Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Demi mewujudkan komitmen mencapai net zero emission (netralitas karbon) di tahun 2060 atau lebih cepat, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan road map alias peta jalan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, komitmen ini akan didorong sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilence/LTS-LCCR).
"Roadmap ini juga mencakup upaya yang diperlukan dari sisi permintaan untuk mendukung transisi energi, seperti penggunaan kompor listrik, lampu LED dan gas kota," jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 diikuti dari keterangan resmi, Senin (1/10).
Arifin menjelaskan, selama periode tahun 2021 hingga 2025, dilakukan penerbitan dan implementasi regulasi antara lain terkait Undang-Undang tentang EBT, penghentian dini pembangkit berbasis batubara, perluasan Co-firing PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT.
Regulasi terkait PLTS Atap diterbitkan sebagai insentif bagi masyarakat yang memasang PLTS Atap sebagai energi bersih agar pengembangannya semakin masif. Selain itu, kebijakan pajak karbon (cap and tax) juga disiapkan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengubah prilaku aktifitas ekonomi agar dapat menurunkan emisi GRK.
Pajak karbon akan diterapkan secara terbatas untuk PLTU mulai April 2022. "Pada tahun 2025, pangsa energi terbarukan ditargetkan sebesar 23% dan didominasi oleh Solar PV," kata Arifin.
Dari tahun 2026 hingga 2030, tidak akan ada tambahan kapasitas PLTU karena kapasitas hanya dari yang sudah berkontrak atau sedang dibangun. Solar PV dan kendaraan listrik akan dikembangkan secara masif, ditargetkan untuk mendukung penyediaan 2 juta kendaraan roda empat dan 13 juta roda dua.
Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dapat dicapai dengan pengurangan emisi di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2 pada tahun 2030. "Kami akan memulai tahap pertama penghentian PLTU dan mengurangi penggunaan diesel mulai tahun 2031. Pembangkit energi surya, hydro, dan panas bumi akan mendominasi 57% energi terbarukan pada tahun 2035," ungkap Arifin.
Selanjutnya pada 2036-2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU termasuk subcritical, critical dan sebagian supercritical. Sedangkan porsi EBT akan meningkat menjadi 66% yang didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan bioenergi. Selain itu, dilakukan pengurangan penjualan kendaraan roda dua konvensional.
Dari 2041 hingga 2045, pembangkit arus laut skala besar dan pembangkit nuklir pertama mulai Commercial Operation Date (COD). Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 93% yang akan didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan bioenergi. Penjualan kendaraan roda empat konvensional juga akan berkurang.
Terakhir, selama 2051 hingga 2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU dan hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara besar-besaran. Energi terbarukan yang dikembangkan didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan angin.
"Kami berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional," pungkas Arifin.
Sumber Artikel: kontan.co.id
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Ketika dunia gegap gempita menyambut kendaraan listrik, khususnya mobil lsitri, ada salah satu sumber energi yang membayangi dan bisa saja menyalip di masa depan.
Sumber energi tersebut adalah hidrogen. Melansir AFP, hidrogen di masa depan bisa menjadi bahan bakar untuk kereta api, pesawat terbang, mobil, truk, atau bahkan untuk pabrik.
Pemanfaatan hidrogen sebagai bahan bakar dinilai ramah lingkungan karena sangat rendah emisi. Melansir AFP, berikut kegunaan hidrogen di masa depan.
Mobil dan Truk
Mobil listrik fuel cell hidrogen sudah ada di jalan. Pada akhir 2014, Toyota meluncurkan sedan Mirai, kendaraan listrik fuel cell hidrogen yang diproduksi secara massal pertama di dunia.
Pabrikan asal Korea Selatan, Hyundai, tak mau kalah dan meluncurkan SUV Nexo pada 2018.
Kendala utama dari mobil listrik fuel cell hidrogen adalah harganya yang tinggi. Di pasar Amerika Serikat (AS), Mirai misalnya, dibanderol dengan harga 50.000 dollar AS (Rp 726 juta).
Kendala lainnya adalah kurangnya stasiun pengisian ulang hidrogren. Untuk membuatnya pun, diperlukan modal yang besar.
