Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?
Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.
Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata
IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit
Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi
Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.
Studi Kasus & Insight Tambahan
Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun
Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.
Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog
Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam
Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat
Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain
Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan
Dampak Industri & Tren Masa Depan
Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”
Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.
Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.
Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.
Teori Belajar
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Krisis Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran Teknik
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan kejuruan, terutama pada program studi Teknik Bangunan di SMK, adalah minimnya keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi teknis seperti konstruksi kayu, yang sering kali disampaikan secara konvensional tanpa mendorong partisipasi aktif atau pemikiran kritis. Hasilnya? Prestasi belajar yang rendah, motivasi menurun, dan pemahaman konsep yang dangkal.
Artikel karya Elisabeth Ado Bue dan Dr. Nurmi Frida DBP ini hadir sebagai respons terhadap permasalahan tersebut. Penelitian mereka mengeksplorasi penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning / PBL) untuk meningkatkan tiga aspek utama dalam pendidikan kejuruan:
Prestasi belajar siswa
Kualitas mengajar guru
Aktivitas belajar siswa
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai efektivitas model PBL dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi konstruksi kayu.
Mengevaluasi perubahan cara mengajar guru sebelum dan sesudah penerapan model.
Mengamati peningkatan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar-mengajar.
Metodologi Penelitian: Pendekatan Tindakan Kelas (PTK)
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran.
Tahapan PTK:
Perencanaan: Merancang silabus, bahan ajar, dan skenario pembelajaran berbasis masalah.
Tindakan: Menerapkan skenario yang dirancang di kelas.
Observasi: Guru dan tim kolaborator mengamati kegiatan siswa dan guru.
Refleksi: Mengevaluasi proses dan hasil untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya.
Instrumen Data:
Tes hasil belajar siswa
Lembar observasi aktivitas guru
Lembar observasi aktivitas siswa
Kriteria ketuntasan minimal (KKM)
Hasil Penelitian: Bukti Nyata Efektivitas PBL
1. Peningkatan Prestasi Belajar
Siklus 1: Nilai rata-rata 2,8 (kategori kurang baik), ketuntasan klasikal hanya 36,36% dari 33 siswa.
Siklus 2: Nilai meningkat menjadi 3,38 (kategori baik), ketuntasan klasikal melonjak menjadi 96,96%.
2. Perubahan Gaya Mengajar Guru
Siklus 1: Skor observasi guru 2,67 (kategori cukup), ditemukan kelemahan seperti:
Tidak menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas.
Kurang dalam membimbing investigasi siswa.
Pengelolaan kelas yang belum efektif.
Siklus 2: Skor meningkat menjadi 3,58 (kategori baik). Guru berhasil:
Memberi motivasi di awal pelajaran.
Membimbing diskusi kelompok dan individu.
Mengelola kelas secara lebih interaktif dan dinamis.
3. Aktivitas Belajar Siswa
Siswa pada siklus awal masih pasif dan bergantung pada teman dalam tugas kelompok.
Siklus kedua menunjukkan perbaikan dalam hal:
Inisiatif bertanya kepada guru
Meningkatkan kolaborasi antaranggota kelompok
Antusias dalam diskusi dan pemecahan masalah
Studi Kasus: Implementasi Nyata di SMK Negeri 1 Madiun
Penelitian ini dilakukan di kelas X Teknik Bangunan SMKN 1 Madiun dengan total 33 siswa. Topik yang diajarkan adalah kompetensi konstruksi kayu, sebuah bidang yang membutuhkan keterampilan praktis dan pemahaman teknis.
Permasalahan Awal:
Siswa menganggap pelajaran membosankan.
Kurang percaya diri dalam bertanya dan berdiskusi.
Pembelajaran bersifat satu arah.
Solusi:
Guru menggunakan pendekatan PBL dengan kasus nyata.
Siswa diberi peran aktif untuk memecahkan permasalahan teknis.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pemberi informasi.
Opini Kritis & Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Relevansi tinggi dengan konteks pendidikan kejuruan.
Metodologi PTK sangat tepat untuk mengevaluasi proses pembelajaran secara iteratif.
Data kuantitatif dan kualitatif seimbang, memberikan gambaran menyeluruh.
