Dana Desa dan Pembangunan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Peta Ada Anggaran
Dalam sistem pemerintahan desa di Indonesia, alokasi Dana Desa (ADD) memegang peran krusial untuk pembangunan lokal. Namun, apa jadinya jika dasar perhitungannya — yaitu luas wilayah desa — masih kabur? Penelitian Febi Novianti dan Heri Sutanta dari UGM ini membongkar realitas itu di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, di mana ketidakpastian batas desa berakibat langsung pada ketidakadilan distribusi dana.
Di tengah upaya nasional menerapkan Kebijakan Satu Peta (KSP), kasus Melawi memperlihatkan betapa urgennya penyelesaian batas administratif untuk mendukung pemerataan pembangunan.
Latar Belakang: Mengapa Batas Desa Penting dalam Dana Desa?
Menurut PMK No. 222/PMK.07/2020, salah satu komponen alokasi ADD adalah alokasi formula — di mana luas wilayah desa menjadi salah satu variabel kunci. Semakin luas desa, semakin besar alokasinya.
Namun, di Melawi:
Tiga instansi berbeda (RBI, DPUPR, BPS) menggunakan peta batas desa berbeda.
Tidak ada satu pun peta batas desa yang disepakati definitif.
Praktik ini berpotensi menimbulkan bias dalam pembagian dana desa.
Kondisi ini membuka risiko besar:
Desa bisa mendapatkan anggaran terlalu besar atau terlalu kecil hanya karena perbedaan peta.
Metodologi Penelitian: Menggabungkan Peta dan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode:
Overlay peta batas desa dari RBI, DPUPR, dan BPS.
Perhitungan luas wilayah menggunakan ArcGIS.
Perhitungan perubahan alokasi dana desa berbasis formula resmi Kementerian Keuangan.
Sampel: 82 desa dari 5 kecamatan yang berbatasan langsung dengan provinsi lain di Melawi.
Data yang dipakai:
Batas desa (3 sumber)
Luas desa dari DPMD
Data jumlah penduduk, penduduk miskin, dan indeks kesulitan geografis.
Hasil Penelitian: Fakta-Fakta Mengejutkan
📈 Perbedaan Segmen Batas
218 segmen identik di ketiga peta.
131 segmen menunjukkan ketidaksesuaian batas antar instansi.
Faktor penyebab utama: skala peta yang berbeda dan tujuan pembuatan peta yang beragam (peta sensus vs peta administratif).
📈 Perubahan Luas Wilayah Desa
Semua desa mengalami perubahan luas dibanding data DPMD.
Desa Balai Agas mengalami perubahan paling ekstrem:
Luas data RBI: 34.900,9 ha.
Luas data DPMD: hanya 1.725,21 ha.
Perbedaan: lebih dari 1.700%!
Distribusi perubahan:
100% perubahan: 10-12 desa tergantung peta.
20–80% perubahan: sekitar 50% desa.
📈 Dampak terhadap Alokasi Dana Desa
Semua desa mengalami perubahan alokasi formula.
7 desa mengalami perubahan nilai ADD di atas Rp 100 juta.
Sebagian besar perubahan ADD memang <10%, namun bagi desa kecil, perubahan ini tetap signifikan dalam membiayai infrastruktur dasar seperti:
Jalan desa
Jaringan air bersih
Bangunan pendidikan PAUD.
Analisis Tambahan: Implikasi Nyata di Lapangan
📌 Studi Kasus: Desa Balai Agas
Dengan perubahan luas hampir 2.000%, potensi kehilangan atau kelebihan ADD di Balai Agas bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ini menunjukkan betapa rentannya desa terhadap ketidakakuratan data spasial.
📌 Tren Nasional: Penerapan Kebijakan Satu Peta
Kebijakan Satu Peta (KSP) bertujuan mengintegrasikan seluruh data geospasial menjadi satu referensi nasional. Namun, tantangan di lapangan:
Rendahnya kapasitas teknis daerah.
Konflik klaim batas antar desa.
Ketidakselarasan antar instansi pemerintah.
Tanpa batas desa definitif, pemerataan pembangunan desa menjadi utopia belaka.
Kritik terhadap Penelitian
❗ Kelemahan:
Penelitian hanya fokus pada aspek spasial dan ekonomi, tidak membahas aspek sosial (seperti konflik antar masyarakat desa).
Tidak melibatkan verifikasi lapangan untuk segmen batas yang dipertentangkan.