Namun di satu sisi, beberapa produsen mobil dan produsen alat telah mengumumkan rencana berupa investasi berskala besar untuk mengembangkan kendaraan ini.
Salah satu segmen yang kemungkinan bisa dikembangkan adalah segmen kendaraan niaga untuk transportasi barang, yakni truk.
Di segmen ini, hidrogen dapat menggantikan mesin diesel berbahan bakar solar. Kecepatan pengisian bahan bakar merupakan salah satu kelebihan dari truk dengan hidrogen.
Hyundai telah meluncurkan prototipe truk dengan hidrogen. GM, Traton (Volkswagen), dan Toyota mempercepat pengembangan model mereka sendiri.
Perusahaan otomotif rintisan di AS, Nikola, membuat gebrakan berumur pendek dengan janjinya akan truk berbahan bakar hidrogen sebelum mengakui bahwa jalannya masih panjang.
Beberapa perusahaan mengusulkan bus yang menggunakan fuel cell hidrogen, tetapi sektor ini masih dalam tahap percobaan.
Prototipe Kereta Api
Kereta berbahan bakar hidrogen dianggap sebagai alternatif yang baik untuk kereta berbahan bakar diesel dan tidak dapat beroperasi dengan listrik.
Namun, segmen ini membutuhkan jaringan pengisian bahan bakar khusus.
Perusahaan asal Perancis, Alstom, telah menguji kereta semacam itu di Jerman sejak akhir 2018, dan kini mengaku siap untuk membangun sarana perkeretaapian.
Perusahaan perkeretaapiaan Perancis, yakni SNCF, dan empat wilayah Perancis diharapkan menandatangani kontrak untuk kereta semacam ini.
Kontrak tersebut bertujuan untuk meletakkan prototipe di rel pada 2023, diikuti oleh program percontohan pada 2024 hingga 2025.
Pesawat Terbang
Sektor transportasi udara melirik hidrogen guna untuk memangkas tingkat emisi polusi yang diproduksi hingga separuhnya pada 2050.
Ada dua opsi pengembangan hidrogen untuk pesawat. Opsi pertama adalah menggunakan hidrogen langsung sebagai bahan bakar untuk mesin jet.
Opsi ini cukup simpel karena mengatasi hambatan teknis yang serius dan tidak terlalu banyak memodifikasi desain pesawat.
Namun, opsi ini menghadapi kedala pada masalah penyimpanan bahan bakar. Pada suhu -253 derajat Celsius, hidrogen memakan ruang empat kali lebih banyak daripada bahan bakar minyak.
Opsi kedua adalah menggabungkan hidrogen dengan karbon dioksida untuk menghasilkan bahan bakar sintetis.
Bahan bakar sintetis ini dapat digunakan sendiri atau dicampur bahan bakar minyak tanpa modifikasi mesin besar-besaran.
Pabrikan pesawat asal Eropa, Airbus, telah menjadikan pesawat berbahan bakar hidrogen sebagai prioritas strategis mereka.
Perusahaan ini menargetkan tahun 2035 sebagai tahun untuk setidaknya satu dari tiga konsepnya mulai membuahkan hasil.
Kelompok riset kedirgantaraan Jerman DLR dan Boeing tertarik dengan konsep bahan bakar hibrida.
Industri Berat
Industri berat juga memiliki target iklim yang harus dipenuhi pada 2050. Dan hidrogen tampaknya memiliki keunggulan di industri semen, kimia, dan baja.
Menurut prospek Ekonomi Hidrogen yang diterbitkan oleh BloombergNEF, “hidrogen hijau” yang diproduksi dari air dan listrik berkelanjutan dapat berharga antara 0,80 dollar AS hingga 1,60 dollar AS per kilo pada 2050.
Dengan semakin murahnya harga “hidrogen hijau”, akan membuatnya kompetitif dengan gas alam di sebagian besar negara.
Hidrogen sudah banyak digunakan dalam proses pembuatan pupuk.
Perusahaan asal Perancis, Air Liquide, memperkirakan bahwa antara 2030 hingga 2040, lebih dari setengah penjualan hidrogennya akan disalurkan ke sektor industri.
