Korupsi Konstruksi

Mengungkap Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Faktor, Dampak, dan Solusi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Industri konstruksi merupakan pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun juga rentan terhadap praktik korupsi. Paper berjudul "Critical Factors Contributing to Corruption in Construction Industry" oleh Rumaizah Mohd Nordin dkk. (2011) mengkaji faktor-faktor kritis yang mendorong korupsi di sektor ini, serta solusi untuk memeranginya. Berikut analisis mendalam dari temuan tersebut, diperkaya dengan studi kasus dan data terkini. 

 Faktor Kritis Penyebab Korupsi dalam Konstruksi 

 1. Faktor Langsung dan Tidak Langsung (Tanzi, 1998) 

- Faktor Langsung: 

  - Regulasi dan perizinan: Monopoli kekuasaan oleh pejabat dalam mengeluarkan izin memicu suap. 

  - Pajak dan pengeluaran publik: Proyek fiktif atau mark-up anggaran untuk keuntungan pribadi. 

  Contoh: Di Malaysia, 30% kasus korupsi konstruksi terkait manipulasi tender (Transparency International, 2011). 

- Faktor Tidak Langsung: 

  - Upah rendah pegawai pemerintah: Memicu penerimaan suap untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

  - Transparansi rendah: Aturan yang tidak jelas atau tidak diumumkan secara terbuka. 

 2. Variabel Lingkungan, Individu, dan Perusahaan (Neelankavil, 2002) 

- Lingkungan: Konsentrasi kekuasaan, ketimpangan ekonomi, dan kurangnya persaingan. 

- Individu: Keserakahan, tekanan finansial, dan moral rendah. 

- Perusahaan internasional: Ekspansi pasar melalui suap untuk memenangkan proyek. 

 3. Kompleksitas Proyek (Rahim, 2010) 

Proses konstruksi yang panjang dan melibatkan banyak pihak memudahkan korupsi di setiap tahap, seperti: 

- Tahap perencanaan: Mark-up anggaran. 

- Tahap tender: Kolusi antar kontraktor. 

- Tahap pelaksanaan: Penggunaan material substandar. 

 Dampak Korupsi pada Industri Konstruksi 

- Kerugian ekonomi: Biaya proyek membengkak hingga 20–30% (Kenny, 2009). 

- Risiko keselamatan: Bangunan tidak memenuhi standar akibat pengurangan material. 

- Reputasi industri: Malaysia kehilangan investasi asing senilai $2 miliar/tahun akibat ketidaktransparanan (Sohail & Cavill, 2006). 

 Solusi Pencegahan Korupsi 

1. Integrity Pact (IP): 

   - Kontrak anti-suap antara pemerintah dan kontraktor. 

   - Di Jerman, IP mengurangi kasus korupsi konstruksi hingga 40% (Transparency International, 2011). 

2. Whistleblower Protection Act: 

   - Melindungi pelapor korupsi, seperti di Malaysia sejak 2010. 

3. Transparansi Proyek: 

   - Publikasi dokumen tender secara daring, seperti diterapkan di Singapura. 

 Kritik dan Rekomendasi 

- Kekurangan penelitian: Paper ini hanya berbasis literatur, perlu studi lapangan untuk validasi. 

- Peran teknologi: Blockchain dan AI bisa menjadi solusi modern untuk memantau proyek. 

 Kesimpulan 

Korupsi dalam konstruksi dipicu oleh faktor sistemik dan individu, tetapi dapat dikurangi melalui transparansi, regulasi ketat, dan partisipasi masyarakat. Implementasi Integrity Pact dan perlindungan whistleblower adalah langkah awal yang krusial. 

Sumber :  Nordin, R. M., Takim, R., & Nawawi, A. H. (2011). Critical Factors Contributing to Corruption in Construction Industry. 2011 IEEE Symposium on Business, Engineering and Industrial Applications (ISBEIA). 

