Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Desain Sistem Monitoring Kinerja Rantai Pasok: Framework, Tantangan, dan Implementasi Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi besar dalam rantai pasok global, menimbulkan tantangan bagi perusahaan dalam mengelola arus material dan informasi. Untuk tetap kompetitif, perusahaan harus memiliki sistem monitoring kinerja rantai pasok yang efektif.

Penelitian ini, yang dilakukan oleh Peter Majercak dari University of Zilina, Slovakia, bertujuan untuk mengembangkan framework Supply Chain Performance Monitoring (SCPM) yang dapat meningkatkan daya saing perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggabungkan berbagai metode analisis untuk mengidentifikasi kelemahan dalam pengukuran kinerja rantai pasok:

  • SCOR Model → Mengukur reliabilitas, fleksibilitas, dan biaya rantai pasok.
  • Balanced Scorecard (BSC) → Mengevaluasi kinerja dari perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, dan inovasi.
  • Root Cause Analysis (RCA) → Mengidentifikasi akar masalah dalam rantai pasok.

Framework ini membantu perusahaan dalam menyesuaikan strategi rantai pasok dengan tujuan bisnis serta mengurangi dampak gangguan eksternal.

Temuan Utama

1. Mengapa Monitoring Kinerja Rantai Pasok Sangat Penting?

  • Mengoptimalkan proses produksi dan distribusi untuk mengurangi keterlambatan pengiriman.
  • Mendeteksi masalah operasional lebih awal sebelum memengaruhi efisiensi bisnis.
  • Meningkatkan daya saing global dengan menerapkan teknologi digital dalam pengukuran kinerja.

2. Framework Monitoring Kinerja Supply Chain

Framework yang diusulkan dalam penelitian ini mencakup:
📌 SCOR Model

  • Reliability: Evaluasi ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk.
  • Responsiveness: Kecepatan dalam menanggapi perubahan permintaan pelanggan.
  • Flexibility: Kemampuan adaptasi terhadap gangguan rantai pasok.
  • Cost & Asset Management: Optimasi biaya produksi dan distribusi.

📌 Balanced Scorecard

  • Keuangan → ROI, cost efficiency, dan revenue growth.
  • Pelanggan → Kepuasan pelanggan dan ketepatan waktu pengiriman.
  • Proses Internal → Efisiensi produksi dan pengelolaan persediaan.
  • Inovasi → Adopsi teknologi digital dalam rantai pasok.

3. Studi Kasus: Implementasi Monitoring Kinerja di Perusahaan Manufaktur

Penelitian ini mengkaji sistem monitoring rantai pasok di perusahaan manufaktur yang terdampak pandemi COVID-19.

📌 Industri Otomotif

  • Lead-time produksi meningkat hingga 45% selama pandemi akibat keterlambatan bahan baku.
  • Penerapan SCOR Model berhasil mengurangi lead-time hingga 20% melalui optimasi rantai pasok.

📌 Industri Farmasi

  • Gangguan distribusi obat mencapai 35% akibat lockdown dan pembatasan ekspor.
  • Balanced Scorecard meningkatkan efisiensi pengiriman hingga 25% dengan optimasi logistik digital.

📌 Industri Elektronik

  • Permintaan melonjak 60%, tetapi keterbatasan chip semikonduktor menyebabkan stagnasi produksi.
  • Just-in-Time (JIT) dikombinasikan dengan SCOR berhasil mengurangi pemborosan inventaris hingga 30%.

Tantangan dalam Implementasi Sistem Monitoring Supply Chain

Kurangnya data real-time untuk pengambilan keputusan
➡ Solusi: Menggunakan IoT dan AI untuk pemantauan otomatis.

Kesulitan dalam integrasi sistem monitoring
➡ Solusi: Menggunakan platform berbasis cloud untuk transparansi rantai pasok.

Biaya investasi tinggi dalam teknologi digital
➡ Solusi: Menggunakan strategi hybrid dengan investasi bertahap dalam digitalisasi.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan Sistem Monitoring Supply Chain

Mengadopsi Digital Supply Chain

  • Menggunakan Big Data dan AI untuk prediksi permintaan pasar.
  • Menerapkan Blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data.

Meningkatkan Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Mengembangkan kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan pemasok.
  • Menggunakan real-time tracking system untuk memantau arus logistik.

