DeepLearning

Terobosan AI di Dunia Manufaktur Logam

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Pendahuluan: Split Defect Kecil, Dampak Besar

Dalam proses manufaktur logam seperti stamping, split defect atau lelehan akibat tekanan berlebih menjadi momok yang jarang terlihat namun sangat merugikan. Meski hanya muncul pada 1–5% komponen, jenis cacat ini tidak bisa diperbaiki dan berujung pada pembuangan produk, menimbulkan kerugian material dan waktu. Masalah makin pelik karena cacat ini sering tak terdeteksi oleh mata manusia, terlebih saat permukaan logam memantulkan cahaya atau tertutup oli industri.

Di sinilah teknologi intervensi, seperti yang dikembangkan Aru Ranjan Singh dan timnya, memainkan peran vital: menggunakan citra sintetis untuk melatih model deteksi cacat berbasis deep learning dengan presisi tinggi.

 

Tantangan: Kelangkaan Data dan Keterbatasan Model

Deteksi berbasis AI membutuhkan ribuan data. Namun, karena split defect sangat jarang terjadi, tidak tersedia cukup data untuk melatih model deep learning secara optimal. Beberapa upaya umum untuk mengatasi ini seperti pretraining pada dataset lain atau menggunakan augmentasi sederhana (seperti rotasi dan flipping) masih belum memadai, karena tidak menyelesaikan masalah inti: kurangnya variasi tekstur, distribusi, dan pencahayaan cacat nyata.

 

Solusi Cerdas: Gabungan Simulasi Fisik dan Sintesis Grafis

Singh dan tim menciptakan pendekatan hybrid. Mereka memulai dengan simulasi berbasis fisika—menggunakan metode elemen hingga (Finite Element Method) untuk memperkirakan titik lemah pada logam berdasarkan distribusi regangan dan Forming Limit Curve (FLC). Dari sini dihasilkan geometri tiga dimensi realistis yang menunjukkan kemungkinan besar lokasi split defect.

Setelah lokasi ditentukan, detail cacat nyata dari sampel fisik dikumpulkan dan dipetakan ke model 3D tersebut menggunakan teknik bump mapping. Hasil akhirnya adalah gambar sintetis fotorealistik yang memperhitungkan pencahayaan, pantulan, tekstur permukaan logam, bahkan ketidaksempurnaan seperti sidik jari atau goresan.

 

Studi Kasus: Deteksi Split pada Komponen Nakajima

Untuk pengujian, peneliti menggunakan komponen uji berdasarkan geometri Nakajima, standar dalam pengujian kemampuan formasi logam. Mereka hanya memerlukan 10 bagian nyata dengan split, lalu menghasilkan ratusan gambar sintetis berdasarkan itu.

Ketika model seperti YOLOv5 dilatih hanya dengan 10 gambar nyata, performa deteksi sangat terbatas. Namun, ketika ditambahkan 40 gambar sintetis, akurasi meningkat secara signifikan—baik dalam jumlah prediksi yang benar maupun tingkat kepercayaan deteksinya. Bahkan, kombinasi 40 gambar nyata dan 40 sintetis bisa menyamai performa model yang dilatih dengan 80 gambar nyata penuh, membuktikan efisiensi pendekatan ini.

 

Perbandingan dengan Model Generatif Lain

Peneliti juga menguji metode generatif lain seperti DFMGAN (berbasis GAN) dan model diffusion yang baru-baru ini populer. Sayangnya, kedua pendekatan ini tidak bisa menghasilkan keragaman dan ketajaman visual yang dibutuhkan, terutama pada permukaan reflektif. Selain itu, model ini tidak mendukung HDR imaging, yang sangat krusial dalam dunia manufaktur logam.

Pendekatan Singh unggul karena mampu mengontrol lokasi cacat, pencahayaan, ukuran, serta bentuk, menghasilkan data yang sangat sesuai dengan kondisi nyata di lini produksi.

 

Teknik Pendukung: Kunci Realisme dan Akurasi

Dua hal menarik yang meningkatkan kualitas sintesis gambar dalam studi ini adalah:

  1. Label Randomisation
    Karena batas split tidak selalu jelas, peneliti melakukan pelebaran label cacat secara acak berdasarkan distribusi nyata. Ini membantu model memahami variasi bentuk cacat yang tidak selalu terdefinisi secara tajam.
  2. Penambahan Impurities
    Gambar sintetis tidak hanya dibuat “bersih”, tetapi justru ditambahkan goresan, noda, atau tekstur acak. Ini penting karena model yang hanya dilatih dengan gambar ideal sering gagal saat dihadapkan pada citra nyata yang kompleks.

Hasilnya, model yang dilatih dengan gambar sintetis kaya detail menunjukkan peningkatan akurasi hingga hampir 30% dibanding model yang hanya menggunakan gambar nyata.

 

Nilai Praktis di Dunia Industri

Pendekatan ini sangat cocok untuk pabrik otomotif, aerospace, atau produsen alat berat di mana split defect berarti kehilangan komponen bernilai tinggi. Dibandingkan dengan biaya memproduksi 80 komponen cacat untuk data pelatihan, menciptakan 40 data sintetis dari hanya 10 komponen jauh lebih hemat dan efisien.

Selain itu, karena framework ini berbasis parameter yang umum digunakan dalam simulasi manufaktur, seperti FLC dan FEM, adaptasinya ke produk lain relatif mudah.