Selengkapnya
Mengungkap Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Faktor, Dampak, dan Solusi

Korupsi Konstruksi

Korupsi Menghancurkan Transportasi Jalan: Strategi, Dampak, dan Solusi di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Korupsi di Sektor Transportasi Jalan: Tantangan Besar Negara Berkembang

Korupsi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum—ia adalah penyakit sistemik yang melumpuhkan pembangunan. Dalam sektor transportasi jalan, khususnya di negara berkembang, korupsi menjadi penghambat besar bagi efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan sosial. Dokumen "Fighting Corruption in the Road Transport Sector: Lessons for Developing Countries" oleh Niklas Sieber yang diterbitkan oleh GIZ memberikan penjabaran mendalam tentang betapa masif dan merusaknya korupsi dalam proyek transportasi, serta strategi untuk mendeteksi dan mencegahnya.

Korupsi dan Dampaknya terhadap Ekonomi dan Sosial

World Bank menyebutkan korupsi sebagai salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Data menunjukkan bahwa korupsi bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi hingga 1% per tahun, dan merugikan negara sebesar USD 1 triliun per tahun hanya dari praktik suap. IMF juga mencatat penurunan investasi sebesar 5% di negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi.

Efek domino korupsi mencakup:

  • Penurunan pendapatan nasional
  • Distorsi keputusan pengeluaran publik
  • Kerusakan lingkungan
  • Menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan

Studi Kasus: Dampak Nyata Korupsi dalam Proyek Transportasi

1. Jerman – Tragedi Arsip Kota Köln

Proyek konstruksi jalur kereta bawah tanah menyebabkan runtuhnya gedung arsip kota, menewaskan dua orang dan menghancurkan dokumen bersejarah. Investigasi menemukan bahwa 80% baja penyangga tidak dipasang karena dijual sebagai besi tua untuk keuntungan pribadi.

2. Indonesia – Proyek Jalan Nasional

Penelitian oleh Kenny (2007) menyebutkan bahwa setiap USD 1 material konstruksi yang dicuri dapat menurunkan efisiensi proyek sebesar USD 3.41. Ini menunjukkan bahwa pencurian material lebih merusak daripada inflasi biaya kontrak.

3. Zimbabwe – Suap Polisi di Jalanan

Operator bus mengaku bahwa 25% dari pendapatan harian mereka dihabiskan untuk menyuap polisi. Hal ini menyebabkan kenaikan tarif, layanan yang menurun, dan beban tambahan pada masyarakat miskin.

Mengapa Transportasi Rentan terhadap Korupsi?

Beberapa faktor utama penyebab kerentanan adalah:

  • Anggaran besar (10–20% dari anggaran nasional)
  • Kompleksitas pengadaan barang dan jasa
  • Lemahnya kontrol administratif dan teknis
  • Intervensi politik dan praktik patronase

Korupsi muncul dalam berbagai bentuk:

  • Suap pada saat tender dan lelang
  • Manipulasi spesifikasi proyek
  • Sertifikasi palsu pada kualitas material
  • Pembengkakan biaya proyek hingga 20–30%
  • Penundaan kontrak lebih dari 7 bulan (indikator korupsi menurut World Bank)

Hubungan Langsung antara Korupsi dan Kemiskinan

Laporan dari UNCTAD dan Transparency International menunjukkan bahwa:

  • Masyarakat miskin membayar suap proporsional lebih besar dibandingkan orang kaya
  • Korupsi dalam pelayanan publik seperti SIM, sertifikasi kendaraan, dan izin trayek sangat memukul penduduk miskin
  • Studi di Afrika Barat menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi (termasuk suap) sebesar 10% bisa meningkatkan harga jual hasil tani hingga 13%

Upaya Deteksi: Tanda-Tanda Merah (Red Flags)

World Bank dan studi oleh Alexeeva dkk. mengidentifikasi beberapa indikator kuat terjadinya korupsi, seperti:

  • Perbedaan harga kontrak lebih dari 20% dibanding estimasi insinyur
  • Proyek hanya memiliki 1–2 peserta tender
  • Waktu penyelesaian proyek molor lebih dari 30%
  • Selisih harga pemenang tender dan peserta terdekat hanya 2%

