Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan kerja di laboratorium pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, terutama dalam penggunaan bahan biologis dan kimia berbahaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan kualitatif. Sembilan laboratorium yang diteliti mencakup bidang bioteknologi, ekologi, mikrobiologi, zoologi, kedokteran molekuler, dan farmasi. Variabel yang diamati meliputi SOP penggunaan bahan biologis (7 komponen) dan bahan kimia berbahaya (8 komponen). Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan asisten laboratorium.
Dari tujuh komponen SOP yang diamati, laboratorium mikrobiologi, biologi molekuler dan bioteknologi, serta kedokteran molekuler menerapkan 6 dari 7 komponen. Beberapa komponen utama yang telah diterapkan meliputi:
Namun, ditemukan bahwa beberapa laboratorium belum optimal dalam mengurangi pembentukan aerosol dan bekerja dengan benda tajam.
Dalam aspek bahan kimia, laboratorium biologi molekuler dan bioteknologi serta laboratorium kedokteran molekuler menunjukkan penerapan SOP yang cukup baik, dengan 6 dari 8 komponen telah dijalankan. Beberapa komponen penting yang telah diterapkan meliputi:
Namun, masih ditemukan laboratorium yang belum optimal dalam memahami sifat bahan kimia yang digunakan serta penerapan Material Safety Data Sheet (MSDS).
Dari hasil analisis, tingkat risiko di laboratorium dikategorikan sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan masih adanya risiko di laboratorium meliputi kurangnya pelatihan tenaga laboratorium serta keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah.
Untuk meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan antara lain:
Sebagian besar laboratorium di Universitas Jember telah menerapkan standar keselamatan kerja dalam penggunaan bahan biologis dan kimia, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan kerja di laboratorium dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.
Sumber Artikel: Hanif Murnia Atma, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ari Satia Nugraha, "Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts", Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 23(2), 2024, pp. 191-199.
Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025
Pendahuluan
Dalam industri manufaktur, Supply Chain Performance Measurement (SCPM) berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok. Pengukuran kinerja ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan sumber daya, serta meningkatkan daya saing di pasar global.
Penelitian yang dilakukan oleh Ilkka Sillanpää dan Pekka Kess dari University of Vaasa dan University of Oulu ini mengkaji berbagai pendekatan dalam SCPM, termasuk metode strategis, operasional, dan taktis, serta menyoroti framework yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.
Metodologi Penelitian
Studi ini merupakan literature review yang mengumpulkan dan menganalisis penelitian sebelumnya terkait SCPM. Fokus utama penelitian ini adalah:
Tujuannya adalah mengembangkan kerangka kerja pengukuran kinerja rantai pasok yang dapat diterapkan secara praktis dalam industri.
Temuan Utama
1. Pendekatan Manajerial dalam SCPM
Gunasekaran et al. (2001) mengelompokkan metrik SCPM menjadi tiga level:
2. Model Pengukuran Kinerja Supply Chain
Beberapa model SCPM utama yang dianalisis dalam penelitian ini:
✅ Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi.
✅ SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliability, responsiveness, flexibility, cost, dan asset management.
✅ Economic Value Added (EVA) → Mengukur nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok.
✅ Activity-Based Costing (ABC) → Menghitung biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara SCOR dan Balanced Scorecard memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengukuran kinerja supply chain manufaktur.
3. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Manufaktur
Penelitian ini mengkaji implementasi SCPM di berbagai industri manufaktur. Beberapa contoh kasus:
📌 Industri Otomotif
📌 Industri Elektronik
📌 Industri Farmasi
Tantangan dalam Implementasi SCPM
⚠ Kurangnya Standarisasi dalam Pengukuran
➡ Banyak perusahaan memiliki framework SCPM yang berbeda, menyebabkan ketidaksesuaian dalam benchmarking.
⚠ Tingginya Biaya Implementasi Teknologi
➡ Digitalisasi supply chain memerlukan investasi besar dalam sistem ERP, IoT, dan AI.
⚠ Kurangnya Keterampilan dalam Analisis Data
➡ Sebagian besar perusahaan manufaktur masih bergantung pada metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.
Strategi Optimal untuk Meningkatkan SCPM
✅ Integrasi Digital dalam SCPM
✅ Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik
✅ Menggunakan Framework Hybrid
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Measurement (SCPM) merupakan elemen kunci dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dengan mengadopsi framework yang tepat, perusahaan dapat:
✅ Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
✅ Mengoptimalkan biaya operasional.
✅ Mengurangi lead-time dan meningkatkan customer satisfaction.
Dalam era Industri 4.0, implementasi teknologi digital dalam SCPM menjadi faktor kritis yang harus diterapkan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Sumber : Ilkka Sillanpää, Pekka Kess (2012). The Literature Review of Supply Chain Performance Measurement in the Manufacturing Industry. Management and Production Engineering Review, Vol. 3, No. 2, pp. 79–88.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam industri manufaktur, terutama di sektor yang melibatkan bahan kimia berbahaya seperti industri pelarut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kesadaran akan keselamatan dan praktik kerja yang diterapkan di industri pelarut mempengaruhi tingkat cedera pekerja. Dengan pendekatan survei silang, penelitian ini mengumpulkan data dari 286 pekerja selama periode Desember 2021 hingga Oktober 2022.