 

Kritik dan Arah Perbaikan

Meski hasilnya sangat menjanjikan, pendekatan ini masih fokus pada satu jenis cacat, yakni split. Untuk penerapan lebih luas, framework ini perlu diperluas ke jenis cacat lain seperti wrinkle (kerutan) atau dents (penyok). Selain itu, kerja sama dengan pabrik nyata akan membantu validasi performa dalam kondisi produksi yang sebenarnya.

 

Kesimpulan: Cerdas, Realistis, dan Siap Industri

Singh dan tim berhasil menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Mereka bukan hanya membuktikan bahwa gambar sintetis bisa efektif, tetapi juga menunjukkan cara menghasilkan gambar yang secara statistik dan visual mewakili kondisi nyata. Hasilnya, sistem deteksi berbasis deep learning menjadi lebih tangguh, akurat, dan layak diterapkan di dunia industri yang menuntut efisiensi dan presisi tinggi.

 

Sumber:

Singh, A. R., Bashford-Rogers, T., Hazra, S., & Debattista, K. (2023). Generating Synthetic Training Images to Detect Split Defects in Stamped Components. IEEE Transactions on Industrial Informatics.

 

Selengkapnya
Terobosan AI di Dunia Manufaktur Logam

Efisiensi industri

Integrasi Big Data untuk Perbaikan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Era Baru Industri: Saat Sistem Manufaktur Bertemu Big Data

Dalam dunia manufaktur modern, kecepatan dan ketepatan bukan lagi keunggulan, melainkan kebutuhan dasar. Untuk mencapainya, industri kini menghadapi tantangan besar: bagaimana menciptakan sistem produksi yang stabil, fleksibel, dan terus berkembang? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi fokus utama penelitian David S. Cochran dan koleganya, yang menyatukan dua konsep kuat: desain sistem manufaktur berbasis logika (Manufacturing System Design Decomposition/MSDD) dan kekuatan big data analytics.

Bukan hanya sekadar menambahkan teknologi baru, penelitian ini menyentuh esensi perubahan: bahwa sistem yang unggul lahir dari perubahan cara berpikir dan struktur desain yang matang. Dengan memanfaatkan data besar, para penulis menjanjikan pendekatan kuantitatif terhadap desain, bukan sekadar intuisi.

 

Akar Permasalahan: Data Tidak Terpakai dan Desain Tidak Terarah

Salah satu ironi dunia industri saat ini adalah kelimpahan data yang tidak dimanfaatkan. Menurut Parker (2014), hanya sekitar 10% potensi informasi yang dikumpulkan benar-benar digunakan untuk meningkatkan produktivitas. Padahal, data yang tersebar di berbagai sistem IT—seperti ERP, MES, PLM, dan HR—menyimpan petunjuk penting untuk perbaikan sistemik.

Sayangnya, pendekatan perbaikan yang digunakan selama ini masih bersifat lokal atau "point solution", hanya menyelesaikan satu masalah dalam satu waktu. Hal ini terjadi karena kurangnya kerangka kerja menyeluruh yang dapat menghubungkan kebutuhan fungsional sistem (Functional Requirements/FR) dengan solusi desain fisik (Design Parameters/DP).

 

MSDD: Logika Desain Sistem Produksi yang Terstruktur

Di sinilah MSDD (Manufacturing System Design Decomposition) menjadi relevan. MSDD adalah metodologi berbasis Axiomatic Design, yang bertujuan menjaga independensi antara kebutuhan fungsional dan solusi desain. Pendekatan ini memungkinkan insinyur untuk memetakan sistem produksi secara hierarkis dan sistematis—mulai dari kebutuhan strategis hingga detail teknis.

Contoh aplikasinya, jika kebutuhan sistem adalah “menghasilkan output yang dapat diprediksi”, maka MSDD akan mengurai komponen apa saja yang perlu distabilkan: mulai dari desain produk, kualitas proses, pemecahan masalah, hingga pengurangan delay. Setiap elemen dipecah secara logis dan diuji kontribusinya terhadap stabilitas sistem.

 

Studi Kasus: Evaluasi Sistem Produksi dengan MSDD dan Data Analitik

Dalam praktiknya, peneliti mengaplikasikan MSDD untuk mengevaluasi sistem produksi di industri kedirgantaraan (Lockheed Martin). Mereka melakukan analisis terhadap masalah kekurangan komponen (shortages) yang berdampak langsung pada kualitas dan biaya operasional.

Beberapa temuan menarik dari studi ini:

  • 50% penyebab kurva pembelajaran berasal dari gangguan produksi (cacat kualitas dan kekurangan material).
  • Biaya dukungan (support labor) akibat gangguan justru lebih besar daripada biaya tenaga kerja langsung.
  • Investasi pada pelatihan mekanik dan pengadaan suku cadang terbukti memberi ROI tinggi, setelah dihitung dampaknya secara sistemik.

Analisis ini menjadi mungkin karena data dikumpulkan dan diolah secara menyeluruh menggunakan kerangka MSDD, bukan hanya dari satu departemen atau satu proses saja.

 

Peran Big Data: Dari Deskriptif Menuju Prediktif

Sebelum era big data, banyak keputusan sistem desain dilakukan berdasarkan asumsi atau data sampling terbatas. Kini, dengan koneksi antara sistem informasi dan kemampuan analisis yang tinggi, evaluasi bisa dilakukan secara real-time dan menyeluruh.

