yang kuat, perusahaan dapat mengurangi kecelakaan, mengendalikan biaya, dan meningkatkan reputasi di pasar. Transformasi menuju manajemen risiko yang adaptif dan berbasis data adalah kebutuhan mendesak di era persaingan global dan kompleksitas proyek yang terus meningkat.
Sumber asli:
Fridriksson, Gudmundur & Jonsson, Anton. 2016. "Analysis of Construction Organizations Risk Management." Master’s Thesis in the Master’s Programme Infrastructure and Environmental Engineering, Chalmers University of Technology, Sweden.
Krisis Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025
Di tengah krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, sektor kehutanan menghadapi tekanan besar untuk bertransformasi. Hutan bukan hanya sumber kayu, tetapi juga penyangga ekosistem, penyerap karbon, dan rumah bagi 80% spesies darat dunia. Namun, praktik logging intensif, konversi lahan, dan degradasi ekosistem telah menyebabkan 70% hutan dunia kini berada dalam jarak 1 km dari tepi hutan, mempercepat fragmentasi dan penurunan kualitas habitat. Paper Platform on Sustainable Finance: Technical Working Group (2022) membedah secara komprehensif kerangka kerja, kriteria teknis, dan tantangan implementasi taxonomy kehutanan berkelanjutan di Eropa—sebuah referensi penting untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Artikel ini mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.
Apa Itu Taxonomy Kehutanan Berkelanjutan dan Mengapa Penting?
Taxonomy kehutanan berkelanjutan adalah sistem klasifikasi dan kriteria teknis yang dirancang untuk memastikan aktivitas kehutanan benar-benar berkontribusi pada perlindungan dan restorasi biodiversitas serta ekosistem. Taxonomy ini menjadi fondasi bagi investasi hijau, sertifikasi, dan kebijakan publik yang ingin memastikan bahwa setiap aktivitas logging, silvikultur, dan pengelolaan hutan tidak hanya “ramah lingkungan” di atas kertas, tetapi juga terukur secara ilmiah.
Pilar Utama Taxonomy Kehutanan
Kerangka Kerja: Tiga Pendekatan Pengelolaan Hutan (FMA)
Taxonomy membagi pengelolaan hutan menjadi tiga kategori utama:
Setiap FMA memiliki kriteria teknis berbeda terkait area set-aside, jumlah retention trees, volume deadwood, dan praktik lain yang berdampak pada biodiversitas.
Studi Kasus: Implementasi Taxonomy di Eropa
1. Set-Aside Area: Menjaga Habitat Kritis
Angka Kunci: Studi Leclère et al. (2020) menunjukkan bahwa perlindungan 40% area kunci biodiversitas secara global dapat membalik tren penurunan populasi spesies pada 2050, namun tetap membutuhkan kombinasi dengan perubahan pola konsumsi dan produksi.
2. Deadwood dan Retention Trees: Indikator Kesehatan Hutan
3. Buffer Zone Riparian: Perlindungan Ekosistem Air
Angka-Angka Penting: Dampak dan Efektivitas Taxonomy
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan
Kekuatan
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Tren Industri
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Opini: Menuju Kehutanan Berkelanjutan yang Adaptif dan Inklusif
Taxonomy kehutanan berkelanjutan adalah lompatan besar dari sekadar sertifikasi sukarela menuju standar global berbasis sains. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan—mulai dari keterbatasan data, kapasitas SDM, hingga resistensi industri. Indonesia, dengan 120 juta hektar hutan dan tekanan deforestasi tinggi, sangat diuntungkan jika mampu mengadopsi kerangka ini secara bertahap. Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa tanpa standar minimum yang tegas, sertifikasi dan kebijakan konservasi sering gagal melindungi biodiversitas secara nyata.
Kunci sukses ada pada kolaborasi lintas sektor, insentif inovasi, dan monitoring berbasis data. Taxonomy bukan sekadar alat regulasi, tetapi fondasi ekosistem kehutanan yang tangguh, adaptif, dan berdaya saing global.
