Evaluasi Pelatihan Berbasis Kompetensi Konstruksi: Seberapa Efektifkah Model Kirkpatrick di Indonesia?

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

21 Mei 2025, 10.30

pexels.com

Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh SDM Hebat

Pembangunan infrastruktur Indonesia, khususnya sejak 2014, mengalami lonjakan signifikan dari sisi anggaran maupun skala proyek. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah kualitas sumber daya manusia konstruksi kita sudah selaras dengan ambisi pembangunan tersebut?

Berangkat dari realitas ini, studi yang dilakukan oleh Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini memfokuskan diri pada efektivitas pelatihan berbasis kompetensi, yang menjadi strategi utama pemerintah dalam mencetak tenaga kerja konstruksi yang andal. Evaluasi ini menggunakan pendekatan empat level model Kirkpatrick: reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.

 

Konteks Masalah: Pelatihan Meningkat, Tapi Apakah Efektif?

Data dari LPJK Sumbar menunjukkan lonjakan pelatihan berbasis kompetensi dari hanya 5 kegiatan pada 2014 menjadi 17 kegiatan pada 2015. Ini merupakan peningkatan lebih dari tiga kali lipat. Namun, dengan tingginya investasi (sekitar Rp150 juta per kegiatan), evaluasi terhadap efektivitas program menjadi sangat penting.

Penelitian ini dilakukan di Sumatera Barat dengan menyasar pelatihan yang diadakan antara 2017–2018. Total responden sebanyak 64 orang, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, memberikan gambaran beragam terhadap persepsi dan dampak pelatihan.

 

Metodologi: Evaluasi Berbasis Model Kirkpatrick

Model evaluasi Kirkpatrick membagi efektivitas pelatihan dalam empat level:

  1. Reaksi: sejauh mana peserta puas dengan pelatihan

  2. Pembelajaran: seberapa besar pengetahuan/skill bertambah

  3. Perilaku: apakah peserta menerapkan materi pelatihan

  4. Hasil: dampak nyata pada performa kerja
     

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berisi 43 indikator, diuji validitas dan reliabilitasnya dengan SPSS. Uji hubungan dilakukan menggunakan analisis Kendall’s Tau-b dan chi-square untuk menilai kekuatan hubungan antar variabel.

Temuan Utama: Hanya 58% Indikator yang Efektif

Dari 43 indikator:

  • 58,1% dinyatakan efektif (bernilai di atas cut-off poin ≥4)

  • Sisanya 41,9% tidak efektif, termasuk beberapa indikator penting seperti materi K3, kualitas waktu pelatihan, dan pengaruh pelatihan terhadap efisiensi waktu kerja
     

Temuan ini cukup mengejutkan, mengingat anggapan umum bahwa semua pelatihan berbasis kompetensi otomatis berkorelasi positif dengan peningkatan performa.

Detail Temuan Berdasarkan Level Kirkpatrick

Level 1: Reaksi

21 indikator digunakan, hanya 13 yang lolos cut-off. Yang gagal antara lain:

  • instruktur tidak menguasai materi secara maksimal

  • waktu pelatihan tidak cukup dan mengganggu pekerjaan

  • modul pelatihan tidak membantu memahami materi

Interpretasi: Banyak pelatihan dijalankan seperti “tugas administratif,” tanpa memperhatikan kenyamanan, waktu efektif, dan pendekatan instruktur yang komunikatif.

 

Level 2: Pembelajaran

6 indikator digunakan, dan hanya 3 yang efektif:

  • Materi komunikasi, K3, dan jadwal kerja dinilai belum cukup meningkatkan pembelajaran
     

Analisis tambahan: Materi teknis dan keselamatan seharusnya menjadi inti dari pelatihan konstruksi. Fakta bahwa hal ini justru kurang efektif menunjukkan adanya gap dalam metode pengajaran atau mungkin kekeliruan dalam penyampaian materi.

Level 3: Perilaku

5 indikator digunakan, hanya 2 yang efektif:

  • Peserta tidak merasa pelatihan membuat mereka lebih disiplin, mandiri, atau bertanggung jawab
     

Opini kritis: Ini adalah alarm serius. Jika pelatihan tidak mengubah perilaku kerja, maka pelatihan gagal mencapai tujuannya. Perubahan mindset dan attitude seharusnya jadi target utama dalam membentuk tenaga kerja profesional.

Level 4: Hasil

11 indikator digunakan, 7 dinilai efektif. Yang tidak efektif mencakup:

  • peserta tidak mempraktikkan materi

  • tidak membantu manajemen waktu kerja

  • tidak meningkatkan kemampuan membuat laporan
     

Catatan penting: Tanpa implementasi di lapangan, hasil pelatihan hanya tinggal di ruang kelas. Artinya, pelatihan perlu disertai sistem mentoring di proyek untuk memastikan transfer ilmu.

 

Evaluasi Kompetensi: Mana yang Terkait dengan Indikator Efektif?

Peneliti menghubungkan indikator pelatihan dengan 6 kompetensi utama:

  • Kemampuan memahami gambar dan mengenali alat kerja
  • Kemampuan K3 dan menggambar teknis
  • Sikap disiplin dan kemampuan membimbing orang lain

Hanya 4 indikator yang signifikan:

  1. Mengubah cara pandang & sikap (berpengaruh ke K2, S2, A2)

  2. Meningkatkan keterampilan kerja (berpengaruh ke K1, A1)

  3. Meningkatkan kemampuan membaca gambar (K1)

  4. Materi sesuai unit kompetensi (A2)
     

Kesimpulan Penting: Dari 43 indikator, hanya 4 yang benar-benar berkorelasi dengan peningkatan kompetensi. Ini menunjukkan efektivitas pelatihan masih sangat terbatas dan perlu perombakan total.

 

Kritik dan Saran: Pelatihan Harus Relevan, Praktis, dan Evaluatif

Kritik Penulis:

  • Terlalu banyak pelatihan yang bersifat formalitas

  • Evaluasi hanya dilakukan dari sisi peserta, bukan juga dari pihak penyelenggara

  • Minim pemanfaatan teknologi pembelajaran (e-learning, simulasi proyek)

Rekomendasi Penguatan:

  • Libatkan pelaku industri dalam desain kurikulum pelatihan

  • Gunakan metode blended learning yang menggabungkan teori dan praktik lapangan

  • Lakukan evaluasi pasca-pelatihan di proyek nyata untuk mengukur dampak
     

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Studi Lin et al. (2011) menunjukkan bahwa dalam sektor konstruksi di Taiwan, keberhasilan pelatihan sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi. Sementara Kodri dkk. (2018) di Indonesia menemukan bahwa sertifikasi saja tidak cukup, tanpa diikuti perubahan proses kerja.

Penelitian ini memperkuat argumen bahwa proses pelatihan dan evaluasi harus lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya seputar penyampaian materi.

 

Kesimpulan Akhir: Pelatihan Tak Cukup, Harus Ada Transformasi

Penelitian ini memberikan gambaran gamblang tentang kondisi pelatihan SDM konstruksi di Indonesia, khususnya Sumatera Barat: belum cukup efektif. Hanya sebagian kecil indikator yang berkorelasi langsung dengan peningkatan kompetensi.

Untuk itu, pelatihan berbasis kompetensi harus mengalami revolusi—dari segi kurikulum, instruktur, metode evaluasi, hingga implementasi di lapangan.

 

Sumber

Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini (2021).
Analisis Hubungan Efektivitas Pelatihan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi terhadap Level Kirkpatrick.
Rang Teknik Journal, Vol. 4 No. 1.
DOI: http://dx.doi.org/10.31869/rtj.v4i1.2093