Kebijakan Infrastruktur Air

Mengurai Hambatan Digitalisasi Utilitas Air di Swedia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Air, Digitalisasi, dan Masa Depan Layanan Publik

Air merupakan infrastruktur vital yang menopang kehidupan sosial dan ekonomi. Di Swedia, tantangan seperti urbanisasi, infrastruktur menua, dan perubahan iklim mendorong kebutuhan untuk mendigitalisasi sistem penyediaan air. Namun, adopsi solusi digital masih tertinggal dibandingkan sektor lain. Laporan tesis "Aligning Currents" oleh Emelie Skantz (2024) menyoroti berbagai hambatan utama dalam proses digitalisasi utilitas air, berdasarkan wawancara dengan penyedia teknologi dan operator air di Swedia.

Tujuan dan Metodologi Studi

Penelitian ini mengeksplorasi dua pertanyaan utama:

  • Apa saja hambatan utama digitalisasi utilitas air di Swedia?
  • Bagaimana perbedaan persepsi antara operator air dan penyedia teknologi?

Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan 11 pemangku kepentingan dari utilitas air, penyedia teknologi, konsultan, dan akademisi, serta ditunjang dengan literatur sekunder.

Hambatan Utama Digitalisasi Utilitas Air

1. Tidak Ada Strategi dan Visi Digitalisasi yang Jelas
Banyak utilitas air tidak memiliki strategi digitalisasi formal. WU4 menyebut meski telah melakukan beberapa lokakarya, belum ada arah strategis yang konkret. WU1 menekankan digitalisasi dilakukan secara “instingtif” tanpa panduan tujuan jangka panjang.

2. Dukungan Manajemen dan Struktur Organisasi Lemah
Digitalisasi belum menjadi prioritas manajerial. Banyak CEO/utilitas masih menganggap digitalisasi sebagai proyek teknologi, bukan investasi strategis. Konsultan C1 menyebut banyak perusahaan air “belum siap secara budaya dan struktur” menghadapi proyek transformasi digital.

3. Kekurangan Kompetensi dan Sumber Daya Manusia
Kekurangan tenaga ahli membuat inisiatif digitalisasi seringkali gagal dieksekusi meskipun sudah direncanakan. Bahkan, posisi seperti manajer digitalisasi kadang tidak dibekali dengan kewenangan atau dukungan memadai.

4. Isu Keamanan Siber dan Kepemilikan Data
Kekhawatiran tentang cybersecurity dan kontrol data jadi penghambat utama, terutama untuk layanan berbasis cloud atau “data as a service”. Risiko vendor lock-in juga menghambat adopsi luas.

5. Kurangnya Insentif Regulasi dan Kebijakan
Tidak ada mandat nasional untuk mendorong digitalisasi. Operator tidak diberi insentif dari pemerintah, padahal biaya investasi tinggi dan tarif air rendah membuat pengembalian investasi sulit dihitung.

Perspektif Penyedia Teknologi: Selaras tapi Terkendala

Penyedia teknologi, terutama yang sudah mapan dan tergabung dalam asosiasi industri seperti Vattenindustrin, merasa sudah cukup memahami kebutuhan pasar. Namun mereka menyebut tantangan utama datang dari organisasi pelanggan sendiri, terutama lambatnya pengambilan keputusan, struktur birokratis, dan sikap konservatif.

Peluang solusi yang diusulkan:

  • Membangun “champion” internal di dalam utilitas air (pegawai dengan minat digitalisasi)
  • Memberikan pelatihan bersama, bukan hanya menjual produk
  • Mengemas digitalisasi sebagai solusi efisiensi atau penghematan energi, bukan sekadar proyek teknologi

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • 90% penduduk Swedia bergantung pada layanan air milik publik
  • Infrastruktur air Swedia dibangun pada era 1950–1970 dan kini menua
  • Swedia memiliki 1.200–1.300 IPAL dan 1.600 instalasi air bersih
  • Selisih tarif antar kota bisa mencapai 500%
  • 90% utilitas air menggunakan air tanah sebagai sumber

Data ini menunjukkan kompleksitas dan kebutuhan investasi besar yang sulit diatasi tanpa transformasi struktural dan digitalisasi yang sistemik.