Strategi Pencegahan Korupsi: Solusi dari Hulu ke Hilir

1. Reformasi Sektor Publik

  • Perencanaan transportasi partisipatif
  • Evaluasi ekonomi yang realistis
  • Pemisahan fungsi pengambil kebijakan dan pelaksana proyek

2. Keterlibatan Masyarakat Sipil

  • Penguatan whistleblower system
  • Transparansi anggaran dan tender melalui media daring
  • Pelibatan LSM dan komunitas dalam pengawasan proyek

3. Peran Sektor Swasta

  • Implementasi Integrity Pacts
  • Audit internal dan eksternal independen
  • Sertifikasi sistem manajemen integritas

4. Reformasi Internasional

  • Organisasi seperti GIZ, World Bank, dan USAID memberikan panduan dan alat seperti Anticorruption WORKS, pelatihan, dan asesmen risiko untuk proyek di negara mitra.

Studi Tambahan: Korupsi dalam Industri Truk di India

Transparency International India mencatat:

  • Setiap truk membayar suap tahunan sebesar INR 79.920 (±EUR 1.450)
  • Total suap nasional dari sektor ini mencapai lebih dari EUR 4 miliar
  • 60% pemberhentian di jalan adalah hasil pemerasan, yang menambah waktu tempuh hingga 11 jam per hari.

Kesimpulan: Korupsi Harus Diperangi secara Terstruktur

Korupsi dalam sektor transportasi jalan bukan hanya merugikan ekonomi, tapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat, merusak infrastruktur, dan memperburuk ketimpangan sosial. Strategi pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan sistemik, partisipatif, dan berbasis data. Reformasi kelembagaan, transparansi publik, dan keterlibatan komunitas adalah kunci untuk menciptakan sistem transportasi yang adil dan berkelanjutan di negara berkembang.

Sumber:
Sieber, N. (2011). Fighting Corruption in the Road Transport Sector: Lessons for Developing Countries. GIZ, Sustainable Urban Transport Technical Document #10.

Selengkapnya
Korupsi Menghancurkan Transportasi Jalan: Strategi, Dampak, dan Solusi di Negara Berkembang

Korupsi Konstruksi

E-Procurement dan Green Procurement: Kunci Sukses Supply Chain Berkelanjutan di Malaysia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


 Pendahuluan 

Dalam era digital, e-procurement (pengadaan elektronik) telah menjadi alat kritis untuk mencapai efisiensi operasional dan keberlanjutan lingkungan. Penelitian oleh Singh dan Chan (2022) mengungkap bagaimana adopsi e-procurement berdampak signifikan pada green procurement (pengadaan hijau) di perusahaan Malaysia yang bersertifikat ISO 14001. Studi ini tidak hanya menyoroti manfaat teknologi tetapi juga memberikan panduan bagi pelaku industri dan pembuat kebijakan untuk memperkuat praktik supply chain berkelanjutan. 

 E-Procurement dan Green Procurement: Apa Hubungannya? 

E-procurement mengacu pada penggunaan teknologi digital untuk proses pengadaan, seperti e-tendering, e-sourcing, dan e-ordering. Sementara itu, green procurement berfokus pada pembelian produk/jasa yang ramah lingkungan. Kombinasi keduanya menciptakan supply chain yang efisien dan berkelanjutan. 

 Temuan Utama Penelitian 

1. 86% peningkatan kinerja green procurement setelah adopsi e-procurement. 

2. E-sourcing dan e-ordering memiliki dampak paling signifikan (β = 0.881 dan 0.021). 

3. E-reverse auction dan e-tendering kurang berpengaruh, mungkin karena kompleksitas implementasi. 

 Studi Kasus: Implementasi di Perusahaan Malaysia 

Penelitian ini melibatkan 152 responden dari 55 perusahaan ISO 14001 di Johor, Malaysia. Hasilnya menunjukkan: 

- E-informing (mean = 4.443) dan e-tendering (mean = 4.306) paling banyak digunakan. 

- 86% varians green procurement dijelaskan oleh adopsi e-procurement (R² = 0.868). 

