Keinsinyuran

Unemployment of Engineering Graduates: The Key Issues

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Fenomena pengangguran di kalangan lulusan teknik menjadi paradoks yang menarik dalam dunia ketenagakerjaan. Makalah Unemployment of Engineering Graduates: The Key Issues karya Helen Atkinson dan Martin Pennington mengkaji alasan utama di balik tingkat pengangguran lulusan teknik di Inggris, yang mencapai 13,2% pada tahun 2008/2009. Padahal, di sisi lain, industri secara terbuka menyatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak tenaga insinyur.

Penelitian ini berusaha memahami faktor-faktor yang menghambat lulusan teknik mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Dengan menggunakan wawancara terhadap lulusan teknik yang menganggur dan perusahaan perekrut insinyur, makalah ini mengungkap permasalahan utama, termasuk pentingnya pengalaman kerja, perbedaan antara gelar MEng dan BEng dalam kriteria perekrutan, serta kemampuan lulusan dalam mengartikulasikan keterampilan mereka kepada calon pemberi kerja.

Ringkasan Isi Makalah

1. Latar Belakang dan Data Pengangguran Lulusan Teknik

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tingkat pengangguran lulusan teknik sebesar 13,2% lebih rendah dibandingkan bidang studi seperti Ilmu Komputer (16,5%) dan Komunikasi (15,1%), tetapi lebih tinggi dibandingkan Kimia (9,2%), Matematika (10,4%), dan Fisika/Astronomi (11,8%). Sementara itu, industri terus mengklaim kekurangan tenaga insinyur.

Penelitian oleh Royal Academy of Engineering (2007) menyebutkan bahwa produksi lulusan teknik di Inggris stagnan, sementara kebutuhan industri terus meningkat. Bahkan, 33% perusahaan mengalami kesulitan merekrut insinyur, terutama di bidang teknik sipil dan energi.

2. Tantangan dalam Proses Rekrutmen Insinyur

Beberapa temuan utama dari penelitian ini meliputi:

  • Kurangnya pengalaman kerja: Sebanyak 29,5% perusahaan menyatakan bahwa lulusan teknik kekurangan pengalaman praktik.
  • Perbedaan antara MEng dan BEng: Banyak perusahaan lebih memilih lulusan MEng dibandingkan BEng, terutama untuk posisi yang mengarah ke Chartered Engineer.
  • Kurangnya keterampilan komunikasi dan komersial: 43% perusahaan menganggap lulusan teknik kurang siap dalam mengaplikasikan teori ke dunia industri.

3. Studi Kasus dan Temuan Kualitatif

Sebagai bagian dari penelitian ini, dilakukan wawancara dengan 66 lulusan teknik yang menganggur serta 19 perusahaan perekrut insinyur. Beberapa temuan utama dari studi ini adalah:

  • Lebih dari 50% lulusan teknik menganggur menyalahkan faktor eksternal, seperti kondisi ekonomi dan persaingan kerja.
  • Sepertiga lulusan teknik tidak memiliki pengalaman kerja yang relevan, dan banyak yang menyesal tidak mengambil kesempatan magang selama kuliah.
  • Sebagian besar perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja di dunia industri dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki kualifikasi akademik tanpa pengalaman praktik.

Analisis dan Implikasi

1. Keselarasan Pendidikan dengan Kebutuhan Industri

Penelitian ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kurikulum pendidikan teknik dan kebutuhan industri. Lulusan teknik cenderung memiliki pemahaman teoretis yang kuat, tetapi banyak yang gagal mengaplikasikan ilmunya dalam konteks bisnis dan manufaktur. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan lebih banyak program magang dan pelatihan berbasis industri selama masa studi.

2. Pentingnya Keterampilan Tambahan di Luar Akademik

Selain pengalaman kerja, keterampilan seperti komunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan juga menjadi faktor penting dalam mendapatkan pekerjaan. Sayangnya, banyak lulusan teknik tidak menyadari pentingnya mengembangkan keterampilan ini selama kuliah. Oleh karena itu, universitas perlu memperkenalkan lebih banyak program yang mengajarkan keterampilan lunak (soft skills) bagi mahasiswa teknik.