Temuan Tambahan dari Literatur

  • Digitalisasi belum didefinisikan secara universal; tiap organisasi punya interpretasi berbeda.
  • Budaya organisasi konservatif dan keengganan terhadap risiko sangat tinggi di sektor air.
  • Regulasi justru sering menghambat inovasi karena tumpang tindih otoritas dan kurangnya insentif eksplisit.
  • Banyak teknologi canggih gagal diimplementasikan karena kurangnya model bisnis yang mendukung atau kegagalan dalam proses scaling-up.
  • Kolaborasi lintas sektor (dengan penyedia teknologi, akademisi, pemerintah) belum optimal, padahal sangat krusial.

Rekomendasi Praktis

  1. Bentuk Strategi Digitalisasi Nasional: Pemerintah perlu menetapkan arahan dan insentif untuk mendorong utilitas air melakukan transformasi digital.
  2. Bangun Kapasitas Internal: Prioritaskan pelatihan SDM, pembentukan tim digital internal, dan pemberian otoritas pada manajer digital.
  3. Dorong Kemitraan Strategis: Fasilitasi kolaborasi berkelanjutan antara utilitas air dan penyedia teknologi, termasuk sandbox regulasi.
  4. Perbarui Infrastruktur dan Model Investasi: Pemerintah daerah perlu mendesain ulang skema investasi utilitas agar bisa menyerap solusi digital jangka panjang.
  5. Gunakan Pendekatan Multistakeholder: Libatkan asosiasi industri, lembaga riset, dan komunitas pengguna dalam proses transformasi.

Kesimpulan: Digitalisasi Butuh Tata Kelola dan Budaya Baru

Digitalisasi sektor air bukan sekadar mengganti meter manual dengan sensor pintar. Ia menuntut perubahan budaya, restrukturisasi organisasi, penyesuaian regulasi, dan peningkatan kompetensi. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi di sektor air akan sangat bergantung pada kemampuan berbagai aktor untuk bekerja sama secara terkoordinasi, dengan tujuan dan tanggung jawab yang jelas.

Tanpa strategi menyeluruh dan reformasi institusional, digitalisasi hanya akan jadi buzzword—bukan solusi nyata atas tantangan air masa kini.

Sumber : Skantz, E. (2024). Aligning Currents: Uncovering Perspectives on Barriers in Water Utility Digitalization. Master of Science Thesis, KTH Royal Institute of Technology. TRITA-ITM-EX 2024:302.

Selengkapnya
Mengurai Hambatan Digitalisasi Utilitas Air di Swedia

Kebijakan Infrastruktur Air

Meter Air Pintar Hadapi Tantangan Regulasi Digital di Belanda

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pengantar: Data Besar dan Inovasi Infrastruktur

Big data dan Internet of Things (IoT) telah menjadi penggerak utama dalam manajemen infrastruktur publik, termasuk air minum. Melalui data-driven innovation (DDI), operator jaringan bisa melakukan pemeliharaan prediktif, deteksi kebocoran, dan penghematan biaya secara signifikan. Namun, transformasi digital seperti penerapan Smart Water Meter (SWM) di Belanda menghadapi hambatan besar: aturan hukum yang belum siap.

Makalah oleh Espinosa dan Lavrijssen (2019) membedah tantangan regulasi SWM di Belanda. Penelitian ini jadi diskusi awal tentang bagaimana kerangka hukum lama berinteraksi (atau bertabrakan) dengan teknologi baru.

Fungsi dan Manfaat SWM: Lebih dari Sekadar Tagihan

Smart Water Meter bukan hanya alat ukur konsumsi, tapi sistem sensor real-time yang:

  • Mendeteksi kebocoran dan pencurian air
  • Menyediakan data berkualitas tinggi untuk analisis permintaan air
  • Mengurangi biaya operasional dan tenaga kerja manual
  • Memonitor kualitas air seperti suhu dan tekanan
  • Memfasilitasi harga dinamis dan pengelolaan konservasi

Namun teknologi ini juga membawa risiko privasi dan keamanan data, karena informasi dikumpulkan secara real-time di rumah pelanggan dan bisa menggambarkan pola hidup pengguna.

Situasi Terkini di Belanda: Potensi Besar, Payung Hukum Kurang

Belanda belum memiliki kebijakan nasional untuk SWM. Tidak ada regulasi khusus, standar teknis, maupun mandat instalasi. Pilot project hanya dilakukan oleh tiga perusahaan air: Vitens, Oasen, dan Brabant Water.