💡 Saran:
Penelitian lanjutan perlu mengintegrasikan pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat desa dalam proses penetapan batas.
Implementasi sistem boundary dispute resolution berbasis data spasial perlu dikembangkan di level kabupaten.
Dampak Praktis: Mengapa Ini Penting?
Ketidakpastian batas desa → ketidakadilan fiskal → ketimpangan pembangunan.
Risiko konflik antar desa semakin besar jika pembangunan melintasi batas yang tidak disepakati.
Potensi penyalahgunaan dana desa meningkat karena perbedaan luas wilayah dimanfaatkan untuk manipulasi anggaran.
Solusi?
Segera menuntaskan penetapan batas definitif.
Mendorong sinkronisasi data spasial lintas instansi di daerah.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa batas desa bukan hanya soal administrasi, tetapi soal keadilan ekonomi. Ketidakakuratan batas berimbas pada distribusi dana yang timpang, menciptakan potensi konflik, dan menghambat pembangunan.
Di era digital, akurasi spasial menjadi landasan utama keadilan fiskal.
Tanpa batas yang jelas, mimpi pemerataan pembangunan desa hanya akan menjadi slogan kosong.
Sumber
Novianti, F., & Sutanta, H. (2022). Pengaruh Perubahan Batas Desa Terhadap Alokasi Formula Dana Desa di Kabupaten Melawi. Geoid, 18(1), 69–81.
Peristiwa Sejarah Nasional
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan
Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta antara tahun 1946 hingga 1949 menjadi peristiwa strategis yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa. Dalam skripsinya, Joko Winarto (2009) mengangkat bagaimana perubahan tersebut tidak hanya berdampak pada aspek politik, tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menambahkan analisis tambahan, mengaitkan dengan tren sejarah modern, serta menawarkan interpretasi kritis untuk memperkaya pemahaman.
Latar Belakang Sejarah: Urgensi Perpindahan Ibukota
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, situasi keamanan di Jakarta memburuk drastis akibat agresi tentara sekutu dan Belanda (NICA). Serangan teror yang meningkat terhadap pemimpin Republik membuat Jakarta tidak lagi aman untuk menjalankan pemerintahan. Karena itu, pada 4 Januari 1946, Ibukota dipindahkan ke Yogyakarta — suatu keputusan yang terbukti krusial dalam menjaga kelangsungan Republik.
Studi Kasus:
Pada Desember 1945, terjadi upaya pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Insiden di Senen dan Kwitang Jakarta memperlihatkan ancaman nyata terhadap keamanan elite Republik.
Mengapa Yogyakarta?
Menurut Joko Winarto, ada beberapa alasan strategis:
Dukungan Sultan HB IX: Komitmen politik Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII untuk mendukung Republik menjadi faktor utama.
Letak Geografis: Yogyakarta berada di tengah Pulau Jawa, memudahkan akses ke berbagai wilayah dan relatif terlindung dari ancaman militer asing.
Kondisi Sosial-Politik: Tidak adanya revolusi sosial seperti di daerah lain menjadikan Yogyakarta stabil.
Ketersediaan Infrastruktur: Yogyakarta memiliki sistem birokrasi yang sudah terorganisir, serta markas besar militer di bawah Jenderal Sudirman.
Data Tambahan:
Penduduk Yogyakarta melonjak dari 170.000 jiwa menjadi 600.000 jiwa pada masa ini, akibat eksodus warga dan pemerintahan.
Sistem Pemerintahan di Yogyakarta
Selama periode 1946–1949, sistem pemerintahan di Yogyakarta menggabungkan unsur tradisional kerajaan dan struktur republik modern. Sultan HB IX dan Paku Alam VIII bertindak sebagai kepala daerah dengan dukungan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah).
Unsur Kritis:
Pemerintahan ini mencerminkan bentuk negara hybrid, yang menggabungkan monarki dan republik, sebuah model yang jarang ditemui dalam sejarah negara modern.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak Sosial:
Lonjakan penduduk memicu krisis perumahan: satu rumah bahkan dihuni lebih dari 10 keluarga.
Munculnya “kampung-kampung darurat” dan kelangkaan pangan.
Dampak Ekonomi:
Blokade Ekonomi Belanda menyebabkan inflasi parah.
Pemerintah menerbitkan ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang.
Didirikannya Bank Negara Indonesia pada 1 November 1946 sebagai upaya stabilisasi keuangan.