- Perusahaan yang menggunakan e-procurement melaporkan pengurangan biaya operasional hingga 42%. 

 Manfaat E-Procurement untuk Keberlanjutan 

1. Pengurangan Penggunaan Kertas: Proses digital mengurangi limbah kertas. 

2. Efisiensi Waktu dan Biaya: Transaksi lebih cepat, mengurangi emisi karbon dari logistik. 

3. Transparansi: Meminimalkan korupsi dan meningkatkan akuntabilitas. 

 Tantangan dan Rekomendasi 

 Kendala Implementasi 

- Kurangnya pelatihan bagi karyawan. 

- Resistensi budaya terhadap perubahan sistem manual ke digital. 

 Solusi 

- Pelatihan intensif untuk staf procurement. 

- Insentif pemerintah untuk adopsi teknologi hijau. 

 Kritik dan Analisis Tambahan 

Meski penelitian ini komprehensif, ada beberapa celah: 

1. Sampel terbatas pada perusahaan besar (250+ karyawan), sehingga kurang mewakili UKM. 

2. E-reverse auction dinilai kurang efektif, padahal di negara lain (seperti Yunani) terbukti sukses. 

Perbandingan dengan Penelitian Lain: 

- Walker & Brammer (2012) menemukan hubungan kuat antara e-procurement dan sustainability di sektor publik Eropa. 

- Ramkumar & Jenamani (2015) menekankan perlunya integrasi big data untuk optimasi green procurement. 

Kesimpulan 

Adopsi e-procurement adalah langkah strategis untuk mencapai green procurement dan kinerja supply chain berkelanjutan. Perusahaan Malaysia telah membuktikan bahwa teknologi ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 

Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya: 

- Eksplorasi dampak blockchain dan IoT pada green procurement. 

- Studi komparatif antara negara berkembang dan maju. 

Sumber :  Singh, P. K., & Chan, S. W. (2022). The Impact of Electronic Procurement Adoption on Green Procurement towards Sustainable Supply Chain Performance-Evidence from Malaysian ISO Organizations. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 8(2), 61. 

Selengkapnya
E-Procurement dan Green Procurement: Kunci Sukses Supply Chain Berkelanjutan di Malaysia

Korupsi Konstruksi

Korea Selatan Bangun Kota Cerdas untuk Ketahanan Energi dan Tata Kelola Modern

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar
Transformasi digital kota melalui pengembangan Smart City bukan sekadar tren teknologi, melainkan strategi negara. Dalam disertasi doktoral Yirang Lim berjudul Impacts of Smart City Development: Experience of South Korea dari Erasmus University Rotterdam, diuraikan secara empiris dampak pengembangan kota cerdas di Korea Selatan terhadap keberlanjutan perkotaan, transisi energi, dan perubahan tata kelola. Melalui empat studi utama, Lim menyusun indeks, membandingkan kota cerdas dan non-cerdas, serta mengevaluasi transisi energi dan dinamika tata kelola berdasarkan data nasional dan kota seperti Seoul, Sejong, dan Songdo.

Smart City dan Dimensi Dampaknya
Kota cerdas bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan keberlanjutan melalui pemanfaatan ICT, IoT, dan data real-time. Lim memetakan dampak pengembangan kota cerdas dalam lima dimensi utama:

  • Ekonomi: peningkatan efisiensi layanan publik dan pertumbuhan ekonomi lokal.
  • Lingkungan: transisi energi, pengurangan emisi CO2, dan efisiensi energi.
  • Sosial: partisipasi warga dan kesetaraan sosial.
  • Tata Kelola: transparansi, keterlibatan warga, dan reformasi kebijakan.
  • Teknologi: penggunaan infrastruktur digital untuk pelayanan pintar.

Studi Literatur dan 16 Dampak Utama
Lim mengidentifikasi 12 dampak positif dan 4 negatif dari 55 publikasi akademik.
Dampak positif: peningkatan efisiensi, keterlibatan warga, kualitas hidup, pelindungan lingkungan, inovasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Dampak negatif: polarisasi sosial, pelanggaran privasi, dan hilangnya kebebasan sipil.
Menariknya, sebagian besar dampak negatif ditemukan di negara menengah, sedangkan negara maju lebih menekankan sisi positif.