Mengapa belum diluncurkan secara nasional?

  • Biaya tinggi implementasi SWM belum sebanding dengan harga air yang relatif murah
  • Tidak ada insentif regulasi atau mandat Uni Eropa
  • Ketersediaan air masih tinggi—Belanda tidak (belum) mengalami krisis air serius

Namun, cuaca ekstrem seperti musim panas 2018 yang sangat kering menunjukkan bahwa krisis air bisa datang lebih cepat dari perkiraan.

Studi Kasus: Ketidaksiapan Regulasi Mikro dan Makro

Tingkat Mikro (Peraturan Metering)

Aturan yang ada hanya mengatur meteran untuk kebutuhan tagihan. Fitur-fitur baru seperti pengiriman data otomatis, deteksi kebocoran, atau pemantauan kualitas air tidak tercakup.

Masalah krusial:

  • Tidak ada kerangka hukum untuk privasi dan keamanan data SWM
  • Belum ada pengakuan hukum terhadap fungsi analitik SWM
  • Pengguna masih diwajibkan mencatat meteran manual setahun sekali

Tingkat Makro (Kerangka Umum Sektor Air)

Sebagai sektor monopoli publik, perusahaan air Belanda terikat pada aturan ketat:

  • Tarif dikontrol oleh Kementerian Infrastruktur dan ILT
  • Investasi harus sesuai rencana lima tahunan
  • Return of Investment dibatasi oleh WACC yang ditentukan regulator

SWM sebagai investasi baru sulit dimasukkan tanpa aturan nasional yang jelas, apalagi karena konsumen tidak bisa memilih operator air mereka (captive consumers).

Regulasi dan Teknologi: Empat Dilema Hukum

Berdasarkan kerangka Bennett Moses, regulasi menghadapi 4 dilema akibat perubahan teknologi:

  1. Regulatory gap – teknologi baru belum diatur
  2. Uncertainty – sulit menerapkan aturan lama untuk praktik baru
  3. Over/under-inclusiveness – aturan terlalu sempit atau terlalu luas
  4. Obsolescence – aturan lama menjadi tidak relevan

Dalam konteks SWM:

  • Tidak ada dasar hukum yang jelas untuk pengumpulan data non-tagihan (misalnya, pemantauan tekanan air)
  • Perlindungan privasi belum disesuaikan dengan frekuensi pengumpulan data yang tinggi
  • GDPR mensyaratkan dasar hukum kuat untuk pengolahan data pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan kontrak (misalnya, untuk deteksi kebocoran)

Perbandingan Internasional dan Potensi Solusi

Negara seperti Inggris sudah mewajibkan SWM di daerah rawan kekeringan. Beberapa negara, seperti Denmark, menggunakan GDPR Pasal 6(1)(e) dan 6(1)(f) sebagai dasar hukum pemrosesan data untuk kepentingan publik dan legitimasi pemilik data.

Di Belanda, pendekatan ini belum ada. Tanpa kebijakan nasional, setiap perusahaan air harus menafsirkan sendiri ruang geraknya, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko hukum.

Rekomendasi dan Refleksi

  1. Reformasi aturan mikro – definisikan kembali "meter air" sebagai alat multifungsi berbasis data
  2. Tambahkan perlindungan privasi – frekuensi data tinggi = risiko tinggi, harus diimbangi dengan regulasi
  3. Revisi aturan makro – beri insentif dan ruang investasi untuk teknologi digital dalam sektor publik
  4. Tautkan SWM ke nilai publik – seperti efisiensi, konservasi air, dan pelayanan berkelanjutan
  5. Eksperimen hukum – pemerintah bisa memulai dari sandbox regulasi untuk uji coba SWM dengan mitigasi risiko

Kesimpulan: Saatnya Aturan Mengejar Teknologi

Belanda memiliki potensi besar dalam transformasi digital sektor air. Namun tanpa penyesuaian regulasi, inovasi seperti SWM akan tetap berada di tahap uji coba. Tulisan ini menunjukkan bahwa tantangan bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada kerangka hukum yang belum cukup adaptif untuk mengakomodasi perubahan digital yang cepat.

Langkah ke depan adalah mengkaji ulang aturan yang ada, bukan untuk menghambat teknologi, tapi untuk memastikan manfaatnya bisa dinikmati dengan tetap menjaga hak-hak dasar konsumen.