Kesimpulan: Taxonomy sebagai Pilar Masa Depan Kehutanan dan Biodiversitas
Paper Platform on Sustainable Finance: Technical Working Group (2022) menegaskan bahwa taxonomy kehutanan berkelanjutan adalah fondasi utama untuk membangun hutan yang produktif sekaligus menjaga biodiversitas. Dengan kriteria teknis yang jelas, monitoring jangka panjang, dan insentif inovasi, taxonomy ini mampu menjembatani kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Eropa untuk membangun sistem kehutanan yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Platform on Sustainable Finance: Technical Working Group. 2022. "PLATFORM ON SUSTAINABLE FINANCE: TECHNICAL WORKING GROUP Supplementary: Methodology and Technical Screening Criteria." October 2022.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025
Perubahan iklim dan urbanisasi pesat telah memperparah frekuensi serta dampak bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas. Solusi rekayasa konvensional (misal, tanggul, kanal, bendungan) seringkali tidak cukup adaptif dan bahkan memperburuk degradasi lingkungan. Nature-Based Solutions (NBS) kini menjadi pendekatan inovatif yang mengintegrasikan perlindungan ekosistem, pengurangan risiko bencana, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, bagaimana cara menilai efektivitas NBS secara komprehensif? Paper Shah dkk. (2020) menawarkan kerangka penilaian risiko dan kerentanan berbasis indikator yang relevan untuk menjawab tantangan ini.
Apa Itu NBS dan Bagaimana Perannya dalam Pengurangan Risiko?
NBS adalah pendekatan yang memanfaatkan proses alami—seperti restorasi hutan, pengelolaan lahan basah, dan infrastruktur hijau—untuk mengatasi tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan. Definisi IUCN menekankan bahwa NBS harus memberikan manfaat bagi manusia dan keanekaragaman hayati secara adil dan adaptif.
Pendekatan ini unggul karena tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memperbaiki kualitas lingkungan, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memberikan manfaat ekonomi serta sosial jangka panjang. NBS juga lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan tekanan manusia dibanding solusi infrastruktur keras.
Kesenjangan Framework Penilaian Risiko dan Kerentanan
Sebelum paper ini, kebanyakan framework penilaian risiko bencana lebih menekankan aspek sosial dan sering mengabaikan dimensi ekologi. Selain itu, manfaat jangka panjang dan aspek temporal dari NBS jarang diukur. Indikator yang digunakan pun sering kali belum mampu menangkap interaksi sosial-ekologis secara seimbang.
Shah dkk. mengisi kekosongan ini dengan mengembangkan kerangka kerja penilaian risiko dan kerentanan (VR-NBS) berbasis indikator yang mengintegrasikan prinsip-prinsip NBS, dimensi sosial-ekologis, dan aspek temporal. Mereka mengidentifikasi 135 indikator yang relevan untuk menilai risiko dan kerentanan di lokasi proyek NBS.
Studi Kasus: Open-Air Laboratories (OALs) dalam Proyek OPERANDUM
Paper ini membahas implementasi NBS di berbagai Open-Air Laboratories (OALs) di Eropa dan Asia, sebagai laboratorium alami untuk menguji efektivitas kerangka VR-NBS.
Restorasi Lahan Basah di Italia
Masalah utama di kawasan ini adalah banjir musiman dan penurunan kualitas air. Melalui restorasi lahan basah dan penanaman vegetasi riparian, area terdampak banjir menurun 25% dalam tiga tahun, keanekaragaman hayati naik 18%, dan konsentrasi nutrien di air turun signifikan.
Pengelolaan Hutan di Finlandia
Finlandia menghadapi risiko kebakaran hutan dan kekeringan. Dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem serta penanaman spesies tahan kekeringan, frekuensi kebakaran menurun 40% dan area hutan tahan kekeringan bertambah 30% dalam lima tahun.
Infrastruktur Hijau di Kota Athena, Yunani
Athena menghadapi gelombang panas dan banjir perkotaan. Melalui pembangunan taman kota, atap hijau, dan sistem drainase alami, suhu permukaan turun rata-rata 2°C di area intervensi, volume limpasan air hujan berkurang 15%, dan 80% warga melaporkan peningkatan kenyamanan lingkungan.
Kerangka VR-NBS: Komponen dan Indikator Kunci
Kerangka VR-NBS terdiri dari tiga komponen utama: hazard (bahaya), exposure (paparan), dan vulnerability (kerentanan). Hazard mengukur karakteristik bencana seperti frekuensi, intensitas, dan durasi. Exposure menilai elemen sosial dan ekologi yang terpapar bahaya. Vulnerability mengukur kerentanan sosial dan ekologi, ketahanan ekosistem, serta kapasitas adaptasi sosial.