Kritik Konstruktif:
Penelitian belum membandingkan PBL dengan metode lain (misalnya: direct instruction atau cooperative learning).
Fokus hanya pada satu kelas dan satu kompetensi (konstruksi kayu), sehingga generalisasi ke mata pelajaran lain belum tentu valid.
Kaitan dengan Tren Pendidikan Global
Penerapan PBL bukanlah hal baru di dunia pendidikan internasional. Di negara-negara seperti Finlandia dan Singapura, pendekatan berbasis masalah telah menjadi standar dalam pendidikan kejuruan. Menurut Barrows (1986), PBL efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan penerapan konsep ke situasi nyata—semua ini adalah soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja konstruksi.
Penelitian Elisabeth dan Nurmi ini menjadi bukti bahwa penerapan pendekatan global seperti PBL bisa sukses diimplementasikan dalam konteks lokal Indonesia dengan modifikasi yang sesuai.
Implikasi Praktis
Berdasarkan temuan penelitian, berikut beberapa saran yang dapat diterapkan:
Guru SMK sebaiknya diberikan pelatihan intensif terkait metode PBL agar lebih percaya diri dalam memfasilitasi proses belajar aktif.
Siswa Teknik Bangunan perlu didorong untuk lebih banyak melakukan praktik lapangan berbasis kasus nyata.
Kurikulum SMK perlu memasukkan elemen PBL secara sistematis, bukan hanya sebagai eksperimen kelas.
Kesimpulan: Pendidikan yang Menghidupkan Konstruksi
Penelitian ini membuktikan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) dapat secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, serta mendorong siswa untuk aktif, bertanya, dan berpikir kritis.
Model ini ideal untuk kompetensi kejuruan yang bersifat aplikatif, seperti konstruksi kayu. Maka, penelitian ini layak menjadi referensi wajib bagi para guru SMK, pengembang kurikulum, dan praktisi pendidikan vokasi.
Sumber Artikel
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Elisabeth Ado Bue & Dr. Nurmi Frida DBP (2016). "Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dengan Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada Kompetensi Konstruksi Kayu Kelas X Program Studi Keahlian Teknik Bangunan SMK Negeri 1 Madiun."
Dipublikasikan di Jurnal Kajian Pendidikan Teknik Bangunan, Vol. 3 No. 3 (2016), halaman 113–117.
Website Jurnal Resmi: tekniksipilunesa.org
Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Sumber Kehidupan yang Kini Terancam
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, pembangunan, dan ekosistem. Namun kenyataannya, lebih dari dua miliar manusia kini hidup dalam tekanan udara tinggi, dan 700 juta lainnya diprediksi akan mengungsi akibat kelangkaan udara pada tahun 2030 (UN Environment, 2018). Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan fisik air, melainkan cara kita mengelolanya.
Di akhir konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) mengambil peran penting. Makalah yang ditulis oleh Alesia Dedaa Ofori dan Anna Mdee (2021) membedah pendekatan holistik ini dengan detail mendalam, membahas sejarah, konsep, praktik, serta tantangan aktualnya dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).
Apa Itu IWRM? Memahami Inti Konsepnya
Definisi dan Pilar Utama
IWRM adalah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan udara—baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi, maupun institusional. Tujuannya adalah memastikan pemanfaatan udara yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskan dengan prinsip empat utama dalam Konferensi Dublin 1992:
Prinsip-prinsip ini bukan sekedar idealisme teoritis, melainkan dasar untuk reformasi kebijakan di berbagai negara.
Evolusi Pengelolaan Air: Dari Sektor Tertutup ke Pendekatan Terintegrasi
Dari Praktik Terfragmentasi ke Kebutuhan Integrasi
Sebelum era IWRM, pengelolaan air kerap terpecah-pecah. Misalnya, di Amerika Serikat dan Tiongkok, udara permukaan dan udara tanah dikelola oleh lembaga yang berbeda tanpa koordinasi. Hasilnya? Konflik antarsektor, inefisiensi, dan ketidakadilan dalam alokasi.
IWRM hadir menjawab masalah ini dengan semangat kolaboratif lintas sektor, mulai dari energi, pertanian, hingga lingkungan hidup. Namun sebagaimana dijelaskan dalam makalah, transisi ini tidak mudah.
