IWRM: Antara Idealisme dan Kenyataan
Dalam dua dekade terakhir, istilah Integrated Water Resources Management (IWRM) telah menjadi semtelah menjadi semacam mantra dalam dunia tata kelola udara. Dengan janji holistik—mengintegrasikan udara, tanah, dan sumber daya terkait demi kesejahteraan ekonomi dan sosial—konsep ini terlihat sempurna di atas kertas. Namun menurut Asit K. Biswasbanyak , salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang kebijakan udara global, IWRM justru lebih banyak menjadi slogan daripada solusi yang nyata.
Dalam artikelnya yang berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Penilaian Ulang” , Biswas menantang dominasi IWRM dalam diskursus pengelolaan air dan penilaian menuntut ulang terhadap kelayakannya dalam implementasi di dunia nyata.
Sejarah IWRM: Bukan Konsep Baru, Tapi Lama yang Didaur Ulang
Meskipun banyak yang mengira IWRM lahir dari Dublin Principles (1992), Biswas mengungkap bahwa gagasan ini sudah ada sejak lebih dari 60 tahun yang lalulalu, termasuk dalam Konferensi Air PBB di Mar del Plata tahun 1977. Sayangnya, meskipun konsep ini terus dikutip dan didorong oleh lembaga-lembaga internasional seperti Global Water Partnership (GWP), implementasinya di lapangan tetap minim bahkan tak terukur .
Kritik Utama: Definisi IWRM Terlalu Kabur dan Tidak Operasional
Definisi IWRM yang paling sering dikutip berasal dari GWP (2000), yaitu:
“Sebuah proses yang mempromosikan pengembangan dan pengelolaan terkoordinasi udara, tanah, dan sumber daya terkait, untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem vital.”
Bagi Biswas, definisi ini terdengar muluk namun tidak memiliki makna operasional yang jelas. Ia memaparkan serangkaian pertanyaan kritis:
- Siapa yang mempromosikan konsep ini? Dan bagaimana caranya?
- Apa yang dimaksud dengan 'sumber daya terkait'?
- Bagaimana 'kesejahteraan sosial dan ekonomi' bisa dikuantifikasi oleh pemecahan masalah udara?
- Apa batasan 'ekosistem vital'?
Konsep ini, menurutnya, lebih banyak menggunakan kata-kata indah tanpa kejelasan aksi nyata —seperti kata Hamlet: “Words, Words, Words.”
Konflik Praktis: Ketika Integrasi Menjadi Ilusi
Biswas menunjukkan bahwa integrasi lintas sektor dan kelembagaan , sebagaimana disarankan IWRM, tidak realistis dalam banyak konteks. Beberapa tantangan yang diungkapkan:
- Rivalitas antar kementerian (air, energi, pertanian, lingkungan) seringkali lebih dominan daripada kerja sama.
- Upaya integrasi kelembagaan justru memicu birokrasi raksasa yang tidak efisien.
- Tidak ada metodologi atau alat ukur yang jelas untuk menyatakan suatu sistem telah “terintegrasi.”
Dalam studi kasus, seperti upaya penyatuan laboratorium irigasi dan pertanian di Mesir tahun 1970-an, hasilnya justru kontraproduktif dan akhirnya dibatalkan.
IWRM dan Ketergantungan Konseptual: Sekadar Tren Baru?
Biswas membandingkan popularitas IWRM dengan konsep-konsep masa lalu seperti “konservasi” pada awal abad ke-20—semua orang mendukungnya, meski tidak tahu maknanya. Ia menyatakan bahwa banyak aktor dan institusi menggunakan label IWRM untuk meningkatkan citra atau mendapatkan dana, tanpa perubahan nyata dalam praktik .
Daftar Integrasi: Misi Mustahil IWRM
Dalam analisisnya, Biswas menyusun 35 kategori aspek yang termasuk dalam literatur yang perlu diintegrasikan ke dalam IWRM: mulai dari air permukaan & bawah tanah, kuantitas & kualitas udara, energi, pertanian, lingkungan, gender, hingga antargenerasi.
Kritiknya sederhana: Tak mungkin semua itu bisa diserap secara serempak.
Contoh Nyata: Udara & Energi yang Tidak Terpisahkan
Biswas mengangkat hubungan udara-energi sebagai ilustrasi kompleksitas. Di India, misalnya:
- 20% listrik berasal dari pembangkit tenaga air.
- Sektor udara mengonsumsi energi dalam jumlah hampir sama.
Namun, kementerian udara dan energi berjalan sendiri-sendiri. Maka, mengintegrasikan udara tanpa menyentuh energi akan gagal sejak awal .
IWRM: Jalan Tanpa Tujuan?
Banyak pendukung IWRM yang menyebutnya sebagai “perjalanan, bukan tujuan.” Namun Biswas menolak analogi ini:
“Bagaimana kita bisa menggunakan peta jalan jika kita tidak mengetahui titik awal dan tujuan?”
Tanpa definisi, ukuran keberhasilan, dan kerangka pelaksanaan yang jelas, maka IWRM hanyalah peta tanpa kompas .
Dampak Nyata atau Retorika Belaka?
Menurut Biswas, tidak ada cukup bukti bahwa IWRM telah meningkatkan efektivitas kebijakan udara secara makro. Sebaliknya, banyak negara masih menjalankan proyek air dengan cara lama, hanya mengganti kemasan dengan jargon IWRM. Ini menunjukkan bahwa popularitas tidak sama dengan keberhasilannya .
Opini Tambahan: Jalan Alternatif dari Kritik yang Konstruktif
Kritik Biswas tidak berarti menolak kolaborasi atau koordinasi. Ia justru mendorong:
- Pendekatan berbasis konteks lokal , bukan model tunggal global.
- Koordinasi sektoral fungsional , bukan integrasi struktural utopis.
- Memperkuat kapasitas institusi kecil , bukan menciptakan birokrasi raksasa.
IWRM berguna, tapi harus dijelaskan ulang dengan pendekatan realistis dan adaptif.
Kesimpulan: Saatnya Evaluasi, Bukan Glorifikasi
Tulisan Biswas mengingatkan kita bahwa dalam tata kelola sumber daya, konsep besar tidak selalu berbanding lurus dengan dampak besar . IWRM, dengan segala idealismenya, belum membuktikan diri sebagai paradigma transformatif. Tanpa reformulasi operasional dan adaptasi lokal, konsep ini akan berakhir sebagai jargon masa lalu.
Seperti kata Biswas: “Kita duduk di kompartemen kedap udara, tapi berkhotbah soal pendekatan holistik.”
Sumber Referensi
Biswas, AK (2004). Manajemen Sumber Daya Air Terpadu: Sebuah Penilaian Ulang . Water International, 29(2), 248–256.