Keselamatan Kerja

Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan kerja di laboratorium pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, terutama dalam penggunaan bahan biologis dan kimia berbahaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan kualitatif. Sembilan laboratorium yang diteliti mencakup bidang bioteknologi, ekologi, mikrobiologi, zoologi, kedokteran molekuler, dan farmasi. Variabel yang diamati meliputi SOP penggunaan bahan biologis (7 komponen) dan bahan kimia berbahaya (8 komponen). Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan asisten laboratorium.

Dari tujuh komponen SOP yang diamati, laboratorium mikrobiologi, biologi molekuler dan bioteknologi, serta kedokteran molekuler menerapkan 6 dari 7 komponen. Beberapa komponen utama yang telah diterapkan meliputi:

Namun, ditemukan bahwa beberapa laboratorium belum optimal dalam mengurangi pembentukan aerosol dan bekerja dengan benda tajam.

Dalam aspek bahan kimia, laboratorium biologi molekuler dan bioteknologi serta laboratorium kedokteran molekuler menunjukkan penerapan SOP yang cukup baik, dengan 6 dari 8 komponen telah dijalankan. Beberapa komponen penting yang telah diterapkan meliputi:

  • Penyimpanan bahan kimia sesuai standar
  • Penyediaan alat pemadam kebakaran yang sesuai
  • Penggunaan APD saat menangani bahan kimia berbahaya
  • Dekontaminasi limbah sebelum dibuang

Namun, masih ditemukan laboratorium yang belum optimal dalam memahami sifat bahan kimia yang digunakan serta penerapan Material Safety Data Sheet (MSDS).

Dari hasil analisis, tingkat risiko di laboratorium dikategorikan sebagai berikut:

  • Risiko rendah: 8 dari 9 laboratorium
  • Risiko sedang: Laboratorium zoologi karena kurangnya penerapan SOP dalam penggunaan bahan kimia berbahaya.

Faktor yang menyebabkan masih adanya risiko di laboratorium meliputi kurangnya pelatihan tenaga laboratorium serta keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah.

Untuk meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan antara lain:

  1. Meningkatkan pelatihan dan edukasi tenaga laboratorium tentang standar keamanan bahan biologis dan kimia.
  2. Memastikan kepatuhan terhadap SOP dengan pengawasan ketat dan audit rutin.
  3. Mengoptimalkan sistem pengelolaan limbah untuk mengurangi dampak lingkungan dan risiko kontaminasi.
  4. Melengkapi laboratorium dengan fasilitas keamanan yang lebih baik, seperti alat pemadam kebakaran, ventilasi yang memadai, serta peralatan dekontaminasi yang lebih efektif.

Sebagian besar laboratorium di Universitas Jember telah menerapkan standar keselamatan kerja dalam penggunaan bahan biologis dan kimia, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan kerja di laboratorium dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.

Sumber Artikel: Hanif Murnia Atma, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ari Satia Nugraha, "Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts", Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 23(2), 2024, pp. 191-199.

Selengkapnya
Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Supply Chain Performance Measurement dalam Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Metrik Evaluasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Dalam industri manufaktur, Supply Chain Performance Measurement (SCPM) berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok. Pengukuran kinerja ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan sumber daya, serta meningkatkan daya saing di pasar global.

Penelitian yang dilakukan oleh Ilkka Sillanpää dan Pekka Kess dari University of Vaasa dan University of Oulu ini mengkaji berbagai pendekatan dalam SCPM, termasuk metode strategis, operasional, dan taktis, serta menyoroti framework yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Studi ini merupakan literature review yang mengumpulkan dan menganalisis penelitian sebelumnya terkait SCPM. Fokus utama penelitian ini adalah:

  • Pendekatan manajerial dalam SCPM.
  • Metode pengukuran berbasis waktu dan kinerja operasional.
  • Model evaluasi SCPM dalam konteks manufaktur.

Tujuannya adalah mengembangkan kerangka kerja pengukuran kinerja rantai pasok yang dapat diterapkan secara praktis dalam industri.