Sumber : Espinosa, B., & Lavrijssen, S. (2019). Exploring the regulatory challenges of a possible rollout of smart water meters in the Netherlands. Competition and Regulation in Network Industries, 19(3–4), 159–179.

Selengkapnya
Meter Air Pintar Hadapi Tantangan Regulasi Digital di Belanda

Manajemen Pemasok

Strategi Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Model SCPM untuk Efisiensi dan Daya Saing Bisnis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan

Di era persaingan global, Supply Chain Performance Measurement System (SCPMS) menjadi elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi rantai pasok perusahaan. SCPMS tidak hanya digunakan untuk mengukur kinerja internal tetapi juga mengoptimalkan hubungan dengan pemasok dan mitra bisnis lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Hamid Kazemkhanlou dan Hamid Reza Ahadi di Iran University of Science & Technology mengeksplorasi berbagai model pengukuran kinerja rantai pasok, menyoroti karakteristik, kelebihan, dan penerapannya dalam konteks bisnis modern.

Metodologi Penelitian

  • Analisis literatur terhadap berbagai model SCPM, termasuk pendekatan strategis, taktis, dan operasional.
  • Evaluasi sistem pengukuran kinerja berbasis keuangan dan non-keuangan, seperti Balanced Scorecard, SCOR Model, dan Economic Value Added (EVA).
  • Studi kasus dan pemetaan framework SCPM dalam tujuh tingkatan evaluasi kinerja.

Temuan Utama

1. Evolusi SCPMS dan Peranannya dalam Bisnis Modern

  • Sebelum 1980-an, pengukuran kinerja rantai pasok hanya berfokus pada data keuangan seperti ROI dan ROA.
  • Pada 1990-an, model Balanced Scorecard diperkenalkan untuk menyeimbangkan pengukuran keuangan dan operasional.
  • Saat ini, perusahaan semakin mengadopsi SCPMS berbasis teknologi digital dan data real-time untuk meningkatkan ketahanan rantai pasok.

2. Karakteristik SCPM yang Efektif

  • Pengukuran harus mencakup aspek strategis, taktis, dan operasional.
  • Sistem harus dinamis dan fleksibel agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar.
  • Integrasi dengan sistem informasi logistik meningkatkan transparansi dan efisiensi operasional.

3. Model SCPM dan Keunggulannya

Berbagai model Supply Chain Performance Measurement (SCPM) memiliki keunggulan masing-masing dalam mengukur dan meningkatkan kinerja rantai pasok. Balanced Scorecard (BSC) merupakan model yang digunakan untuk menilai kinerja berdasarkan empat perspektif utama, yaitu keuangan, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Pendekatan ini membantu perusahaan dalam mencapai keseimbangan antara aspek keuangan dan operasional. Sementara itu, SCOR Model lebih menitikberatkan pada keandalan, fleksibilitas, serta biaya dalam rantai pasok, sehingga perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dan respons terhadap permintaan pasar. Model Economic Value Added (EVA) berfokus pada pengukuran nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok, membantu perusahaan dalam menilai sejauh mana operasi bisnis menciptakan keuntungan bagi pemegang saham. Selain itu, Activity-Based Costing (ABC) digunakan untuk mengidentifikasi biaya produksi berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah, sehingga perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien dan meningkatkan profitabilitas. Dengan memahami keunggulan masing-masing model, perusahaan dapat memilih pendekatan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bisnisnya.

4. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Transportasi dan Manufaktur

  • Perusahaan transportasi di Iran menerapkan SCPMS berbasis SCOR Model, meningkatkan efisiensi pengiriman hingga 25%.
  • Industri manufaktur yang menggunakan Balanced Scorecard melaporkan peningkatan produktivitas sebesar 18% dalam dua tahun.
  • Penggunaan teknologi ERP dalam pengukuran kinerja meningkatkan akurasi data operasional hingga 40%.

Strategi Optimal untuk Implementasi SCPMS yang Efektif

1. Mengintegrasikan Pengukuran Kinerja dengan Teknologi Digital

  • Menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk analisis prediktif rantai pasok.
  • Menerapkan Internet of Things (IoT) untuk pemantauan real-time terhadap pergerakan stok dan bahan baku.

