Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Air, Digitalisasi, dan Masa Depan Layanan Publik
Air merupakan infrastruktur vital yang menopang kehidupan sosial dan ekonomi. Di Swedia, tantangan seperti urbanisasi, infrastruktur menua, dan perubahan iklim mendorong kebutuhan untuk mendigitalisasi sistem penyediaan air. Namun, adopsi solusi digital masih tertinggal dibandingkan sektor lain. Laporan tesis "Aligning Currents" oleh Emelie Skantz (2024) menyoroti berbagai hambatan utama dalam proses digitalisasi utilitas air, berdasarkan wawancara dengan penyedia teknologi dan operator air di Swedia.
Tujuan dan Metodologi Studi
Penelitian ini mengeksplorasi dua pertanyaan utama:
Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan 11 pemangku kepentingan dari utilitas air, penyedia teknologi, konsultan, dan akademisi, serta ditunjang dengan literatur sekunder.
Hambatan Utama Digitalisasi Utilitas Air
1. Tidak Ada Strategi dan Visi Digitalisasi yang Jelas
Banyak utilitas air tidak memiliki strategi digitalisasi formal. WU4 menyebut meski telah melakukan beberapa lokakarya, belum ada arah strategis yang konkret. WU1 menekankan digitalisasi dilakukan secara “instingtif” tanpa panduan tujuan jangka panjang.
2. Dukungan Manajemen dan Struktur Organisasi Lemah
Digitalisasi belum menjadi prioritas manajerial. Banyak CEO/utilitas masih menganggap digitalisasi sebagai proyek teknologi, bukan investasi strategis. Konsultan C1 menyebut banyak perusahaan air “belum siap secara budaya dan struktur” menghadapi proyek transformasi digital.
3. Kekurangan Kompetensi dan Sumber Daya Manusia
Kekurangan tenaga ahli membuat inisiatif digitalisasi seringkali gagal dieksekusi meskipun sudah direncanakan. Bahkan, posisi seperti manajer digitalisasi kadang tidak dibekali dengan kewenangan atau dukungan memadai.
4. Isu Keamanan Siber dan Kepemilikan Data
Kekhawatiran tentang cybersecurity dan kontrol data jadi penghambat utama, terutama untuk layanan berbasis cloud atau “data as a service”. Risiko vendor lock-in juga menghambat adopsi luas.
5. Kurangnya Insentif Regulasi dan Kebijakan
Tidak ada mandat nasional untuk mendorong digitalisasi. Operator tidak diberi insentif dari pemerintah, padahal biaya investasi tinggi dan tarif air rendah membuat pengembalian investasi sulit dihitung.
Perspektif Penyedia Teknologi: Selaras tapi Terkendala
Penyedia teknologi, terutama yang sudah mapan dan tergabung dalam asosiasi industri seperti Vattenindustrin, merasa sudah cukup memahami kebutuhan pasar. Namun mereka menyebut tantangan utama datang dari organisasi pelanggan sendiri, terutama lambatnya pengambilan keputusan, struktur birokratis, dan sikap konservatif.
Peluang solusi yang diusulkan:
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Data ini menunjukkan kompleksitas dan kebutuhan investasi besar yang sulit diatasi tanpa transformasi struktural dan digitalisasi yang sistemik.
Temuan Tambahan dari Literatur
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: Digitalisasi Butuh Tata Kelola dan Budaya Baru
Digitalisasi sektor air bukan sekadar mengganti meter manual dengan sensor pintar. Ia menuntut perubahan budaya, restrukturisasi organisasi, penyesuaian regulasi, dan peningkatan kompetensi. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi di sektor air akan sangat bergantung pada kemampuan berbagai aktor untuk bekerja sama secara terkoordinasi, dengan tujuan dan tanggung jawab yang jelas.
Tanpa strategi menyeluruh dan reformasi institusional, digitalisasi hanya akan jadi buzzword—bukan solusi nyata atas tantangan air masa kini.