Kelebihan integrasi big data dalam MSDD:

  • Mengidentifikasi variasi dalam performa kerja di berbagai tingkatan sistem.
  • Memungkinkan prediksi kinerja berdasarkan parameter desain tertentu.
  • Menyediakan dasar kuat untuk pengambilan keputusan investasi dan alokasi sumber daya.
  • Memfasilitasi what-if analysis, di mana simulasi dampak perubahan sistem bisa diuji secara digital.

Dengan pendekatan ini, desain sistem tak lagi bersifat statis, tetapi adaptif terhadap perubahan lingkungan bisnis dan teknologi.

 

Transformasi Lean: Dari Sekadar Hemat Jadi Stabil dan Terpadu

Salah satu kontribusi menarik dari penelitian ini adalah redefinisi konsep lean manufacturing. Selama ini, “lean” sering diartikan sebagai efisiensi biaya atau pengurangan tenaga kerja. Namun, dalam pendekatan MSDD, lean justru merupakan hasil akhir dari desain sistem yang stabil dan memenuhi seluruh kebutuhan fungsional.

Jadi, lean bukan tujuan, tapi konsekuensi dari sistem yang:

  • Memiliki desain produk yang konsisten
  • Menjaga kualitas proses
  • Mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat
  • Menjamin output yang dapat diprediksi

Jika semua elemen ini terpenuhi, maka efisiensi, kestabilan, dan pengurangan biaya akan terjadi secara alami, bukan karena pemotongan paksa.

 

Kritik dan Tantangan yang Masih Ada

Meski metodologinya kuat, penerapan MSDD dan big data analytics masih menghadapi beberapa tantangan:

  1. Kompleksitas Integrasi Data
    Banyak perusahaan masih memiliki data tersebar yang tidak saling terkoneksi, membuat proses analitik menjadi terfragmentasi.
  2. Kendala Budaya Organisasi
    Tidak semua fungsi (engineering, quality, HR) memiliki pemahaman yang sama tentang peran mereka dalam sistem desain. Akibatnya, sistem thinking sulit diterapkan secara holistik.
  3. Kurangnya Standarisasi
    Belum banyak sistem industri yang memiliki pedoman universal untuk mengintegrasikan data analytics dengan desain sistem produksi.

Namun, penulis menyadari hal ini dan menyarankan pengembangan arsitektur sistem yang secara khusus dirancang untuk mendukung MSDD dan analitik prediktif.

 

Opini dan Potensi Masa Depan

Penelitian ini layak disebut sebagai blueprint masa depan perancangan industri modern. Integrasi sistem thinking, desain terstruktur, dan big data menciptakan pendekatan baru yang mampu:

  • Mengubah data menjadi wawasan strategis.
  • Meningkatkan akuntabilitas desain melalui pemetaan fungsional.
  • Membangun sistem yang bisa belajar dan berkembang seiring waktu.

Dibandingkan pendekatan yang hanya mengandalkan software atau tool analitik saja, kerangka ini jauh lebih visioner karena berangkat dari fondasi sistemik dan mengarah ke transformasi menyeluruh.

 

Kesimpulan: Desain Sistem yang Cerdas Dimulai dari Data yang Dipahami

Melalui paper ini, Cochran dan tim berhasil menunjukkan bahwa masa depan perbaikan berkelanjutan dalam manufaktur tidak hanya tentang mengumpulkan data, tetapi bagaimana data tersebut dikaitkan dengan desain sistem secara logis dan strategis.

Dengan MSDD sebagai fondasi dan big data sebagai alat, perusahaan bisa mengidentifikasi permasalahan, menilai dampaknya, serta memutuskan solusi terbaik secara kuantitatif dan prediktif. Lebih dari sekadar efisiensi, pendekatan ini menuntun industri menuju sistem yang stabil, adaptif, dan berkelanjutan.

 

Sumber:

Cochran, D. S., Kinard, D., & Bi, Z. (2016). Manufacturing System Design Meets Big Data Analytics for Continuous Improvement.

 

Selengkapnya
Integrasi Big Data untuk Perbaikan Berkelanjutan

Manajemen Konstruksi

Mengkritisi Metode Pengadaan Proyek di Industri Konstruksi Nigeria: Antara Tradisional dan Inovasi

Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025


Dalam dunia konstruksi, pemilihan metode pengadaan proyek (procurement method) bukan sekadar urusan administratif—ia adalah keputusan strategis yang berdampak langsung pada keberhasilan proyek dari sisi waktu, biaya, dan mutu. Penelitian Babatunde dkk. menawarkan evaluasi komprehensif terhadap berbagai metode pengadaan yang digunakan di Nigeria, serta menyingkap faktor-faktor utama yang memengaruhi preferensi terhadap metode tradisional maupun non-konvensional.

Latar Belakang—Mengapa Evaluasi Metode Pengadaan Penting?

Proyek konstruksi adalah investasi besar dengan kompleksitas tinggi. Menurut Daniel (2006), metode pengadaan bertujuan mengoptimalkan tiga parameter utama: waktu penyelesaian, biaya, dan kualitas bangunan. Namun kenyataannya, banyak proyek justru gagal memenuhi ketiganya. Hal ini mendorong evaluasi terhadap sistem pengadaan yang dipakai, terutama di negara berkembang seperti Nigeria, yang tengah menggeliat secara infrastruktur.