Smart City Impact Index dan Temuan Empiris
Lim menyusun Smart City Impact Index (SCII) untuk membandingkan 42 kota di Korea antara tahun 2008 dan 2018. Hasilnya:

  • Kota cerdas generasi kedua (post-2014) menunjukkan skor tertinggi dalam indeks dampak.
  • Kota non-cerdas konsisten mencetak skor terendah.
  • Terjadi kesenjangan signifikan antar kota, terutama dalam aspek sosial dan tata kelola.
  • Pengaruh positif ditemukan pada peningkatan partisipasi warga dan kepuasan pendapatan.
  • Namun, juga ditemukan penurunan pada persepsi transparansi dan privasi, terutama di kota berteknologi tinggi namun kurang partisipatif.

Transisi Energi dan Peran Kota Cerdas
Melalui Smart Energy Transition Index (SETI), Lim menunjukkan kontribusi kota cerdas pada transisi energi di Korea Selatan.

  • Kota cerdas generasi kedua menempati posisi teratas dalam kinerja transisi energi.
  • Faktor penting: populasi, kemandirian finansial, dan area urbanisasi.
  • Penggunaan energi terbarukan, pengelolaan energi digital, dan kebijakan lokal menjadi penggerak utama.
  • Sebaliknya, kota dengan infrastruktur pintar tapi tanpa perencanaan matang tetap mencetak skor rendah.

Tata Kelola Kolaboratif dan Perubahan Peran Pemerintah
Bab terakhir fokus pada transformasi model tata kelola:

  • Fase awal (2008–2013): model pasar dengan dominasi pemerintah.
  • Fase menengah (2014–2018): adopsi model multilevel dan kemitraan.
  • Fase lanjut (2019–2023): menuju tata kelola kolaboratif dengan pelibatan akademisi, sektor swasta, dan masyarakat.
    Kota seperti Seoul, Songdo, dan Sejong menunjukkan pola transisi dari top-down ke partisipatif. Namun, peran pemerintah tetap dominan, yang disebut Lim sebagai “kolaborasi yang diarahkan negara” (state-guided collaboration).

Studi Kasus dan Angka Kunci

  • 42 kota administratif terlibat dalam proyek smart city Korea.
  • Kota generasi dua memberikan layanan pintar di sektor kesehatan, pariwisata, dan administrasi publik.
  • Terdapat penurunan partisipasi warga berpendidikan rendah dalam smart city tertentu.
  • Transisi energi lebih efektif di kota yang menginovasikan kebijakan dan melibatkan warga.

Kritik dan Rekomendasi
Lim menyoroti perlunya:

  • Evaluasi lintas sektor agar pengembangan kota cerdas tidak hanya fokus pada teknologi, tapi juga pemberdayaan sosial.
  • Kebijakan nasional dan internasional yang mengatur standar kolaborasi dan partisipasi warga.
  • Model tata kelola dinamis, di mana kota bisa memilih pendekatan berdasarkan fase perkembangan.
  • Penguatan aspek privasi data dan perlindungan sipil.

Kesimpulan
Pengembangan kota cerdas di Korea Selatan bukan hanya perihal infrastruktur dan teknologi, melainkan soal transformasi sosial, tata kelola, dan lingkungan. Dengan menyusun dua indeks dan mengevaluasi lintas sektor, Lim menunjukkan bahwa keberhasilan kota cerdas terletak pada kombinasi antara inovasi teknologi dan inklusivitas kebijakan. Untuk negara berkembang, model Korea bisa menjadi acuan namun perlu disesuaikan dengan budaya lokal dan kapasitas institusional.

Sumber:
Lim, Yirang. Impacts of Smart City Development: Experience of South Korea. Erasmus University Rotterdam, 2021.

