Epidemiologi
Dipublikasikan oleh pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Paper ilmiah yang berjudul "Model Spasial Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Provinsi Jawa Timur Tahun 2014" menyajikan penelitian tentang analisis faktor risiko demam berdarah dengue (DBD) menggunakan model spasial. Paper ini ditulis oleh Hasirun dari Universitas Airlangga, pada tahun 2016. Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor risiko DBD secara spasial agar dapat memberikan gambaran daerah rawan dan membantu intervensi lebih efektif.
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan utama di Jawa Timur, dengan angka kejadian yang cukup tinggi pada tahun 2014. Meskipun upaya pengendalian telah dilakukan, insiden DBD tetap menunjukkan tren fluktuatif. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi faktor risiko utama melalui model spasial sehingga upaya pencegahan dapat diarahkan lebih tepat.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis spasial berbasis data epidemiologi. Data dikumpulkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan mencakup 38 kabupaten/kota. Teknik analisis melibatkan penggunaan model spasial Poisson dan regresi spasial untuk melihat hubungan antara variabel lingkungan dan kejadian DBD.
Teknik Analisis
Model spasial Poisson digunakan untuk mengidentifikasi pola distribusi kasus DBD, sementara regresi spasial diterapkan guna memetakan faktor risiko lingkungan seperti kepadatan penduduk, curah hujan, dan indeks nyamuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah dengan curah hujan tinggi dan kepadatan penduduk padat memiliki risiko lebih besar.
Studi Kasus & Data
Data menunjukkan bahwa daerah perkotaan seperti Surabaya dan Malang memiliki insiden DBD yang tinggi, dengan angka kejadian mencapai 120 per 100.000 penduduk. Daerah dengan sanitasi buruk dan lingkungan padat penduduk cenderung lebih rentan terhadap wabah. Dibandingkan dengan penelitian dari Malaysia oleh Lim et al. (2015), hasil ini sejalan dengan faktor lingkungan yang menjadi penentu risiko DBD.
Analisis dan Nilai Tambah
Penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman spasial dalam memetakan risiko kesehatan. Namun, ada kelemahan pada data yang bersifat statis sehingga tidak mencerminkan perubahan populasi secara dinamis. Pembaruan data secara periodik akan meningkatkan akurasi model risiko.
Implikasi Praktis
Temuan ini dapat digunakan oleh dinas kesehatan untuk merumuskan strategi pencegahan berbasis lokasi, seperti penyemprotan insektisida pada daerah padat dan kampanye kebersihan lingkungan di wilayah berisiko tinggi.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini berbeda dengan penelitian oleh Sukri et al. (2013) yang lebih berfokus pada pola musim dalam penyebaran DBD di daerah tropis. Dengan menggunakan model spasial, penelitian ini lebih menekankan pada identifikasi daerah rawan secara geografis.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami faktor risiko DBD melalui model spasial. Temuan ini memperkuat perlunya intervensi berbasis lokasi untuk mengurangi kejadian DBD di Jawa Timur.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui Universitas Airlangga.
Kualitas
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Mengapa SPC Jadi Kebutuhan Mendesak Industri Garmen Saat Ini?
Di era persaingan global yang makin sengit, industri garmen dihadapkan pada tantangan berat: bagaimana menjaga kualitas produk tetap konsisten, sekaligus menekan biaya produksi. Terutama di lini jahitan, di mana pekerjaan sebagian besar masih bersifat manual, risiko terjadinya cacat produksi sangat tinggi. Di sinilah Statistical Process Control (SPC) mengambil peran penting. Bukan sekadar alat statistik, SPC merupakan pendekatan sistematis untuk mengendalikan dan meningkatkan proses produksi secara berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulat Alubel Abtew dan timnya dalam artikel berjudul "Implementation of Statistical Process Control (SPC) in the Sewing Section of Garment Industry for Quality Improvement" membuktikan bahwa SPC mampu memberikan dampak nyata bagi peningkatan kualitas di industri garmen. Studi ini berfokus pada implementasi SPC di lini jahitan Silver Spark Apparel Limited (SSAL), sebuah perusahaan garmen besar yang menjadi bagian dari Raymond Group di India.