Sedangkan 40 persen di antaranya akan disalurkan untuk transportasi dan 10 persen digunakan untuk beragam aktivitas.
Perusahaan raksasa yang memproduksi baja, ArcelorMittal, bertujuan untuk mengurangi emisi global hingga 30 persen dalam waktu kurang dari 10 tahun.
ArcelorMittal telah meluncurkan proyek dengan Air Liquide di sebuah pabrik di Dunkirk, Perancis, yang sudah menjadi pemimpin eksperimental di Eropa.
Di La Mede, Perancis, perusahaan energi Total dan Engie mengerjakan kilang bio bertenaga surya yang diproyeksikan menghasilkan lima ton “hidrogen hijau” dalam sehari.
Air Liquide memiliki proyek energi lain yang sedang dikembangkan di Normandia dan Kanada.
Sumber Artikel: kompas.com
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Mendorong target bauran energi baru terbarukan (EBT), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menjadi salah satu perhatian Pemerintah. Bahkan Kementerian ESDM memasang target kapasitas terpasang pembangkit tersebut pada angka 3,6 Giga Watt (GW) di tahun 2025.
Direktur Jenderal, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan tingginya minat masyarakat kepada PLTS Atap akan memberikan peluang terhadap menurunnya konsumsi sumber energi fosil, yaitu batubara. "Terjadi penghematan dari konsumsi batubara sekitar 3 juta ton (per tahun)," kata Dadan di Jakarta, Kamis (26/8).
Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy (IRENA), penggunaan energi bersih tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang dan penurunan potensi Gas Rumah Kaca sebesar 5,4 juta ton CO2. "Ini akan ada investasi tambahan sekitar Rp45-64 triliun," sambung Dadan.
Potensi bisnis lain yang bisa dihasilkan adalah mendorong terciptanya green product. "Di dalam sistem perdagangan internasional mulai ada mekanisme baru bahwa produk itu harus dibuat dengan proses-proses yang lebih bersih sehingga produknya dikategorikan green produk dan tidak terkena pajak tambahan," jelas Dadan.
Pemerintah menyadari pengembangan PLTS atap yang semakin masif dapat mengurangi pertumbuhan pendapatan PT PLN (Persero). "Yang pertama pasti terjadi pengurangan pendapatan. Ini tidak bisa dihindari. Kalau 3,6 GW ini terpasang, setahun berkurang sekitar Rp5,7 triliun," Dadan menegaskan.
Namun di sisi lain, hal tersebut juga dapat menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. "Potensi untuk menurukan BPP sebesar 12, 6 per kWh, mengurangi subsidi Rp0,9 triliun dalam satu tahun, termasuk kompensasi dari pemerintah Rp2,7 triliun," ungkap Dadan.
Manfaat bisnis lain yang mampu dibangun adalah ekspor - impor (eksim) listrik. " Pengadaan ekpor - impor diprediksi menghasilkan bisnis baru senilai Rp2 - 4 triliun," ungkap Dadan.
Sumber Artikel: republika.co.id
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Kementerian ESDM terus memacu pertumbuhan industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap agar makin berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan revisi Peraturan Menteri ESDM tentang pemanfaatan PLTS atap dapat menjawab kebutuhan industri penunjang PLTS atap.
"Kita ciptakan dulu pasarnya di dalam negeri, salah satunya dengan PLTS atap, kemudian nanti akan mendorong tumbuhnya industri di dalam negeri," katanya dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Jumat (27/8).
Dadan menjelaskan kecenderungan konsumen untuk mengonsumsi produk hijau yang dibuat dari proses ramah lingkungan mengharuskan pabrik-pabrik untuk menggunakan energi bersih. Menurutnya, urgensi revisi regulasi tersebut salah satunya untuk menjawab tantangan global terkait konsumsi produk hijau yang harus segera dipenuhi sektor industri secara cepat agar produk mereka tetap kompetitif dan bisa diterima konsumen.
"Kalau nanti berkembang ini bisa tumbuh industri PLTS di dalam negeri. Kita bisa menambah kapasitasnya dan punya industri dari sisi hulu untuk pembuatan sel yang sekarang masih impor," ujar Dadan.