Metodologi Penelitian—Survei Profesional Konstruksi di Lagos

Penelitian ini menggunakan kuesioner terstruktur yang disebar kepada 100 profesional konstruksi di Lagos, pusat aktivitas konstruksi terbesar di Nigeria. Sebanyak 52 responden memberikan data valid, dengan representasi yang cukup merata:

  • Profesi: 53,84% quantity surveyor, 17,31% arsitek, 11,54% insinyur sipil/struktur, sisanya builder & engineer lainnya.

  • Latar organisasi: 42,3% institusi publik, 38,5% konsultan, 19,2% kontraktor.

  • Rata-rata pengalaman kerja: 8 tahun.
     

Dengan komposisi ini, data yang dikumpulkan dinilai cukup kredibel untuk merepresentasikan perspektif seluruh pelaku proyek.

Ragam Metode Pengadaan Proyek yang Digunakan

1. Metode Tradisional (Design-Bid-Build)

Metode klasik ini masih dominan, digunakan oleh 48,08% responden. Ciri utamanya adalah pemisahan antara fase desain, tender, dan pelaksanaan konstruksi.

Sub-varian Metode Tradisional:

  • Bills of Quantities

  • Drawings & Specifications

  • Cost Reimbursement

  • Schedule of Rates

2. Metode Design–Build

Meski lebih efisien secara teori, hanya 19,24% responden yang pernah menggunakannya. Sub-jenis yang paling dikenal:

  • Design and Construct (9,62%)

  • Package Deal (5,77%)

  • Construction Management (3,85%)

3. Public–Private Partnership (PPP)

Cukup populer di Nigeria, digunakan oleh 32,69% responden. Varian yang paling umum:

  • Build-Operate-Transfer (BOT) – 17,30%

  • Build-Own-Operate-Transfer (BOOT) – 5,77%

  • Lainnya: DBFT, ROT, BLT, dll.

Catatan penting: Management Contracting dan DBFO tidak digunakan sama sekali, mengindikasikan ketidaksiapan atau ketidakcocokan dengan struktur pasar lokal.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode

Penelitian ini menggunakan Relative Importance Index (RII) untuk menilai 15 faktor yang memengaruhi pemilihan metode, dari dua sisi: tradisional dan non-konvensional.

Untuk Metode Tradisional, Top 3 Faktor:

  1. Penyelesaian sesuai waktu (RII = 0.78)

  2. Penyelesaian sesuai biaya (RII = 0.76)

  3. Ketersediaan informasi sejak awal proyek (RII = 0.75)

Untuk Metode Non-Konvensional, Top 3 Faktor:

  1. Jaminan kualitas (RII = 0.81)

  2. Penyelesaian sesuai waktu (RII = 0.73)

  3. Kesesuaian dengan karakter proyek (RII = 0.73)

Temuan Tambahan:

  • Faktor “cheapest cost” justru tidak terlalu penting (RII rendah: 0.63–0.66), membantah mitos bahwa pemilihan metode selalu berorientasi harga.

  • “Fleksibilitas terhadap perubahan klien” menjadi faktor paling rendah dalam metode non-konvensional (RII = 0.55), yang ironis karena metode seperti D&B justru dikenal fleksibel.

Analisis Tambahan & Refleksi Praktis

A. Mengapa Metode Tradisional Masih Dominan?

Faktor sejarah dan kebiasaan memegang peran besar. Metode ini telah lama digunakan, dan banyak pemilik proyek serta pemerintah masih merasa nyaman dengan struktur yang dikenal.

Namun, metode ini memiliki kelemahan signifikan:

  • Tidak efisien waktu

  • Rentan konflik antara desainer dan kontraktor

  • Tidak cocok untuk proyek yang butuh kecepatan dan integrasi tinggi

B. Potensi Metode D&B dan PPP yang Belum Tergarap

Design–build hanya menyumbang 19,24% dari total praktik. Padahal di negara lain seperti Malaysia dan Indonesia, metode ini mulai populer untuk proyek swasta dan publik karena:

  • Lebih cepat

  • Tanggung jawab terpusat

  • Mengurangi konflik kontraktual

PPP juga sangat potensial untuk membiayai proyek besar di Nigeria, mengingat keterbatasan anggaran pemerintah.

Kritik Konstruktif terhadap Penelitian

Kekuatan:

  • Metodologi survei yang solid

  • Representasi responden yang beragam

  • Analisis kuantitatif yang tajam (menggunakan RII)
     

Kekurangan:

  • Terlalu terfokus pada wilayah Lagos; hasil mungkin tidak mewakili seluruh Nigeria.

  • Tidak ada studi kasus proyek nyata untuk menguatkan klaim.

  • Belum mengeksplorasi faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah atau tekanan global.

Penelitian lanjutan disarankan mencakup data nasional, serta menggabungkan pendekatan studi kasus lapangan.

Implikasi untuk Dunia Konstruksi Global

1. Bagi Pemerintah dan Regulator

Perlu edukasi dan sosialisasi tentang alternatif metode pengadaan proyek, terutama PPP dan D&B. Regulasi juga harus fleksibel agar bisa mengakomodasi metode non-konvensional.

2. Bagi Praktisi

Kontraktor dan konsultan perlu meningkatkan kompetensi dalam metode baru. Misalnya, memahami risiko kontrak lump sum dalam D&B atau struktur keuangan dalam PPP.

3. Bagi Akademisi

Penelitian seperti ini harus dijadikan dasar kurikulum agar calon profesional memahami keunggulan dan tantangan dari setiap metode pengadaan.