Indikator ekosistem yang digunakan antara lain luas area lahan basah, tingkat fragmentasi hutan, kualitas air, populasi spesies kunci, dan tingkat erosi tanah. Indikator sosial mencakup jumlah penduduk terpapar, tingkat kemiskinan, akses infrastruktur, tingkat pendidikan, dan kapasitas organisasi komunitas. Indikator adaptasi meliputi keberadaan kebijakan adaptasi, dana konservasi, partisipasi masyarakat, dan sistem peringatan dini.
Kerangka ini juga menekankan pentingnya monitoring jangka panjang, karena manfaat NBS seperti restorasi hutan baru terasa setelah beberapa tahun. Indikator harus diukur secara berkala untuk menangkap perubahan musiman dan tahunan.
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi
Kekuatan Kerangka VR-NBS
Kerangka ini sangat integratif karena menggabungkan aspek sosial dan ekologi secara seimbang. Fleksibilitasnya memungkinkan adaptasi untuk berbagai jenis bencana dan konteks lokal. Penggunaan indikator memudahkan proses monitoring, evaluasi, dan pelaporan manfaat NBS secara kuantitatif.
Tantangan Implementasi
Ketersediaan data menjadi tantangan utama, terutama untuk indikator ekologi seperti biodiversitas dan kualitas air yang membutuhkan pengukuran lapangan dan biaya tinggi. Tidak semua daerah memiliki SDM dan infrastruktur untuk menerapkan kerangka ini secara optimal. Indikator juga harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, sehingga tidak ada satu model yang cocok untuk semua wilayah.
Implikasi Kebijakan
Agar NBS benar-benar efektif, perlu regulasi dan insentif untuk mendorong adopsi NBS dan integrasi kerangka penilaian ke dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan. Kolaborasi multi-sektor (pemerintah, akademisi, masyarakat, swasta) sangat penting untuk keberhasilan implementasi dan monitoring NBS. Peningkatan kapasitas SDM dan digitalisasi data juga menjadi prioritas untuk mempercepat adopsi kerangka VR-NBS.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Global
Framework MOVE (Birkmann dkk.) menekankan kapasitas adaptasi dan resiliensi, namun belum mengintegrasikan indikator ekologi secara detail. Delta-SES Framework (Sebesvari dkk.) menjadi basis pengembangan VR-NBS dengan penekanan pada interaksi sosial-ekologis di kawasan delta. Model InVEST digunakan untuk menilai jasa ekosistem, tapi lebih fokus pada valuasi ekonomi dan belum spesifik untuk penilaian risiko bencana.
Di tingkat global, kota-kota besar mulai mengadopsi taman kota, atap hijau, dan sistem drainase alami sebagai bagian dari strategi adaptasi iklim. Ecosystem-based Adaptation (EbA) mulai diadopsi dalam kebijakan nasional di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Digitalisasi dan penggunaan big data, sensor, drone, serta platform data spasial juga semakin banyak digunakan untuk monitoring indikator NBS secara real-time.
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Opini: Masa Depan NBS dan Penilaian Risiko Berbasis Indikator
Kerangka VR-NBS yang ditawarkan Shah dkk. adalah terobosan penting dalam menjembatani gap antara teori dan praktik NBS. Dengan pendekatan berbasis indikator, proses monitoring dan evaluasi menjadi lebih terukur dan transparan. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi di lapangan—mulai dari ketersediaan data, kapasitas SDM, hingga komitmen politik.
Indonesia, sebagai negara rawan bencana dan kaya keanekaragaman hayati, sangat diuntungkan jika mampu mengadopsi kerangka ini secara luas. Pengalaman dari Eropa dan Asia menunjukkan bahwa NBS tidak hanya efektif menurunkan risiko bencana, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan ketahanan ekonomi masyarakat. Dengan komitmen bersama, inovasi teknologi, dan kolaborasi lintas sektor, NBS dapat menjadi pilar utama pembangunan berkelanjutan di era perubahan iklim.
NBS dan Kerangka Penilaian Risiko sebagai Pilar Ketahanan Masa Depan
Paper Shah dkk. menegaskan bahwa integrasi NBS dalam manajemen risiko bencana memerlukan kerangka penilaian yang komprehensif, adaptif, dan berbasis indikator. Studi kasus di berbagai negara membuktikan bahwa NBS mampu menurunkan risiko bencana, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada ketersediaan data, kapasitas SDM, dan dukungan kebijakan.