Studi Banding:
Jika dibandingkan dengan Phnom Penh saat pengungsian masa Perang Saudara Kamboja (1975), kondisi Yogyakarta menunjukkan adaptasi lebih cepat terhadap tekanan eksternal.
Serangan Belanda dan Strategi Bertahan
Belanda meluncurkan Agresi Militer II pada Desember 1948, menyerang Yogyakarta sebagai Ibukota RI. Namun, melalui strategi gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman, serta diplomasi intensif (misalnya, Perjanjian Roem-Roijen), Indonesia mampu menjaga eksistensinya di kancah internasional.
Angka Penting:
Durasi Agresi II: 19 Desember 1948 – 5 Januari 1949.
Jumlah korban sipil di Yogyakarta akibat agresi ini mencapai ribuan.
Analisis Tambahan: Relevansi Sejarah dalam Konteks Modern
Kondisi Yogyakarta 1946–1949 memperlihatkan pelajaran penting:
Manajemen Krisis Pemerintahan: Bagaimana pemerintahan bisa berpindah tanpa kehilangan legitimasi.
Kekuatan Simbolik Kota: Seperti Yogyakarta yang menjadi simbol perjuangan nasional, di era sekarang, kota-kota cadangan seperti Bandung atau Palangkaraya juga sering disebut sebagai alternatif pusat pemerintahan darurat.
Kritik dan Evaluasi
Walaupun skripsi ini cukup sistematis, beberapa kritik yang dapat diajukan:
Kurang membahas perspektif masyarakat akar rumput: Fokus lebih banyak pada elite politik.
Minim analisis perbandingan dengan daerah lain: Seperti Aceh atau Surabaya yang mengalami revolusi sosial lebih keras.
Keterbatasan Sumber Primer: Reliansi besar pada literatur sekunder mengurangi kekayaan sudut pandang.
Opini Tambahan:
Seandainya skripsi ini lebih mengangkat kisah para pengungsi atau tokoh lokal non-elit di Yogyakarta, narasinya akan terasa lebih hidup dan berimbang.
Kesimpulan
Perpindahan Ibukota ke Yogyakarta menjadi bukti ketahanan Republik muda dalam menghadapi situasi krisis. Dukungan sosiopolitik lokal, kombinasi kekuatan diplomasi dan militer, serta inovasi ekonomi seperti penerbitan ORI menjadi faktor vital dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia.
Relevansi Saat Ini:
Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempersiapkan perpindahan Ibukota ke Nusantara (IKN) di Kalimantan. Belajar dari Yogyakarta 1946, kunci suksesnya adalah mendapatkan dukungan lokal, menjaga keamanan nasional, dan membangun infrastruktur pemerintahan yang fleksibel.
Sumber
Winarto, Joko. (2009). Kondisi Yogyakarta Saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta Tahun 1946–1949. Universitas Negeri Semarang.
Mitigasi Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Menjaga Keselamatan di Negeri Seribu Lereng
Indonesia, negeri yang dikenal dengan keindahan alamnya, juga menyimpan ancaman serius di balik topografinya: bencana tanah longsor. Fenomena ini bukan hanya tentang tanah yang bergerak, melainkan tentang risiko kehilangan jiwa, kerugian ekonomi, hingga kerusakan ekosistem.
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, terutama akibat perubahan iklim dan penggunaan lahan yang tidak terkendali, riset dari Hamida dan Widyasamratri menjadi krusial. Mereka menekankan pentingnya pemetaan risiko longsor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendukung upaya mitigasi bencana yang lebih presisi dan efisien.
Mengapa Longsor Menjadi Masalah Serius di Indonesia?
Menurut data DIBI-BNPB (2005-2015), 78% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, termasuk longsor. Faktor penyebab longsor antara lain:
Curah hujan tinggi
Lereng terjal
Jenis tanah yang tidak stabil
Penggundulan hutan
Penggunaan lahan yang tidak terkontrol
Ironisnya, kebutuhan lahan permukiman dan ekonomi terus memaksa manusia tinggal di kawasan rawan, memperparah tingkat kerentanan.
Metode: Menggabungkan Data Geospasial untuk Pemetaan Risiko
Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan:
Analisis Ancaman (Hazard): Mengkaji parameter geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan.
Analisis Kerentanan (Vulnerability): Melihat aspek sosial-ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan.
Analisis Kapasitas (Capacity): Mengukur kesiapan masyarakat dan fasilitas dalam menghadapi bencana.