Kesimpulan—Antara Tradisi dan Transformasi

Paper ini memberikan gambaran jelas tentang lanskap metode pengadaan proyek di Nigeria: masih didominasi oleh tradisi, namun perlahan-lahan membuka ruang untuk inovasi. Walau metode D&B dan PPP telah diterapkan, masih dibutuhkan upaya masif untuk mengubah pola pikir dan struktur industri.

Pemilihan metode pengadaan bukan sekadar teknis—ia adalah cerminan kesiapan industri dalam merespons tantangan zaman. Di tengah dorongan efisiensi, transparansi, dan percepatan pembangunan, masa depan konstruksi ada pada metode yang fleksibel, kolaboratif, dan adaptif.

Sumber Artikel

Babatunde, S.O., Opawole, A., & Ujaddughe, I.C. (2010). An Appraisal of Project Procurement Methods in the Nigerian Construction Industry.
Published in: Civil Engineering Dimension, Vol. 12, No. 1, pp. 1–7.
Tersedia di: Civil Engineering Dimension atau repositori akademik terdekat.

 

Selengkapnya
Mengkritisi Metode Pengadaan Proyek di Industri Konstruksi Nigeria: Antara Tradisional dan Inovasi

Kualitas digital

Menghitung Biaya Kualitas Buruk di Era Digital

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Mengapa Biaya Kualitas Buruk Tak Lagi Bisa Diabaikan

Meski istilah cost of quality (CoQ) telah muncul sejak 1950-an, kenyataannya—bahkan hingga satu dekade terakhir—hanya sebagian kecil perusahaan yang benar-benar menghitungnya. Padahal, survei menunjukkan bahwa cost of poor quality (CoPQ) dapat mencapai 5–30% dari total penjualan perusahaan manufaktur dan jasa.

Laukkanen memulai penelitiannya dari keprihatinan ini: bahwa sebagian besar perusahaan kehilangan kesempatan besar untuk mengefisiensikan operasional karena tidak memiliki sistem pengukuran kualitas yang memadai. Di tengah gelombang revolusi industri 4.0, muncul peluang baru—yang dikenal dengan Quality 4.0—untuk mengubah cara perusahaan memahami, mengukur, dan mengelola kualitas.

 

Quality 4.0: Apa yang Berubah?

Quality 4.0 bukan sekadar digitalisasi dari manajemen kualitas konvensional. Ini adalah paradigma baru yang menggabungkan teknologi canggih seperti IoT, AI, machine learning, blockchain, dan big data untuk mendorong keputusan kualitas berbasis data secara real-time.

Ciri khas Quality 4.0:

  • Pengukuran otomatis dan berkelanjutan terhadap performa proses.
  • Prediksi cacat sebelum terjadi dengan machine learning.
  • Traceability menyeluruh dari produk sejak desain hingga layanan purna jual.
  • Pengambilan keputusan preskriptif, bukan sekadar reaktif.

 

Evolusi Pemikiran CoPQ: Dari Model PAF ke ABC

Laukkanen memetakan perkembangan pemikiran biaya kualitas melalui berbagai pendekatan, di antaranya:

1. PAF Model (Prevention, Appraisal, Failure)

Diperkenalkan oleh Feigenbaum, ini adalah model klasik yang paling banyak digunakan. Sayangnya, model ini terlalu generik dan kurang efektif dalam menangkap akar masalah operasional.

2. Process Costing dan Crosby’s Model

Menekankan pada identifikasi biaya di setiap tahap proses. Lebih detail, tapi rumit dan mahal untuk diterapkan secara manual.

3. Activity-Based Costing (ABC)

Membagi biaya berdasarkan aktivitas yang menghasilkan nilai atau tidak. Menjadi sangat relevan di era Quality 4.0 karena didukung oleh data otomatis dari sistem digital.

 

Studi Kasus Nyata: Perusahaan Multinasional dan Tantangan CoPQ

Laukkanen meneliti perusahaan besar (nama dirahasiakan) yang telah memiliki sistem CoPQ, tetapi tidak berjalan optimal. Masalah utamanya adalah:

  • Data tersebar dan tidak terintegrasi.
  • Kurangnya insentif untuk departemen non-produksi agar peduli terhadap kualitas.
  • Tidak adanya pelaporan real-time sehingga intervensi sering terlambat.

Dalam sistem yang lama, hanya biaya kegagalan eksternal dan internal yang dihitung—seperti klaim pelanggan, scrap, dan rework. Tapi biaya preventif dan appraisal tidak pernah diukur, padahal berkontribusi besar pada efisiensi jangka panjang.

 

Solusi Usulan: Integrasi Quality 4.0 untuk Sistem CoPQ Baru

Laukkanen mengusulkan pendekatan gabungan top-down dan bottom-up. Dari sisi strategis (top-down), manajemen harus menetapkan target kualitas berbasis indikator kinerja yang terhubung langsung dengan data aktual. Dari sisi operasional (bottom-up), departemen lapangan didorong untuk mengumpulkan data secara otomatis, lalu dikategorikan dalam model ABC.

Teknologi yang Disarankan:

  • IoT untuk monitoring proses real-time.
  • Machine learning untuk deteksi anomali.
  • Big data untuk klasifikasi biaya dan pengelompokan akar masalah.
  • Blockchain untuk traceability dan audit digital.