Selengkapnya
Korea Selatan Bangun Kota Cerdas untuk Ketahanan Energi dan Tata Kelola Modern

Kebijakan Infrastruktur Air

Denmark Kembangkan Prototipe Kebijakan Iklim Efektif dan Berkeadilan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan: Ambisi dan Konteks Global

Denmark telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 70% pada 2030 dibandingkan level 1990 dan net-zero emissions pada 2050. Di tengah krisis iklim dan tekanan ekonomi pasca-pandemi, negara ini tidak hanya menunjukkan komitmen, tetapi juga menawarkan cetak biru yang dapat diadopsi oleh negara lain. Kajian yang dilakukan oleh Nicoletta Batini, Ian Parry, dan Philippe Wingender dalam IMF Working Paper WP/20/235 mengulas kebijakan fiskal Denmark sebagai model prototipe kebijakan iklim nasional yang progresif dan adil.

Strategi Inti: Harga Karbon sebagai Pusat Kebijakan

Denmark memusatkan strateginya pada carbon pricing, termasuk:

  • Pengenaan pajak karbon domestik sebesar $100/ton CO₂ pada 2030.
  • Integrasi dengan sistem ETS (Emission Trading System) Uni Eropa.
  • Pemanfaatan penerimaan pajak karbon untuk mengurangi tarif pajak penghasilan sebesar 1% demi mengimbangi dampak ekonomi terhadap rumah tangga.

Penetapan harga karbon ini, meski signifikan, hanya mengurangi emisi sebesar 19% dari BAU (Business As Usual) pada 2030. Oleh karena itu, perlu penguatan dengan kebijakan tambahan berbasis sektor.

Kebijakan Penguat: Feebate dan Border Carbon Adjustment (BCA)

1. Feebate: Skema Insentif Netral Anggaran

Feebate diterapkan sebagai alternatif regulasi ketat, melalui sistem:

  • Biaya untuk produk/aktivitas beremisi tinggi, dan
  • Subsidi untuk yang beremisi rendah.

Contoh implementasi:

  • Transportasi: Subsidi hingga $14.000 untuk EV, dan pajak $7.500 untuk mobil berbahan bakar konvensional dengan emisi 145 g CO₂/km.
  • Sektor pertanian: Petani dibebani atau diberi insentif berdasarkan emisi CO₂-ekivalen per hektar dibanding rata-rata industri.

Feebate dipilih karena:

  • Lebih fleksibel dan cost-effective dibanding regulasi.
  • Tidak membebani APBN.
  • Dapat mengintegrasi langsung ke sistem pajak yang sudah ada (seperti pajak registrasi kendaraan).

2. BCA: Mengatasi Risiko Kompetisi dan Kebocoran Karbon

Border Carbon Adjustment adalah solusi untuk:

  • Melindungi industri nasional dari produk impor beremisi tinggi.
  • Mencegah carbon leakage (misalnya, 35% kebocoran karbon di Denmark akibat perdagangan terbuka).
  • Menyesuaikan harga karbon produk impor dengan emisi tertanamnya.

Potensi penerimaan dari BCA dapat digunakan untuk:

  • Menurunkan resistensi hukum internasional.
  • Mendukung negara berkembang melalui Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund).

Dampak Sosial dan Ekonomi: Analisis Keadilan Kebijakan

Beban Rumah Tangga:

Dengan pajak karbon $100/ton CO₂ pada 2030, beban pada konsumsi rumah tangga rata-rata hanya 1,8% dan dapat:

  • Dikompensasi penuh melalui penurunan tarif pajak penghasilan.
  • Memicu peningkatan jam kerja sebesar 0,05% dalam jangka panjang.

Distribusi Beban:

  • Rumah tangga berpendapatan rendah: Terpengaruh oleh kenaikan harga gas alam dan penurunan upah sektor ekspor.
  • Rumah tangga berpendapatan tinggi: Terkena dampak lebih besar dari konsumsi bahan bakar kendaraan pribadi.

Opsi Kompensasi:

  • Transfer langsung ke rumah tangga miskin menggunakan 13% dari penerimaan pajak karbon.
  • Reformasi tarif listrik agar lebih proporsional terhadap kontribusi energi terbarukan.