Studi Kasus Ghana: Implementasi IWRM di Dunia Nyata
Reformasi Struktural dan Tantangan Lapangan
Ghana merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang menerapkan IWRM secara progresif. Sejak tahun 1996, negara ini membentuk Komisi Sumber Daya Air (WRC) dan mengembangkan rencana IWRM di berbagai wilayah sungai seperti Densu, Pra, dan White Volta.
Prosesnya melibatkan pemetaan pemangku kepentingan, studi sosial-ekonomi, hingga penguatan kapasitas lokal. Dewan Basin dibentuk secara inklusif, melibatkan aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh adat, pemuda, perempuan, LSM, dan sektor swasta.
Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan muncul:
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun struktur sudah dibangun, implementasi substansial masih menjadi PR besar .
Tantangan Global dalam Mengarusutamakan IWRM
Kompleksitas Lintas Lembaga dan Sektor
Menurut laporan UNEP (2012), hanya 50% negara yang benar-benar mampu menerapkan IWRM secara efektif. Tiga tantangan utama yang muncul adalah:
Lebih jauh lagi, makalah ini mengkritisi bahwa banyak negara hanya menyesuaikan kebijakan di atas kertas untuk memenuhi syarat bantuan donor internasional, tanpa komitmen nyata di lapangan.
IWRM vs Nexus: Saling Lengkap atau Saling Gantikan?
IWRM sering dibandingkan dengan pendekatan water-energy-food nexus . Nexus menempatkan udara, pangan, dan energi dalam bobot yang seimbang. Sebaliknya, IWRM tetap menjadikan udara sebagai pusat, namun menyerap dimensi lain dalam kerangka integratif.
Alih-alih bersaing, pendekatan ini seharusnya dipandang sebagai strategi sinergi , terutama dalam konteks perubahan iklim dan krisis multidimensi.
Dimensi Sosial IWRM: Inklusi, Keadilan, dan Gender
Perempuan sebagai Agen Kunci
Dalam banyak budaya, perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga. IWRM mengakui peran penting ini dan menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan. Ini menjadi sorotan yang kuat di dalam kertas, sebagai kemajuan signifikan dalam tata kelola sumber daya alam yang sensitif gender .
Keadilan Sosial dan Akses Air
Udara adalah hak dasar manusia. Namun kenyataannya, distribusi udara masih sangat timpang. IWRM berupaya merespons dengan mendorong tarif udara yang adil, perizinan transparan, dan melindungi kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan dimensi sosial SDG 6.
Pelajaran Kebijakan dan Rekomendasi Strategi
Kunci Sukses Implementasi IWRM
Dari hasil kajian dan praktik di Ghana serta negara-negara lain, berikut beberapa pelajaran penting:
Tantangan Masa Depan
Penutup: IWRM Bukan Sekadar Teknokrasi, tapi Perjuangan Kolektif
Seperti yang ditegaskan Ofori dan Mdee, IWRM bukanlah solusi instan, melainkan proses panjang yang politis, partisipatif, dan penuh negosiasi. Pendekatan ini menawarkan harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan udara—tetapi hanya jika dijalankan secara inklusif dan konsisten.
Sumber Utama:
Ofori, AD, & Mdee, A. (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu . Dalam W. Leal Filho dkk. (Eds.), Air Bersih dan Sanitasi, Ensiklopedia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB . Springer.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Adalah Isu Kritis?
Dalam dunia konstruksi, produktivitas tenaga kerja telah menjadi perhatian utama bagi kontraktor, pemilik proyek, hingga pemerintah. Masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas sering kali berakar dari produktivitas kerja yang rendah. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian David Trisno dan timnya yang fokus pada dua kota besar: Surabaya dan Samarinda.
Artikel ini bukan hanya sekadar mencatat data, tetapi mencoba mengungkap hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—dengan hasil kerja aktual di lapangan, khususnya pada pekerjaan dinding. Penelitian ini membawa pendekatan realistis melalui observasi langsung dan analisis kuantitatif yang menyentuh level operasional proyek.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding.
Menganalisis faktor dominan melalui pendekatan studi lapangan pada dua kota dengan iklim dan kondisi proyek yang berbeda.