Mengenal Silver Spark Apparel Limited (SSAL): Lokasi Studi Implementasi SPC
SSAL bukan pemain baru dalam dunia fashion. Perusahaan ini sudah menjadi pemasok utama merek internasional seperti Calvin Klein, Levi’s, GAP, bahkan menyediakan seragam untuk maskapai seperti Qatar Airways dan Jet Airways. Dengan 85% produksi mereka diekspor, menjaga standar kualitas internasional adalah harga mati.
Namun, meski sudah menerapkan berbagai sistem kontrol kualitas, bagian jahitan mereka masih menghadapi tantangan. Tingkat cacat di lini produksi celana formal (trouser line) SSAL mencapai angka yang cukup tinggi, yakni 9,14% selama empat bulan sebelum penerapan SPC. Di tengah tuntutan efisiensi dan kualitas premium, angka tersebut jelas menjadi alarm.
Langkah-Langkah Implementasi SPC di SSAL: Dari Teori ke Praktik Nyata
Untuk menjawab tantangan tersebut, tim peneliti menerapkan SPC di lini produksi celana formal SSAL, khususnya di Line-2, yang memproduksi sekitar 950 celana setiap hari. Fokus utama mereka adalah menekan variasi dalam proses jahitan, baik yang bersifat umum maupun khusus.
1. Mengidentifikasi Titik-Titik Kritis
Langkah pertama adalah mengenali parameter-parameter kualitas yang paling sering menyebabkan kecacatan produk. Misalnya, pengukuran pinggang yang meleset, jahitan pada bagian lutut yang tidak rapi, hingga pemasangan saku belakang yang tidak presisi. Ini adalah langkah fundamental agar penerapan SPC tepat sasaran.
2. Penentuan Titik Pemeriksaan Strategis
Setelah mengetahui parameter kritis, tim kemudian menentukan tiga titik pemeriksaan utama dalam alur produksi. Titik-titik ini ditempatkan pada tahap awal (preparatory section), di tengah proses (inline section), dan di akhir proses (end line section). Titik-titik ini memungkinkan deteksi dini terhadap potensi cacat sebelum produk bergerak ke tahap berikutnya.
3. Pengumpulan Data dan Penggunaan Control Chart
Data dikumpulkan secara konsisten, dengan pengambilan sampel setiap satu jam. Pengukuran yang bersifat variabel, seperti ukuran pinggang dan panjang celana, dianalisis menggunakan X-bar dan R chart. Sementara itu, cacat yang bersifat atribut, seperti jahitan lepas atau label yang terpasang miring, dianalisis dengan C-chart.
4. Tindakan Korektif Berjenjang
Begitu data menunjukkan adanya penyimpangan dari batas kendali yang telah ditetapkan, tim quality control segera mengambil tindakan korektif. Jika masalahnya sederhana, misalnya kesalahan operator, maka perbaikan bisa langsung dilakukan di tempat. Namun, jika permasalahan lebih kompleks—seperti kerusakan mesin atau desain proses yang kurang optimal—maka laporan diteruskan ke manajemen untuk penanganan lanjutan.
Hasil yang Dicapai: SPC Bukan Sekadar Teori, Tapi Solusi Nyata
Implementasi SPC selama empat bulan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tingkat produk cacat di lini jahitan celana formal turun dari 9,14% menjadi 6,4%. Penurunan ini tidak hanya berdampak pada efisiensi produksi, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pelanggan. Klien-klien internasional SSAL, yang menuntut presisi tinggi, mendapat produk dengan kualitas yang lebih konsisten.
Selain itu, operator produksi mulai menunjukkan pemahaman yang lebih baik terhadap pentingnya menjaga kualitas sejak awal. Mereka tidak lagi menunggu inspeksi akhir untuk menemukan kesalahan, melainkan proaktif memantau dan memperbaiki proses di setiap langkah.
Analisis Lebih Dalam: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Studi Kasus Ini?
Keunggulan Pendekatan Manual di Awal Implementasi
SSAL memulai implementasi SPC dengan metode manual, yaitu mencatat data di kertas grafik. Pendekatan ini terbukti efektif untuk tahap awal, karena memungkinkan para operator memahami konsep dasar SPC secara praktis. Namun, di era digital, pendekatan ini sebaiknya menjadi batu loncatan menuju sistem otomatis berbasis software, yang lebih efisien dan minim human error.