Semua data diolah menggunakan SIG melalui teknik overlay untuk menghasilkan peta risiko.
Hasil Utama: Fakta-Fakta Penting dari Kajian
📈 Pemetaan Risiko Menghasilkan Informasi Vital:
Zona risiko tinggi, sedang, dan rendah dipetakan secara spasial.
Risiko bervariasi antar komunitas, bahkan dalam satu kawasan yang sama.
📈 Studi Kasus yang Diperkuat Data:
Kota Semarang:
8 kelurahan risiko rendah, 10 kelurahan risiko sedang, 15 kelurahan risiko tinggi.
Mitigasi berbasis peta SIG membantu mempercepat respons bencana.
Desa Sriharjo, Bantul:
119 rumah di zona merah (tinggi), 136 rumah di zona kuning (sedang).
Solusi: Relokasi, penguatan lereng, dan jalur evakuasi.
Kecamatan Sukasada, Buleleng:
9.203 hektar area berisiko.
Strategi: Kontrol penggunaan lahan dan sosialisasi mitigasi berbasis komunitas.
Analisis Tambahan: Studi Global dan Tren Mitigasi
Di Jepang, teknologi serupa (GIS + early warning system) telah mengurangi korban longsor hingga 40% selama dekade terakhir (JICA, 2020).
Tren global juga menunjukkan bahwa integrasi remote sensing, big data, dan machine learning dalam SIG makin berkembang, menghasilkan prediksi risiko bencana yang lebih akurat dan real-time.
Kritik dan Refleksi
❗ Kelemahan Penelitian:
Kurangnya data real-time (misalnya data curah hujan harian) yang bisa meningkatkan akurasi prediksi.
Studi fokus pada level kawasan, bukan individu keluarga.
💡 Peluang Pengembangan:
Integrasi dengan Internet of Things (IoT) untuk monitoring lereng berbasis sensor.
Pendidikan kebencanaan berbasis komunitas untuk memperkuat kapasitas sosial.
Implikasi Praktis: Mengapa Ini Penting untuk Kita Semua?
Mitigasi berbasis SIG bukan hanya untuk pemerintah. Komunitas lokal, pengembang perumahan, hingga investor properti perlu memahami risiko spasial sebelum merencanakan pembangunan.
Contoh nyata: Pembangunan proyek perumahan di kawasan Puncak, Bogor, yang mengabaikan peta risiko tanah longsor akhirnya berujung pada tragedi longsor besar tahun 2017.
Kesimpulan: Menuju Mitigasi Bencana Berbasis Data
Penelitian ini menegaskan bahwa memahami risiko bencana bukan sekadar mengetahui di mana ancaman berada, tapi mengenali siapa yang paling rentan dan seberapa siap mereka menghadapinya.
Dengan bantuan SIG, Indonesia bisa melangkah ke arah mitigasi yang lebih proaktif, lebih akurat, dan lebih berbasis komunitas. Karena di negeri dengan ribuan lereng, peta risiko bukan lagi pilihan—tetapi kebutuhan untuk bertahan hidup.
Sumber
Hamida, F. N., & Widyasamratri, H. (2019). Risiko Kawasan Longsor dalam Upaya Mitigasi Bencana Menggunakan Sistem Informasi Geografis. PONDASI, Vol 24, No 1.
Festival Seni Nusantara
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Seni Bukan Hanya Estetika, tapi Penanda Sejarah
Di tengah riuh rendah polemik politik mengenai keistimewaan Yogyakarta, lahirlah sebuah peristiwa budaya yang sarat makna: Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Acara ini bukan sekadar pameran estetika, melainkan sebuah deklarasi sikap melalui seni rupa tentang posisi strategis Yogyakarta dalam sejarah bangsa.
Hagung Kuntjara dalam artikelnya membedah festival ini bukan hanya dari aspek artistik, tetapi juga dari dimensi historis, politis, dan sosiokultural, mengajak pembaca melihat bagaimana seni menjadi bahasa perlawanan terhadap lupa kolektif bangsa.
Latar Belakang: "Perang Melawan Lupa" dan Krisis Ingatan Sejarah
Festival ini lahir di tengah memanasnya perdebatan mengenai apakah Sultan otomatis menjadi Gubernur atau harus melalui pemilihan umum. Di balik wacana tersebut, mengendap sindrom nasional: cepat lupa sejarah.