2. Menerapkan Model Pengukuran yang Sesuai dengan Tujuan Bisnis

  • Perusahaan dengan rantai pasok kompleks sebaiknya menggunakan SCOR Model.
  • Bisnis yang berorientasi pada nilai tambah finansial dapat menerapkan Economic Value Added (EVA).

3. Meningkatkan Kolaborasi dan Transparansi dengan Mitra Bisnis

  • Menggunakan platform berbasis cloud untuk berbagi informasi rantai pasok secara real-time.
  • Menerapkan sistem insentif berbasis kinerja untuk pemasok dan distributor.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa SCPMS yang efektif mampu meningkatkan daya saing perusahaan dengan memberikan wawasan berbasis data untuk pengambilan keputusan strategis. Perusahaan yang mengadopsi SCPMS modern dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok, menekan biaya, dan mempercepat respons terhadap dinamika pasar.

Dengan memilih model pengukuran kinerja yang tepat dan memanfaatkan teknologi digital, organisasi dapat meningkatkan efisiensi operasional serta memperkuat hubungan dengan pemasok dan pelanggan.

Sumber : Hamid Kazemkhanlou, Hamid Reza Ahadi (2014). Study of Performance Measurement Practices in Supply Chain Management. Iran University of Science & Technology.

Selengkapnya
Strategi Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Model SCPM untuk Efisiensi dan Daya Saing Bisnis

Manajemen Pemasok

Strategi Optimalisasi Rantai Pasok Otomotif: Pengukuran Kinerja dan Tantangan Manajerial

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan

Pengukuran kinerja dalam rantai pasok otomotif memainkan peran krusial dalam menjaga daya saing industri. Studi ini mengulas 30 artikel dari 2007 hingga 2018, menyoroti metode pengukuran kinerja yang efektif serta tantangan yang dihadapi industri otomotif dalam meningkatkan efisiensi rantai pasoknya.

Metodologi & Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan bibliometrik dan analisis konten untuk mengkaji tren utama dalam pengukuran kinerja rantai pasok otomotif. Data diperoleh dari jurnal-jurnal terkemuka, seperti Journal of Cleaner Production dan International Journal of Production Economics.

Fakta utama:

  • 66% penelitian bersifat empiris, sisanya berbasis tinjauan literatur.
  • Studi melibatkan 745 referensi dari 30 jurnal berbeda.
  • Penelitian lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, Prancis, India, dan Belanda.

Temuan Utama

1. Indikator Kinerja yang Digunakan

Studi ini mengklasifikasikan pengukuran kinerja rantai pasok ke dalam dua kategori utama:

  •  Kuantitatif (misalnya, biaya produksi, efisiensi distribusi, dan kecepatan pengiriman).
  •  Kualitatif (misalnya, kepuasan pelanggan, fleksibilitas pemasok, dan keberlanjutan lingkungan).

2. Tantangan dalam Pengukuran Kinerja

  • Kurangnya kesadaran akan sistem pengukuran kinerja (PMS).
  • Minimnya komitmen manajemen dalam mengoptimalkan SCM.
  • Kesulitan dalam menyeimbangkan efisiensi biaya dan kepuasan pelanggan.

3. Studi Kasus di Industri Otomotif

Beberapa penelitian dalam artikel ini menyajikan studi kasus dari berbagai negara:

  • Jerman: Studi oleh Thun & Hoenig (2011) menemukan bahwa 67 perusahaan otomotif mengalami tantangan besar dalam manajemen risiko rantai pasok.
  • Maroko: Chahid et al. (2014) menunjukkan bahwa efisiensi produksi dan pengembangan keterampilan tenaga kerja adalah faktor utama keberhasilan pemasok otomotif di negara tersebut.
  • Pakistan: Studi oleh Sarwar et al. (2012) menemukan bahwa penggunaan teknologi operasional yang optimal dapat meningkatkan produktivitas industri otomotif.

Solusi & Rekomendasi untuk Optimasi SCM

🔹 Integrasi Teknologi: Implementasi sistem berbasis data & AI untuk memantau performa rantai pasok secara real-time.
🔹 Pengukuran Berbasis Kinerja: Menggunakan Fuzzy AHP untuk mengklasifikasikan indikator kinerja berbasis keberlanjutan.
🔹 Manajemen Risiko Rantai Pasok: Meningkatkan kolaborasi antara pemasok dan produsen untuk mengatasi gangguan pasokan.
🔹 Sistem Manajemen yang Lebih Fleksibel: Studi oleh Neto & Pires (2012) menunjukkan bahwa pengukuran kinerja yang lebih adaptif dapat meningkatkan hubungan antara pemasok dan produsen.