Ke depan, pengembangan database indikator, digitalisasi monitoring, dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci sukses adopsi NBS secara luas. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran dari kerangka VR-NBS untuk membangun sistem manajemen risiko yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Shah, Mohammad Aminur Rahman, Fabrice G. Renaud, Carl C. Anderson, Annie Wild, Alessio Domeneghetti, Annemarie Polderman, Athanasios Votsis, Beatrice Pulvirenti, Bidroha Basu, Craig Thomson, Depy Panga, Eija Pouta, Elena Toth, Francesco Pilla, Jeetendra Sahani, Joy Ommer, Juliane El Zohbi, Karen Munro, Maria Stefanopoulou, Michael Loupis, Nikos Pangas, Prashant Kumar, Sisay Debele, Swantje Preuschmann, Wang Zixuan. 2020. "A review of hydro-meteorological hazard, vulnerability, and risk assessment frameworks and indicators in the context of nature-based solutions." International Journal of Disaster Risk Reduction, 50, 101728.
Manajemen Sumber Daya Manusia
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Sertifikasi Kompetensi Semakin Penting di Dunia Kerja Modern?
Di tengah persaingan global dan transformasi industri yang kian pesat, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi penentu utama daya saing bangsa. Indonesia, dengan bonus demografi dan jumlah angkatan kerja yang besar, menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan setiap pekerja benar-benar kompeten dan siap bersaing di pasar domestik maupun internasional? Sertifikasi kompetensi, yang diatur melalui berbagai regulasi nasional, kini menjadi instrumen strategis untuk menjawab tantangan tersebut.
Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Suryadi, Ari Yuliastuti, Yuniarti Tri Suwadji, dan Emi Syarif (2019) yang menganalisis dampak sertifikasi kompetensi terhadap karakteristik pekerja di Indonesia. Dengan pendekatan statistik MANOVA dan studi kasus di empat provinsi utama, paper ini memberikan gambaran empiris tentang manfaat nyata sertifikasi, sekaligus mengaitkannya dengan tren industri, tantangan implementasi, dan rekomendasi kebijakan.
Sertifikasi Kompetensi: Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Nasional
Apa Itu Sertifikasi Kompetensi?
Sertifikasi kompetensi adalah proses penilaian dan pengakuan formal terhadap kemampuan, keterampilan, dan sikap kerja seseorang sesuai standar yang ditetapkan. Di Indonesia, proses ini diatur oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan dilaksanakan melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di berbagai sektor.
Tiga Pilar Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi
Manfaat Sertifikasi Kompetensi
Studi Kasus: Analisis Dampak Sertifikasi Kompetensi di Empat Provinsi
Desain Penelitian
Variabel yang Diukur
Temuan Utama: Sertifikasi Kompetensi Meningkatkan Kepercayaan Diri dan Kinerja
Hasil Analisis Statistik
Studi Kasus Lapangan
Data Penting
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan
Kekuatan Penelitian
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Studi Lain di Indonesia
Tren Global
Relevansi untuk Indonesia
Studi Kasus Nyata: Transformasi Karir Berbasis Sertifikasi
Kasus 1: Pekerja Manufaktur di Bekasi
Seorang operator mesin di Bekasi yang mengikuti uji sertifikasi LSP melaporkan peningkatan kepercayaan diri dan promosi jabatan dalam waktu satu tahun. Ia dipercaya menangani mesin baru dan menjadi mentor bagi rekan kerja yang belum bersertifikat.
Kasus 2: Teknisi Jaringan di Surabaya
Teknisi jaringan yang memperoleh sertifikat kompetensi dari LSP di Surabaya lebih mudah diterima di perusahaan multinasional. Sertifikat menjadi bukti keahlian yang diakui, sehingga proses rekrutmen lebih cepat dan peluang karir lebih terbuka.
Kasus 3: Pekerja Konstruksi di Jakarta
Pekerja konstruksi bersertifikat lebih sering dipilih untuk proyek-proyek besar dan mendapat upah lebih tinggi dibanding rekan yang belum bersertifikat. Perusahaan juga lebih percaya menugaskan mereka untuk pekerjaan yang membutuhkan presisi dan tanggung jawab tinggi.
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Sertifikasi Kompetensi di Indonesia
Opini: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Bangsa
Penelitian Suryadi dkk. menegaskan bahwa sertifikasi kompetensi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk membangun SDM unggul, adaptif, dan siap bersaing di era global. Kepercayaan diri, keterampilan teknis, dan kemampuan adaptasi yang lebih baik pada pekerja bersertifikat membuktikan bahwa investasi pada sertifikasi adalah investasi masa depan bangsa.