Keterlibatan SDM Jadi Kunci Utama
Keberhasilan SPC di SSAL tidak terlepas dari keterlibatan aktif karyawan, mulai dari operator hingga manajemen. Tanpa komitmen dari semua pihak, SPC hanya akan menjadi formalitas tanpa hasil nyata. Penelitian ini menegaskan bahwa pendidikan dan pelatihan intensif mengenai SPC adalah investasi utama.
SPC di Industri 4.0: Potensi yang Belum Dioptimalkan
Saat ini, banyak perusahaan manufaktur di sektor lain, seperti otomotif dan elektronik, sudah mengintegrasikan SPC dengan teknologi Industri 4.0. Misalnya, penggunaan sensor IoT untuk pengambilan data real-time, atau software berbasis AI untuk prediksi kegagalan produksi. Industri garmen, termasuk SSAL, masih punya peluang besar untuk mengejar ketertinggalan ini.
Kritik dan Tantangan yang Perlu Diatasi
Meskipun hasilnya positif, implementasi SPC di SSAL tidak tanpa tantangan. Salah satu kendala terbesar adalah resistensi terhadap perubahan, terutama di kalangan operator yang sudah terbiasa dengan metode konvensional. Selain itu, keterbatasan akurasi dalam pengukuran variabel (misalnya ukuran pinggang atau panjang inseam) juga kerap menjadi sumber masalah di awal penerapan.
Keterbatasan lain adalah kurangnya sistem umpan balik yang cepat dari data SPC manual. Ini membuat tindakan korektif kadang terlambat dilakukan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mempertimbangkan penggunaan software SPC di masa mendatang untuk mempercepat alur informasi.
Rekomendasi Praktis bagi Industri Garmen Lainnya
Dari studi kasus SSAL, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diadopsi oleh industri garmen lainnya, terutama di negara berkembang seperti Indonesia:
Kesimpulan: SPC adalah Pilar Utama Menuju Produksi Garmen Berkualitas Tinggi
Penelitian Mulat Alubel Abtew dan timnya di SSAL menunjukkan bahwa Statistical Process Control bukan sekadar teori, tetapi strategi praktis yang terbukti meningkatkan kualitas produk dan efisiensi proses produksi. Dengan penerapan yang konsisten dan dukungan SDM yang terlatih, SPC memungkinkan perusahaan garmen tidak hanya menurunkan tingkat cacat produksi, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar global.
Namun, keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa komitmen manajemen dan investasi pada pendidikan serta teknologi. Di tengah transformasi industri menuju digitalisasi dan otomatisasi, SPC akan menjadi pondasi penting untuk menciptakan ekosistem produksi garmen yang lebih adaptif, presisi, dan berkelanjutan.
Sumber artikel:
Abtew, M. A., Kropi, S., Hong, Y., & Pu, L. (2018). Implementation of Statistical Process Control (SPC) in the Sewing Section of Garment Industry for Quality Improvement. AUTEX Research Journal, 18(2), 150–156.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Pentingnya Pengendalian Proses Statistik (SPC) di Era Industri 4.0
Dalam dunia manufaktur dan jasa saat ini, pengendalian kualitas tidak lagi menjadi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan esensial. Konsumen menuntut produk yang bebas cacat dan layanan yang konsisten. Salah satu pendekatan yang telah terbukti efektif sejak dekade 1920-an adalah Statistical Process Control (SPC). Pendekatan ini diperkenalkan oleh Walter A. Shewhart, yang dikenal sebagai pelopor dalam penerapan metode statistik untuk kontrol kualitas produksi.
Paper karya Arun Kumar Sinha dan Richa Vatsa, berjudul "Control Charts and Capability Analysis for Statistical Process Control", memberikan panduan komprehensif mengenai penerapan control charts dan capability analysis dalam konteks SPC. Penelitian mereka tidak hanya relevan di sektor industri maju, tetapi juga sangat aplikatif bagi negara berkembang yang tengah berupaya meningkatkan daya saing industri mereka.