Memberikan data produktivitas aktual sebagai tolok ukur praktis bagi proyek serupa.
Metodologi: Studi Lapangan dan Kuantifikasi
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kuantitatif. Data dikumpulkan melalui:
Observasi langsung di lapangan.
Pengambilan data produktivitas pekerjaan dinding (pasangan bata, plesteran, dan acian).
Penggunaan rumus produktivitas:
P=VT×nP = \frac{V}{T \times n}
Di mana:
PP: Produktivitas (m²/orang/hari)
VV: Volume pekerjaan
TT: Durasi pekerjaan (hari)
nn: Jumlah pekerja
Temuan Kunci: Produktivitas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Lokasi Surabaya
Data produktivitas diperoleh dari pekerjaan lantai 4 gedung di Surabaya. Hasil perhitungan menunjukkan variasi yang cukup mencolok:
Pemasangan Bata: Produktivitas tertinggi mencapai 1,32 m²/jam, terendah 0,19 m²/jam.
Plesteran: Rata-rata produktivitas berada di kisaran 0,29 – 0,49 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas harian tertinggi tercatat 2,32 m²/orang/jam.
Lokasi Samarinda
Data dari lantai 3 gedung di Samarinda memperlihatkan pola yang berbeda:
Pasangan Bata: Tertinggi di angka 0,45 m²/orang/jam, dengan fluktuasi lebih rendah dibandingkan Surabaya.
Plesteran: Fluktuasi rendah, rata-rata antara 0,3–0,38 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas puncak hingga 2,55 m²/orang/jam, cukup tinggi untuk skala proyek serupa.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Penelitian ini mengidentifikasi dua kategori besar faktor:
1. Faktor Internal
Jumlah pekerja: Terbukti sebagai faktor paling dominan. Tim dengan komposisi ideal (misal 2 tukang + 2 pembantu) menunjukkan efisiensi kerja yang lebih stabil.
Pekerjaan pengecoran dan pemasangan scaffolding: Memberi pengaruh langsung pada jeda kerja dan distribusi tenaga.
Kualitas mortar: Pengadukan yang tidak konsisten memperlambat proses plesteran.
Rotasi tugas pekerja: Mengurangi spesialisasi dan berdampak pada waktu penyelesaian.
2. Faktor Eksternal
Cuaca: Di Samarinda, hujan berkala menjadi penyebab keterlambatan kerja, terutama pada pekerjaan luar bangunan.
Ketersediaan material: Beberapa hari dalam data menunjukkan nihilnya produktivitas karena ketiadaan bahan bangunan.
Studi Kasus & Refleksi Lapangan
Salah satu hari di Surabaya (20 Maret 2021) menunjukkan produktivitas nol akibat ketidakhadiran pekerja dan material. Ini menunjukkan pentingnya sinkronisasi antarbagian dalam proyek. Dalam proyek swasta di Jakarta (2020), penambahan sistem ERP proyek berbasis mobile berhasil mengurangi “downtime” hingga 20%, dan produktivitas meningkat 12%.
Opini dan Komentar Kritis
Kelebihan Studi:
Penyajian data harian menjadikan hasil penelitian sangat aplikatif.
Peneliti melakukan verifikasi langsung di lapangan, meningkatkan validitas hasil.
Kelemahan yang Perlu Dikritisi:
Tidak disertakan data cuaca harian untuk korelasi lebih kuat terhadap produktivitas.
Hanya fokus pada pekerjaan dinding; padahal pekerjaan lain seperti instalasi dan finishing juga memberi pengaruh terhadap ritme proyek.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi oleh Hutasoit & Sibi (2017) yang menyatakan bahwa jumlah pekerja dan metode kerja adalah faktor utama dalam produktivitas kerja dinding. Namun, David dkk. juga menambahkan dimensi lain: pengaruh teknis operasional seperti pengadukan mortar dan pemasangan scaffolding, yang sering kali luput diperhatikan dalam studi teoritis.
Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi
Berikut beberapa rekomendasi berbasis temuan:
Atur komposisi tim kerja secara cermat: Komposisi 2 tukang + 2 pembantu tukang terbukti ideal dalam banyak kasus.