Temuan Utama

1. Pendekatan Manajerial dalam SCPM

Gunasekaran et al. (2001) mengelompokkan metrik SCPM menjadi tiga level:

  • Strategic Level → Metrik untuk keputusan top management seperti cash flow time, ROI, dan customer perceived value.
  • Tactical Level → Digunakan oleh middle management untuk mengoptimalkan sumber daya dan perencanaan produksi.
  • Operational Level → Metrik berbasis data real-time seperti lead-time, tingkat fleksibilitas, dan delivery performance.

2. Model Pengukuran Kinerja Supply Chain

Beberapa model SCPM utama yang dianalisis dalam penelitian ini:

Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi.
SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliability, responsiveness, flexibility, cost, dan asset management.
Economic Value Added (EVA) → Mengukur nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok.
Activity-Based Costing (ABC) → Menghitung biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara SCOR dan Balanced Scorecard memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengukuran kinerja supply chain manufaktur.

3. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Manufaktur

Penelitian ini mengkaji implementasi SCPM di berbagai industri manufaktur. Beberapa contoh kasus:

📌 Industri Otomotif

  • Mengadopsi SCOR Model, yang meningkatkan akurasi prediksi permintaan hingga 25%.
  • Lead-time produksi berkurang 30%, meningkatkan efisiensi distribusi.

📌 Industri Elektronik

  • Implementasi Balanced Scorecard menghasilkan peningkatan efisiensi rantai pasok sebesar 18% dalam dua tahun.
  • SC visibility meningkat hingga 40% dengan penggunaan teknologi digital.

📌 Industri Farmasi

  • Penggunaan EVA dalam pengukuran kinerja supply chain meningkatkan keuntungan operasional sebesar 12%.
  • Optimasi inventory management mengurangi biaya stok hingga 20%.

Tantangan dalam Implementasi SCPM

Kurangnya Standarisasi dalam Pengukuran
➡ Banyak perusahaan memiliki framework SCPM yang berbeda, menyebabkan ketidaksesuaian dalam benchmarking.

Tingginya Biaya Implementasi Teknologi
Digitalisasi supply chain memerlukan investasi besar dalam sistem ERP, IoT, dan AI.

Kurangnya Keterampilan dalam Analisis Data
Sebagian besar perusahaan manufaktur masih bergantung pada metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan SCPM

Integrasi Digital dalam SCPM

  • Menggunakan Big Data dan AI untuk meningkatkan akurasi forecasting.
  • Implementasi Blockchain untuk meningkatkan transparansi rantai pasok.

Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Mengembangkan kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan rantai pasok.
  • Platform berbasis cloud untuk berbagi informasi secara real-time.

Menggunakan Framework Hybrid

  • Kombinasi SCOR dan Balanced Scorecard untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan metrik dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Measurement (SCPM) merupakan elemen kunci dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dengan mengadopsi framework yang tepat, perusahaan dapat:
Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
Mengoptimalkan biaya operasional.
Mengurangi lead-time dan meningkatkan customer satisfaction.

Dalam era Industri 4.0, implementasi teknologi digital dalam SCPM menjadi faktor kritis yang harus diterapkan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Sumber : Ilkka Sillanpää, Pekka Kess (2012). The Literature Review of Supply Chain Performance Measurement in the Manufacturing Industry. Management and Production Engineering Review, Vol. 3, No. 2, pp. 79–88.

 

Selengkapnya
Supply Chain Performance Measurement dalam Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Metrik Evaluasi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pengetahuan, Praktik, dan Pola Cedera Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pekerja Industri Pelarut

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam industri manufaktur, terutama di sektor yang melibatkan bahan kimia berbahaya seperti industri pelarut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kesadaran akan keselamatan dan praktik kerja yang diterapkan di industri pelarut mempengaruhi tingkat cedera pekerja. Dengan pendekatan survei silang, penelitian ini mengumpulkan data dari 286 pekerja selama periode Desember 2021 hingga Oktober 2022.

