Pendahuluan: Air Sebagai Hak dan Tantangan Global
Di tengah krisis air bersih yang semakin meluas, negara dituntut hadir sebagai regulator sekaligus pelindung hak atas air. Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menjadi respons strategis atas ketimpangan pengelolaan dan eksploitasi sumber daya air, sekaligus penegasan bahwa air adalah hak asasi manusia dan bagian dari cabang produksi penting yang dikuasai negara.
Paper karya Fauzan Ramon dan Abdul Halim secara kritis membedah bagaimana mekanisme perizinan dalam pemanfaatan sumber daya air bekerja di bawah regulasi ini. Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan memetakan peran hukum dalam melindungi air sebagai sumber daya strategis sekaligus rentan.
Konteks Kelahiran UU No. 17 Tahun 2019
UU ini lahir sebagai respons atas kekosongan hukum setelah pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, UU No. 11 Tahun 1974 dinilai tidak lagi relevan dalam menjawab kompleksitas dan dinamika pengelolaan air di era modern. Dalam pertimbangannya, UU No. 17 Tahun 2019 menegaskan bahwa pengelolaan air harus mempertimbangkan tiga fungsi utama:
- Fungsi sosial
- Fungsi lingkungan
- Fungsi ekonomi
Prosedur Perizinan: Dimensi Hukum Administratif
Unsur-Unsur Perizinan
Menurut kajian hukum administrasi, sebuah izin harus memenuhi unsur:
- Wewenang yang sah
- Ketetapan konstitutif
- Peristiwa konkret
- Prosedur dan persyaratan administratif
Izin menjadi bentuk kontrol negara atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam konteks air, izin memastikan bahwa penggunaan air, khususnya untuk usaha komersial, dilakukan secara legal, proporsional, dan memperhatikan daya dukung lingkungan.
Jenis Perizinan dalam UU No. 17 Tahun 2019:
- Tanpa izin: Untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam skala kecil.
- Izin bukan usaha: Jika mengubah kondisi alami sumber air atau digunakan oleh kelompok.
- Izin usaha: Untuk kegiatan ekonomi skala besar seperti PDAM, industri minuman, atau pembangkit listrik.
Studi Kasus: Eksploitasi Air Tanpa Izin di Lombok
Penulis menyoroti kasus nyata di Kabupaten Lombok Tengah, di mana individu melakukan pengeboran air dalam (hingga >30 meter) lalu mendistribusikan air secara komersial kepada warga sekitar. Praktik ini:
- Tidak memiliki izin resmi
- Melanggar asas keadilan dan keberlanjutan
- Mengindikasikan lemahnya pengawasan dan sosialisasi hukum oleh pemerintah daerah
Kasus ini menjadi cerminan bagaimana krisis air memunculkan bentuk-bentuk privatisasi liar atas sumber daya publik.
Keadilan Sosial vs Komersialisasi Air
Dalam UU ini ditegaskan bahwa:
“Air adalah hak rakyat dan tidak boleh dikuasai secara sewenang-wenang oleh pihak tertentu.”
Namun, realita di lapangan menunjukkan masih maraknya praktik penguasaan privat atas air, baik oleh individu maupun korporasi, yang:
- Membebani akses masyarakat kecil
- Mengancam keberlanjutan sumber daya
- Menimbulkan ketimpangan struktural
Contoh ekstrem keberhasilan pengelolaan ditunjukkan oleh Singapura, melalui Deep Tunnel Sewerage System (DTSS) yang memungkinkan air limbah diolah kembali menjadi air layak minum (newater). Sementara Jakarta, dengan 13 sungai besar, hanya mampu memenuhi 2,2% kebutuhan air bersih warganya—menunjukkan bahwa kunci bukan pada potensi, tapi pada tata kelola dan hukum yang efektif.
Konsekuensi Hukum: Dari Administrasi ke Pidana
UU No. 17 Tahun 2019 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup membuka jalan penerapan sanksi:
Sanksi Administratif:
- Teguran lisan/tertulis
- Paksaan pemerintah (pemulihan/penghentian kegiatan)
- Denda administrasi
- Pencabutan izin
Sanksi Pidana:
- Hukuman penjara hingga 2 tahun
- Denda maksimal Rp5.000.000
Sementara UU Lingkungan Hidup lebih progresif dengan ancaman penjara hingga 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.
Penekanan pada delik formil dalam penegakan hukum air menunjukkan pendekatan preventif: pelanggaran dikenai sanksi meski belum menyebabkan kerusakan fisik, agar kerusakan dapat dicegah sedini mungkin.
Kritik & Opini: Antara Regulasi dan Implementasi
Kelebihan UU No. 17 Tahun 2019:
- Menekankan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan
- Memberikan kerangka perizinan yang komprehensif
- Menempatkan negara sebagai penjaga hak atas air
Kekurangan dan Tantangan:
- Lemahnya sosialisasi regulasi ke masyarakat bawah
- Inkonsistensi antar wilayah dalam pelaksanaan
- Minimnya sinergi antar lembaga pusat dan daerah
- Masih membuka peluang komersialisasi melalui BUMN/BUMD sebelum memastikan ketersediaan publik
Penutup: Regulasi Tak Cukup, Butuh Kesadaran dan Tindakan
UU No. 17 Tahun 2019 memberi arah hukum yang jelas soal hak, kewajiban, dan prosedur perizinan air. Namun, regulasi saja tidak cukup. Dibutuhkan:
- Pendidikan hukum kepada masyarakat
- Penguatan kapasitas pemerintah daerah
- Partisipasi publik dalam pengawasan
- Integrasi teknologi (seperti DTSS Singapura
Tanpa itu, krisis air akan terus membesar dan hukum hanya menjadi teks tanpa daya. Air, sebagai sumber kehidupan, tak boleh dikorbankan demi keuntungan sesaat.
Sumber:
Ramon, F., & Halim, A. (2021). Mekanisme Perizinan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Air Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Indonesia. Journal Vol. 9 No. 2.