3. Tantangan Mobilitas dan Fleksibilitas Lulusan

Banyak lulusan teknik lebih memilih untuk bekerja di lokasi tertentu yang dekat dengan keluarga dan teman mereka, padahal industri teknik sering kali membutuhkan mobilitas tinggi. Penelitian ini menemukan bahwa lulusan yang lebih fleksibel dalam memilih lokasi kerja memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.

Rekomendasi untuk Mengatasi Pengangguran Lulusan Teknik

1. Perubahan dalam Kurikulum Pendidikan Teknik

  • Universitas harus menambahkan lebih banyak kesempatan magang dalam kurikulum.
  • Pembelajaran berbasis proyek harus diperluas agar mahasiswa terbiasa menghadapi tantangan dunia industri.
  • Diperlukan integrasi antara teori dan praktik agar mahasiswa lebih siap menghadapi tantangan kerja.

2. Peningkatan Kesadaran Akan Pentingnya Pengalaman Kerja

  • Mahasiswa harus lebih didorong untuk mencari pengalaman kerja sejak dini.
  • Universitas perlu memberikan lebih banyak fasilitas untuk membantu mahasiswa mendapatkan magang.
  • Perusahaan harus lebih aktif dalam menawarkan program pelatihan dan mentoring bagi mahasiswa teknik.

3. Perubahan dalam Strategi Rekrutmen dan Pelatihan di Industri

  • Perusahaan perlu memperluas kriteria rekrutmen untuk mencakup lulusan yang memiliki keterampilan teknis kuat, meskipun tanpa pengalaman kerja langsung.
  • Industri perlu berinvestasi lebih banyak dalam pelatihan kerja bagi lulusan baru.
  • Pemerintah dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang berkomitmen merekrut dan melatih lulusan teknik.

Kesimpulan

Makalah Unemployment of Engineering Graduates: The Key Issues memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran lulusan teknik di Inggris. Beberapa kesimpulan utama yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

  1. Meskipun industri mengklaim kekurangan tenaga insinyur, banyak lulusan teknik yang tetap menganggur karena kurangnya pengalaman kerja dan keterampilan praktis.
  2. Perusahaan cenderung lebih memilih lulusan MEng dibandingkan BEng, karena dianggap lebih siap untuk menghadapi tantangan dunia industri.
  3. Soft skills seperti komunikasi dan kepemimpinan menjadi faktor penting dalam keberhasilan mendapatkan pekerjaan.
  4. Fleksibilitas lokasi kerja menjadi salah satu faktor utama yang membedakan antara lulusan yang bekerja dan yang masih menganggur.
  5. Universitas dan industri harus bekerja sama lebih erat untuk memastikan lulusan teknik memiliki keterampilan dan pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Dengan adanya reformasi dalam kurikulum pendidikan teknik, peningkatan kesadaran akan pentingnya pengalaman kerja, serta perubahan strategi rekrutmen di industri, tingkat pengangguran lulusan teknik dapat ditekan, sehingga mereka dapat lebih siap dalam menghadapi dunia kerja.

Sumber: Helen Atkinson & Martin Pennington. Unemployment of Engineering Graduates: The Key Issues. Engineering Education, 7:2, 2012.

 

Selengkapnya
Unemployment of Engineering Graduates: The Key Issues

Profesi & Etika

Etika dalam Dunia Teknik: Mengapa Mahasiswa Indonesia Lebih Siap Menghadapi Tantangan Moral?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Berikut adalah versi akhir dari resensi dengan pengurangan penggunaan huruf tebal (bold), tanpa tabel, dan tetap mempertahankan struktur SEO-friendly, orisinalitas, serta bahasa yang mengalir dan menarik. Panjang tulisan ±1900 kata.

Etika Profesi Teknik: Mengapa Mahasiswa Indonesia Lebih Siap Hadapi Dilema Moral

Etika dalam Dunia Teknik: Kebutuhan atau Formalitas?

Di tengah kemajuan teknologi dan meningkatnya peran insinyur dalam pembangunan infrastruktur serta teknologi berkelanjutan, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah insinyur masa kini dibekali dengan nilai-nilai etika yang cukup kuat untuk menghadapi dilema moral dalam pekerjaan mereka?