Memahami SPC: Apa Itu dan Mengapa Penting?
SPC adalah metode berbasis data untuk memantau dan mengontrol proses produksi. Fokus utama dari SPC adalah membedakan common cause variation (variasi alami yang selalu ada dalam proses) dari special cause variation (variasi yang diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu di luar standar proses).
Tanpa kontrol yang baik, proses produksi rentan menghasilkan produk cacat atau tidak konsisten. Di sinilah SPC berperan sebagai sistem peringatan dini. Jika diterapkan dengan benar, SPC membantu perusahaan:
Jenis Data dan Control Charts: Memilih yang Tepat untuk Proses Produksi
Dalam analisis SPC, data produksi biasanya dibagi menjadi dua kategori utama:
Control Charts untuk Data Variabel
Paper ini menjelaskan bahwa untuk memantau rata-rata proses, digunakan X-bar charts, sedangkan untuk memantau variasi proses, digunakan R charts. Dalam penerapannya:
Contoh yang diangkat dalam paper adalah pengiriman bagasi di sebuah hotel. Pengukuran dilakukan untuk memantau waktu pengiriman bagasi ke kamar tamu. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses ini stabil karena semua data berada dalam batas kendali.
Control Charts untuk Data Atribut
Untuk data seperti proporsi produk cacat, digunakan p-chart, sementara jumlah cacat per unit dipantau dengan c-chart. Dalam studi kasus di paper, analisis p-chart digunakan untuk mengontrol kualitas kaleng film, dengan hasil bahwa proses produksi kaleng tersebut dalam kondisi stabil.
Studi Kasus: Meningkatkan Layanan Pengiriman Bagasi Hotel dengan SPC
Latar Belakang Kasus
Sebuah hotel mewah ingin memastikan bahwa 99% pengiriman bagasi ke kamar tamu selesai dalam waktu 14 menit setelah check-in. Data diambil selama 28 hari, dengan pengambilan 5 sampel per hari pada shift malam.
Analisis Data
Capability Analysis
Proses pengiriman dievaluasi apakah mampu memenuhi target 99% pengiriman tepat waktu. Hasilnya:
Interpretasi
Proses pengiriman bagasi hotel tersebut tidak hanya stabil, tetapi juga mampu memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Ini contoh konkret bagaimana SPC membantu sektor jasa, bukan hanya manufaktur.
Capability Analysis: Mengukur Seberapa Baik Proses Memenuhi Spesifikasi
Salah satu kontribusi besar paper ini adalah pembahasan tentang Capability Analysis, yaitu metode untuk mengukur kemampuan proses dalam memenuhi spesifikasi pelanggan.
Key Metrics dalam Capability Analysis
Dalam contoh hotel tadi, nilai CPU = 1,01 menunjukkan bahwa proses lebih dari 3 sigma di atas rata-rata. Dengan kata lain, sangat jarang ada pengiriman bagasi yang terlambat.
Manfaat Penerapan SPC di Negara Berkembang: Potensi dan Realita
Mengapa Negara Berkembang Butuh SPC?
Penulis menyoroti bahwa negara-negara berkembang seperti India, Ethiopia, dan Zimbabwe punya sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja murah. Namun, kualitas produk mereka sering diragukan karena kurangnya kontrol kualitas yang sistematis.
SPC menjadi solusi karena:
Contoh Nyata Penerapan SPC di Negara Berkembang
Apa yang Bisa Dipelajari dari Jepang?
Penulis juga mengingatkan bahwa Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II lewat pendekatan kualitas berbasis SPC, berkat tokoh seperti W. Edwards Deming. Negara-negara berkembang bisa mengikuti jejak Jepang dengan komitmen kuat pada kualitas dan pelatihan SDM.
Kritik dan Analisis Tambahan: Apa yang Kurang dari Studi Ini?
Kurangnya Pendekatan Digital
Sebagian besar ilustrasi dalam paper masih berbasis metode manual atau semi-manual. Padahal, tren industri global saat ini sudah mengarah pada SPC berbasis digital yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI).