Karakteristik demografi responden meliputi:

  • 72.4% laki-laki dan 27.6% perempuan
  • 33.9% berusia 31-40 tahun (kelompok usia terbesar)
  • 36% memiliki pengalaman kerja 6-10 tahun
  • 40.6% memiliki kualifikasi pra-universitas, sementara 33.9% memiliki gelar sarjana
  • 70.3% bekerja di divisi produksi, dengan sisanya tersebar di divisi teknis, pemasaran, logistik, dan QA/QC

Instrumen dan Analisis Data

  • Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian: data sosiodemografi, pengetahuan K3, dan praktik K3.
  • Tingkat pengetahuan dan praktik dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
  • Data dianalisis menggunakan SPSS versi 27 dengan uji Chi-Square untuk menentukan hubungan antara variabel.
  • Data kecelakaan dikumpulkan dari laporan klinik atau rumah sakit yang dikunjungi pekerja selama 11 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88.1% pekerja memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang K3, 9.8% memiliki pengetahuan sedang, dan hanya 2.1% yang memiliki pengetahuan rendah.

Untuk praktik K3:

  • 68.9% pekerja menunjukkan tingkat praktik yang baik
  • 31.1% memiliki praktik sedang
  • Tidak ada pekerja dengan praktik rendah

Perusahaan secara rutin mengadakan pelatihan bulanan mengenai K3, termasuk penanganan bahan kimia, operasi forklift, serta pelatihan tentang limbah berbahaya dan ruang terbatas. Selain itu, pertemuan safety toolbox diadakan setiap minggu untuk mengingatkan pekerja tentang prosedur keselamatan.

Selama periode penelitian, terdapat tiga insiden cedera yang dilaporkan:

  1. Cedera mata akibat kebocoran bahan kimia, menyebabkan pekerja absen selama 3 hari.
  2. Luka pada tangan akibat kawat baja yang putus, memerlukan operasi dan rawat inap dengan total 2 hari absen.
  3. Fraktur lengan kanan akibat jatuhnya palet, yang mengakibatkan 15 hari absen dari pekerjaan.

Sebagai perbandingan, data nasional Malaysia mencatat bahwa pada tahun 2021, sektor manufaktur mengalami 7.994 kasus cedera kerja, tertinggi dibandingkan sektor jasa (4.299 kasus), konstruksi (2.297 kasus), dan perdagangan ritel (1.979 kasus).

Hubungan antara Faktor Sosiodemografi dan K3

  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dengan faktor usia, gender, pengalaman kerja, atau pendidikan.
  • Ada hubungan signifikan antara praktik K3 dengan usia dan gender (p < 0.001), di mana pekerja muda dan laki-laki lebih cenderung memiliki praktik keselamatan yang lebih baik.
  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dan cedera, maupun antara praktik K3 dan cedera.

Kelebihan 

✅ Menggunakan data empiris yang valid dan ukuran sampel yang besar.
✅ Menyediakan analisis mendalam tentang hubungan antara demografi dan praktik K3.
✅ Menyoroti pentingnya pelatihan keselamatan dalam meningkatkan kesadaran pekerja.

Kekurangan 

❌ Tidak membahas faktor psikososial yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap prosedur K3.
❌ Tidak ada perbandingan langsung dengan industri lain di sektor manufaktur.
❌ Tidak membahas dampak ekonomi dari kecelakaan kerja di perusahaan yang diteliti.

Rekomendasi untuk Implementasi Lebih Lanjut

  1. Peningkatan Kepatuhan terhadap APD
    • Beberapa pekerja hanya mengenakan APD saat ada inspeksi.
    • Perusahaan harus memperketat pengawasan dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar.
  2. Peningkatan Ergonomi di Tempat Kerja
    • Pekerja melaporkan ketidaknyamanan akibat duduk dalam waktu lama.
    • Diperlukan evaluasi ergonomi untuk memastikan lingkungan kerja yang lebih nyaman.
  3. Penguatan Kesadaran Keselamatan
    • Beberapa pekerja tidak menghadiri pertemuan keselamatan mingguan.
    • Supervisor harus mencatat kehadiran dan memastikan seluruh pekerja menerima informasi keselamatan.
  4. Penggunaan Teknologi untuk Keselamatan
    • Implementasi sistem deteksi otomatis menggunakan AI untuk memastikan pekerja menggunakan APD.
    • Pemantauan real-time terhadap risiko lingkungan kerja.