Menurut Hagung, bangsa ini mengalami akselerasi teknologi tanpa pondasi budaya yang kuat. Akibatnya, banyak nilai sejarah yang tercerabut. Festival ini hadir sebagai "Titi Pranoto Mongso"—penanda waktu—agar bangsa tak kehilangan akarnya.
Metodologi Kritik: Identifikasi, Analisis, Interpretasi, dan Evaluasi
Hagung Kuntjara menggunakan empat tahap fundamental dalam menyusun kritik seni:
Identifikasi: Mengamati langsung pameran, mencatat gagasan, suasana, hingga dialog dengan seniman.
Analisis: Meneliti alur pameran, partisipasi seniman, teknik karya, dan interaksi pengunjung.
Interpretasi: Membaca festival sebagai "penanda" sejarah 1 Abad HB IX untuk Republik Indonesia.
Evaluasi: Menarik pelajaran tentang pentingnya ingatan sejarah lewat seni.
Metodologi ini membuat kritik Hagung terasa hidup, reflektif, dan kaya sudut pandang.
Isi dan Sorotan Festival: Ketika Seni Berbicara Lebih Lantang daripada Orasi
🎨 Ragam Karya, Ragam Ekspresi
Hampir 100 perupa berpartisipasi.
Media beragam: batik, wayang, lukisan, patung, instalasi, video art.
Gaya bebas dari konvensional, absurd, hingga modern-konseptual.
Karya-karya tersebut bukan hanya memperindah ruang pamer, tetapi membentuk narasi kolektif tentang cinta, penghormatan, dan keprihatinan terhadap Yogyakarta dan HB IX.
🎨 Studi Kasus Karya Penting
"Kawulo Gonjang-Ganjing di Plengkung Gading" - Joko Pekik
Melukiskan ribuan rakyat berduka mengiringi jenazah HB IX, mengabadikan rasa kehilangan dalam warna-warna tanah yang membisu.
"Air Susu untuk Republik" - Ardian Kresna
Bayi menyusu ke simbol kerajaan: metafora tentang Republik yang berutang besar pada Yogyakarta.
"Republik of Lost & Found" - Eko Nugroho
Kritik satir tentang bangsa yang lupa asal-usulnya, divisualkan melalui sosok manusia berhelm celeng.
"Tetangga yang Berisik" - Sigit Raharjo
Menggambarkan ketidakpedulian rakyat Jogja terhadap riuh politik nasional lewat visual satire.
"Jogya International" - Dunadi
Sosok bertopeng Spiderman di atas bola dunia: Jogja dengan kekuatan lokalnya menembus dunia.
Interpretasi Kritis: Festival Sebagai Kritik Sosial Kultural
Melalui beragam ekspresi, festival ini menyuarakan satu pesan:
👉 "Yogyakarta adalah tiang kokoh Republik ini, dan keistimewaannya bukan hadiah, melainkan hasil pengorbanan sejarah."
Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya bersifat kontemplatif, tetapi bersifat politis dan edukatif, mengajak publik merenungkan kembali arti nasionalisme, sejarah, dan identitas lokal di era globalisasi.
Nilai Tambah: Relevansi dan Perbandingan
📌 Relevansi Hari Ini
Di tengah euforia Pilkada, otonomi daerah, dan debat tentang otonomi khusus, festival ini masih sangat relevan. Ia mengingatkan kita bahwa kebijakan harus berpijak pada penghormatan terhadap sejarah dan budaya lokal, bukan sekadar agenda politik pragmatis.
📌 Perbandingan dengan Peristiwa Serupa
Festival ini dapat dibandingkan dengan Documenta di Kassel (Jerman) yang juga menggunakan seni sebagai kritik sosial-politik. Namun, yang unik dari "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" adalah muatan lokal yang sangat kuat, tanpa kehilangan daya universalnya.
Kritik terhadap Penyelenggaraan
❗ Kelemahan:
Tidak semua karya memiliki kekuatan kritis yang seimbang; ada beberapa karya yang cenderung hanya "ikut meramaikan."
Kurangnya dokumentasi digital profesional membuat festival ini kurang terekspos di ranah internasional.
💡 Saran:
Perlu ada arsip digitalisasi karya dan publikasi internasional untuk memperkuat diplomasi budaya Indonesia.