Mengoptimalkan Model SCPM dengan Hybrid Approach

  • Kombinasi SCOR Model, Balanced Scorecard, dan Just-in-Time untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan framework dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Monitoring System (SCPM) menjadi faktor kunci dalam meningkatkan daya tahan rantai pasok selama pandemi COVID-19.

Dengan mengadopsi teknologi digital, strategi berbasis SCOR Model, dan Balanced Scorecard, perusahaan dapat:
Meningkatkan ketahanan rantai pasok terhadap disrupsi eksternal.
Mengoptimalkan biaya operasional dan meningkatkan efisiensi logistik.
Meningkatkan kepuasan pelanggan melalui distribusi yang lebih andal.

Di era pasca-pandemi, transformasi digital dalam monitoring rantai pasok bukan lagi opsi, tetapi menjadi kebutuhan utama bagi perusahaan yang ingin tetap kompetitif.

Sumber : Peter Majercak (2021). Design of a Supply Chain Performance Monitoring System for a Company in the Context of the COVID-19 Pandemic. University of Zilina, Slovakia.

 

Selengkapnya
Desain Sistem Monitoring Kinerja Rantai Pasok: Framework, Tantangan, dan Implementasi Efektif

Keselamatan Kerja

Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di rumah sakit menjadi isu penting yang harus diperhatikan. Rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap tenaga kesehatan, pasien, dan bahkan pengunjung. Paper berjudul Analysis of Occupational Safety and Health (OSH) Risks in Hospitals: Literature Review karya Widi Mahasih Pramusiwi, Widodo Hariyono, dan Rochana Ruliyandari dari Universitas Ahmad Dahlan mengkaji berbagai risiko K3 di rumah sakit Indonesia melalui tinjauan literatur sistematis.

Penelitian ini menggunakan metode systematic literature review dengan pendekatan PRISMA untuk menyeleksi enam artikel ilmiah terkait K3 rumah sakit di Indonesia. Sumber data diperoleh melalui Google Scholar dengan kata kunci "Hospital Occupational Health and Safety Risks" dalam rentang tahun 2018-2022.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko K3 di rumah sakit dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok utama:

  1. Risiko Fisik: Cedera akibat jatuh, tertusuk jarum, terkena benda tajam, kecelakaan listrik, dan gangguan akibat pencahayaan buruk.
  2. Risiko Kimia: Paparan bahan kimia berbahaya seperti disinfektan, gas anestesi, limbah medis, dan obat-obatan sitotoksik.
  3. Risiko Biologis: Penyebaran virus dan bakteri penyebab infeksi nosokomial, COVID-19, hepatitis, HIV/AIDS, dan tuberkulosis.
  4. Risiko Ergonomis: Cedera otot dan tulang akibat postur kerja yang buruk, mengangkat pasien dengan teknik yang salah, serta kelelahan akibat pekerjaan berulang.
  5. Risiko Psikologis: Stres kerja, gangguan kecemasan, serangan dari pasien, serta kejenuhan akibat jam kerja panjang.

Beberapa temuan penting dari studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini:

  • Risiko Infeksi Nosokomial di IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang: Ditemukan bahwa tenaga kesehatan di IGD menghadapi risiko tinggi terhadap infeksi dari virus dan bakteri. Studi ini menunjukkan bahwa tenaga medis di rumah sakit ini sering mengalami paparan HIV, hepatitis, dan COVID-19 akibat kurangnya standar proteksi diri.
  • Bahaya Limbah Medis di RSU Haji Surabaya: Petugas kebersihan menghadapi risiko tinggi terkena tusukan jarum bekas, yang dapat menyebabkan infeksi HIV dan hepatitis. Paparan limbah medis yang tidak terkelola dengan baik juga meningkatkan risiko penyakit akibat vektor seperti tikus dan serangga.
  • Kelelahan dan Gangguan Muskuloskeletal di RS Roemani Muhammadiyah Semarang: Petugas filing rekam medis sering mengalami sakit punggung, nyeri sendi, serta stres akibat beban kerja yang berlebihan dan ergonomi kerja yang buruk.
  • Paparan Bahan Kimia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit: Ditemukan bahwa petugas farmasi sering terpapar zat beracun yang dapat menyebabkan iritasi mata, gangguan pernapasan, hingga penyakit akibat paparan jangka panjang.