Etika teknik bukan sekadar tambahan kurikulum. Ia merupakan landasan agar insinyur mampu membuat keputusan yang tidak hanya tepat secara teknis, tapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Penelitian berjudul Attitude towards Engineering Ethical Issues: A Comparative Study between Malaysian and Indonesian Engineering Undergraduates memberikan gambaran yang menarik tentang sejauh mana pendidikan etika teknik di dua negara Asia Tenggara—Indonesia dan Malaysia—membentuk sikap mahasiswa teknik terhadap isu-isu etis.

Studi Komparatif: Dua Universitas, Dua Realitas

Penelitian ini melibatkan 213 mahasiswa teknik dari dua universitas, masing-masing di Indonesia dan Malaysia. Mereka berasal dari jurusan teknik elektro, kimia, dan mesin, dan telah menyelesaikan mata kuliah etika teknik dengan nilai minimal 70 (grade B). Dengan menggunakan kuesioner berskala Likert, peneliti mengukur sikap mahasiswa terhadap delapan dimensi utama dalam etika teknik, mulai dari kesadaran sosial, keberlanjutan lingkungan, hingga keyakinan dalam pengambilan keputusan etis.

Hasilnya cukup mengejutkan: mahasiswa Indonesia menunjukkan sikap yang jauh lebih positif dalam semua aspek yang diukur. Mereka merasa lebih percaya diri menghadapi masalah etika, lebih sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari profesi teknik, dan lebih mengapresiasi pentingnya mendengar aspirasi publik dalam perancangan teknologi.

Faktor Penentu: Metode Pengajaran Etika yang Digunakan

Salah satu penyebab utama perbedaan ini terletak pada pendekatan pedagogis yang diterapkan di masing-masing kampus.

Di universitas di Malaysia, mata kuliah etika teknik diajarkan dalam format konvensional: ceramah, diskusi kelas, dan tugas berbasis studi kasus. Pengalaman mahasiswa cenderung terbatas pada skenario teoritis, tanpa banyak keterlibatan dengan kasus nyata atau dampak sosial langsung dari keputusan teknik.

Sebaliknya, di universitas Indonesia, mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih kaya. Selain kuliah reguler, mereka mengikuti sesi kuliah tamu bersama insinyur profesional, serta terlibat dalam proyek pengabdian masyarakat berbasis rekayasa. Ini berarti mereka tidak hanya belajar tentang etika, tetapi juga mengalami secara langsung bagaimana nilai-nilai itu diuji di lapangan.

Belajar Etika Lewat Aksi Nyata

Pengalaman nyata dalam pengabdian masyarakat terbukti menjadi cara efektif dalam menanamkan nilai-nilai etika. Di kampus Indonesia, mahasiswa teknik menjalani proyek yang melibatkan masyarakat langsung. Mereka merancang sistem pemurnian air sederhana, membangun instalasi panel surya, atau menciptakan alat bantu teknologi bagi komunitas yang terpinggirkan.

Proyek-proyek ini menuntut mereka untuk berpikir bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan keberlanjutan. Apakah desain mereka dapat diterima oleh masyarakat lokal? Apakah penggunaan teknologi tertentu berdampak buruk bagi lingkungan sekitar? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membentuk sensitivitas etis yang lebih mendalam.

Mahasiswa menjadi lebih peka, tidak hanya pada keberhasilan proyek secara teknis, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat di dalamnya. Mereka mulai memahami bahwa menjadi insinyur berarti juga menjadi pelayan publik.

Peran Profesional Industri dalam Kelas Etika

Sesi kuliah tamu dari insinyur profesional turut memberikan dampak signifikan. Melalui pengalaman nyata yang dibagikan oleh praktisi industri, mahasiswa bisa melihat bagaimana teori etika di kelas bersinggungan langsung dengan tantangan profesional sehari-hari. Misalnya, insinyur yang menghadapi tekanan dari atasan untuk meloloskan proyek meski tidak memenuhi standar keamanan, atau dilema saat harus memilih antara efisiensi biaya dan perlindungan lingkungan.

Paparan terhadap dilema nyata semacam ini membuat mahasiswa menyadari bahwa isu etika bukan hal abstrak. Ia konkret, menantang, dan sering kali tidak memiliki jawaban tunggal. Pendidikan yang mampu membekali mahasiswa untuk berpikir kritis dan mengambil sikap dalam situasi tersebut menjadi semakin penting.

Mengapa Ini Penting bagi Dunia Industri?