 

Manfaat Kritis: Dari Data ke Strategi Kualitas

1. Keakuratan dan Cakupan Data yang Meningkat

Dengan sensor dan sistem digital, perusahaan bisa mengukur kualitas hingga tingkat aktivitas terkecil yang sebelumnya dianggap "invisible cost".

2. Pengambilan Keputusan Berbasis Fakta

Alih-alih bergantung pada laporan bulanan, sistem ini mendukung dashboard interaktif yang menampilkan kondisi kualitas harian dan tren biaya.

3. Simulasi & Prediksi

Dengan digital twin dan pemodelan prediktif, perusahaan dapat menguji perubahan proses tanpa mengganggu produksi nyata.

 

Kritik & Refleksi: Tantangan Implementasi di Dunia Nyata

Meski konsepnya menjanjikan, Laukkanen tidak menutup mata terhadap tantangan nyata:

  • Budaya organisasi menjadi kendala utama. Banyak karyawan belum terbiasa dengan sistem berbasis data.
  • Biaya awal implementasi cukup tinggi. Namun investasi ini dapat terbayar dalam jangka menengah.
  • Skeptisisme manajemen terhadap perubahan sistem akuntansi. Banyak perusahaan masih puas dengan sistem konvensional.

Namun demikian, penulis menekankan bahwa tanpa pergeseran ini, perusahaan akan tertinggal dalam lanskap industri yang makin kompetitif dan berbasis data.

 

Analogi Industri dan Relevansi Masa Kini

Penemuan Laukkanen sejalan dengan tren di berbagai sektor, misalnya:

  • Industri otomotif: Toyota dan BMW telah menerapkan digital quality control yang memungkinkan feedback langsung ke tim R&D.
  • Sektor konstruksi: Dengan drone dan IoT, proyek besar seperti bandara kini bisa mendeteksi kesalahan konstruksi sejak tahap fondasi.

Bahkan sektor jasa seperti perbankan dan asuransi mulai mengadopsi logika CoQ untuk menganalisis kegagalan sistem dan kepuasan pelanggan.

 

Kesimpulan: Saatnya Berpikir Kualitas secara Digital

Tesis Laukkanen bukan hanya karya akademik, tetapi sebuah peta jalan praktis untuk memasuki era Quality 4.0. Ia mengajak industri untuk tidak hanya menghitung kualitas dari hasil akhir, tetapi dari semua proses yang membentuknya—dengan bantuan teknologi yang kini sudah terjangkau dan adaptif.

Dengan menggabungkan logika manajemen kualitas klasik dan kapabilitas digital mutakhir, perusahaan dapat:

  • Mengurangi pemborosan tersembunyi,
  • Meningkatkan akuntabilitas lintas fungsi, dan
  • Menjadikan kualitas sebagai keunggulan kompetitif nyata, bukan sekadar jargon.

 

Sumber:

Laukkanen, Panu. (2021). Quality 4.0 Enabling Cost of Poor Quality Measurement. Master’s Thesis, Lappeenranta-Lahti University of Technology LUT.

 

Selengkapnya
Menghitung Biaya Kualitas Buruk di Era Digital

Konstruksi

Kecerdasan Buatan dalam Konstruksi Australia: Peluang, Tantangan, dan Persepsi Publik

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 08 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Konstruksi Perlu AI?

Meskipun industri konstruksi Australia menyumbang sekitar AUD 360 miliar per tahun dan hampir 9% dari PDB nasional, tingkat produktivitasnya hanya tumbuh 1% selama dua dekade terakhir. Ketertinggalan ini menjadi alasan utama eksplorasi teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) dalam meningkatkan efisiensi. Paper berjudul "Artificial Intelligent Technologies for the Construction Industry: How Are They Perceived and Utilized in Australia" oleh Regona et al. (2022) mengkaji bagaimana publik Australia menanggapi dan memanfaatkan AI dalam sektor konstruksi.

 

Metodologi Unik: Analisis Sentimen dari Twitter

Berbeda dari studi konvensional, penelitian ini menggunakan analisis media sosial untuk memahami persepsi publik terhadap AI di konstruksi. Data sebanyak 7906 tweet dari Australia dikumpulkan selama dua tahun (Juli 2019–2021). Peneliti menerapkan:

  • Analisis sentimen

  • Analisis konten menggunakan NVivo

  • Visualisasi spasial dengan ArcGIS

  • Analisis jaringan menggunakan Gephi

Pendekatan ini mencerminkan perspektif masyarakat secara luas, termasuk pekerja industri, akademisi, dan pengamat publik.

 

Temuan Utama: Teknologi AI Paling Populer di Australia

Teknologi AI yang Paling Banyak Disebut:

  • Robotik (931 tweet)

  • Internet of Things/IoT (562 tweet)

  • Machine Learning (522 tweet)

  • Big Data (457 tweet)

  • Automation (475 tweet)
     

Negara bagian dengan cuitan terbanyak adalah:

  • New South Wales (NSW) – 2997 tweet

  • Victoria (VIC) – 2214 tweet

  • Queensland (QLD) – 1540 tweet
     

Contoh Nyata:

Salah satu tweet menyebutkan penggunaan AI untuk memantau proyek konstruksi secara transparan, sementara lainnya menyoroti kekhawatiran kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi.