Kesimpulan: Seni Sebagai Pilar Memori Kolektif
Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" berhasil membuktikan bahwa seni bisa menjadi alat diplomasi budaya, kritik sosial, dan sarana pendidikan sejarah. Kritik Hagung Kuntjara membawa pembaca untuk tidak sekadar mengapresiasi estetika, melainkan menyelami denyut sejarah, politik, dan jati diri bangsa melalui karya seni.
Seni, dalam konteks ini, bukan hanya cermin masyarakat—tetapi juga penanda, pengingat, sekaligus peringatan.
Sumber
Kuntjara, H. (2013). Kritik Seni dengan Kasus Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". HUMANIORA Vol.4 No.2 Oktober 2013: 755–762.
Link dokumen sumber: (file internal)
Inovasi Pemetaan Tanah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Peta, Ada Risiko Distorsi
Dalam dunia pertanahan, ketelitian adalah segalanya. Satu centimeter kesalahan dalam peta bisa berarti sengketa puluhan juta rupiah di pengadilan. Maka tak mengherankan, pemetaan bidang tanah harus dilakukan dengan presisi tinggi, terutama ketika data spasial menjadi basis utama untuk pendaftaran hak milik.
Namun, di tengah keterbatasan biaya dan perangkat, penggunaan citra satelit seperti Quickbird dan GPS handheld menjadi pilihan populer. Inilah yang disoroti dalam penelitian penting oleh Febrina Aji Ratnawati et al.: bagaimana distorsi bisa muncul dalam pembuatan peta pendaftaran, dan seberapa besar risiko kesalahan itu?
Latar Belakang dan Urgensi Penelitian
Pendaftaran tanah di Indonesia diatur untuk menjamin kepastian hukum atas hak-hak masyarakat. Hal ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 24 Tahun 1997. Sayangnya, banyak bidang tanah masih belum terdaftar, sementara titik-titik kontrol dasar untuk pengukuran banyak yang belum tersedia.
Dalam kondisi ini, penggunaan citra Quickbird dan GPS handheld dianggap sebagai jalan pintas murah untuk mempercepat pendaftaran. Tapi, apakah metode ini cukup akurat?
Penelitian ini berupaya menjawabnya dengan melakukan analisis distorsi di Desa Mantingan, Jepara, Jawa Tengah, menggunakan data 50 bidang tanah sebagai sampel.
Metodologi: Dari Citra ke Peta, Lintasan Risiko Distorsi
Penelitian ini memanfaatkan:
Citra Quickbird tahun 2003 dengan skala 1:2.500
Peta pendaftaran resmi desa
Software Global Mapper untuk pengolahan citra
Autocad Map 2009 untuk digitalisasi batas bidang
Transformasi Helmert untuk menghitung translasi, rotasi, dan skala
Langkah utama:
Mengubah citra Quickbird dari format .sid menjadi .tiff.
Mengoverlay citra dengan peta pendaftaran.
Menghitung perubahan luas bidang tanah dan parameter distorsi.
Hasil: Seberapa Besar Distorsinya?
📈 Selisih Luas Bidang Tanah
Rata-rata selisih luas: hanya -0,00692 m².
Selisih terbesar: pada NIB 01051, yaitu -0,3864 m².
Selisih terkecil: pada beberapa NIB, selisihnya 0 m².
Artinya? Secara umum perubahan luas sangat kecil, namun untuk keperluan hukum, bahkan perbedaan sekecil ini tetap bisa menjadi masalah.
📈 Translasi dan Rotasi Bidang Tanah
Dari 50 sampel, hanya 9 bidang (18%) yang mengalami translasi kecil.
Rotasi terbesar: pada NIB 01783, mencapai -16° 52' 57''.
Rotasi terkecil: pada NIB 01840, hanya 0° 0' 0,013''.
Kesalahan arah utara di lapangan terbukti menjadi penyumbang terbesar rotasi yang berlebihan.
📈 Faktor Skala
Rata-rata faktor skala: 1,00002, sangat mendekati 1.
Faktor skala terbesar: 1,00064 pada NIB 00816.
Faktor skala terkecil: 0,99993 pada NIB 01844.
Secara umum, tidak terjadi perubahan ukuran yang drastis dalam bentuk bidang.
Analisis Tambahan: Studi Kasus dan Tren Industri
🧩 Kasus Nyata: Akurasi Citra Quickbird
Sebuah studi di Bandung oleh Iskandar (2008) menunjukkan bahwa penggunaan Quickbird untuk pemetaan bidang tanah bisa menghasilkan akurasi horizontal sekitar ±1–2 meter. Untuk sertifikasi tanah, ini sudah masuk toleransi, namun untuk batas hak milik yang dipersengketakan, bisa menjadi persoalan besar.