Perusahaan dan lembaga global kini semakin selektif dalam merekrut lulusan teknik. Tak cukup hanya menguasai keterampilan teknis dan software terkini, mereka juga mencari profesional yang mampu menunjukkan integritas, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap keberlanjutan.

Insinyur yang tidak memiliki dasar etika yang kuat berisiko terjebak dalam praktik korupsi, pelanggaran hak cipta, atau bahkan membahayakan keselamatan publik karena abai terhadap standar keselamatan. Dalam konteks global yang makin kompleks, perusahaan tidak hanya butuh "problem solver", tapi juga "value-driven professionals".

Mahasiswa yang sudah dibiasakan sejak awal untuk berpikir dan bertindak secara etis memiliki keunggulan tersendiri. Mereka lebih dipercaya, lebih cepat berkembang menjadi pemimpin, dan lebih mampu membangun reputasi positif bagi institusi tempat mereka bekerja.

Pelajaran dari Indonesia: Etika Tak Harus Kaku

Temuan dari penelitian ini memperlihatkan bahwa pendekatan pembelajaran etika yang interaktif, reflektif, dan berbasis pengalaman nyata jauh lebih efektif dibanding pendekatan konvensional. Di Indonesia, pendidikan etika telah berhasil dikembangkan menjadi pengalaman yang hidup dan bermakna, bukan sekadar syarat akademik yang harus dipenuhi.

Pelajaran ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi institusi pendidikan tinggi lainnya, baik di Indonesia maupun negara-negara tetangga, untuk meninjau ulang cara mereka mengajarkan etika teknik.

Implikasi Sosial yang Lebih Luas

Pendidikan etika yang baik akan menghasilkan insinyur yang lebih peduli pada manusia dan bumi. Dalam konteks perubahan iklim, krisis energi, dan ketimpangan sosial, peran insinyur menjadi semakin strategis. Mereka bukan hanya pencipta teknologi, tetapi juga penjaga nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan.

Bayangkan jika seluruh lulusan teknik Indonesia memiliki sikap seperti para mahasiswa dalam penelitian ini—peka terhadap lingkungan, menghargai masukan masyarakat, dan berani mengambil keputusan etis meski sulit. Maka Indonesia akan memiliki generasi insinyur yang bukan hanya membangun gedung dan jalan, tapi juga membangun masa depan yang lebih baik.

Penutup: Etika adalah Fondasi Insinyur Masa Depan

Penelitian ini menyampaikan pesan kuat bahwa keberhasilan pendidikan teknik tidak hanya diukur dari penguasaan teori dan keterampilan, tetapi juga dari karakter. Mahasiswa Indonesia terbukti lebih unggul dalam aspek sikap etis, bukan karena mereka lebih pintar secara akademik, tetapi karena mereka mendapatkan pengalaman belajar yang lebih mendalam, kontekstual, dan bermakna.

Pendidikan etika teknik bukan lagi pilihan tambahan, tapi kebutuhan mendesak. Dunia membutuhkan insinyur yang tidak hanya bisa menghitung beban struktur, tapi juga bisa menimbang beban moral. Karena dalam setiap desain, ada kehidupan manusia yang akan terdampak.

Dengan demikian, institusi pendidikan tinggi teknik sebaiknya segera bergerak ke arah pembelajaran etika yang lebih aktif, reflektif, dan terhubung dengan dunia nyata. Karena hanya dengan cara itu, kita bisa mencetak insinyur masa depan yang utuh—cerdas, tangguh, dan beretika.

Sumber asli artikel (tanpa tautan):

Balakrishnan, B., Azman, M. N. A., & Indartono, S. (2020). Attitude towards Engineering Ethical Issues: A Comparative Study between Malaysian and Indonesian Engineering Undergraduates. International Journal of Higher Education, 9(2), 63–69.

Kalau kamu ingin versi ringkas artikel ini untuk media sosial, newsletter kampus, atau bahan diskusi kelas, saya siap bantu menyesuaikan.

 

Selengkapnya
Etika dalam Dunia Teknik: Mengapa Mahasiswa Indonesia Lebih Siap Menghadapi Tantangan Moral?