Pekerja di industri pelarut memiliki kesadaran tinggi terhadap K3, yang didukung oleh pelatihan rutin dan kebijakan perusahaan. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam kepatuhan terhadap prosedur K3 dan pemakaian APD yang perlu ditingkatkan.

Studi ini memberikan wawasan penting bagi perusahaan dalam meningkatkan kebijakan K3 dan menekan angka kecelakaan kerja. Dengan pendekatan yang lebih ketat terhadap kepatuhan K3 dan implementasi teknologi keselamatan, diharapkan angka kecelakaan di tempat kerja dapat diminimalkan secara signifikan.

Sumber Artikel

Ali, N. F., & Zulkaple, R. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Knowledge, Practices and Injury Patterns among Solvent Manufacturing Workers: A Cross-sectional Study. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 19(SUPP14), 47-55.

Selengkapnya
Pengetahuan, Praktik, dan Pola Cedera Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pekerja Industri Pelarut

Riset dan Inovasi

12 Terobosan Teknologi dari BPPT untuk Mengurangi Risiko Bencana

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi risiko bencana alam, non-alam, sosial, dan akibat dari kurangnya teknologi yang tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadinya 4.650 bencana alam pada tahun 2020, dengan bencana alam hidrometeorologi menjadi yang paling dominan. Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko bencana, diperlukan upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi dalam bidang kebencanaan.

Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan. Ini terwujud melalui pengenalan Sistem Deteksi Dini Tsunami Terpadu (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (Kalhuttra).

Hammam Riza, Kepala BPPT, menegaskan komitmennya dalam mendorong inovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa BPPT akan terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkaya ekosistem inovasi. Menurutnya, Indonesia harus siap dan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini dapat bertahan dari bencana.

Dalam sebuah webinar bertema "Kebijakan dan Strategi Penelitian dan Inovasi Teknologi Kebencanaan", Hammam mengemukakan bahwa ekosistem inovasi bencana perlu mempertimbangkan isu-isu kunci dalam pengembangan teknologi. Hal ini mencakup sistem peringatan dini multi-ancaman berbasis komunitas, peramalan dampak, peringatan berbasis risiko, dan sistem peringatan multi-bahaya global.

Daftar 12 Inovasi Teknologi Kebencanaan yang Siap Diterapkan oleh Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) di BPPT meliputi:

  1. Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Tsunami;
  2. Flood Early Warning System (FEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir;
  3. Landslide Early Warning System (LEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Longsor;
  4. SIJAGAT untuk Sistem Kaji Kerentanan Struktur Gedung Bertingkat;
  5. SIKUAT untuk Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat;
  6. Simulan untuk Sistem Simulasi Perubahan Guna Lahan dalam Konteks Bencana Tsunami;
  7. Sistem Deteksi Dini Kebakaran Lahan dan Hutan;
  8. PEKA Tsunami untuk Penanganan Kebencanaan Menggunakan Kecerdasan Buatan dalam Sistem Prediksi Kejadian Tsunami;
  9. Karhutla untuk Kecerdasan Buatan dalam Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan;
  10. INDI untuk Indonesia Network for Disaster Information;
  11. Kajian Bencana Gagal Teknologi Sektor Industri;
  12. Biotextile untuk Perlindungan Tanah dan Erosi Tanah.

Kerugian Akibat Bencana

Peningkatan frekuensi bencana di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi, dengan rata-rata kerugian mencapai Rp 22,8 triliun tiap tahun. Menyadari hal tersebut, pemerintah saat ini fokus pada pemulihan ekonomi di semua sektor, terutama di masa pandemi ini. Hammam, seorang ahli, menilai bahwa kerugian akibat bencana dapat diminimalisir dengan kajian mendalam untuk setiap jenis bencana dan wilayah tertentu. BPPT telah memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi hal ini melalui program-program seperti PEKA Tsunami dan PEKA Karhutla. Selain itu, paradigma penanggulangan bencana juga mengalami perubahan global, dengan adanya fokus pada isu-isu seperti SDGs, DRR, perubahan iklim, emisi nol, dan pelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali pada tahun 2020, dihadapkan dengan tantangan baru untuk aktif berperan dalam mengurangi risiko bencana, baik secara nasional maupun global.

Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina

Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina. (Liputan6.com/Trieyasni)
 

Sumber: liputan6.com

Selengkapnya
12 Terobosan Teknologi dari BPPT untuk Mengurangi Risiko Bencana

Riset dan Inovasi

Upaya Meningkatkan Kualitas Riset Di Indonesia Melalui Program S3 Berorientasi Pada Riset

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025


Program Doktor Berbasis Riset: Meningkatkan Mutu Penelitian di Indonesia

Pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral menjadi semakin menarik bagi mahasiswa sarjana yang ingin mengembangkan karier akademik mereka. Salah satu opsi yang semakin populer adalah program doktor berbasis riset, yang menawarkan pelatihan doktoral yang lebih fleksibel dan kesempatan untuk melakukan penelitian mendalam di berbagai bidang ilmu.

Program doktor berbasis riset memungkinkan siswa untuk menggabungkan penelitian akademis mereka dengan penelitian berorientasi penelitian yang lebih mendalam. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang tertentu secara lebih mendalam.

Beberapa universitas terkemuka telah meluncurkan program doktoral berbasis riset, seperti yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Sosialisasi gelar S3 riset yang diadakan di Gedung BJ Habibie 720 KST pada Rabu (11/8) merupakan salah satu langkah untuk memperkenalkan program ini kepada masyarakat.

Menyampaikan dukungannya terhadap program ini, Direktur Pusat Penelitian Teknologi Transportasi Aam Muharam menyatakan harapannya bahwa kerja sama antara ilmu pengetahuan dan industri melalui penelitian dapat membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa. Demikian pula, Ketua Program Penelitian Doktor Teknik Mesin UNS, Triyono, menekankan pentingnya kerja sama antara perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dalam memajukan penelitian di Indonesia.

Program doktor berbasis riset menawarkan pendekatan penelitian yang mendalam, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi ilmu dan penelitian pada tingkat yang lebih maju. Diharapkan, kehadiran program ini dapat melahirkan inovasi-inovasi baru yang berdampak positif bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam pengembangan riset dan inovasi berkelanjutan bagi Indonesia.

Dengan adanya program doktor berbasis riset, diharapkan dapat tercipta lingkungan penelitian yang lebih berkualitas dan memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan mutu penelitian di Indonesia.


Sumber: www.brin.go.id

Selengkapnya
Upaya Meningkatkan Kualitas Riset Di Indonesia Melalui Program S3 Berorientasi Pada Riset

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Sustainable Supply Chain Management: Framework, Pengukuran Kinerja, dan Tren Masa Depan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Dalam menghadapi tantangan lingkungan dan keberlanjutan, konsep Sustainable Supply Chain Management (SSCM) menjadi semakin penting bagi perusahaan di seluruh dunia. SSCM mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan, tanggung jawab sosial, dan kinerja ekonomi dalam seluruh rantai pasok.

Studi yang dilakukan oleh Anup Kumar, Santosh Kumar Shrivastav, Avinash K. Shrivastava, Rashmi Ranjan Panigrahi, Abbas Mardani, dan Fausto Cavallaro ini menyoroti peran teknologi digital dalam meningkatkan SSCM, serta mengusulkan framework pengukuran kinerja untuk mencapai keberlanjutan yang lebih baik.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan literature review dengan bibliometric analysis dan content analysis untuk menganalisis tren SSCM. Data yang digunakan berasal dari 543 artikel yang diambil dari database Scopus selama periode 2011-2022.

Penelitian ini meneliti hubungan antara SSCM, adopsi teknologi (Technology Adoption/TA), dan kinerja rantai pasok, serta mengidentifikasi kesenjangan dalam framework keberlanjutan yang ada.