Dari hasil penelitian ini, ada beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan untuk mengurangi risiko K3 di rumah sakit:

  1. Peningkatan Standar Keselamatan: Menerapkan standar K3 yang lebih ketat dalam penggunaan alat pelindung diri (APD), prosedur pembuangan limbah, serta sistem ventilasi yang baik untuk mengurangi paparan bahan kimia berbahaya.
  2. Pelatihan dan Kesadaran Pegawai: Seluruh tenaga kesehatan dan staf rumah sakit harus mendapatkan pelatihan rutin mengenai manajemen risiko K3 dan cara penanganan darurat jika terjadi kecelakaan kerja.
  3. Peningkatan Infrastruktur dan Peralatan: Menyediakan alat kerja ergonomis, pencahayaan yang cukup, serta sistem keamanan untuk mencegah kecelakaan akibat jatuh atau tertusuk benda tajam.
  4. Dukungan Psikologis untuk Tenaga Kesehatan: Memberikan fasilitas konseling dan sistem kerja yang lebih fleksibel guna mengurangi tingkat stres dan kelelahan di lingkungan rumah sakit.

Penelitian ini menegaskan bahwa risiko K3 di rumah sakit sangat beragam dan berpotensi menimbulkan dampak serius bagi tenaga kesehatan serta pasien. Oleh karena itu, implementasi kebijakan keselamatan yang lebih baik sangat diperlukan guna menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman. Dengan langkah-langkah preventif yang tepat, rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan sekaligus melindungi kesejahteraan tenaga medis dan staf pendukungnya.

Sumber: Widi Mahasih Pramusiwi, Widodo Hariyono, Rochana Ruliyandari. Analysis of Occupational Safety and Health (OSH) Risks in Hospitals: Literature Review. MPPKI (August 2024) Vol. 7 No. 8. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Palu.

 

Selengkapnya
Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Desain Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok di Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Implementasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Kinerja pemasok yang buruk dapat meningkatkan biaya produksi hingga 10-20% akibat kualitas produk yang tidak sesuai atau keterlambatan pengiriman. Oleh karena itu, perusahaan memerlukan Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok (SPMS) untuk mengelola dan mengevaluasi pemasok secara efektif.

Penelitian ini, yang dilakukan oleh Eveliina Toivakka dari Lappeenranta–Lahti University of Technology (LUT) dan University of Twente, bertujuan untuk mengembangkan framework desain SPMS yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggabungkan kajian literatur dan wawancara dengan perusahaan besar yang telah mengimplementasikan SPMS.

  • Wawancara dianalisis menggunakan Gioia Methodology untuk mendapatkan wawasan mendalam.
  • Kajian literatur mengeksplorasi berbagai model SPMS dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya.

Temuan Utama

1. Mengapa SPMS Penting dalam Industri Manufaktur?

  • Efisiensi Operasional → Perusahaan dapat mengurangi biaya akibat kesalahan pemasok.
  • Evaluasi Kinerja Secara Objektif → Data berbasis KPI membantu dalam pengambilan keputusan.
  • Peningkatan Hubungan dengan Pemasok → Transparansi dalam evaluasi meningkatkan kepercayaan dan kerja sama jangka panjang.

2. Siklus Hidup SPMS

Penelitian ini membagi siklus hidup SPMS menjadi empat tahap utama:

  1. Desain → Menentukan KPI dan standar evaluasi pemasok.
  2. Implementasi → Membangun sistem data dan pelaporan kinerja.
  3. Penggunaan → Mengumpulkan, menganalisis, dan menindaklanjuti hasil evaluasi.
  4. Review → Memperbarui sistem untuk meningkatkan efektivitas.

3. Model Pengukuran Kinerja Pemasok

Beberapa pendekatan dalam pengukuran kinerja pemasok yang dikaji dalam penelitian ini:
Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan inovasi.
SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliabilitas, fleksibilitas, dan biaya rantai pasok.
Activity-Based Costing (ABC) → Mengidentifikasi biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.

Studi Kasus: Implementasi SPMS dalam Industri Manufaktur

1. Industri Otomotif

  • Implementasi SCOR Model meningkatkan akurasi prediksi permintaan hingga 25%.
  • Waktu produksi berkurang 30%, meningkatkan efisiensi rantai pasok.