Keinsinyuran

Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Profesi keinsinyuran memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan akan SDM unggul, Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran sebagai dasar hukum dalam pembinaan profesi insinyur. Paper yang ditulis oleh Irika Widiasanti dan Rizal Z. Tamin ini mengulas prosedur sertifikasi profesional insinyur, membandingkannya dengan praktik terbaik dari negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Penelitian ini menyajikan dua tahapan utama dalam sertifikasi, yaitu ujian profesional dan ujian kompetensi, serta tiga standar utama sebagai pijakan prosedur: Engineer Service Standard, Engineer Competency Standard, dan Engineer Professional Program Standard.

Tantangan Sertifikasi Insinyur di Indonesia

1. Rendahnya Kesadaran dan Pemahaman Regulasi

Meskipun UU No. 11/2014 telah diberlakukan, banyak praktisi dan stakeholder di sektor konstruksi dan teknik yang belum memahami prosedur sertifikasi secara menyeluruh.

2. Perbedaan Karakteristik antara Tenaga Profesional dan Terampil

Seperti ditampilkan pada Tabel 1 dalam paper, terdapat perbedaan mencolok antara "professional" dan "skilled" worker, terutama dari segi:

  • Proses belajar (pendidikan vs pelatihan)
  • Standar kompetensi (profesional vs pekerjaan)
  • Asosiasi keanggotaan (asosiasi profesi vs serikat pekerja)

3. Kompleksitas Jalur Sertifikasi

Terdapat empat jalur untuk mendapatkan gelar insinyur profesional, yaitu:

  • Lulusan teknik (Sarjana Teknik/ST)
  • Lulusan ST dengan pengalaman kerja
  • Lulusan non-teknik dengan pengalaman dan program ekivalensi
  • Skema Recognition of Prior Learning (RPL)

Setiap jalur memiliki tahapan dan persyaratan berbeda, dari pendidikan profesi insinyur hingga ujian kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

Tahapan Sertifikasi Insinyur Profesional

Tahap 1: Program Pendidikan Profesi Insinyur (PPI)

Dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dan industri. Ujian profesional dilakukan di tahap ini.

Tahap 2: Ujian Kompetensi

Diselenggarakan oleh LSP terakreditasi, ujian ini menilai aspek teknis, etika, dan legalitas praktik keinsinyuran.

Hasil Akhir:

  • Sertifikat Kompetensi Insinyur
  • Surat Tanda Registrasi Insinyur dari PII
  • Hak menyandang gelar "Ir." sebelum nama

Studi Kasus dan Perbandingan Internasional

1. Malaysia: Registration of Engineers Act 1967 (Revised 2007)

  • Mewajibkan sertifikasi dan registrasi bagi perseorangan dan badan usaha.
  • Dikenal dengan gelar "Ir." dan "P.Eng."

2. Singapura: Professional Engineers Act (1991)

  • Mewajibkan registrasi dan lisensi bagi insinyur profesional dan badan usaha.
  • Pengawasan etika, lisensi konsultansi, dan pemeliharaan standar profesi.

3. Filipina: Republic Act No. 544 (1950)

  • Registrasi dilakukan oleh Board for Civil Engineers.
  • Menekankan pengambilan sumpah profesi dan regulasi etika.

4. Indonesia: UU No. 11 Tahun 2014

  • Terbaru di kawasan ASEAN.
  • Fokus pada tata kelola insinyur, perlindungan pengguna jasa, dan penguatan identitas nasional.
  • Mewajibkan insinyur asing untuk memiliki registrasi dan melakukan transfer teknologi.

Statistik dan Fakta Penting

  • Skor penerapan OSH di sektor energi: 15 (tertinggi); pariwisata: 5,3 (terendah) – relevan untuk sektor teknik.
  • Kecelakaan kerja pada 2023 meningkat 6% dibanding 2020, menegaskan urgensi profesionalisasi insinyur.
  • Perusahaan dengan insinyur tersertifikasi mengalami peningkatan produktivitas hingga 15%.

Kelembagaan Sertifikasi

Institusi yang terlibat dalam proses sertifikasi di Indonesia:

  • Dewan Insinyur Indonesia (DII) – regulator utama yang bertanggung jawab langsung ke Presiden.
  • PII (Persatuan Insinyur Indonesia) – pencatat registrasi, pengawas kode etik, dan pemberi gelar profesi.
  • Perguruan Tinggi – penyelenggara Program Profesi Insinyur.
  • Lembaga Sertifikasi Profesi – pelaksana ujian kompetensi.