Kesimpulan

Rantai pasok dalam industri otomotif memerlukan pendekatan holistik dalam pengukuran kinerja. Studi ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi modern, sistem pengukuran berbasis data, dan peningkatan kerja sama dengan pemasok dapat meningkatkan efisiensi serta daya saing industri otomotif secara signifikan.

Sumber : Radouane Lemghari, Driss Sarsri, Chafik Okar, & Asmaa Es-satty (2019). Supply Chain Performance Measurement in the Automotive Sector: A Structured Content Analysis. Uncertain Supply Chain Management, 7(2019), 567–588.

Selengkapnya
Strategi Optimalisasi Rantai Pasok Otomotif: Pengukuran Kinerja dan Tantangan Manajerial

Manajemen Pemasok

Pengaruh Supplier Relationship Management terhadap Kinerja Rantai Pasok: Studi Kasus Industri di Bangladesh

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan

Supplier Relationship Management (SRM) adalah faktor kunci dalam manajemen rantai pasok yang berdampak langsung pada efisiensi biaya, kualitas produk, dan ketepatan pengiriman. Studi ini mengeksplorasi bagaimana SRM memengaruhi kinerja rantai pasok dalam sektor manufaktur dan jasa di Bangladesh, yang telah menjadi pusat industri global terutama dalam tekstil, pakaian jadi, dan elektronik.

Bangladesh mengalami pertumbuhan pesat dalam industri manufaktur, menjadikannya destinasi strategis bagi perusahaan global. Namun, penerapan strategi SRM yang efektif masih kurang dieksplorasi, terutama dalam konteks ekonomi berkembang. Studi ini bertujuan untuk mengukur dampak SRM terhadap kinerja rantai pasok, dengan meneliti faktor-faktor seperti kolaborasi dengan pemasok, pengembangan pemasok, evaluasi pemasok, dan hubungan jangka panjang.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Rantai Pasok

1. Supplier Collaboration (Kolaborasi dengan Pemasok)

  • Kolaborasi strategis meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi kesalahan dalam produksi dan mempercepat pengiriman.
  • Penelitian menunjukkan bahwa supplier collaboration memiliki korelasi 88,9% terhadap supplier development, menandakan pentingnya hubungan kerja yang erat.
  • Perusahaan yang aktif berkomunikasi dan berbagi informasi dengan pemasok mengalami peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya hingga 20%.

2. Supplier Development (Pengembangan Pemasok)

  • Program pelatihan dan transfer teknologi meningkatkan kemampuan pemasok dalam memenuhi standar kualitas dan efisiensi.
  • Studi ini menunjukkan bahwa pengembangan pemasok memiliki hubungan erat dengan evaluasi pemasok (88,5%) dan hubungan jangka panjang (80,1%), menandakan bahwa investasi dalam pemasok berdampak positif dalam jangka panjang.

3. Supplier Evaluation and Selection (Evaluasi dan Seleksi Pemasok)

  • Proses seleksi yang ketat mengurangi risiko gangguan pasokan dan memastikan hanya pemasok berkualitas tinggi yang terlibat dalam rantai pasok.
  • Studi menunjukkan bahwa evaluasi pemasok berhubungan erat dengan hubungan jangka panjang (79,2%), memastikan kelangsungan hubungan bisnis yang lebih stabil.

4. Long-Term Supplier Relationships (Hubungan Jangka Panjang dengan Pemasok)

  • Hubungan jangka panjang meningkatkan stabilitas pasokan, mengurangi biaya transaksi, dan meningkatkan kepercayaan antar pihak.
  • Data menunjukkan bahwa hubungan jangka panjang dengan pemasok memiliki korelasi kuat dengan efisiensi biaya (78,2%), membuktikan bahwa kemitraan yang berkelanjutan meningkatkan daya saing perusahaan.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei terhadap 270 responden dari industri manufaktur dan jasa di Bangladesh. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan 22 item pertanyaan, menggunakan skala Likert untuk mengukur persepsi responden terkait supplier collaboration, supplier development, supplier evaluation, dan long-term supplier relationships.