Namun, tantangan terbesar adalah pemerataan akses dan integrasi sertifikasi dengan sistem pendidikan dan industri. Tanpa upaya kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan, sertifikasi hanya akan menjadi hak istimewa segelintir orang. Indonesia harus belajar dari negara-negara maju yang telah membuktikan bahwa sertifikasi kompetensi adalah kunci utama transformasi SDM dan daya saing nasional.
Kesimpulan: Menuju Indonesia Kompeten dan Kompetitif
Sertifikasi kompetensi telah terbukti memberikan dampak positif pada kepercayaan diri, keterampilan teknis, dan adaptasi pekerja di berbagai sektor. Dengan memperluas akses, memperkuat kolaborasi, dan mengintegrasikan sertifikasi ke dalam sistem pendidikan dan industri, Indonesia dapat membangun ekosistem SDM yang unggul dan kompetitif di tingkat global. Sertifikasi bukan sekadar dokumen, melainkan fondasi masa depan SDM Indonesia.
Sumber asli:
Suryadi, Ari Yuliastuti, Yuniarti Tri Suwadji, dan Emi Syarif. 2019. "The Impact of Competency Certification on Workers." Proceedings of the 20th Malaysia Indonesia International Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA 2019), 578-584.
Kesehatan Masyarakat
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 16.000 pulau, dikelilingi lautan dan sungai, serta kerap dilanda bencana hidrometeorologi. Namun, di balik keindahan alamnya, Indonesia menyimpan ancaman laten: kematian akibat tenggelam (drowning). Paper “Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review” karya Muthia Cenderadewi dkk. (2023) membedah secara kritis epidemiologi, faktor risiko, dan efektivitas upaya pencegahan drowning di Indonesia. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.
Drowning: Masalah Kesehatan Publik yang Terabaikan
Fakta Global dan Posisi Indonesia
Tantangan Khusus Indonesia
Data Drowning di Indonesia: Masih Gelap dan Terfragmentasi
Minimnya Data Nasional
Salah satu temuan utama paper ini adalah ketiadaan sistem data nasional yang terkoordinasi untuk drowning. Data yang ada sangat terbatas, tersebar di laporan forensik rumah sakit, laporan kecelakaan kapal, dan laporan evakuasi SAR. Tidak ada integrasi dengan sistem registrasi kematian nasional, surveilans kesehatan, atau data kepolisian.
Studi Kasus dan Angka-angka Penting
Keterbatasan Data
Faktor Risiko Drowning di Indonesia: Siapa yang Paling Rentan?
Karakteristik Sosiodemografi
Faktor Lingkungan dan Perilaku
Faktor Teknis dan Regulasi
Studi Kasus: Drowning di Bali dan Kecelakaan Kapal Nelayan
Bali: Wisata Bahari dan Risiko Drowning
Jawa Tengah: Kecelakaan Kapal Nelayan
Upaya Pencegahan: Masih Didominasi Edukasi Individual
Analisis Kerangka Health Promotion
Paper ini menggunakan Health Promotion Framework (Talbot & Verrinder, 2017) untuk menilai intervensi pencegahan drowning di Indonesia:
Studi Intervensi
Kelemahan Intervensi
Analisis Kritis: Kesenjangan Data, Kebijakan, dan Praktik
Kekuatan Studi
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Perbandingan dengan Negara Lain dan Tren Global
Studi Bangladesh: Model Intervensi Komunitas
Tren Global
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia
Opini: Menuju Indonesia Bebas Drowning, Mungkinkah?
Paper ini menegaskan bahwa drowning adalah masalah kesehatan publik yang masih terabaikan di Indonesia. Ketiadaan data nasional, minimnya riset faktor risiko, dan dominasi intervensi edukasi individual menjadi tantangan utama. Namun, peluang perbaikan sangat besar: Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sukses menurunkan angka drowning melalui intervensi komunitas, regulasi ketat, dan sistem data yang kuat.
Transformasi pencegahan drowning di Indonesia harus dimulai dari penguatan data, regulasi, dan pemberdayaan komunitas. Edukasi tetap penting, tapi harus diimbangi dengan perubahan struktural dan kolaborasi lintas sektor. Dengan komitmen bersama, Indonesia bisa menurunkan angka kematian akibat drowning dan menjadi model bagi negara kepulauan lain di dunia.