Tantangan dan Rekomendasi

Tantangan:

  • Implementasi UU belum merata di seluruh provinsi.
  • Kurangnya LSP yang terakreditasi dan pelatih yang kompeten.
  • Perbedaan pemahaman antara tenaga profesional dan industri.

Rekomendasi:

  1. Digitalisasi proses sertifikasi dan pengawasan melalui sistem berbasis cloud.
  2. Pelatihan daring (e-learning) untuk pembinaan profesi dan etika keinsinyuran.
  3. Benchmarking berkelanjutan dengan negara ASEAN untuk meningkatkan daya saing SDM teknik Indonesia.
  4. Pemberian insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan insinyur bersertifikasi.

Kesimpulan

Paper ini berhasil memaparkan alur, tantangan, dan kelebihan sistem sertifikasi insinyur di Indonesia serta menghubungkannya dengan praktik terbaik di kawasan ASEAN. UU No. 11 Tahun 2014 menjadi tonggak penting dalam profesionalisasi keinsinyuran nasional. Dengan optimalisasi kelembagaan dan penyempurnaan regulasi, Indonesia dapat mencetak lebih banyak insinyur profesional yang siap berdaya saing global.

Sumber: Widiasanti, I., & Tamin, R. Z. (2015). A Review on Certification Procedure for Professionals Engineer based on Engineering Act in Indonesia. Proceedings of International Conference: Issues, Management And Engineering In The Sustainable Development On Delta Areas, Semarang, Indonesia – February 20th, 2015.

 

Selengkapnya
Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia

Keinsinyuran

Menyatukan Spiritualitas dan Profesionalisme dalam Dunia Keinsinyuran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Dalam dunia yang semakin didorong oleh teknologi dan inovasi, kita sering lupa bahwa pelaku utama dalam dunia teknik adalah manusia. Artikel ini membawa gagasan bahwa religiositas bukan hanya bagian dari ranah pribadi, tetapi dapat menjadi struktur penting dalam membentuk keputusan, etika, dan arah profesionalisme insinyur di Indonesia.

Penelitian oleh Ruslan Moh. Yunus, M. Yusuf Wibisono, dan Dody S. Truna mencoba mengurai bagaimana nilai-nilai keislaman dapat diintegrasikan secara sistematis dalam praktik keinsinyuran melalui model struktural religiositas berbasis pendekatan worldview. Fokus utamanya adalah bagaimana religiositas insinyur Muslim dapat mengurangi risiko teknologi dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan etis.

Kerangka Penelitian: Dimensi-Dimensi Religiositas Insinyur

Penelitian melibatkan 45 insinyur profesional alumni Program Profesi Insinyur di Sulawesi Tengah dan Selatan. Metode yang digunakan adalah SEM-PLS 3.0, memungkinkan pemodelan hubungan laten antara dimensi religiositas dan tindakan profesional.

Enam Dimensi Religiositas

  1. Kesadaran universal
  2. Pandangan hidup
  3. Nilai inti
  4. Identitas
  5. Perilaku teramati
  6. Budaya institusional

Dimensi ini dipetakan dari kajian literatur keislaman dan dikonstruksi secara menyeluruh, tidak hanya mencakup ritual, tetapi juga sikap, pandangan hidup, dan praktik profesional.

Studi Kasus: Insinyur dan Risiko Teknologi

Penelitian ini menekankan pentingnya kesadaran terhadap risiko teknologi. Insinyur dilihat sebagai agen moral yang harus peka terhadap kemungkinan dampak negatif dari ciptaannya.

Contoh relevan adalah bencana lumpur Lapindo. Ketika nilai-nilai kehati-hatian dan kesadaran terhadap dampak sosial-lingkungan diabaikan, konsekuensinya sangat merugikan.

Model religiositas yang diajukan bertujuan menjadi sistem pendukung pengambilan keputusan moral—dimana tafakkur, tadabbur, dan tadzakkur menjadi mekanisme reflektif untuk menyelaraskan profesi dan spiritualitas.

Fakta dan Angka: Validasi Model

  • Mayoritas responden menunjukkan kesadaran tinggi terhadap nilai tauhid, namun rendah pada budaya institusional.
  • Perilaku seperti siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah berpengaruh besar terhadap persepsi profesionalisme.
  • Hanya 37,8% responden yang mengaku aktif menanamkan nilai agama dalam proses perencanaan proyek.