2. Industri Elektronik

  • Penerapan Balanced Scorecard meningkatkan efisiensi operasional sebesar 18% dalam dua tahun.
  • Kualitas pemasok meningkat 40% melalui sistem pemantauan berbasis data real-time.

3. Industri Farmasi

  • Menggunakan EVA (Economic Value Added) untuk menilai dampak finansial pemasok.
  • Keuntungan operasional meningkat 12% dengan optimasi rantai pasok.

Tantangan dalam Implementasi SPMS

Kesulitan dalam Standarisasi KPI
➡ Banyak perusahaan memiliki metode evaluasi yang berbeda, sehingga sulit melakukan benchmarking.

Biaya Implementasi yang Tinggi
Integrasi sistem digital seperti ERP dan AI memerlukan investasi besar.

Kurangnya Keahlian dalam Analisis Data
Sebagian besar perusahaan masih menggunakan metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.

Strategi Optimal untuk Implementasi SPMS

Integrasi Digital dalam Pengukuran Kinerja Pemasok

  • Big Data dan AI untuk meningkatkan akurasi prediksi kinerja pemasok.
  • Blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data pemasok.

Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan pemasok.
  • Platform berbasis cloud untuk berbagi informasi secara real-time.

Menggunakan Framework Hybrid

  • Kombinasi SCOR dan Balanced Scorecard untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan metrik dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa Supplier Performance Measurement System (SPMS) adalah elemen krusial dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing industri manufaktur.

Dengan framework yang tepat, perusahaan dapat:
Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
Mengoptimalkan biaya operasional.
Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan pemasok yang lebih andal.

Dalam era Industri 4.0, digitalisasi dalam pengukuran kinerja pemasok menjadi faktor penentu keberhasilan rantai pasok global.

Sumber : Eveliina Toivakka (2023). Supplier Performance Measurement System Design in Manufacturing Industry. Lappeenranta–Lahti University of Technology LUT & University of Twente.

 

Selengkapnya
Desain Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok di Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Implementasi

Keselamatan Kerja

Pemodelan dan Mitigasi Risiko Keselamatan Kerja di Lingkungan Industri Dinamis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan kerja merupakan asprek kritis di berbagai industri, terutama dalam sektor manufaktur, konstruksi, dan petrokimia yang memiliki lingkungan kerja dinamis. Untuk memberikan pendekatan analitis yang lebih akurat dalam mengukur risiko keselamatan kerja serta membantu pengambilan keputusan berbasis data dalam alokasi sumber daya mitigasi risiko di lingkungan industri yang kompleks.

Penelitian ini mengembangkan model probabilistik yang mampu:

  • Menganalisis data keselamatan kerja secara kuantitatif dari sistem manajemen keselamatan (SMS).
  • Menggabungkan data proaktif (pengamatan keselamatan) dan reaktif (laporan kecelakaan dan insiden).
  • Menggunakan algoritma Bayesian untuk terus memperbarui penilaian risiko seiring dengan berkembangnya lingkungan kerja.
  • Mengoptimalkan alokasi sumber daya untuk mitigasi risiko secara efektif.

Metode ini diuji melalui simulasi serta penerapan di proyek pemeliharaan di sebuah pabrik petrokimia besar, membuktikan efektivitasnya dalam mengurangi risiko kecelakaan kerja.

  1. Studi Simulasi
    • Model diuji dalam lingkungan kerja simulatif yang memiliki 7 kategori risiko keselamatan utama.
    • Dibandingkan dengan metode alokasi sumber daya berbasis heuristik dan metode acak, pendekatan berbasis model probabilistik mampu mengurangi ekspektasi kerugian akibat kecelakaan sebesar 15–20%.
    • Dengan menggunakan data observasi keselamatan, model ini dapat mengalokasikan sumber daya mitigasi risiko secara lebih tepat dibandingkan pendekatan konvensional.
  2. Penerapan di Industri Petrokimia
    • Model ini diterapkan dalam proyek pemeliharaan besar dengan 60 kategori risiko keselamatan yang dianalisis.
    • Penggunaan model memungkinkan identifikasi risiko dengan tingkat keakuratan lebih tinggi, terutama pada kategori seperti "Bekerja di Ketinggian" yang secara konsisten menunjukkan risiko tertinggi.
    • Dibandingkan dengan pendekatan konvensional, model ini menunjukkan konsistensi dalam penilaian risiko meskipun jumlah observasi berbeda antar kategori risiko.