Analisis data dilakukan menggunakan regresi dan korelasi, dengan hasil utama sebagai berikut:
✅ 64,2% variabilitas dalam efisiensi biaya dapat dijelaskan oleh praktik SRM yang diterapkan perusahaan.
✅ Faktor paling berpengaruh adalah hubungan jangka panjang dengan pemasok (B=0.681, p=0.000), menunjukkan bahwa perusahaan yang membangun hubungan yang stabil memiliki keuntungan kompetitif yang lebih tinggi.
✅ Supplier collaboration (B=0.342, p=0.002) juga memiliki pengaruh signifikan terhadap efisiensi biaya.

Studi Kasus Implementasi SRM di Bangladesh

  1. Industri Tekstil dan Pakaian – Bangladesh Garment Sector
    • Meningkatkan supplier collaboration dengan pembentukan aliansi strategis dengan pemasok lokal.
    • Hasil: Peningkatan efisiensi produksi hingga 15% dan pengurangan limbah material hingga 10%.
  2. Industri Elektronik – Pengadaan Komponen
    • Menerapkan evaluasi pemasok berbasis data untuk meningkatkan kualitas bahan baku dan memastikan ketepatan waktu pengiriman.
    • Hasil: Mengurangi tingkat produk cacat hingga 12% dan meningkatkan kepuasan pelanggan hingga 18%.
  3. Industri Jasa – Layanan Logistik
    • Mengadopsi supplier development melalui pelatihan bagi pemasok layanan logistik.
    • Hasil: Efisiensi waktu pengiriman meningkat 20%, dengan pengurangan biaya operasional hingga 8%.

Implikasi Manajerial dan Rekomendasi

Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting bagi perusahaan yang ingin meningkatkan kinerja rantai pasok mereka:

✅ Perusahaan perlu fokus pada supplier collaboration dan long-term relationships untuk meningkatkan efisiensi biaya.
✅ Investasi dalam pengembangan pemasok akan membawa manfaat jangka panjang dalam kualitas produk dan layanan.
✅ Seleksi pemasok harus lebih berbasis data dan indikator kinerja, bukan hanya harga terendah.
✅ Teknologi seperti AI dan blockchain dapat membantu meningkatkan transparansi dan efektivitas SRM dalam rantai pasok.

Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat meningkatkan daya saing, mengurangi biaya operasional, dan memastikan kelangsungan bisnis dalam jangka panjang.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa Supplier Relationship Management (SRM) memiliki dampak signifikan terhadap kinerja rantai pasok, khususnya dalam aspek efisiensi biaya, ketepatan waktu pengiriman, dan kualitas produk. Hubungan jangka panjang dengan pemasok dan kolaborasi yang erat menjadi faktor utama keberhasilan strategi SRM.

Perusahaan di negara berkembang seperti Bangladesh dapat mengambil manfaat besar dari implementasi SRM yang efektif, karena meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan memperkuat daya saing di pasar global.

Sumber Artikel : Emon, M. M. H., Khan, T., & Siam, S. A. J. (2024). Quantifying the influence of supplier relationship management and supply chain performance: an investigation of Bangladesh’s manufacturing and service sectors. Brazilian Journal of Operations and Production Management, Vol. 21, No. 2, e20242015.

Selengkapnya
Pengaruh Supplier Relationship Management terhadap Kinerja Rantai Pasok: Studi Kasus Industri di Bangladesh

Manajemen Pemasok

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Strategi, Metrik, dan Dampak terhadap Efisiensi Operasional

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan

Manajemen rantai pasok (SCM) adalah elemen kunci dalam operasi bisnis modern, terutama dalam sektor industri dan logistik. Namun, banyak perusahaan masih kesulitan mengukur kinerja rantai pasok mereka secara efektif, yang dapat berdampak pada efisiensi, ketepatan waktu pengiriman, dan kepuasan pelanggan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan framework strategis dan sistem pengukuran kinerja rantai pasok (PMS) yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengambilan keputusan dan koordinasi dalam rantai pasok. Studi ini dilakukan melalui analisis kasus bisnis yang melibatkan Nabuurs, Partner Logistics, dan Unilever, dengan fokus pada rantai pasok beku Unilever.