🧩 Tren Terkini: Pergeseran ke UAV (Drone)
Saat ini, tren pemetaan tanah mulai beralih ke drone dengan sensor LIDAR atau fotogrametri drone, yang menghasilkan akurasi lebih tinggi (hingga ±5 cm). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Quickbird masih relevan, metode berbasis UAV mulai menggeser posisinya.
Kritik terhadap Penelitian
❗ Kelemahan:
Sampel hanya 50 bidang di satu desa: hasil mungkin tidak bisa digeneralisasikan ke seluruh Indonesia.
Tidak membahas efek deformasi akibat karakteristik citra Quickbird itu sendiri (seperti sudut pengambilan citra).
💡 Saran:
Penelitian lanjutan sebaiknya membandingkan hasil dengan pengukuran GNSS geodetik atau total station untuk validasi.
Uji lebih banyak area dengan topografi beragam untuk mengukur robustitas model distorsi.
Implikasi Praktis: Haruskah Kita Khawatir?
Berdasarkan hasil penelitian ini:
Untuk pendaftaran massal tanah (seperti PTSL), penggunaan citra Quickbird masih dapat diterima dengan margin error kecil.
Untuk sertifikasi individu atau tanah bernilai tinggi, pengukuran presisi tetap disarankan.
Distorsi kecil pada peta bisa berujung pada konflik batas yang panjang di pengadilan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan metode yang sesuai dengan nilai ekonomis dan yuridis dari bidang tanah yang diukur.
Kesimpulan: Memahami Batas Risiko dalam Teknologi Pemetaan
Penelitian ini membuktikan bahwa peta bidang tanah berbasis citra Quickbird dapat digunakan untuk pendaftaran dengan tingkat akurasi yang masih layak, asalkan disertai verifikasi di lapangan. Distorsi terbesar terjadi bukan pada perubahan ukuran bidang, melainkan pada kesalahan orientasi akibat ketidakakuratan arah utara.
Di era digital ini, pemahaman tentang potensi distorsi sangat penting, terutama saat sistem informasi pertanahan nasional didorong menuju transparansi dan efisiensi berbasis data spasial.
Sumber
Ratnawati, F. A., Sudarsono, B., & Subiyanto, S. (2013). Analisis Distorsi Peta Bidang Tanah pada Pembuatan Peta Pendaftaran Menggunakan Citra Quickbird. Jurnal Geodesi Undip, Vol. 2 No. 2.
ISSN: 2337-845X
Hubungan Internasional Asia Tenggara
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki batas maritim yang bersinggungan langsung dengan sepuluh negara tetangga. Salah satu yang menarik untuk dikaji adalah proses delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipina, yang berhasil diselesaikan secara damai setelah melalui negosiasi panjang. Paper yang diulas dalam resensi ini membahas faktor-faktor keberhasilan proses delimitasi tersebut dengan menggunakan pendekatan issue-level approach, yang menyoroti peran visibilitas domestik dan nilai strategis wilayah dalam penyelesaian sengketa.
Artikel ini akan mengulas temuan utama dalam penelitian tersebut, menambahkan analisis mendalam, serta menghubungkannya dengan tren geopolitik dan kebijakan maritim Indonesia.
Latar Belakang Konflik dan Upaya Delimitasi
Indonesia dan Filipina berbagi wilayah perairan di bagian utara Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Kedua negara memiliki klaim yang tumpang tindih di wilayah tersebut, yang menyebabkan perlunya negosiasi delimitasi ZEE agar kepastian hukum dan hak berdaulat terhadap sumber daya alam di perairan tersebut dapat ditegakkan.
Sejak pertemuan pertama pada 1973, negosiasi antara kedua negara berlangsung selama beberapa dekade. Baru pada tahun 2014, dalam pertemuan Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) ke-8, kesepakatan final mengenai batas ZEE dapat dicapai. Kesepakatan ini kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2017 oleh Indonesia, sementara Filipina meratifikasinya pada 2019.