Keterbatasan Data Studi Kasus
Beberapa studi kasus, seperti dari Zimbabwe dan India, tidak dilengkapi data rinci dalam paper ini. Hal ini menyulitkan pembaca untuk melakukan validasi atau perbandingan langsung.
Perbandingan dengan Six Sigma
SPC memang fokus pada kontrol proses, tetapi integrasi dengan metodologi Six Sigma akan memberikan perbaikan proses berbasis data yang lebih mendalam. Misalnya, analisis akar penyebab (root cause analysis) dan penghapusan variabilitas proses secara berkelanjutan.
📄 Sumber Paper:
Sinha, A. K., & Vatsa, R. (2021). Control Charts and Capability Analysis for Statistical Process Control. Proceedings of the 63rd ISI World Statistics Congress.
Kualitas
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa Pengendalian Kualitas Itu Penting?
Dalam dunia bisnis pangan, khususnya produk makanan olahan seperti roti, kualitas adalah segalanya. Konsumen tidak hanya mengharapkan rasa yang enak, tetapi juga standar mutu yang terjaga—baik dari segi bentuk, rasa, tekstur, hingga kebersihan. Jika kualitas tidak konsisten, bisnis bisa kehilangan kepercayaan konsumen, bahkan merugi secara finansial.
Salah satu pendekatan yang dapat diandalkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produksi adalah Statistical Process Control (SPC). Dalam konteks industri pangan skala kecil hingga menengah di Indonesia, metode ini masih belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Hal inilah yang diangkat dalam penelitian Tika Endah Lestari dan Nabila Soraya Rahmat, berjudul Analysis of Quality Control Using Statistical Process Control (SPC) in Bread Production, yang dipublikasikan di Indonesian Journal of Fundamental Sciences, Vol.4, No.2, Oktober 2018.
Mengenal SPC: Apa Itu dan Mengapa Relevan di Industri Pangan?
Statistical Process Control (SPC) merupakan metode statistik yang digunakan untuk memantau, mengontrol, dan meningkatkan proses produksi secara sistematis. Prinsip utama SPC adalah mendeteksi variasi dalam proses produksi—baik variasi yang wajar (common causes) maupun yang tidak wajar (special causes). Dengan begitu, potensi cacat produk bisa diidentifikasi dan dicegah sejak dini.
Dalam industri makanan seperti produksi roti, tantangan umumnya meliputi:
SPC memungkinkan perusahaan seperti Roti Sari Wangi untuk menjaga kualitas setiap batch produksi, meminimalkan produk cacat, serta meningkatkan efisiensi produksi.
Studi Kasus: Penerapan SPC di Roti Sari Wangi Bandung
Latar Belakang Produksi Roti Sari Wangi
Roti Sari Wangi adalah sebuah perusahaan roti berskala kecil di Bandung yang memproduksi delapan jenis roti setiap harinya, dengan kapasitas produksi mencapai 1.600 bungkus roti per hari. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan analisis pada empat jenis roti: roti coklat, kacang, keju, dan kacang hijau.
Masalah yang Dihadapi
Walaupun produksi berjalan setiap hari, tingkat produk cacat masih cukup tinggi, mencapai 1.434 bungkus roti cacat hanya dari empat varian roti yang diamati selama satu bulan (April 2018). Kerugian yang diakibatkan oleh roti cacat tersebut mencapai Rp 4.302.000 per bulan, hanya dari sebagian produksi saja. Jika diperluas ke seluruh jenis roti, potensi kerugian diperkirakan mencapai Rp 8.604.000 per bulan—angka yang sangat signifikan bagi UKM seperti Roti Sari Wangi.
Metode Pengendalian Kualitas: Penggunaan P-Chart
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode P-Chart, salah satu alat dari SPC yang digunakan untuk mengontrol produk berdasarkan proporsi cacat (defect proportion). P-Chart sangat tepat digunakan ketika kita ingin mengamati produk yang hanya memiliki dua kondisi: baik atau cacat.
Proses Penerapan P-Chart:
Hasil Penelitian: Fakta di Balik Data
Berikut adalah temuan utama dari penelitian tersebut:
1. Roti Coklat
2. Roti Kacang
3. Roti Keju
4. Roti Kacang Hijau
Jika dikalkulasikan, total kerugian dari keempat produk mencapai Rp 4.302.000 per bulan. Ini setara dengan hampir 50% dari keuntungan bersih yang bisa didapatkan oleh perusahaan seukuran Roti Sari Wangi, menunjukkan bahwa produk cacat merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan bisnis.
Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Apa yang Bisa Dipelajari?
Efektivitas P-Chart di Industri Makanan
Penerapan P-Chart di Roti Sari Wangi menunjukkan bahwa metode ini cukup efektif untuk mendeteksi proporsi produk cacat secara konsisten. Namun, penulis berpendapat bahwa perusahaan masih menghadapi tantangan dalam:
Bandingkan dengan Industri Sejenis
Di sektor industri roti modern seperti BreadTalk atau Rotiboy, sistem kontrol kualitas sudah diintegrasikan dengan IoT sensor yang mendeteksi suhu oven, kelembapan ruang produksi, hingga kesegaran bahan baku secara otomatis. Dengan teknologi ini, proporsi produk cacat bisa ditekan hingga di bawah 2%.
Di sisi lain, banyak UKM di Indonesia masih menggunakan metode manual, seperti yang dilakukan Roti Sari Wangi, yang mengandalkan tenaga manusia dalam inspeksi kualitas. Ini berpotensi menghadirkan bias dan inkonsistensi.
Kritik terhadap Penelitian dan Implikasi Praktis
Kelebihan Penelitian
Keterbatasan Penelitian
Rekomendasi untuk Roti Sari Wangi
Tren Industri: SPC Menuju Quality 4.0
Di era Industri 4.0, SPC semakin berkembang menuju Quality 4.0, di mana integrasi teknologi menjadi kunci utama. UKM seperti Roti Sari Wangi sebetulnya memiliki peluang untuk mengadopsi teknologi ini secara bertahap, seperti:
Penggunaan IoT untuk memantau variabel produksi.
Kesimpulan: SPC Bukan Sekadar Alat Statistik, Tapi Investasi Masa Depan
Penelitian Tika Endah Lestari dan Nabila Soraya Rahmat membuktikan bahwa SPC, khususnya P-Chart, mampu memberikan peta jalan untuk peningkatan kualitas di sektor industri pangan, termasuk UKM seperti Roti Sari Wangi. Meski sederhana, penerapan SPC bisa membantu pengusaha memahami celah dalam produksi, menekan kerugian, dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Namun, agar dampaknya lebih maksimal, perusahaan perlu mengembangkan budaya kualitas di semua lini, berinvestasi pada pelatihan SDM, serta secara bertahap mengadopsi teknologi terbaru. Dengan demikian, SPC bukan hanya menjadi alat pengawasan, melainkan juga fondasi pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Referensi Utama:
Lestari, T. E., & Rahmat, N. S. (2018). Analysis of Quality Control Using Statistical Process Control (SPC) in Bread Production. Indonesian Journal of Fundamental Sciences, 4(2), 90-101.
Ekonomi Regional
Dipublikasikan oleh pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Paper ilmiah yang berjudul "Efek Limpahan Pertumbuhan Antar-Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001–2013" menyajikan penelitian tentang analisis efek limpahan pertumbuhan ekonomi di berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur. Paper ini ditulis oleh Pristiawan Wibisono dan Mudrajad Kuncoro dari Universitas Gadjah Mada, diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. 16 No. 1 Juli 2015. Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi pola pertumbuhan ekonomi dan efek limpahan antar-daerah untuk memahami kontribusi kabupaten/kota dalam mendorong ekonomi regional.
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami dinamika selama periode 2001–2013, di mana terjadi kesenjangan PDRB per kapita antar-daerah. Kota Surabaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi menunjukkan performa tinggi, sedangkan beberapa kabupaten tertinggal seperti Pamekasan dan Sumenep masih berada pada level rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan efek limpahan pertumbuhan dan mengidentifikasi daerah-daerah yang berperan sebagai kutub pertumbuhan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis spasial dengan teknik Tipologi Klaassen dan pendekatan kutub pertumbuhan ala Richardson. Data yang digunakan meliputi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 2001–2013. Analisis dilakukan dengan indeks lokal Moran dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mendeteksi autokorelasi spasial.
Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan meliputi identifikasi kutub pertumbuhan dengan klaifikasi kuantil serta perhitungan efek limpahan dengan rumus Capello (2009). Analisis spasial dilakukan menggunakan GeoDa untuk menghitung indeks Moran dan LISA Cluster Map untuk visualisasi pola limpahan.
Studi Kasus & Data
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Surabaya dan sekitarnya, seperti Sidoarjo dan Gresik, berperan sebagai kutub pertumbuhan dengan efek limpahan ekonomi yang signifikan. Sidoarjo mencatat efek limpahan tertinggi sebesar 9,95, diikuti oleh Gresik sebesar 8,28. Sebaliknya, kabupaten di Madura seperti Sumenep hanya menerima limpahan sebesar 0,08, menunjukkan adanya ketimpangan spasial.
Analisis dan Nilai Tambah
Penelitian ini mengungkapkan bahwa efek limpahan cenderung terpusat di kawasan tengah Jawa Timur, yang mengindikasikan adanya konsentrasi ekonomi pada pusat pertumbuhan. Namun, ada kelemahan dalam distribusi limpahan ke daerah terluar seperti Madura, yang tidak mendapat manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi Surabaya. Hal ini menuntut kebijakan yang lebih inklusif dan pemerataan infrastruktur.
Implikasi Praktis
Temuan ini penting bagi perencanaan pembangunan regional, terutama dalam merumuskan kebijakan yang mendorong distribusi efek limpahan secara lebih merata. Pemerintah daerah perlu mengembangkan strategi interkoneksi ekonomi agar daerah dengan potensi rendah dapat ikut menikmati pertumbuhan regional.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Berbeda dengan penelitian Pamungkas (2013) tentang koridor ekonomi di Sulawesi yang menunjukkan adanya limpahan pada daerah agraris, penelitian ini lebih fokus pada efek limpahan di kawasan industri dan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa konteks geografis dan jenis ekonomi sangat memengaruhi pola limpahan pertumbuhan.
Kesimpulan
Paper ini memberikan wawasan penting mengenai efek limpahan pertumbuhan di Jawa Timur. Kota Surabaya terbukti menjadi kutub pertumbuhan utama, namun perlu strategi pemerataan agar dampak ekonominya dirasakan oleh daerah yang lebih luas. Dengan data yang lebih komprehensif, penelitian lanjutan dapat mengembangkan model prediksi limpahan yang lebih dinamis.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI) melalui tautan: http://dx.doi.org/10.21002/jepi.v16i1.584.
Kualitas
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Kualitas Produk di Industri Anyaman Sintetis
Dalam dunia industri manufaktur furnitur, khususnya yang berbahan dasar rotan sintetis, kualitas produk menjadi elemen kunci dalam memenangkan pasar ekspor. Indonesia, sebagai salah satu produsen rotan sintetis terbesar di Asia Tenggara, dituntut untuk menghadirkan produk yang tidak hanya estetis, tetapi juga bebas cacat. Kegagalan mempertahankan standar kualitas dapat berdampak langsung pada kredibilitas perusahaan di pasar internasional.
PT.I, sebuah perusahaan penghasil furnitur rotan sintetis skala ekspor, menghadapi masalah yang cukup signifikan di lini produksi anyaman. Tingginya tingkat cacat pada produk menjadi perhatian utama perusahaan karena melebihi batas toleransi maksimal yang telah ditetapkan, yakni sebesar 5% dari total produksi. Kondisi ini mendorong perusahaan untuk melakukan analisis mendalam terhadap proses produksinya menggunakan pendekatan Statistical Process Control (SPC).
Paper ini, yang dipublikasikan dalam International Journal of Computer and Information System (IJCIS) Vol. 02, Edisi 03, Agustus 2021, mengulas bagaimana PT.I memanfaatkan SPC untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengurangi produk cacat di bagian weaving atau anyaman.
Apa Itu SPC dan Kenapa Penting untuk Industri Furnitur?
Statistical Process Control (SPC) adalah metode pengendalian kualitas berbasis statistik yang berfungsi untuk memonitor dan mengontrol proses produksi secara sistematis. Tujuan utama dari SPC adalah mencegah cacat produk sejak proses produksi berlangsung, bukan sekadar mendeteksi cacat setelah produk selesai dibuat.