Kehadiran industri pendukung PLTS atap akan memperbaiki keekonomian, sehingga membuat biaya pemasangan PLTS atap makin kompetitif. Dadan mengungkapkan pihaknya terus berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi mengenai kapasitas industri lokal PLTS atap yang dibangun di Indonesia.
Tujuan utama pemerintah adalah membuka seluas mungkin pasar PLTS atap di dalam negeri, sehingga bisa memacu pelaku usaha untuk membangun industri penunjang PLTS atap baik laminasi maupun sisi hulu pembuatan sel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga Juli 2021, jumlah pengguna PLTS atap mencapai 4.028 pelanggan dengan kapasitas 35,56 megawatt peak. Pada Januari 2018, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia hanya sebanyak 351 pelanggan dengan begitu angka pertumbuhan pelanggan PLTS atap mencapai 1.047 persen dalam kurun waktu tiga tahun.
"Angka sekarang yang kami punya ada 22 atau 26 pabrikan yang siap dengan kapasitas total sekitar 500 megawatt," ujar Dadan.
Sumber Artikel: republika.co.id
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Kementerian ESDM akan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 untuk menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Hal ini tersebut dilakukan karena pemanfaatan PLTS atap masih minim.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, dalam revisi ini pemerintah akan mengubah ketentuan ekspor listrik dari yang saat ini berlaku 65 persen menjadi 100 persen. "Angka 65 persen ini dianggap belum menarik, kenapa dianggap belum menarik, selama 3,5 tahun setelah dimulai itu baru 35 MW," ujar Dadan dalam konferensi pers, Jumat (27/8).
Dalam Pasal 6 Ayat 1 Permen ESDM 49 Tahun 2018 dijelaskan, energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor impor dikali 65 persen. Kemudian, di Ayat 2 disebutkan, perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan kWh ekspor.
Di Ayat 3, dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi yang diimpor pada bulan berjalan, selisih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan bulan berikutnya.
Selanjutnya, di Ayat 4 dijelaskan, selisih lebih yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud Ayat 3 diakumulasikan paling lama 3 bulan untuk perhitungan periode tagihan listrik bulan Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, atau Oktober sampai dengan Desember.
Pasal 6 Ayat 5 menjelaskan, dalam hal akumulasi selisih lebih sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 masih tersisa setelah perhitungan periode tagihan listrik bulan Maret, Juni, September dan Desember untuk tahun berjalan, selisih lebih dimaksud akan dinihilkan dan perhitungan lebih dimulai kembali pada periode tagihan listrik April, Juli, dan Oktober tahun berjalan atau bulan Januari tahun berikutnya.
Dadan mengatakan, dalam revisi aturan yang baru kelebihan akumulasi selisih tagihan yang akan dinihilkan diperpanjang dari semula 3 bulan menjadi 6 bulan. "Jadi tidak bisa, misalkan, kita nabung, kemudian dipakai kita tahun depan itu tidak bisa, pasti akan di-nol-kan. Sistemnya akan meng-nol-kan, ini untuk memastikan terjadi kepastian di dalam penyediaan listrik baik oleh konsumen maupun oleh PLN," katanya.
Selanjutnya jangka waktu permohonan PLTS atap akan dipersingkat dari semula 15 hari menjadi 12 hari untuk yang dengan perubahan perjanjian jual beli listrik (PJBL). Lalu, 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL. "Mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi," tambah Dadan.
Sumber Artikel: republika.co.id
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik. Strategi pengembangan EBT pun perlu diatur ulang agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan, pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil. Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah.
"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujarnya, Jumat (24/9).
Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta sah saja dilakukan, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku.
Sayangnya, kata dia, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas, kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.
Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.
Karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.
Padahal, kata Mukhtasor, PLN sedang dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari permintaan baru demi menyerap listrik.
Daya mampu listrik PLN tercatat mencapai 57 gigawatt (GW) dengan daya mampu 39 GW. Itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.
"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.
Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin rumit ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang berlebih.
Sumber Artikel: republika.co.id