Optimalkan logistik mortar: Gunakan sistem batching onsite untuk menjaga kualitas adukan.
Buat checklist cuaca dan pasokan harian untuk menghindari hari-hari nihil produktivitas.
Digitalisasi dokumentasi produktivitas harian agar dapat dilakukan evaluasi mingguan berbasis data.
Kaitan dengan Tren Global
Produktivitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Negara seperti Vietnam dan Thailand telah menerapkan sistem reward produktivitas harian yang terbukti mendorong pekerja untuk lebih efisien. Temuan dari studi ini bisa menjadi masukan bagi kontraktor dalam negeri yang ingin mengejar ketertinggalan tersebut.
Kesimpulan: Kuantitas Pekerja Masih Jadi Kunci
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa jumlah pekerja merupakan faktor dominan yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding di proyek konstruksi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti durasi pengecoran, kualitas mortar, serta kehadiran perancah (scaffolding) juga memiliki dampak nyata terhadap output harian.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
David Trisno, Emmanuel Wendy Secio, Sentosa Limanto. (2022). "Studi Awal pada Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi pada Bangunan di Surabaya dan Samarinda". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 1, pp. 33–39.
eISSN: 2775-0213 – Link Jurnal Resmi
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Produktivitas sebagai Penentu Keberhasilan Proyek
Dalam dunia konstruksi, produktivitas pekerja bukan sekadar indikator efisiensi, melainkan nyawa dari sebuah proyek. Rendahnya produktivitas bukan hanya menambah durasi pengerjaan, tetapi juga membengkakkan biaya dan memengaruhi reputasi perusahaan. Menurut Ghodrati et al. (2018), sekitar 50–70% waktu kerja pekerja konstruksi justru dihabiskan untuk aktivitas tidak produktif. Ironisnya, hal ini telah menjadi pola umum di berbagai proyek, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Artikel ini hadir sebagai respons terhadap fenomena tersebut dengan mengidentifikasi indikator paling relevan dalam meningkatkan produktivitas, berdasarkan studi kasus pada proyek high-rise dan low-rise building di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Penelitian ini tidak hanya memberikan peta indikator yang komprehensif, tapi juga memperbandingkan perbedaan signifikan antar jenis proyek.
Tujuan Penelitian dan Metode
Tujuan Utama:
Mengidentifikasi indikator paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Menganalisis perbedaan persepsi antara proyek high-rise dan low-rise building.
Metodologi:
Responden: 60 pekerja proyek (30 dari high-rise dan 30 dari low-rise).
Instrumen: Kuesioner dengan skala Likert 1–6.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan melalui IBM SPSS Statistics 25.
Analisis Mean dan Independent Sample T-Test digunakan untuk pembanding.
Temuan Kunci: Indikator yang Membentuk Produktivitas
High-Rise Building: Pengarahan adalah Segalanya
Berdasarkan hasil kuisioner, indikator "memberi pengarahan sebelum pekerjaan" menduduki peringkat pertama pada proyek high-rise building dengan nilai mean 5,733. Hal ini sangat masuk akal mengingat kompleksitas proyek vertikal yang tinggi dan melibatkan banyak risiko keselamatan. Tanpa pengarahan yang jelas, pekerja bisa melakukan kesalahan fatal.
Low-Rise Building: Komunikasi Menjadi Kunci
Berbeda dengan proyek high-rise, responden pada proyek low-rise building memilih indikator “komunikasi agar tugas dan wewenang jelas” sebagai yang paling penting (mean 5,767). Hal ini menunjukkan bahwa pada proyek berskala kecil-menengah, alur komunikasi yang ringkas dan jelas lebih mendesak ketimbang pengarahan teknis yang rumit.
Analisis Perbandingan: Apakah Proyek High-Rise dan Low-Rise Sama?
Menggunakan Independent Sample T-Test, penulis menemukan perbedaan yang signifikan dalam 11 dari 42 indikator. Salah satu yang paling mencolok adalah pada indikator pelatihan:
Pelatihan pekerja
High-rise: Mean = 5,467 (Ranking 13,5)
Low-rise: Mean = 4,233 (Ranking 38)
Artinya, proyek high-rise sangat bergantung pada pelatihan karena kompleksitas alat dan risiko tinggi.