Sumber : Skantz, E. (2024). Aligning Currents: Uncovering Perspectives on Barriers in Water Utility Digitalization. Master of Science Thesis, KTH Royal Institute of Technology. TRITA-ITM-EX 2024:302.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pengantar: Data Besar dan Inovasi Infrastruktur
Big data dan Internet of Things (IoT) telah menjadi penggerak utama dalam manajemen infrastruktur publik, termasuk air minum. Melalui data-driven innovation (DDI), operator jaringan bisa melakukan pemeliharaan prediktif, deteksi kebocoran, dan penghematan biaya secara signifikan. Namun, transformasi digital seperti penerapan Smart Water Meter (SWM) di Belanda menghadapi hambatan besar: aturan hukum yang belum siap.
Makalah oleh Espinosa dan Lavrijssen (2019) membedah tantangan regulasi SWM di Belanda. Penelitian ini jadi diskusi awal tentang bagaimana kerangka hukum lama berinteraksi (atau bertabrakan) dengan teknologi baru.
Fungsi dan Manfaat SWM: Lebih dari Sekadar Tagihan
Smart Water Meter bukan hanya alat ukur konsumsi, tapi sistem sensor real-time yang:
Namun teknologi ini juga membawa risiko privasi dan keamanan data, karena informasi dikumpulkan secara real-time di rumah pelanggan dan bisa menggambarkan pola hidup pengguna.
Situasi Terkini di Belanda: Potensi Besar, Payung Hukum Kurang
Belanda belum memiliki kebijakan nasional untuk SWM. Tidak ada regulasi khusus, standar teknis, maupun mandat instalasi. Pilot project hanya dilakukan oleh tiga perusahaan air: Vitens, Oasen, dan Brabant Water.
Mengapa belum diluncurkan secara nasional?
Namun, cuaca ekstrem seperti musim panas 2018 yang sangat kering menunjukkan bahwa krisis air bisa datang lebih cepat dari perkiraan.
Studi Kasus: Ketidaksiapan Regulasi Mikro dan Makro
Tingkat Mikro (Peraturan Metering)
Aturan yang ada hanya mengatur meteran untuk kebutuhan tagihan. Fitur-fitur baru seperti pengiriman data otomatis, deteksi kebocoran, atau pemantauan kualitas air tidak tercakup.
Masalah krusial:
Tingkat Makro (Kerangka Umum Sektor Air)
Sebagai sektor monopoli publik, perusahaan air Belanda terikat pada aturan ketat:
SWM sebagai investasi baru sulit dimasukkan tanpa aturan nasional yang jelas, apalagi karena konsumen tidak bisa memilih operator air mereka (captive consumers).
Regulasi dan Teknologi: Empat Dilema Hukum
Berdasarkan kerangka Bennett Moses, regulasi menghadapi 4 dilema akibat perubahan teknologi:
Dalam konteks SWM:
Perbandingan Internasional dan Potensi Solusi
Negara seperti Inggris sudah mewajibkan SWM di daerah rawan kekeringan. Beberapa negara, seperti Denmark, menggunakan GDPR Pasal 6(1)(e) dan 6(1)(f) sebagai dasar hukum pemrosesan data untuk kepentingan publik dan legitimasi pemilik data.
Di Belanda, pendekatan ini belum ada. Tanpa kebijakan nasional, setiap perusahaan air harus menafsirkan sendiri ruang geraknya, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko hukum.
Rekomendasi dan Refleksi
Kesimpulan: Saatnya Aturan Mengejar Teknologi
Belanda memiliki potensi besar dalam transformasi digital sektor air. Namun tanpa penyesuaian regulasi, inovasi seperti SWM akan tetap berada di tahap uji coba. Tulisan ini menunjukkan bahwa tantangan bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada kerangka hukum yang belum cukup adaptif untuk mengakomodasi perubahan digital yang cepat.
Langkah ke depan adalah mengkaji ulang aturan yang ada, bukan untuk menghambat teknologi, tapi untuk memastikan manfaatnya bisa dinikmati dengan tetap menjaga hak-hak dasar konsumen.