Analisis dan Implikasi bagi Industri

  1. Peningkatan Efektivitas Sistem Manajemen Keselamatan (SMS)
    • SMS modern mengumpulkan data keselamatan dalam jumlah besar, tetapi sering kali kurang mampu menganalisis data tersebut secara efektif.
    • Model probabilistik yang diusulkan memungkinkan pemanfaatan data observasi dan insiden secara bersamaan untuk memberikan gambaran risiko yang lebih akurat.
  2. Optimalisasi Alokasi Sumber Daya
    • Dengan menggunakan metode berbasis Bayesian, perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya keselamatan ke area yang paling membutuhkan intervensi.
    • Misalnya, dalam studi industri petrokimia, area “Barricades” dan “Safety Procedures” mendapatkan prioritas lebih tinggi berdasarkan tingkat risikonya.
  3. Peran Teknologi dalam Keselamatan Kerja
    • Integrasi model ini dengan sensor IoT dan teknologi pemantauan otomatis dapat meningkatkan deteksi dini terhadap risiko keselamatan.
    • Teknologi pemodelan risiko ini dapat digunakan dalam sistem otomatisasi industri untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi bahaya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data dapat meningkatkan efektivitas sistem manajemen keselamatan kerja dalam lingkungan industri yang dinamis. Dengan menggunakan model probabilistik hierarkis dan algoritma Bayesian, perusahaan dapat mengoptimalkan mitigasi risiko secara lebih akurat dan efisien.

Untuk penelitian selanjutnya, direkomendasikan eksplorasi lebih lanjut terhadap integrasi model ini dengan kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin untuk meningkatkan deteksi risiko dan prediksi kecelakaan kerja.

Sumber Artikel:
Tewari, A., & Paiva, A. R. (2022). Modeling and Mitigation of Occupational Safety Risks in Dynamic Industrial Environments. Safety Science.

 

Selengkapnya
Pemodelan dan Mitigasi Risiko Keselamatan Kerja di Lingkungan Industri Dinamis

Limbah Berbahaya dan Beracun

Manajemen Limbah B3 di Rumah Sakit: Studi Kasus Kesiapan Rumah Sakit X dalam Akreditasi SNARS

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam industri kesehatan menjadi salah satu isu utama dalam pengelolaan rumah sakit. Pengelolaan limbah ini tidak hanya berpengaruh terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kesehatan tenaga medis, pasien, pengunjung, dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, rumah sakit harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sesuai dengan regulasi yang berlaku. Paper ini mengkaji kesiapan Rumah Sakit X di Banyuwangi dalam menghadapi akreditasi SNARS 1.1 dari aspek manajemen limbah B3. Akreditasi ini mensyaratkan rumah sakit memiliki regulasi yang ketat terhadap pengelolaan limbah berbahaya untuk mendapatkan nilai minimal 80% dalam aspek manajemen fasilitas dan keselamatan (Facility Management and Safety – FMS).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui:

  • Dokumentasi
  • Wawancara dengan 7 responden, termasuk direktur rumah sakit dan kepala instalasi farmasi
  • Observasi langsung
  • Simulasi prosedur penanganan limbah B3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan rumah sakit X dalam pengelolaan limbah B3 hanya mencapai 79,4%, di bawah standar minimal akreditasi SNARS yang mensyaratkan ≥80%. Beberapa aspek utama yang menyebabkan rendahnya kesiapan Rumah Sakit X meliputi:

  • Kurangnya regulasi internal mengenai jenis dan lokasi penyimpanan limbah B3.
  • Tidak adanya daftar terbaru mengenai jenis dan volume limbah berbahaya yang dihasilkan rumah sakit.
  • Minimnya dokumentasi terkait pelaporan insiden tumpahan atau paparan limbah B3.
  • Keterbatasan prosedur pengelolaan limbah B3 yang sesuai dengan standar nasional dan internasional.

