Pendahuluan: Udara, Tantangan Baru Peradaban
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air dunia, pendekatan pengelolaan air konvensional kian dinilai tidak memadai. Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, permintaan udara meningkat dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan populasi. Didalam konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) hadir sebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi, keadilan, dan keinginan dalam pengelolaan air.
Namun, bagaimana IWRM dijalankan dalam konteks negara berkembang seperti Ethiopia? Inilah pertanyaan utama yang dijawab oleh Adey Nigatu Mersha dalam disertasinya yang ambisius dan multidimensi: Integrated Water Resources Management: A Systems Perspective of Water Governance and Hydrological Conditions (2021), fokus pada Sungai Awash , salah satu daerah aliran sungai (DAS) terpenting dan paling kompleks di Ethiopia.
Latar Belakang Sungai Awash: Sumber Kehidupan yang Terancam
Sungai Awash membentang sepanjang 1.200 km dan menjadi tumpuan bagi hampir 19 juta penduduk Ethiopia, termasuk wilayah Addis Ababa. Namun, DAS ini menghadapi tekanan berat:
- Kapasitas udara tahunan : ±4,9 miliar m³.
- Irigasi menyerap 80% dari total konsumsi udara.
- Efisiensi irigasi rendah , hanya 35–40%.
- Evaporasi tinggi , degradasi tanah, dan polusi industri yang meningkat.
Kebutuhan sektor pertanian, industri, dan domestik terus melonjak, sementara kualitas dan kuantitas udara semakin menurun. Mersha menyebut kondisi ini sebagai “ketimpangan struktural” dalam manajemen udara Ethiopia.
Tujuan Studi: Antara Prinsip dan Realitas
Penelitian ini bertujuan menganalisis:
- Ketidaksesuaian antara prinsip IWRM dan pelaksanaannya di Ethiopia.
- Efektivitas kebijakan udara dan kelembagaan dalam memenuhi kebutuhan masa depan.
- Konflik antara kebutuhan irigasi dan kelestarian ekosistem (aliran lingkungan).
- Sinergi sektor udara, energi, pangan, dan ekosistem melalui pendekatan WEFE Nexus.
Dengan kombinasi analisis kualitatif (wawancara, lokakarya, studi kebijakan) dan kuantitatif (pemodelan WEAP21), Mersha menggali lebih dalam dari sekadar kerangka normatif IWRM
Studi Kasus: Dilema Daerah Aliran Sungai Awash
Fakta Penting Awash Basin:
- 35% dari total lahan irigasi Ethiopia berada di DAS Awash.
- Ketersediaan udara sangat musiman (dominan Juli–Oktober).
- Cekungan endorheik: udara tidak mengalir ke laut, menyebabkan akumulasi kontaminasi.
- Pertumbuhan penduduk dan ekspansi irigasi akan menggandakan kebutuhan udara dalam 20 tahun ke depan.
Temuan Utama:
- Kebijakan IWRM telah disetujui sejak tahun 2001, namun pelaksanaannya terhambat oleh kelembagaan yang tumpang tindih , tidak sinkronnya peran antar instansi , dan rendahnya literasi kebijakan di tingkat lokal .
- Infrastruktur dan sistem informasi cekungan masih lemah, tanpa rencana pengelolaan jangka panjang yang terintegrasi.
Konflik Irigasi vs Kelestarian Ekosistem
Salah satu hasil signifikan dari simulasi WEAP menunjukkan bahwa fluktuasi irigasi yang direncanakan akan mengganggu aliran minimum yang diperlukan untuk ekosistem. Ketika arus lingkungan mempertimbangkan:
- Kesempurnaan pasokan dan permintaan udara semakin melebar.
- Prioritas sektor ekonomi sering mengabaikan aspek ekologis.
Hal ini mencerminkan dilema global : antara kebutuhan pangan dan keinginan lingkungan.
Solusi: WEFE Nexus sebagai Pendekatan Lintas Sektor
WEFE (Water-Energy-Food-Ecosystem) nexus adalah kerangka analitik yang digunakan Mersha untuk memperjelas interdependensi antar sektor. Beberapa simpulan kunci:
- Irigasi yang boros udara berdampak pada pasokan energi PLTA dan merusak ekosistem.
- Industri yang tumbuh pesat menyerap air bersih dan membuang limbah ke sungai.
- Tanpa koordinasi kebijakan antarsektor, konflik horizontal akan meningkat.
Pendekatan nexus menawarkan peluang untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya, tidak hanya melalui “penghematan”, tetapi juga koordinasi lintas sektor berbasis data .
Opini Kritis: IWRM Butuh Kontekstualisasi, Bukan Dogma Global
Mersha dengan kritik tajam bahwa banyak negara, termasuk Ethiopia, terlalu cepat mengadopsi IWRM sebagai “solusi ajaib” tanpa adaptasi lokal. Ia menyebut IWRM sebagai “kerangka universal yang rentan terhadap kegagalan lokal”.
Berbeda dengan pendekatan teknokratik, ia menekankan bahwa faktor sosial-politik, partisipasi masyarakat, dan distribusi kekuasaan sangat menentukan keberhasilan IWRM. Maka, ia menyarankan transisi dari pendekatan top-down menjadi pendekatan partisipatif yang diterapkan pada realitas sosial-ekologis setempat .
Perbandingan Global: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Beberapa pelajaran dari kasus ini juga bisa dikaitkan dengan konteks negara lain:
- India berhasil menerapkan skema pengelolaan berbasis desa dengan sistem kuota air lokal.
- Belanda menggunakan komite air regional dengan otoritas kuat dan partisipasi publik luas.
- Kenya dan Afrika Selatan mencontohkan suksesnya desentralisasi dengan kerangka hukum yang konsisten dan sistem pelaporan terintegrasi.
Ethiopia, dengan sumber daya dan keragaman geografi yang luas, memerlukan peta jalan IWRM yang berbasis data, adaptif, dan inklusif .
Kesimpulan: Menuju Manajemen Air yang Cerdas dan Adil
Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan IWRM tidak bisa hanya diukur dari jumlah kebijakan yang ditetapkan, namun dari bagaimana prinsip-prinsipnya diterjemahkan ke dalam praktik nyata yang kontekstual.
Untuk itu, Mersha merekomendasikan:
- Perbaikan sistem informasi DAS yang terbuka dan real-time.
- Sinergi antara Kementerian Pertanian, Udara, Energi, dan Lingkungan melalui platform bersama.
- Penguatan kapasitas lokal agar kebijakan tidak hanya bersifat top-down.
- Pendekatan WEFE nexus sebagai alat bantu pengambilan keputusan lintas sektor.
Sumber Referensi:
Mersha, AN (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Perspektif Sistem Tata Kelola Air dan Kondisi Hidrologi . Disertasi Doktoral, IHE Delft & Wageningen University.