 

Analisis Sentimen: Positif Tapi Waspada

  • 49% tweet bersentimen positif

  • 37% negatif

  • 14% netral
     

New South Wales dan Queensland mendominasi sentimen positif. Northern Territory mencatatkan sentimen negatif tertinggi (74%). Tweet positif fokus pada efisiensi, keselamatan kerja, dan inovasi. Sementara yang negatif membahas ancaman terhadap lapangan kerja dan risiko proyek.

 

Prospek Teknologi AI di Konstruksi

Penelitian ini mengidentifikasi 12 prospek utama, antara lain:

  • Digitalisasi (767 tweet)

  • Inovasi (691 tweet)

  • Penghematan waktu (294 tweet)

  • Produktivitas (232 tweet)

  • Efisiensi (109 tweet)
     

Studi Kasus:

Perusahaan BMD di Queensland menggunakan sistem Octant berbasis AI yang menghemat waktu hingga 30% dalam pengembangan proyek urban. Hal ini memperlihatkan dampak nyata AI dalam mempercepat tahapan konstruksi.

 

Tantangan dan Hambatan Implementasi

Meski menjanjikan, AI menghadapi berbagai hambatan:

  • Keamanan data (156 tweet)

  • Kurangnya kemampuan SDM (110 tweet)

  • Lingkungan kerja yang tidak terstruktur (95 tweet)

  • Kompleksitas sistem (96 tweet)

  • Risiko proyek (93 tweet)

​​​​​​​Tweet dari Tasmania dan Northern Territory banyak menyoroti kendala biaya awal dan kesiapan infrastruktur.

 

Perbandingan dengan Studi Lain

Berbeda dengan studi yang berfokus pada teknologi spesifik (misal BIM atau AR), penelitian ini menyajikan peta menyeluruh dari persepsi sosial dan teknologi AI dalam konstruksi. Kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif dari media sosial memberikan dimensi baru dalam riset adopsi teknologi.

 

Dampak Nyata dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini memberi masukan penting bagi:

  • Pemerintah: merancang strategi AI nasional berbasis persepsi publik

  • Perusahaan: memilih teknologi sesuai respons pasar

  • Akademisi: merancang pelatihan dan kurikulum berbasis kebutuhan industri
     

Rekomendasi kebijakan meliputi:

  • Subsidi pelatihan teknologi digital

  • Kolaborasi antar sektor

  • Penyesuaian regulasi keselamatan kerja dalam konteks otomatisasi
     

Kesimpulan: AI Bukan Ancaman, Tapi Peluang

AI dalam konstruksi Australia dipandang secara luas sebagai alat transformasi, bukan pengganti manusia. Studi Regona et al. menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, AI dapat meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja. Tantangannya ada, tapi peluangnya jauh lebih besar.

 

 

Sumber

Regona, M., Yigitcanlar, T., Xia, B., & Li, R.Y.M. (2022). Artificial Intelligent Technologies for the Construction Industry: How Are They Perceived and Utilized in Australia? Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 8(1), 16. https://doi.org/10.3390/joitmc8010016

Selengkapnya
Kecerdasan Buatan dalam Konstruksi Australia: Peluang, Tantangan, dan Persepsi Publik

Transformasi Digital

Membangun Kualitas Masa Depan di Era Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Kualitas di Era Digital: Mengapa Quality 4.0 Jadi Kebutuhan Mendesak?

Perkembangan pesat teknologi mendorong perusahaan untuk tidak hanya mengotomatisasi proses, tetapi juga mendigitalisasi nilai-nilai kualitas yang dulu bersifat manual. Quality 4.0 muncul sebagai kelanjutan logis dari prinsip Total Quality Management (TQM), kini diperkuat dengan AI, IoT, dan big data.

Namun, seperti disoroti dalam tesis ini, banyak organisasi masih belum memahami bagaimana melakukan transisi menuju Quality 4.0. Terdapat kekosongan antara kesadaran dan eksekusi. Sisodia dan Forero mencoba menjembatani kesenjangan tersebut dengan menyusun kerangka kerja dan roadmap yang konkret.

 

Latar Belakang: Di Mana Posisi Quality 4.0 dalam Revolusi Industri 4.0?

Istilah Industry 4.0 merujuk pada transformasi besar yang mengandalkan konektivitas tinggi antar perangkat, sistem siber-fisik, dan integrasi data real-time. Namun, banyak diskusi soal Industri 4.0 terlalu berfokus pada teknologi dan melupakan aspek kualitas yang seharusnya menjadi DNA setiap organisasi.

Quality 4.0 adalah respons terhadap tantangan ini—sebuah pendekatan yang melihat kualitas sebagai proses digital yang melibatkan teknologi, proses, dan manusia dalam harmoni.

 

Tesis Ini Menjawab Dua Pertanyaan Kunci:

  1. Sejauh mana pemahaman organisasi terhadap konsep Quality 4.0?
    Temuan menunjukkan bahwa pemahaman masih terbatas. Sebagian besar responden dari industri di Swedia bahkan belum mengenal istilah ini, meski memahami digitalisasi sebagai bagian dari Industry 4.0.
  2. Langkah apa yang harus diambil organisasi untuk bertransisi ke Quality 4.0?
    Inilah fokus utama tesis: penyusunan roadmap sistematis yang dapat diadopsi oleh berbagai organisasi.

 

Roadmap Menuju Quality 4.0: 6 Langkah Strategis

1. Menilai Kesiapan Organisasi (Assess Readiness)

  • Evaluasi kematangan digital (digital maturity).
  • Ukur stabilitas proses, alur data, dan budaya organisasi.
  • Pahami kebutuhan kompetensi (misalnya, data science, lean thinking).