Rumah sakit X telah memiliki beberapa kebijakan terkait manajemen limbah B3, tetapi masih belum memenuhi standar WHO secara menyeluruh. Contohnya, rumah sakit ini belum memiliki daftar terperinci mengenai jenis, lokasi, dan jumlah limbah B3 yang dikelola. Dalam sebuah wawancara, seorang staf menyatakan bahwa daftar limbah memang ada, tetapi belum diperbarui secara berkala, sehingga banyak data yang tidak akurat. Ketidaksesuaian ini menjadi salah satu faktor rendahnya skor akreditasi rumah sakit.

Beberapa aspek keselamatan telah terpenuhi, misalnya:

  • Penggunaan APD lengkap bagi petugas yang menangani limbah B3.
  • Penyediaan eye washer di area yang membutuhkan.
  • Labelisasi yang sesuai dengan regulasi pada sebagian besar limbah berbahaya.

Namun, masih ditemukan beberapa alat labelisasi yang sudah usang dan perlu diperbarui untuk memastikan informasi tetap terlihat jelas.

Salah satu temuan kritis dalam penelitian ini adalah tidak adanya laporan tumpahan atau paparan limbah B3 di rumah sakit X. Seorang responden mengungkapkan bahwa rumah sakit hanya melaporkan kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum, tetapi tidak mencatat insiden terkait tumpahan limbah beracun. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dalam mendokumentasikan potensi bahaya dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Rumah sakit X memiliki tempat penyimpanan limbah B3 dengan izin resmi dari Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan:

  • Tidak ada regulasi spesifik mengenai syarat penyimpanan limbah B3, seperti ventilasi, penandaan area berbahaya, dan pengelolaan suhu ruangan.
  • Kurangnya fasilitas pengamanan seperti pagar yang memadai di sekitar tempat penyimpanan limbah.
  • Ketidaksesuaian dalam prosedur pelaporan dan pencatatan limbah yang masuk dan keluar dari tempat penyimpanan.

Ketidaksiapan dalam pengelolaan limbah berbahaya dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Menurut WHO, 10–25% limbah rumah sakit termasuk dalam kategori limbah infeksius atau beracun yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV. Selain itu, paparan bahan kimia berbahaya dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan gangguan sistem saraf.

Dalam konteks Rumah Sakit X, kegagalan memenuhi standar SNARS berpotensi menghambat akreditasi dan menurunkan citra rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang aman dan terpercaya. Agar rumah sakit X dapat memenuhi standar SNARS dan meningkatkan pengelolaan limbah B3, beberapa langkah perbaikan yang disarankan meliputi:

1. Penyempurnaan Regulasi Internal

Rumah sakit perlu mengembangkan regulasi yang lebih spesifik terkait:

  • Identifikasi limbah B3 berdasarkan jenis, lokasi, dan jumlah.
  • Prosedur penanganan limbah yang mencakup penyimpanan, transportasi, dan pembuangan.
  • Kewajiban pelaporan insiden limbah beracun untuk meningkatkan sistem keamanan kerja.

2. Peningkatan Sistem Dokumentasi dan Pelaporan

Dokumentasi yang lebih baik diperlukan untuk:

  • Mencatat setiap insiden tumpahan atau paparan limbah B3.
  • Memastikan daftar limbah diperbarui secara berkala.
  • Mengembangkan sistem pemantauan limbah berbasis digital untuk meningkatkan akurasi data.

3. Penyediaan Fasilitas yang Memadai

Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan meliputi:

  • Peningkatan sistem ventilasi dan keamanan di tempat penyimpanan limbah.
  • Pemasangan pagar pengaman di sekitar lokasi penyimpanan.
  • Penambahan stasiun pencucian darurat di area yang lebih luas.

4. Pelatihan Keselamatan dan Kesadaran Petugas

Pelatihan bagi tenaga medis dan staf rumah sakit sangat penting untuk:

  • Meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah B3.
  • Mendorong kepatuhan dalam menggunakan APD.
  • Memastikan semua staf memahami prosedur darurat dalam menangani tumpahan atau paparan bahan beracun.

Penelitian ini menunjukkan bahwa Rumah Sakit X belum sepenuhnya siap dalam mengelola limbah B3, dengan nilai kesiapan 79,4%, sedikit di bawah standar SNARS 1.1 sebesar 80%. Faktor utama ketidaksiapan adalah kurangnya regulasi internal, dokumentasi yang tidak memadai, dan minimnya fasilitas keamanan.