Studi Kasus: Dampak dan Capaian Sektoral

  • Transportasi: EV hanya 2% dari kendaraan pada 2019, tapi subsidi dan feebate membuatnya kompetitif. Target 100% penjualan kendaraan nol emisi pada 2030.
  • Energi: Pajak bahan bakar tinggi (gasoline $0.74/liter) belum mencerminkan semua biaya eksternal. Rencana peralihan ke pajak berbasis kilometer untuk mengatasi penurunan penerimaan dan kemacetan (yang merugikan ekonomi $3,1 miliar pada 2017).
  • Pertanian: Emisi dari ternak (terutama sapi perah dan potong) menjadi fokus. Feebate digunakan agar lebih diterima dibanding pajak langsung atas emisi.
  • Industri: Penguatan dengan feebate pada emisi per unit produksi, bukan hanya pengurangan emisi absolut.

Kritik dan Opini Tambahan: Apakah Denmark Bisa Jadi Teladan?

Denmark menunjukkan bahwa dekarbonisasi ambisius bisa dicapai tanpa mematikan ekonomi. Namun, ada tantangan:

  • Tingkat harga karbon yang tinggi ($200–250/ton CO₂) sulit ditiru negara berkembang.
  • Kebutuhan reformasi kelembagaan besar, termasuk data pertanian, sistem pelaporan emisi, dan pengukuran karbon impor.

Meski begitu, mekanisme seperti feebate dan BCA memberikan fleksibilitas tinggi, dan cocok diterapkan di negara dengan kapasitas fiskal menengah. Kuncinya adalah transparansi kebijakan, partisipasi publik, dan penggunaan ulang penerimaan yang adil.

Kesimpulan: Model yang Layak Dicontoh

Denmark berhasil menggabungkan:

  • Kebijakan fiskal (carbon pricing, feebate),
  • Reformasi sosial (kompensasi pajak, subsidi rumah tangga miskin),
  • Instrumen internasional (BCA),

menjadi strategi mitigasi iklim yang terintegrasi dan adil. Model ini bukan hanya cocok untuk negara maju, tetapi juga bisa diadaptasi secara bertahap oleh negara berkembang, khususnya dalam kerangka Paris Agreement dan SDGs.

Sumber : Batini, N., Parry, I., & Wingender, P. (2020). Climate Mitigation Policy in Denmark: A Prototype for Other Countries (IMF Working Paper No. WP/20/235). International Monetary Fund.

Selengkapnya
Denmark Kembangkan Prototipe Kebijakan Iklim Efektif dan Berkeadilan

Kebijakan Infrastruktur Air

Smart Regulation Dorong Reformasi Tata Kelola Maritim Berbasis Keberlanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar: Mengapa Regulasi Maritim Butuh Revolusi

Di tengah meningkatnya krisis iklim dan tekanan global untuk mencapai target SDGs, industri pelayaran laut memainkan peran besar dalam emisi karbon dan kerusakan lingkungan. Artikel “Smart regulations in maritime governance: Efficacy, gaps, and stakeholder perspectives” oleh Eunice O. Olaniyi dkk., yang diterbitkan di Marine Pollution Bulletin (2024), menyajikan evaluasi kritis terhadap efektivitas kebijakan IMO, serta menawarkan pendekatan “smart regulation” sebagai solusi berkelanjutan yang adaptif, efisien, dan adil bagi pelaku industri.

Smart Regulation: Paradigma Baru Tata Kelola Maritim

Smart regulation merujuk pada pendekatan regulasi berbasis data, teknologi, dan partisipasi multi-pemangku kepentingan. Enam prinsip utamanya meliputi:

  • Efektivitas dan efisiensi
  • Fleksibilitas implementasi dan transisi
  • Adaptasi terhadap perubahan
  • Keterlibatan pemangku kepentingan
  • Transparansi industri
  • Adopsi praktik terbaik

Dalam konteks pelayaran, pendekatan ini digunakan untuk mengurangi emisi, menangani limbah laut, dan meminimalkan polusi suara di pelabuhan dan ekosistem sekitar.