Sumber : Espinosa, B., & Lavrijssen, S. (2019). Exploring the regulatory challenges of a possible rollout of smart water meters in the Netherlands. Competition and Regulation in Network Industries, 19(3–4), 159–179.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan
Di era persaingan global, Supply Chain Performance Measurement System (SCPMS) menjadi elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi rantai pasok perusahaan. SCPMS tidak hanya digunakan untuk mengukur kinerja internal tetapi juga mengoptimalkan hubungan dengan pemasok dan mitra bisnis lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamid Kazemkhanlou dan Hamid Reza Ahadi di Iran University of Science & Technology mengeksplorasi berbagai model pengukuran kinerja rantai pasok, menyoroti karakteristik, kelebihan, dan penerapannya dalam konteks bisnis modern.
Metodologi Penelitian
Temuan Utama
1. Evolusi SCPMS dan Peranannya dalam Bisnis Modern
2. Karakteristik SCPM yang Efektif
3. Model SCPM dan Keunggulannya
Berbagai model Supply Chain Performance Measurement (SCPM) memiliki keunggulan masing-masing dalam mengukur dan meningkatkan kinerja rantai pasok. Balanced Scorecard (BSC) merupakan model yang digunakan untuk menilai kinerja berdasarkan empat perspektif utama, yaitu keuangan, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Pendekatan ini membantu perusahaan dalam mencapai keseimbangan antara aspek keuangan dan operasional. Sementara itu, SCOR Model lebih menitikberatkan pada keandalan, fleksibilitas, serta biaya dalam rantai pasok, sehingga perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dan respons terhadap permintaan pasar. Model Economic Value Added (EVA) berfokus pada pengukuran nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok, membantu perusahaan dalam menilai sejauh mana operasi bisnis menciptakan keuntungan bagi pemegang saham. Selain itu, Activity-Based Costing (ABC) digunakan untuk mengidentifikasi biaya produksi berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah, sehingga perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien dan meningkatkan profitabilitas. Dengan memahami keunggulan masing-masing model, perusahaan dapat memilih pendekatan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bisnisnya.
4. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Transportasi dan Manufaktur
Strategi Optimal untuk Implementasi SCPMS yang Efektif
1. Mengintegrasikan Pengukuran Kinerja dengan Teknologi Digital
2. Menerapkan Model Pengukuran yang Sesuai dengan Tujuan Bisnis
3. Meningkatkan Kolaborasi dan Transparansi dengan Mitra Bisnis
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa SCPMS yang efektif mampu meningkatkan daya saing perusahaan dengan memberikan wawasan berbasis data untuk pengambilan keputusan strategis. Perusahaan yang mengadopsi SCPMS modern dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok, menekan biaya, dan mempercepat respons terhadap dinamika pasar.
Dengan memilih model pengukuran kinerja yang tepat dan memanfaatkan teknologi digital, organisasi dapat meningkatkan efisiensi operasional serta memperkuat hubungan dengan pemasok dan pelanggan.
Sumber : Hamid Kazemkhanlou, Hamid Reza Ahadi (2014). Study of Performance Measurement Practices in Supply Chain Management. Iran University of Science & Technology.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan
Pengukuran kinerja dalam rantai pasok otomotif memainkan peran krusial dalam menjaga daya saing industri. Studi ini mengulas 30 artikel dari 2007 hingga 2018, menyoroti metode pengukuran kinerja yang efektif serta tantangan yang dihadapi industri otomotif dalam meningkatkan efisiensi rantai pasoknya.
Metodologi & Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan bibliometrik dan analisis konten untuk mengkaji tren utama dalam pengukuran kinerja rantai pasok otomotif. Data diperoleh dari jurnal-jurnal terkemuka, seperti Journal of Cleaner Production dan International Journal of Production Economics.