Untuk meningkatkan kesiapan dan mencapai standar akreditasi, rumah sakit perlu melengkapi regulasi internal, memperbaiki sistem dokumentasi, serta meningkatkan pelatihan bagi petugas kesehatan. Dengan langkah-langkah ini, risiko kesehatan akibat limbah B3 dapat dikurangi, dan akreditasi SNARS dapat tercapai dengan lebih optimal.

Sumber 

Endistasari, P., Marchianti, A. C. N., & Ma’rufi, I. (2023). The Analysis of Readiness on Hazardous and Toxic Materials Management from Occupational Health and Safety Aspects of Hospital X in Banyuwangi in Dealing with SNARS Accreditation. Jember University.

Selengkapnya
Manajemen Limbah B3 di Rumah Sakit: Studi Kasus Kesiapan Rumah Sakit X dalam Akreditasi SNARS

Transportasi Material Berbahaya

Transportasi Material Berbahaya (Hazmat): Tantangan dan Solusi dalam Logistik Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Transportasi material berbahaya (hazmat) merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri logistik global. Bahan kimia berbahaya seperti cairan mudah terbakar, gas beracun, dan material radioaktif memerlukan prosedur khusus dalam pengiriman karena dapat menyebabkan dampak lingkungan yang besar dan risiko keselamatan bagi masyarakat. Paper ini menyajikan tinjauan literatur yang luas mengenai metode mitigasi risiko, pemilihan rute terbaik, tanggap darurat, serta desain jaringan transportasi hazmat. Dengan mengulas 88 artikel yang diterbitkan sejak 2005, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan serta solusi dalam transportasi hazmat di berbagai negara.

Risiko Kecelakaan dalam Transportasi Hazmat

Berdasarkan data dari U.S. Department of Transportation, pada tahun 2013 terjadi lebih dari 15.900 insiden terkait transportasi hazmat di Amerika Serikat. Insiden ini mengakibatkan 28 korban luka berat, 132 korban luka ringan, serta 12 kematian. Selain itu, total kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi hazmat mencapai lebih dari 81 juta dolar AS.

Mayoritas kecelakaan melibatkan cairan mudah terbakar, yang menyumbang lebih dari setengah dari total insiden. Sementara itu, bahan korosif dan gas mudah terbakar juga menjadi penyebab utama kecelakaan dalam transportasi hazmat. Hal ini menunjukkan perlunya strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, termasuk pemilihan rute yang lebih aman dan penerapan sistem tanggap darurat yang lebih baik.

Klasifikasi Material Berbahaya

Menurut United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), material berbahaya dikategorikan ke dalam sembilan kelas berdasarkan sifatnya. Kategori ini meliputi bahan peledak, gas berbahaya, cairan dan padatan mudah terbakar, bahan pengoksidasi, zat beracun, material radioaktif, serta bahan korosif. Setiap jenis bahan ini memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengemasan, penyimpanan, serta prosedur penanganan saat terjadi kecelakaan.

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar insiden transportasi hazmat melibatkan kelas bahan mudah terbakar dan bahan korosif. Hal ini mengindikasikan bahwa prosedur keselamatan dalam transportasi kedua jenis bahan ini perlu lebih diperketat untuk mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.

Tiga faktor utama yang paling mempengaruhi risiko dalam transportasi hazmat, yaitu penilaian risiko, pemilihan rute, dan respons darurat.

1. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Banyak penelitian telah mengembangkan model penilaian risiko untuk transportasi hazmat. Salah satu model yang sering digunakan adalah US DOT Risk Model, yang menghitung risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kecelakaan dan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, metode Quantitative Risk Assessment (QRA) juga banyak digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi bahaya, menganalisis frekuensi kecelakaan, serta melakukan pemodelan konsekuensi dari insiden yang terjadi. Selain pendekatan kuantitatif, beberapa studi juga menekankan pentingnya faktor manusia dalam risiko kecelakaan hazmat. Kesalahan manusia dalam proses transportasi sering kali menjadi penyebab utama insiden, baik karena kelalaian operator maupun kurangnya pelatihan dalam menangani bahan berbahaya.