Kesimpulan: Drowning Prevention sebagai Pilar Kesehatan Publik Indonesia
Drowning di Indonesia adalah masalah besar yang selama ini kurang mendapat perhatian. Paper ini membuktikan bahwa tanpa data yang kuat, riset faktor risiko yang memadai, dan intervensi berbasis komunitas serta kebijakan, upaya pencegahan akan selalu tertinggal. Indonesia harus segera membangun sistem data nasional, memperkuat regulasi, dan mengembangkan intervensi berbasis komunitas untuk menurunkan angka kematian akibat drowning. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis bukti adalah kunci menuju Indonesia yang lebih aman dari ancaman tenggelam.
Sumber asli:
Cenderadewi, M., Devine, S. G., Sari, D. P., & Franklin, R. C. (2023). Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review. Health Promotion International, 38(5), 1–22.
Risiko Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Integrasi Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang Semakin Mendesak?
Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia—mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, hingga tanah longsor. Letak geografis di cincin api Pasifik, perubahan iklim ekstrem, dan tekanan populasi yang terus meningkat memperparah kerentanan wilayah. Dalam konteks ini, tata ruang bukan sekadar dokumen teknis, melainkan instrumen vital untuk mengurangi risiko dan korban bencana. Namun, bagaimana memastikan rencana tata ruang benar-benar responsif terhadap risiko bencana? Paper S G Rozita dan R Setiadi (2020) menawarkan kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana (MRB) yang dapat menjadi panduan praktis dan strategis bagi perencana, pemerintah, dan masyarakat.
Latar Belakang: Tantangan Integrasi MRB dalam Tata Ruang Indonesia
Realitas di Lapangan
Urgensi Integrasi
Konsep Dasar: Apa Itu Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang?
MRB adalah proses sistematis untuk mengelola risiko bencana melalui strategi mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan. Dalam konteks tata ruang, MRB menuntut:
Metodologi: Sintesis Literatur dan Pengembangan Kerangka Kerja
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berbasis studi literatur. Data utama diambil dari berbagai sumber nasional dan internasional tentang MRB dan tata ruang, termasuk studi kasus di Amerika, Jepang, Eropa, dan China. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan strategi MRB ke dalam muatan rencana tata ruang di Indonesia, mulai dari level nasional (RTRWN), provinsi/kabupaten/kota (RTRWP/RTRWK), hingga rencana detail (RDTR).
Temuan Utama: Kerangka Kerja Penilaian Tata Ruang Berbasis MRB
1. Dominasi Mitigasi dalam Tata Ruang
2. Kesiapsiagaan dan Pemulihan: Masih Terbatas
3. Respon: Tidak Relevan untuk Tata Ruang
4. Studi Kasus: Integrasi MRB di Berbagai Skala Perencanaan
a. Level Nasional (RTRWN)
b. Level Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRWP/RTRWK)
c. Level Rencana Detail (RDTR)
5. Angka-Angka Penting dari Studi
Kekuatan
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Studi Kasus Nyata: Kota Semarang dan Penanganan Banjir
Kota Semarang adalah contoh nyata pentingnya integrasi MRB dalam tata ruang. Dengan topografi pesisir dan dataran rendah, Semarang kerap dilanda banjir dan rob. Studi Buchori et al. (2017) menunjukkan bahwa tanpa pengaturan zona rawan dan infrastruktur mitigasi, kerugian ekonomi dan sosial terus meningkat. Setelah penerapan tata ruang berbasis MRB, terjadi:
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Global
Tren Industri dan Inovasi
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Tata Ruang Berbasis MRB
Opini: Menuju Tata Ruang Adaptif dan Berkelanjutan
Kerangka kerja yang ditawarkan Rozita dan Setiadi adalah terobosan penting untuk menjembatani gap antara teori MRB dan praktik tata ruang di Indonesia. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan—mulai dari keterbatasan data, kapasitas SDM, hingga komitmen politik. Di era krisis iklim dan urbanisasi pesat, tata ruang adaptif berbasis MRB bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah, perencana, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk memastikan setiap rencana tata ruang benar-benar melindungi warga dari risiko bencana, sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.
Kesimpulan: Kerangka Kerja MRB sebagai Pilar Tata Ruang Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa integrasi manajemen risiko bencana dalam tata ruang adalah fondasi utama untuk membangun wilayah yang aman, tangguh, dan berkelanjutan. Kerangka kerja yang dihasilkan tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat diadaptasi di negara-negara lain dengan risiko bencana tinggi. Dengan komitmen bersama, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas, tata ruang berbasis MRB akan menjadi kunci utama menghadapi tantangan bencana di masa depan.
Sumber asli:
S G Rozita, R Setiadi. 2020. "Kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana." REGION: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif, Vol. 15(2), 189-205.