Fakta utama:
Temuan Utama
1. Indikator Kinerja yang Digunakan
Studi ini mengklasifikasikan pengukuran kinerja rantai pasok ke dalam dua kategori utama:
2. Tantangan dalam Pengukuran Kinerja
3. Studi Kasus di Industri Otomotif
Beberapa penelitian dalam artikel ini menyajikan studi kasus dari berbagai negara:
Solusi & Rekomendasi untuk Optimasi SCM
🔹 Integrasi Teknologi: Implementasi sistem berbasis data & AI untuk memantau performa rantai pasok secara real-time.
🔹 Pengukuran Berbasis Kinerja: Menggunakan Fuzzy AHP untuk mengklasifikasikan indikator kinerja berbasis keberlanjutan.
🔹 Manajemen Risiko Rantai Pasok: Meningkatkan kolaborasi antara pemasok dan produsen untuk mengatasi gangguan pasokan.
🔹 Sistem Manajemen yang Lebih Fleksibel: Studi oleh Neto & Pires (2012) menunjukkan bahwa pengukuran kinerja yang lebih adaptif dapat meningkatkan hubungan antara pemasok dan produsen.
Kesimpulan
Rantai pasok dalam industri otomotif memerlukan pendekatan holistik dalam pengukuran kinerja. Studi ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi modern, sistem pengukuran berbasis data, dan peningkatan kerja sama dengan pemasok dapat meningkatkan efisiensi serta daya saing industri otomotif secara signifikan.
Sumber : Radouane Lemghari, Driss Sarsri, Chafik Okar, & Asmaa Es-satty (2019). Supply Chain Performance Measurement in the Automotive Sector: A Structured Content Analysis. Uncertain Supply Chain Management, 7(2019), 567–588.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan
Supplier Relationship Management (SRM) adalah faktor kunci dalam manajemen rantai pasok yang berdampak langsung pada efisiensi biaya, kualitas produk, dan ketepatan pengiriman. Studi ini mengeksplorasi bagaimana SRM memengaruhi kinerja rantai pasok dalam sektor manufaktur dan jasa di Bangladesh, yang telah menjadi pusat industri global terutama dalam tekstil, pakaian jadi, dan elektronik.
Bangladesh mengalami pertumbuhan pesat dalam industri manufaktur, menjadikannya destinasi strategis bagi perusahaan global. Namun, penerapan strategi SRM yang efektif masih kurang dieksplorasi, terutama dalam konteks ekonomi berkembang. Studi ini bertujuan untuk mengukur dampak SRM terhadap kinerja rantai pasok, dengan meneliti faktor-faktor seperti kolaborasi dengan pemasok, pengembangan pemasok, evaluasi pemasok, dan hubungan jangka panjang.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Rantai Pasok
1. Supplier Collaboration (Kolaborasi dengan Pemasok)
2. Supplier Development (Pengembangan Pemasok)
3. Supplier Evaluation and Selection (Evaluasi dan Seleksi Pemasok)
4. Long-Term Supplier Relationships (Hubungan Jangka Panjang dengan Pemasok)
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei terhadap 270 responden dari industri manufaktur dan jasa di Bangladesh. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan 22 item pertanyaan, menggunakan skala Likert untuk mengukur persepsi responden terkait supplier collaboration, supplier development, supplier evaluation, dan long-term supplier relationships.
Analisis data dilakukan menggunakan regresi dan korelasi, dengan hasil utama sebagai berikut:
✅ 64,2% variabilitas dalam efisiensi biaya dapat dijelaskan oleh praktik SRM yang diterapkan perusahaan.
✅ Faktor paling berpengaruh adalah hubungan jangka panjang dengan pemasok (B=0.681, p=0.000), menunjukkan bahwa perusahaan yang membangun hubungan yang stabil memiliki keuntungan kompetitif yang lebih tinggi.
✅ Supplier collaboration (B=0.342, p=0.002) juga memiliki pengaruh signifikan terhadap efisiensi biaya.
Studi Kasus Implementasi SRM di Bangladesh
Implikasi Manajerial dan Rekomendasi
Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting bagi perusahaan yang ingin meningkatkan kinerja rantai pasok mereka:
✅ Perusahaan perlu fokus pada supplier collaboration dan long-term relationships untuk meningkatkan efisiensi biaya.