Begitu juga pada indikator kepemimpinan:
Pelatihan kepemimpinan
High-rise: Mean = 5,433
Low-rise: Mean = 4,267
Perbedaan ini menggarisbawahi pentingnya struktur organisasi dan distribusi tanggung jawab yang lebih sistematis di proyek high-rise, yang tidak terlalu krusial di proyek low-rise.
Studi Kasus dan Penerapan Nyata
Misalnya, pada proyek pembangunan apartemen bertingkat di Surabaya yang melibatkan lebih dari 300 tenaga kerja, pengarahan harian pagi terbukti mengurangi kesalahan lapangan hingga 18% dalam 3 bulan pertama (berdasarkan laporan kontraktor lokal). Sementara itu, pada proyek perumahan tapak berskala kecil di Sidoarjo, penunjukan koordinator komunikasi terbukti meningkatkan koordinasi tim dan mempercepat penyelesaian 2 hari lebih cepat dari jadwal.
Opini Kritis dan Implikasi Praktis
Kritik Konstruktif:
Meskipun artikel ini kaya data, namun cakupan geografis terbatas hanya pada Surabaya dan sekitarnya. Padahal kondisi produktivitas pekerja bisa sangat bervariasi di kota lain seperti Jakarta atau Medan.
Tidak ada pemisahan responden berdasarkan jenis jabatan (mandor vs tukang vs pekerja), yang bisa memperkaya analisis persepsi produktivitas.
Implikasi Praktis:
Kontraktor proyek vertikal harus menstandardisasi SOP pengarahan pagi dan dokumentasi kerja.
Proyek skala menengah dapat lebih fokus pada penguatan komunikasi interpersonal dan manajemen tim kecil.
Penggunaan pekerja paruh waktu harus dibatasi, kecuali di tahap akhir proyek yang tidak membutuhkan keterampilan spesifik.
Kaitan dengan Tren Industri Global
Sejalan dengan temuan Goodrum & Haas (2004), teknologi dan manajemen sumber daya manusia adalah dua sisi mata uang yang menentukan efisiensi kerja. Di era digitalisasi konstruksi, indikator seperti "penggunaan teknologi peralatan" harus lebih didorong. Misalnya, aplikasi berbasis BIM (Building Information Modelling) dan penggunaan sistem ERP telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 30% di proyek-proyek besar di Jepang dan Singapura.
Kesimpulan: Tidak Ada “One-Size-Fits-All”
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa indikator produktivitas bersifat kontekstual. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua jenis proyek. Proyek high-rise membutuhkan sistem pengarahan dan pelatihan intensif, sementara proyek low-rise lebih membutuhkan kejelasan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
Christopher Kurniawan, Olivia Reynalda Tandean, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja. (2022). "Indikator dalam Upaya Memperbaiki Produktivitas Pekerja Konstruksi". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2, pp. 62–69.
eISSN: 2775-0213 – Tautan resmi jurnal
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Produktivitas di Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia, meski berkontribusi besar terhadap PDB nasional, terus dibayangi isu klasik: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Dalam proyek pembangunan dan renovasi Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, peneliti Muhammad Rendy dan Andi Febra Ashari mencoba menyibak persoalan ini dengan pendekatan yang sistematis. Mereka menilai kinerja pekerja pada pekerjaan plafon dan instalasi listrik, dua elemen vital yang memengaruhi kecepatan dan kualitas proyek secara keseluruhan.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan tools statistik SPSS versi 25, studi ini tidak hanya mengukur Labour Utilization Rate (LUR) dan produktivitas berdasarkan SNI, tapi juga mengevaluasi variabel-variabel yang memengaruhinya secara signifikan. Hasilnya? Temuan yang patut jadi acuan dalam pengelolaan proyek konstruksi, khususnya di masa pascapandemi.
Metodologi: Menggali Data dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui:
Observasi langsung pekerja lapangan
Penyebaran kuesioner kepada 16 responden
Analisis statistik dengan SPSS v25
Subjek yang diamati mencakup berbagai peran, dari mandor hingga tukang dan pekerja harian. Fokus utama adalah aktivitas pekerjaan plafon dan instalasi listrik di proyek RS Unhas yang sempat tertunda akibat pandemi COVID-19.