2. Membangun Dasar Strategi (Setting Up)

  • Selaraskan strategi bisnis dengan peta jalan digital.
  • Libatkan manajemen dalam penyusunan business case.
  • Fokus pada nilai tambah dan kelayakan investasi.

3. Melibatkan Pemangku Kepentingan (Involve Stakeholders)

  • Kolaborasi lintas departemen dan fungsi.
  • Bangun keterlibatan dari awal agar transformasi bersifat menyeluruh.
  • Jalin komunikasi terbuka dengan pelanggan dan pemasok.

4. Menghasilkan Nilai Tambah (Create Value)

  • Gunakan insight dari data untuk pengambilan keputusan strategis.
  • Fokus pada pengurangan biaya kualitas buruk (Cost of Poor Quality/CoPQ).
  • Dorong co-creation bersama pelanggan dalam desain produk.

5. Mengelola Data secara Efektif (Manage Data)

  • Tata kelola data dan keamanan siber menjadi prioritas.
  • Terapkan analitik prediktif untuk mengantisipasi cacat produksi.
  • Gunakan blockchain untuk transparansi dan traceability.

6. Melakukan Evaluasi dan Iterasi

  • Tinjau kembali roadmap secara periodik.
  • Gunakan pendekatan agile dalam eksekusi transformasi.
  • Libatkan feedback loop dari semua stakeholder.

 

Studi Kasus: GKN Aerospace dan Tantangan Digitalisasi

Tesis ini bekerja sama dengan GKN Aerospace, salah satu perusahaan penerbangan global, sebagai studi kasus. Mereka memiliki jaringan pabrik global dan tengah menjalankan proyek digitalisasi. Meski sudah mengenal digital tools dan Industry 4.0, kualitas masih dianggap sebagai elemen pendukung, bukan inti transformasi.

Temuan penting:

  • Banyak inisiatif digital belum menyentuh aspek kualitas secara langsung.
  • Manajemen masih menilai I4.0 dari sisi IT, bukan kualitas.
  • Ada kesenjangan kompetensi dan pemahaman antar divisi.

Dengan membangun roadmap seperti yang dijabarkan, perusahaan seperti GKN dapat menghubungkan tujuan digitalisasi dengan strategi kualitas yang lebih adaptif.

 

Nilai Tambah dari Quality 4.0: Tidak Sekadar Otomatisasi

Quality 4.0 memberikan fondasi untuk:

  • Meningkatkan ketepatan pengambilan keputusan.
    → Dengan data real-time dan model prediktif, organisasi tidak perlu menunggu laporan bulanan untuk bertindak.
  • Menurunkan biaya kualitas buruk (CoPQ).
    → Biaya ini bisa mencapai 20–30% dari revenue jika tidak dikelola.
  • Mengintegrasikan aspek keberlanjutan.
    → Kualitas kini tidak hanya soal produk, tetapi juga lingkungan, masyarakat, dan etika.
  • Memperkuat budaya organisasi berbasis pembelajaran.
    → Proses perbaikan berkelanjutan kini berbasis data, bukan sekadar best practice manual.

 

Kritik dan Tantangan Implementasi

Meskipun roadmap yang ditawarkan komprehensif, implementasinya tidak bebas hambatan. Beberapa tantangan meliputi:

  • Kurangnya definisi operasional Q4.0 yang universal.
    → Banyak perusahaan menunggu standar dari luar daripada menciptakan sendiri.
  • Ketergantungan pada teknologi tanpa kesiapan budaya.
    → Tanpa komitmen dari semua level organisasi, teknologi hanyalah alat.
  • Kekurangan talenta digital yang memahami konteks kualitas.
    → Ini mendorong kebutuhan integrasi pelatihan soft skill dan digital skill.

 

Refleksi dan Relevansi Masa Kini

Penelitian ini sangat relevan dalam konteks pasca-pandemi dan tantangan rantai pasok global. Banyak perusahaan ingin meningkatkan fleksibilitas operasional dan kualitas produk secara simultan. Quality 4.0 memberikan solusi dengan:

  • Menyatukan data dari berbagai sumber ke dalam satu sistem kualitas terpadu.
  • Mendukung strategi berbasis fakta, bukan asumsi.
  • Menjembatani gap antara divisi produksi, teknologi, dan manajemen.

 

Kesimpulan: Dari Kualitas Tradisional Menuju Transformasi Strategis

Quality 4.0 bukan hanya versi digital dari TQM, tetapi evolusi menyeluruh dalam cara perusahaan memahami dan menciptakan nilai melalui kualitas. Dengan roadmap transisi yang jelas, organisasi dapat:

  • Menurunkan biaya kegagalan,
  • Meningkatkan kepuasan pelanggan, dan
  • Membangun budaya perbaikan berkelanjutan yang benar-benar didukung data.

Penelitian Sisodia dan Forero memberi kontribusi nyata bukan hanya dalam literatur akademik, tapi juga sebagai panduan praktis bagi para profesional industri.

 

Sumber

Sisodia, R., & Forero, D. V. (2020). Quality 4.0 – How to Handle Quality in the Industry 4.0 Revolution. Master’s Thesis, Chalmers University of Technology.

 

Selengkapnya
Membangun Kualitas Masa Depan di Era Industri 4.0
« First Previous page 454 of 1.345 Next Last »