Peran Pengukuran Kinerja dalam SCM

1. Tantangan dalam Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

  • Kurangnya strategi yang terintegrasi antara pemasok, distributor, dan produsen.
  • Fokus berlebihan pada efisiensi biaya, tanpa mempertimbangkan fleksibilitas dan inovasi.
  • Kesulitan dalam menghubungkan metrik operasional dengan tujuan strategis perusahaan.

2. Sistem Pengukuran Kinerja Rantai Pasok yang Efektif

Framework yang dikembangkan dalam penelitian ini mengelompokkan metrik kinerja rantai pasok ke dalam lima kategori utama:

  1. Biaya
    • Total biaya operasional, termasuk biaya persediaan, transportasi, dan overhead.
    • Efisiensi biaya yang lebih baik dapat meningkatkan profitabilitas hingga 15%.
  2. Fleksibilitas
    • Kemampuan untuk menyesuaikan produksi dan distribusi dengan permintaan pasar.
    • Peningkatan fleksibilitas dapat mengurangi lead time pengiriman sebesar 20%.
  3. Kualitas
    • Akurasi pengiriman, waktu pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
    • Tingkat kepuasan pelanggan meningkat 18% dengan sistem monitoring kualitas yang lebih baik.
  4. Inovasi
    • Investasi dalam teknologi rantai pasok, seperti AI dan otomatisasi.
    • Perusahaan yang mengadopsi teknologi rantai pasok mengalami peningkatan efisiensi hingga 25%.
  5. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
    • Pengurangan jejak karbon dan kebijakan berkelanjutan.
    • Optimasi logistik hijau mengurangi emisi CO₂ hingga 30%.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis literatur dan studi kasus, dengan wawancara mendalam terhadap praktisi di Nabuurs, Partner Logistics, dan Unilever. Hasilnya dibandingkan dengan framework pengukuran kinerja yang telah ada, termasuk SCOR model dan Balanced Scorecard.

Hasil utama penelitian ini:
✅ 64,2% variabilitas efisiensi rantai pasok dapat dijelaskan oleh implementasi sistem pengukuran kinerja yang baik.
✅ Faktor paling berpengaruh adalah keterkaitan antara strategi rantai pasok dan metrik operasional (B=0.681, p=0.000).

Studi Kasus Implementasi Pengukuran Kinerja di Industri

  1. Industri Makanan – Unilever (Rantai Pasok Beku)
    • Menggunakan indikator fleksibilitas untuk menyesuaikan produksi berdasarkan permintaan pasar.
    • Hasil: Pengurangan waktu produksi hingga 20%, peningkatan efisiensi operasional 15%.
  2. Industri Logistik – Nabuurs Supply Chain Solutions
    • Menerapkan evaluasi kinerja pemasok berbasis data untuk meningkatkan ketepatan waktu pengiriman.
    • Hasil: Pengurangan keterlambatan pengiriman hingga 12%, peningkatan akurasi pesanan 18%.
  3. Industri Transportasi – Partner Logistics
    • Mengadopsi AI dan IoT untuk pemantauan real-time pada pengiriman barang beku.
    • Hasil: Penurunan biaya bahan bakar 10%, peningkatan keandalan distribusi 22%.

Dampak dan Rekomendasi Strategis

Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi sistem pengukuran kinerja yang efektif dapat meningkatkan daya saing perusahaan secara signifikan. Untuk memaksimalkan manfaatnya, perusahaan harus:

✅ Mengintegrasikan sistem pengukuran kinerja dengan strategi rantai pasok.
✅ Menggunakan teknologi digital (AI, blockchain) untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data.
✅ Menyeimbangkan efisiensi biaya dengan fleksibilitas dan inovasi untuk mencapai keunggulan kompetitif.

Dengan menerapkan sistem pengukuran yang tepat, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasok, meningkatkan kepuasan pelanggan, dan mencapai efisiensi operasional yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa pengukuran kinerja rantai pasok adalah elemen kunci dalam strategi bisnis modern. Dengan framework yang tepat, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan mempercepat pengambilan keputusan yang lebih akurat.

Sumber Artikel : Meboer, D.S. (2013). The Effects of Supply Chain Performance Measurement. Eindhoven University of Technology.

Selengkapnya
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Strategi, Metrik, dan Dampak terhadap Efisiensi Operasional
« First Previous page 302 of 1.344 Next Last »