Dalam industri furnitur berbahan rotan sintetis seperti PT.I, proses weaving merupakan tahapan krusial yang sangat mempengaruhi kualitas akhir produk. Kesalahan sekecil apapun, seperti anyaman kendor, paku yang terlihat, atau perbedaan warna, akan dengan mudah terdeteksi oleh konsumen, khususnya di pasar ekspor yang mengutamakan presisi dan estetika produk.
Studi Kasus PT.I: Mengurai Masalah Kualitas di Lini Anyaman
Profil PT.I dan Permasalahan Produksi
PT.I adalah produsen furnitur berbahan rotan sintetis yang berorientasi ekspor. Perusahaan menawarkan berbagai model anyaman klasik dan modern yang menjadi daya tarik utama bagi pasar luar negeri. Namun, data menunjukkan bahwa tingkat cacat produk anyaman di PT.I melebihi ambang batas 5%. Pada Oktober 2020, tingkat cacat mencapai 12,8%, sementara pada November 2020 turun tipis menjadi 11,8%. Meski ada penurunan, kedua angka ini tetap melampaui batas toleransi perusahaan.
Jenis Cacat yang Sering Terjadi
Berdasarkan hasil inspeksi, terdapat lima jenis cacat utama yang ditemukan di bagian weaving PT.I:
Metodologi Analisis SPC di PT.I
Penelitian di PT.I menggunakan tujuh alat dasar dalam SPC untuk mengontrol kualitas produk:
Hasil Analisis SPC di PT.I: Temuan Kunci dan Interpretasi
Data Oktober 2020
Data November 2020
Korelasi Produksi dan Tingkat Cacat
Hasil scatter diagram menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah produksi dan tingkat cacat. Artinya, semakin tinggi produksi, semakin tinggi pula kemungkinan produk cacat. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kapasitas produksi dan kemampuan kontrol kualitas di lapangan.
Temuan P Control Chart
Peta kendali menunjukkan bahwa sebagian besar titik data berada di luar batas kendali. Ini mengindikasikan bahwa proses produksi PT.I tidak stabil secara statistik dan masih sering mengalami variasi penyebab khusus yang perlu segera diidentifikasi dan diatasi.
Akar Masalah Utama: Analisis Fishbone Diagram
Analisis sebab-akibat atau fishbone diagram mengidentifikasi empat faktor utama penyebab cacat produksi di PT.I:
Rekomendasi Perbaikan dan Dampak yang Diharapkan
Tindakan Korektif
Perbandingan dengan Studi Serupa di Industri Lain
Beberapa industri lain di Indonesia telah berhasil menerapkan SPC untuk mengatasi masalah serupa:
Kritik dan Catatan Tambahan: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Kelebihan Penelitian
Kekurangan Penelitian
Rekomendasi Tambahan
Mengintegrasikan teknologi Industri 4.0 seperti sensor IoT dan sistem monitoring berbasis cloud dapat meningkatkan efektivitas SPC. Sistem ini memungkinkan deteksi cacat secara real-time dan mengurangi keterlambatan pengambilan keputusan.
Kesimpulan: SPC Sebagai Pilar Pengendalian Kualitas Industri Furnitur Indonesia
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan Statistical Process Control (SPC) di PT.I berhasil mengidentifikasi titik-titik lemah dalam proses produksi anyaman. Meski tingkat cacat masih melebihi ambang batas perusahaan, langkah-langkah perbaikan yang direkomendasikan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menstabilkan kualitas produksi.
Dengan komitmen dari semua pihak, dari operator hingga manajemen puncak, serta adopsi teknologi baru, PT.I dapat meningkatkan daya saingnya di pasar ekspor furnitur rotan sintetis.
Referensi Utama:
Attaqwa, Y., Hamidiyah, A., & Ekoanindyo, F. (2021). Product Quality Control Analysis with Statistical Process Control (SPC) Method in Weaving Section (Case Study PT.I). International Journal of Computer and Information System (IJCIS), Vol. 02, Issue 03, Agustus 2021.