Hasil Utama: Seberapa Produktif Tenaga Kerja di Proyek Ini?
1. Labour Utilization Rate (LUR)
LUR merupakan rasio waktu kerja efektif terhadap total waktu yang tersedia. Angka LUR digunakan sebagai indikator efisiensi tenaga kerja dalam memanfaatkan waktunya.
Rata-rata LUR yang dicapai adalah sebesar 92,98%. Artinya, hampir seluruh waktu kerja digunakan secara produktif. Bahkan, beberapa pekerja seperti Latif dan Komaruddin mencapai efisiensi lebih dari 95%.
Catatan: Menurut Oglesby (1989), LUR > 50% sudah termasuk kategori memuaskan. Maka capaian ini bisa dikatakan sangat tinggi.
2. Produktivitas Berdasarkan SNI
Menggunakan rumus produktivitas = volume pekerjaan ÷ waktu efektif (SNI 3436:2002), diperoleh:
Hari ke-1: 0,641 m²/menit
Hari ke-2: 0,6365 m²/menit
Hari ke-3: 0,6405 m²/menit
Rata-rata produktivitas: 0,6393 m²/menit
Sebagai perbandingan, standar efisiensi nasional dalam pekerjaan plafon berada di kisaran 0,5–0,7 m²/menit. Maka, hasil ini tergolong tinggi.
Studi Kasus: Pekerjaan Plafon di RS Unhas
Proyek yang dianalisis merupakan pekerjaan renovasi gedung Rumah Sakit Unhas. Pandemi COVID-19 sempat menghentikan proyek, menciptakan tantangan baru terkait produktivitas dan jadwal pengerjaan.
Jumlah pekerja: 16 orang + 1 mandor
Volume pekerjaan: 247,7475 m²
Total OH (orang-hari): 1,605 per hari
Dengan kondisi tersebut, tingkat efisiensi yang tinggi menunjukkan manajemen tenaga kerja yang cukup berhasil mengendalikan produktivitas bahkan dalam kondisi yang menantang.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini selaras dengan studi oleh Aprillian (2010) dan Febriyanto (2013) yang menunjukkan bahwa pengalaman kerja memiliki korelasi kuat dengan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Namun, uniknya, penelitian ini juga mengonfirmasi bahwa tingkat pendidikan formal tidak selalu menjadi penentu utama dalam konteks lapangan.
Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi
Rekrutmen berbasis pengalaman: Pemilihan tenaga kerja sebaiknya mempertimbangkan jam terbang daripada sekadar latar belakang akademis.
Pelatihan berkelanjutan: Untuk pekerja muda, penting dilakukan on-the-job training untuk mempercepat kurva belajar.
Monitoring produktivitas harian: Metode LUR terbukti efisien sebagai alat pemantau lapangan.
Penggunaan SPSS dalam proyek: Pengolahan data statistik sebaiknya menjadi standar manajemen proyek profesional.
Kesimpulan: Pengalaman adalah Kunci
Penelitian ini memperkuat fakta bahwa pengalaman kerja merupakan faktor dominan dalam produktivitas tenaga kerja konstruksi. Meskipun beberapa variabel seperti upah, pendidikan, dan hubungan kerja tak menunjukkan signifikansi, efisiensi tetap dapat tercapai melalui pengelolaan waktu dan pemanfaatan SDM yang tepat.
Dengan LUR rata-rata 92,98% dan produktivitas 0,6393 m²/menit, proyek RS Unhas menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya manusia yang baik, bahkan di tengah krisis pandemi, mampu menghasilkan produktivitas optimal.
Rekomendasi Tambahan
Industri konstruksi di Indonesia perlu menjadikan LUR sebagai standar audit produktivitas di proyek.
Kebijakan insentif berbasis produktivitas harian akan mendorong perilaku kerja yang lebih efisien.
Investasi pada manajemen proyek berbasis data (seperti SPSS) akan mempercepat identifikasi faktor penghambat produktivitas.
Sumber:
Rendy, M., & Ashari, A. F. Y. (2022). Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Plafond dan Instalasi Listrik (Studi Kasus Proyek Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Kota Makassar). Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2. Link Jurnal Resmi (eISSN: 2775-0213)