Temuan Utama

1. SSCM dan Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Berkelanjutan

  • SSCM memiliki dampak langsung pada efisiensi operasional dan keberlanjutan lingkungan.
  • Industri 4.0 dan digitalisasi berperan besar dalam meningkatkan transparansi rantai pasok.
  • Framework pengukuran kinerja berbasis teknologi masih membutuhkan standar yang lebih jelas dan terstruktur.

2. Tren Digitalisasi dalam SSCM

  • IoT dan Blockchain meningkatkan transparansi dan akuntabilitas rantai pasok.
  • Big Data dan AI memungkinkan prediksi permintaan yang lebih akurat.
  • Automasi dan robotik mengurangi konsumsi energi dan limbah.

3. Studi Kasus: Implementasi SSCM dalam Industri

1. Walmart

  • Mengadopsi Blockchain dan IoT dalam rantai pasok untuk meningkatkan transparansi.
  • Pengurangan limbah plastik hingga 20% dengan optimasi logistik.

2. General Motors (GM)

  • Mengurangi jejak karbon hingga 35% dengan sistem manufaktur ramah lingkungan.
  • Menggunakan material daur ulang dalam produksi kendaraan.

3. Alibaba Cainiao Smart Logistics

  • Efisiensi penyimpanan meningkat 40% dengan sistem otomatis berbasis AI.
  • Waktu pemrosesan barang turun hingga 70%.

Keunggulan dan Tantangan dalam Implementasi SSCM

Keunggulan

Meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya produksi.
Mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan energi.
Memperkuat reputasi perusahaan sebagai bisnis ramah lingkungan.

Tantangan

Tingginya biaya investasi awal dalam teknologi keberlanjutan.
Kesulitan dalam menyusun framework pengukuran yang seragam.
Kurangnya tenaga ahli dalam pengelolaan rantai pasok digital.

Framework Pengukuran Kinerja SSCM

Penelitian ini mengusulkan framework SSCM yang mencakup tiga pilar utama:

1. Indikator Lingkungan

  • Jejak karbon dan konsumsi energi.
  • Pengelolaan limbah dan daur ulang.
  • Efisiensi rantai pasok berbasis IoT.

2. Indikator Sosial

  • Keamanan kerja dan tanggung jawab sosial.
  • Hubungan dengan pemasok dan komunitas.
  • Transparansi dalam rantai pasok.

3. Indikator Ekonomi

  • Efisiensi biaya dan produktivitas.
  • ROI dari investasi keberlanjutan.
  • Optimasi inventaris dan pengiriman.

Strategi Optimal untuk Implementasi SSCM

1. Mengadopsi Teknologi Digital untuk Pemantauan Kinerja

  • Big Data dan AI untuk analisis rantai pasok berbasis data real-time.
  • Blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan transaksi.

2. Meningkatkan Kolaborasi dalam Rantai Pasok

  • Kemitraan strategis dengan pemasok hijau untuk meningkatkan keberlanjutan.
  • Sistem insentif bagi pemasok yang menerapkan praktik ramah lingkungan.

3. Mengoptimalkan Desain Produk dan Proses Manufaktur

  • Menggunakan bahan daur ulang dan energi terbarukan dalam produksi.
  • Menerapkan ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa Sustainable Supply Chain Management (SSCM) merupakan strategi kunci bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.

Dengan mengadopsi teknologi digital, optimasi rantai pasok, dan kolaborasi yang erat, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan mempercepat transisi ke ekonomi hijau.

Dalam era ekonomi sirkular dan industri 4.0, SSCM bukan lagi opsi, melainkan keharusan bagi perusahaan yang ingin bertahan dan berkembang.

Sumber : Anup Kumar, Santosh Kumar Shrivastav, Avinash K. Shrivastava, Rashmi Ranjan Panigrahi, Abbas Mardani, Fausto Cavallaro (2023). Sustainable Supply Chain Management, Performance Measurement, and Management: A Review. Sustainability, 15, 5290.

 

Selengkapnya
Sustainable Supply Chain Management: Framework, Pengukuran Kinerja, dan Tren Masa Depan
« First Previous page 413 of 1.090 Next Last »