Studi Kasus & Angka-Angka dari Penelitian

Penelitian ini berbasis pada survei terhadap 104 pemangku kepentingan maritim dari 11 negara di Eropa dan 27 wawancara ahli di 6 negara, seperti Finlandia, Jerman, Estonia, dan Swedia. Beberapa temuan penting:

Survei:

  • 98% responden memahami regulasi emisi dan efisiensi, namun hanya 54% familiar dengan regulasi kebisingan.
  • 86,5% merasa puas terhadap kesiapan regulasi IMO, tetapi 87% menilai infrastruktur implementasi masih lemah.
  • 64% menilai regulasi yang ada belum cukup, dan 99% menuntut insentif, penguatan sanksi, dan kolaborasi informasi sebagai prioritas.
  • Mayoritas meyakini bahwa regulasi maritim saat ini akan memberi manfaat jangka panjang secara ekologis, sosial, dan ekonomi (91%).

Hasil Evaluasi Smart Regulation:

  • Efektivitas & efisiensi mendapat nilai persetujuan tertinggi (91,3%).
  • Kepercayaan terhadap fleksibilitas, transparansi, dan adaptasi juga tinggi (75–83%).
  • Rata-rata skor persepsi berada di angka 1,36, menunjukkan sentimen positif umum.

Gap dalam Implementasi: Suara dari Lapangan

Melalui wawancara mendalam, para ahli menyuarakan tantangan nyata seperti:

  • Kurangnya penegakan regulasi emisi jangka pendek, yang berdampak langsung pada efektivitas kebijakan.
  • Minimnya kebijakan soal cybersecurity, hak pekerja kapal, serta pengelolaan kapal otonom.
  • Kekhawatiran terhadap biaya penerapan teknologi baru, misalnya sistem pengolahan air ballast dan bahan bakar rendah sulfur.

Di sisi lain, muncul dorongan kuat untuk mendorong transformasi digital, sandbox regulasi, dan keterlibatan lintas sektor dalam pengembangan kebijakan yang lebih inklusif.

Kontribusi Strategis Smart Regulation

Smart regulation bukan hanya tentang efisiensi, melainkan juga peningkatan keamanan, daya saing industri, dan perlindungan ekologi. Beberapa kontribusi kuncinya antara lain:

  • Mengurangi beban kepatuhan dengan otomatisasi dan pemantauan berbasis data.
  • Memastikan keadilan antar pelaku industri melalui standar yang seragam.
  • Mendorong praktik hijau seperti bahan bakar ramah lingkungan dan teknologi navigasi otonom.

Rekomendasi Kebijakan dan Masa Depan Tata Kelola

Penulis menyarankan:

  • Pendekatan berbasis performa daripada pendekatan preskriptif.
  • Regulasi harus didesain adaptif, memungkinkan revisi cepat terhadap kondisi pasar dan teknologi.
  • Kolaborasi publik-swasta sebagai landasan untuk solusi praktis dan inklusif.
  • Peningkatan kapasitas untuk negara berkembang dan perusahaan kecil agar tidak tertinggal dalam penerapan regulasi.

Refleksi Akhir: Potensi Lintas Sektor

Studi ini menyatakan bahwa keberhasilan smart regulation dalam sektor maritim bisa dijadikan model untuk sektor industri lain seperti transportasi udara, energi, dan digitalisasi tata kelola perkotaan. Dengan menjunjung efisiensi, adaptasi, dan keterlibatan luas, pendekatan ini bisa menjadi kerangka tata kelola lintas sektor yang lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan.

Sumber : Olaniyi, E. O., Solarte-Vasquez, M. C., & Inkinen, T. (2024). Smart regulations in maritime governance: Efficacy, gaps, and stakeholder perspectives. Marine Pollution Bulletin, 202, 116341.

Selengkapnya
Smart Regulation Dorong Reformasi Tata Kelola Maritim Berbasis Keberlanjutan
« First Previous page 58 of 1.107 Next Last »