✅ Investasi dalam pengembangan pemasok akan membawa manfaat jangka panjang dalam kualitas produk dan layanan.
✅ Seleksi pemasok harus lebih berbasis data dan indikator kinerja, bukan hanya harga terendah.
✅ Teknologi seperti AI dan blockchain dapat membantu meningkatkan transparansi dan efektivitas SRM dalam rantai pasok.
Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat meningkatkan daya saing, mengurangi biaya operasional, dan memastikan kelangsungan bisnis dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa Supplier Relationship Management (SRM) memiliki dampak signifikan terhadap kinerja rantai pasok, khususnya dalam aspek efisiensi biaya, ketepatan waktu pengiriman, dan kualitas produk. Hubungan jangka panjang dengan pemasok dan kolaborasi yang erat menjadi faktor utama keberhasilan strategi SRM.
Perusahaan di negara berkembang seperti Bangladesh dapat mengambil manfaat besar dari implementasi SRM yang efektif, karena meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan memperkuat daya saing di pasar global.
Sumber Artikel : Emon, M. M. H., Khan, T., & Siam, S. A. J. (2024). Quantifying the influence of supplier relationship management and supply chain performance: an investigation of Bangladesh’s manufacturing and service sectors. Brazilian Journal of Operations and Production Management, Vol. 21, No. 2, e20242015.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan
Manajemen rantai pasok (SCM) adalah elemen kunci dalam operasi bisnis modern, terutama dalam sektor industri dan logistik. Namun, banyak perusahaan masih kesulitan mengukur kinerja rantai pasok mereka secara efektif, yang dapat berdampak pada efisiensi, ketepatan waktu pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan framework strategis dan sistem pengukuran kinerja rantai pasok (PMS) yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengambilan keputusan dan koordinasi dalam rantai pasok. Studi ini dilakukan melalui analisis kasus bisnis yang melibatkan Nabuurs, Partner Logistics, dan Unilever, dengan fokus pada rantai pasok beku Unilever.
Peran Pengukuran Kinerja dalam SCM
1. Tantangan dalam Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
2. Sistem Pengukuran Kinerja Rantai Pasok yang Efektif
Framework yang dikembangkan dalam penelitian ini mengelompokkan metrik kinerja rantai pasok ke dalam lima kategori utama:
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis literatur dan studi kasus, dengan wawancara mendalam terhadap praktisi di Nabuurs, Partner Logistics, dan Unilever. Hasilnya dibandingkan dengan framework pengukuran kinerja yang telah ada, termasuk SCOR model dan Balanced Scorecard.
Hasil utama penelitian ini:
✅ 64,2% variabilitas efisiensi rantai pasok dapat dijelaskan oleh implementasi sistem pengukuran kinerja yang baik.
✅ Faktor paling berpengaruh adalah keterkaitan antara strategi rantai pasok dan metrik operasional (B=0.681, p=0.000).
Studi Kasus Implementasi Pengukuran Kinerja di Industri
Dampak dan Rekomendasi Strategis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi sistem pengukuran kinerja yang efektif dapat meningkatkan daya saing perusahaan secara signifikan. Untuk memaksimalkan manfaatnya, perusahaan harus:
✅ Mengintegrasikan sistem pengukuran kinerja dengan strategi rantai pasok.
✅ Menggunakan teknologi digital (AI, blockchain) untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data.
✅ Menyeimbangkan efisiensi biaya dengan fleksibilitas dan inovasi untuk mencapai keunggulan kompetitif.
Dengan menerapkan sistem pengukuran yang tepat, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasok, meningkatkan kepuasan pelanggan, dan mencapai efisiensi operasional yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa pengukuran kinerja rantai pasok adalah elemen kunci dalam strategi bisnis modern. Dengan framework yang tepat, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan mempercepat pengambilan keputusan yang lebih akurat.
Sumber Artikel : Meboer, D.S. (2013). The Effects of Supply Chain Performance Measurement. Eindhoven University of Technology.