Faktor-Faktor Keberhasilan Delimitasi ZEE
Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang mendukung keberhasilan penyelesaian delimitasi batas ZEE antara Indonesia dan Filipina:
1. Rendahnya Nilai Strategis Wilayah Sengketa (Low Salience)
Pendekatan issue-level approach yang digunakan dalam penelitian ini menyoroti bahwa wilayah yang dipersengketakan tidak memiliki nilai strategis yang tinggi (not salient). Artinya, wilayah tersebut tidak memiliki populasi signifikan, tidak mengandung sumber daya alam yang sangat bernilai, serta tidak memiliki kepentingan pertahanan atau simbolis yang kuat bagi kedua negara.
Hal ini berbeda dengan sengketa maritim di Laut China Selatan, di mana klaim tumpang tindih melibatkan wilayah dengan potensi sumber daya besar serta kepentingan pertahanan yang kuat. Karena wilayah perairan antara Indonesia dan Filipina tidak memiliki nilai strategis yang tinggi, penyelesaiannya cenderung lebih damai dan tidak mengarah pada ketegangan militer.
2. Visibilitas Isu dalam Politik Domestik
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa meskipun wilayah sengketa tidak memiliki nilai strategis yang tinggi, visibilitas isu ini di dalam negeri cukup signifikan. Media nasional di kedua negara secara aktif memberitakan perkembangan negosiasi, menciptakan tekanan bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan perundingan secara damai.
Sebagai contoh, pada periode 2011–2019, isu delimitasi batas ZEE sering dikaitkan dengan keamanan maritim, terutama terkait dengan masalah perikanan ilegal (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing). Tekanan dari masyarakat nelayan dan kelompok kepentingan lainnya turut mendorong pemerintah untuk menyelesaikan batas wilayah agar pengelolaan sumber daya dapat dilakukan secara lebih efektif.
3. Faktor Kepemimpinan dan Komitmen Diplomasi Damai
Keberhasilan negosiasi juga tidak lepas dari peran kepemimpinan di kedua negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Benigno Aquino III pada awal dekade 2010-an menunjukkan komitmen kuat dalam menyelesaikan sengketa batas maritim dengan pendekatan diplomasi damai.
Dalam berbagai pernyataan, kedua pemimpin menegaskan bahwa penyelesaian batas ZEE ini bukan hanya demi kepastian hukum, tetapi juga untuk memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Filipina. Pendekatan diplomasi ini kemudian diteruskan oleh Presiden Joko Widodo dan Rodrigo Duterte, yang sama-sama mendukung kebijakan luar negeri yang berbasis kerja sama regional.
4. Penggunaan Prinsip UNCLOS 1982 sebagai Dasar Hukum
Kesepakatan delimitasi ZEE ini mengikuti prinsip yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia dan Filipina menggunakan pendekatan median line sebagai metode utama dalam menentukan batas wilayah, dengan mempertimbangkan panjang garis pangkal masing-masing negara.
Komitmen kedua negara untuk mematuhi hukum internasional menjadi faktor penting dalam menghindari eskalasi konflik dan memastikan bahwa hasil negosiasi memiliki legitimasi yang kuat di mata dunia internasional.
5. Kerja Sama Bilateral dalam Keamanan Maritim
Selain perundingan batas ZEE, Indonesia dan Filipina juga telah meningkatkan kerja sama dalam keamanan maritim. Kedua negara menandatangani beberapa perjanjian kerja sama dalam patroli bersama untuk mengatasi ancaman kejahatan lintas batas, seperti perompakan dan perdagangan manusia.
Sebagai contoh, perjanjian Indonesia–Philippines Plan of Action mencakup berbagai aspek kerja sama di bidang keamanan maritim, yang membantu menciptakan suasana yang lebih kondusif dalam perundingan batas wilayah.
Kesimpulan
Delimitasi batas ZEE antara Indonesia dan Filipina merupakan contoh sukses bagaimana sengketa maritim dapat diselesaikan melalui negosiasi berbasis hukum internasional dan diplomasi damai. Faktor-faktor seperti rendahnya nilai strategis wilayah, tekanan domestik, kepemimpinan yang mendukung diplomasi, serta kepatuhan terhadap UNCLOS 1982 menjadi kunci keberhasilan dalam penyelesaian sengketa ini.
Studi ini memberikan wawasan berharga bagi kebijakan maritim Indonesia ke depan, terutama dalam menyelesaikan sengketa batas dengan negara-negara lain. Dengan pendekatan yang sama, Indonesia dapat terus memperkuat posisi maritimnya dalam kerangka hukum internasional serta menjaga stabilitas kawasan.
Sumber Referensi