Karakteristik demografi responden meliputi:
Instrumen dan Analisis Data
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88.1% pekerja memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang K3, 9.8% memiliki pengetahuan sedang, dan hanya 2.1% yang memiliki pengetahuan rendah.
Untuk praktik K3:
Perusahaan secara rutin mengadakan pelatihan bulanan mengenai K3, termasuk penanganan bahan kimia, operasi forklift, serta pelatihan tentang limbah berbahaya dan ruang terbatas. Selain itu, pertemuan safety toolbox diadakan setiap minggu untuk mengingatkan pekerja tentang prosedur keselamatan.
Selama periode penelitian, terdapat tiga insiden cedera yang dilaporkan:
Sebagai perbandingan, data nasional Malaysia mencatat bahwa pada tahun 2021, sektor manufaktur mengalami 7.994 kasus cedera kerja, tertinggi dibandingkan sektor jasa (4.299 kasus), konstruksi (2.297 kasus), dan perdagangan ritel (1.979 kasus).
Hubungan antara Faktor Sosiodemografi dan K3
Kelebihan
✅ Menggunakan data empiris yang valid dan ukuran sampel yang besar.
✅ Menyediakan analisis mendalam tentang hubungan antara demografi dan praktik K3.
✅ Menyoroti pentingnya pelatihan keselamatan dalam meningkatkan kesadaran pekerja.
Kekurangan
❌ Tidak membahas faktor psikososial yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap prosedur K3.
❌ Tidak ada perbandingan langsung dengan industri lain di sektor manufaktur.
❌ Tidak membahas dampak ekonomi dari kecelakaan kerja di perusahaan yang diteliti.
Rekomendasi untuk Implementasi Lebih Lanjut
Pekerja di industri pelarut memiliki kesadaran tinggi terhadap K3, yang didukung oleh pelatihan rutin dan kebijakan perusahaan. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam kepatuhan terhadap prosedur K3 dan pemakaian APD yang perlu ditingkatkan.
Studi ini memberikan wawasan penting bagi perusahaan dalam meningkatkan kebijakan K3 dan menekan angka kecelakaan kerja. Dengan pendekatan yang lebih ketat terhadap kepatuhan K3 dan implementasi teknologi keselamatan, diharapkan angka kecelakaan di tempat kerja dapat diminimalkan secara signifikan.
Sumber Artikel
Ali, N. F., & Zulkaple, R. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Knowledge, Practices and Injury Patterns among Solvent Manufacturing Workers: A Cross-sectional Study. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 19(SUPP14), 47-55.
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi risiko bencana alam, non-alam, sosial, dan akibat dari kurangnya teknologi yang tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadinya 4.650 bencana alam pada tahun 2020, dengan bencana alam hidrometeorologi menjadi yang paling dominan. Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko bencana, diperlukan upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi dalam bidang kebencanaan.
Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan. Ini terwujud melalui pengenalan Sistem Deteksi Dini Tsunami Terpadu (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (Kalhuttra).
Hammam Riza, Kepala BPPT, menegaskan komitmennya dalam mendorong inovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa BPPT akan terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkaya ekosistem inovasi. Menurutnya, Indonesia harus siap dan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini dapat bertahan dari bencana.
Dalam sebuah webinar bertema "Kebijakan dan Strategi Penelitian dan Inovasi Teknologi Kebencanaan", Hammam mengemukakan bahwa ekosistem inovasi bencana perlu mempertimbangkan isu-isu kunci dalam pengembangan teknologi. Hal ini mencakup sistem peringatan dini multi-ancaman berbasis komunitas, peramalan dampak, peringatan berbasis risiko, dan sistem peringatan multi-bahaya global.
Daftar 12 Inovasi Teknologi Kebencanaan yang Siap Diterapkan oleh Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) di BPPT meliputi:
Kerugian Akibat Bencana
Peningkatan frekuensi bencana di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi, dengan rata-rata kerugian mencapai Rp 22,8 triliun tiap tahun. Menyadari hal tersebut, pemerintah saat ini fokus pada pemulihan ekonomi di semua sektor, terutama di masa pandemi ini. Hammam, seorang ahli, menilai bahwa kerugian akibat bencana dapat diminimalisir dengan kajian mendalam untuk setiap jenis bencana dan wilayah tertentu. BPPT telah memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi hal ini melalui program-program seperti PEKA Tsunami dan PEKA Karhutla. Selain itu, paradigma penanggulangan bencana juga mengalami perubahan global, dengan adanya fokus pada isu-isu seperti SDGs, DRR, perubahan iklim, emisi nol, dan pelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali pada tahun 2020, dihadapkan dengan tantangan baru untuk aktif berperan dalam mengurangi risiko bencana, baik secara nasional maupun global.
Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina
Sumber: liputan6.com
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025
Program Doktor Berbasis Riset: Meningkatkan Mutu Penelitian di Indonesia
Pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral menjadi semakin menarik bagi mahasiswa sarjana yang ingin mengembangkan karier akademik mereka. Salah satu opsi yang semakin populer adalah program doktor berbasis riset, yang menawarkan pelatihan doktoral yang lebih fleksibel dan kesempatan untuk melakukan penelitian mendalam di berbagai bidang ilmu.
Program doktor berbasis riset memungkinkan siswa untuk menggabungkan penelitian akademis mereka dengan penelitian berorientasi penelitian yang lebih mendalam. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang tertentu secara lebih mendalam.
Beberapa universitas terkemuka telah meluncurkan program doktoral berbasis riset, seperti yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Sosialisasi gelar S3 riset yang diadakan di Gedung BJ Habibie 720 KST pada Rabu (11/8) merupakan salah satu langkah untuk memperkenalkan program ini kepada masyarakat.
Menyampaikan dukungannya terhadap program ini, Direktur Pusat Penelitian Teknologi Transportasi Aam Muharam menyatakan harapannya bahwa kerja sama antara ilmu pengetahuan dan industri melalui penelitian dapat membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa. Demikian pula, Ketua Program Penelitian Doktor Teknik Mesin UNS, Triyono, menekankan pentingnya kerja sama antara perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dalam memajukan penelitian di Indonesia.
Program doktor berbasis riset menawarkan pendekatan penelitian yang mendalam, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi ilmu dan penelitian pada tingkat yang lebih maju. Diharapkan, kehadiran program ini dapat melahirkan inovasi-inovasi baru yang berdampak positif bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam pengembangan riset dan inovasi berkelanjutan bagi Indonesia.
Dengan adanya program doktor berbasis riset, diharapkan dapat tercipta lingkungan penelitian yang lebih berkualitas dan memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan mutu penelitian di Indonesia.
Sumber: www.brin.go.id
Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025
Pendahuluan
Dalam menghadapi tantangan lingkungan dan keberlanjutan, konsep Sustainable Supply Chain Management (SSCM) menjadi semakin penting bagi perusahaan di seluruh dunia. SSCM mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan, tanggung jawab sosial, dan kinerja ekonomi dalam seluruh rantai pasok.
Studi yang dilakukan oleh Anup Kumar, Santosh Kumar Shrivastav, Avinash K. Shrivastava, Rashmi Ranjan Panigrahi, Abbas Mardani, dan Fausto Cavallaro ini menyoroti peran teknologi digital dalam meningkatkan SSCM, serta mengusulkan framework pengukuran kinerja untuk mencapai keberlanjutan yang lebih baik.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan literature review dengan bibliometric analysis dan content analysis untuk menganalisis tren SSCM. Data yang digunakan berasal dari 543 artikel yang diambil dari database Scopus selama periode 2011-2022.
Penelitian ini meneliti hubungan antara SSCM, adopsi teknologi (Technology Adoption/TA), dan kinerja rantai pasok, serta mengidentifikasi kesenjangan dalam framework keberlanjutan yang ada.
Temuan Utama
1. SSCM dan Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Berkelanjutan
2. Tren Digitalisasi dalam SSCM
3. Studi Kasus: Implementasi SSCM dalam Industri
1. Walmart
2. General Motors (GM)
3. Alibaba Cainiao Smart Logistics
Keunggulan dan Tantangan dalam Implementasi SSCM
Keunggulan
✔ Meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya produksi.
✔ Mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan energi.
✔ Memperkuat reputasi perusahaan sebagai bisnis ramah lingkungan.
Tantangan
⚠ Tingginya biaya investasi awal dalam teknologi keberlanjutan.
⚠ Kesulitan dalam menyusun framework pengukuran yang seragam.
⚠ Kurangnya tenaga ahli dalam pengelolaan rantai pasok digital.
Framework Pengukuran Kinerja SSCM
Penelitian ini mengusulkan framework SSCM yang mencakup tiga pilar utama:
1. Indikator Lingkungan
2. Indikator Sosial
3. Indikator Ekonomi
Strategi Optimal untuk Implementasi SSCM
1. Mengadopsi Teknologi Digital untuk Pemantauan Kinerja
2. Meningkatkan Kolaborasi dalam Rantai Pasok
3. Mengoptimalkan Desain Produk dan Proses Manufaktur
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa Sustainable Supply Chain Management (SSCM) merupakan strategi kunci bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Dengan mengadopsi teknologi digital, optimasi rantai pasok, dan kolaborasi yang erat, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan mempercepat transisi ke ekonomi hijau.
Dalam era ekonomi sirkular dan industri 4.0, SSCM bukan lagi opsi, melainkan keharusan bagi perusahaan yang ingin bertahan dan berkembang.
Sumber : Anup Kumar, Santosh Kumar Shrivastav, Avinash K. Shrivastava, Rashmi Ranjan Panigrahi, Abbas Mardani, Fausto Cavallaro (2023). Sustainable Supply Chain Management, Performance Measurement, and Management: A Review. Sustainability, 15, 5290.