2. Pemilihan Rute (Routing)

Memilih rute yang optimal adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi risiko dalam transportasi hazmat. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan rute termasuk panjang rute, waktu tempuh, kepadatan penduduk di sekitar jalan, serta kondisi jalan dan cuaca. Riset menunjukkan bahwa semakin panjang jarak transportasi, semakin besar risiko kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu, beberapa negara telah menerapkan regulasi ketat yang membatasi rute transportasi hazmat melalui daerah padat penduduk. Dengan menggunakan teknologi pemetaan dan pemantauan berbasis GPS, perusahaan logistik dapat memilih rute dengan tingkat risiko terendah dan memastikan transportasi bahan berbahaya dilakukan dengan aman.

3. Respons Darurat (Emergency Response)

Tanggap darurat menjadi aspek kritis dalam transportasi hazmat, terutama dalam insiden yang melibatkan kebocoran bahan beracun atau ledakan. Paper ini menemukan bahwa hanya sedikit negara yang memiliki sistem tanggap darurat yang khusus dirancang untuk menangani kecelakaan hazmat. Beberapa langkah yang direkomendasikan dalam penelitian ini termasuk:

  • Pelatihan bagi tim tanggap darurat untuk menangani kebocoran bahan berbahaya.
  • Penggunaan sistem deteksi dini untuk mengidentifikasi kebocoran bahan kimia sebelum insiden semakin memburuk.
  • Implementasi prosedur evakuasi yang lebih cepat dan efisien untuk melindungi masyarakat dari paparan bahan beracun.

Dampak Ekonomi Kecelakaan Hazmat

Kecelakaan hazmat tidak hanya berdampak pada keselamatan publik, tetapi juga membawa kerugian ekonomi yang besar. Dalam periode tujuh tahun antara 2007 hingga 2013, total kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan transportasi hazmat di Amerika Serikat mencapai lebih dari 548 juta dolar AS. Mayoritas dari kerugian ini berasal dari kecelakaan yang terjadi di jalur transportasi darat, yang menyumbang hampir 80 persen dari total kerugian finansial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan regulasi dan infrastruktur keselamatan dalam transportasi hazmat di jalan raya, termasuk penerapan sistem pemantauan berbasis teknologi untuk mengurangi risiko kecelakaan.

Tren Penelitian Transportasi Hazmat

Sejak tahun 1980-an, penelitian mengenai transportasi hazmat terus berkembang. Paper ini mengklasifikasikan 88 artikel yang diterbitkan antara tahun 2005 hingga 2014 ke dalam beberapa kategori utama, yaitu penilaian risiko, optimasi rute, respons darurat, desain jaringan transportasi, serta analisis kecelakaan.

Dari tren yang diamati, penelitian mengenai tanggap darurat dan analisis kecelakaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesiapan dalam menghadapi insiden hazmat serta perlunya sistem mitigasi yang lebih kuat untuk mengurangi dampak negatifnya.

Transportasi hazmat merupakan tantangan besar dalam industri logistik global yang membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk mengelola risiko. Beberapa rekomendasi utama yang disarankan dalam penelitian ini meliputi:

  • Peningkatan regulasi global untuk standar transportasi hazmat, seperti penerapan ADR (European Agreement concerning the International Carriage of Dangerous Goods by Road) di lebih banyak negara.
  • Penggunaan teknologi canggih seperti sensor deteksi kebocoran dan sistem pemantauan berbasis AI untuk mengurangi risiko kecelakaan.
  • Pendidikan dan pelatihan bagi pengemudi serta personel logistik agar lebih memahami prosedur keselamatan dalam menangani bahan berbahaya.

Dengan implementasi strategi ini, risiko kecelakaan dalam transportasi hazmat dapat diminimalkan, sehingga melindungi manusia, lingkungan, dan ekonomi.

Sumber Asli Paper

Yilmaz, Z., Erol, S., & Aplak, H. S. (2016). Transportation of hazardous materials (hazmat): A literature survey. Pamukkale University Journal of Engineering Sciences, 22(1), 39-53.

Selengkapnya
Transportasi Material Berbahaya (Hazmat): Tantangan dan Solusi dalam Logistik Global
« First Previous page 412 of 1.090 Next Last »