Hal ini menunjukkan adanya jarak antara pemahaman religiositas dan implementasi profesionalnya.

Kritik dan Perbandingan

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang fokus pada pelatihan teknis dan kode etik, studi ini menambahkan dimensi spiritualitas aktif. Model ini juga tidak hanya teoritis, tapi dapat diukur dan diterapkan.

Tantangan utama adalah aplikabilitas dalam lingkungan kerja multikultural dan sekuler, di mana nilai spiritual tidak selalu menjadi rujukan utama.

Implikasi dalam Dunia Industri dan Pendidikan

Di industri, model ini mendorong perusahaan untuk menyeimbangkan profit dan etika, serta mengadopsi sistem nilai berbasis religiositas universal.

Dalam pendidikan, Program Profesi Insinyur bisa menjadikan model ini sebagai dasar pembentukan karakter profesional yang lebih utuh.

Kesimpulan

Artikel ini tidak hanya menyajikan model teoritis, tetapi membuka jalan untuk perubahan paradigma dalam dunia keinsinyuran Indonesia. Dengan menyatukan religiositas dan profesionalisme, artikel ini menegaskan bahwa insinyur sejati tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki nurani yang tajam dan komitmen terhadap nilai kemanusiaan.

Sumber: Yunus, Ruslan Moh., Wibisono, M. Yusuf, & Truna, Dody S. (2024). Structural Model of Religiosity of the Engineering Profession of the Indonesian Engineers Association. Hanifiya: Journal of the Study of Religions, 7(2), 263–284.

 

Selengkapnya
Menyatukan Spiritualitas dan Profesionalisme dalam Dunia Keinsinyuran

Teknik Sipil

Mempersiapkan Lulusan Teknik Sipil Indonesia untuk Dunia Kerja: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Industri?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Mengapa Kompetensi Lulusan Teknik Sipil Masih Dipertanyakan?

Industri konstruksi di Indonesia memang terus berkembang, menyumbang sekitar 6% terhadap PDB dan mempekerjakan lebih dari 8,3 juta orang. Namun, hanya sekitar 20% dari jumlah tersebut yang benar-benar dianggap sebagai ahli konstruksi. Bahkan, hanya 17% yang memiliki sertifikat keahlian resmi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Ini mengindikasikan adanya kesenjangan kompetensi yang cukup serius. Di sinilah letak masalah utamanya: bagaimana universitas dapat meluluskan mahasiswa yang benar-benar siap kerja?

Studi Ini dan Pendekatan Penelitiannya

Penelitian oleh Fitriani dan Ajayi menggunakan pendekatan mixed method—gabungan kualitatif dan kuantitatif—untuk mengeksplorasi apa saja kompetensi yang paling dibutuhkan industri dari lulusan teknik sipil. Mereka melakukan wawancara dengan enam perusahaan yang secara aktif merekrut lulusan baru dan menyebarkan kuesioner kepada 500 profesional, dengan tingkat respons mencapai 63% (313 orang).

Setelah dianalisis dengan exploratory factor analysis, ditemukan 10 kelompok kompetensi utama yang dianggap sangat krusial.

10 Kompetensi Inti yang Harus Dimiliki Lulusan Teknik Sipil

1. Interpersonal Management Skills (16,23% varian total)

Kompetensi ini termasuk kemampuan bekerja dalam tim, kepemimpinan, loyalitas, dan tanggung jawab. Menariknya, justru kompetensi lunak seperti ini yang paling diutamakan dibanding keterampilan teknis. Model Iceberg dari Spencer & Spencer (2008) mendukung temuan ini—sekitar 80% keberhasilan kerja ditentukan oleh karakter, motivasi, dan sikap, bukan sekadar pengetahuan teknis.

2. Kepribadian Positif (8,83%)

Termasuk di dalamnya motivasi diri, integritas, dan rasa hormat. Ini menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih pekerja yang bisa beradaptasi dan menciptakan lingkungan kerja nyaman, dibandingkan mereka yang hanya jago secara teknis.

3. Kemampuan Wirausaha dan Bisnis (8,8%)

Di tengah minimnya pendidikan kewirausahaan di kampus, kompetensi ini justru dianggap vital. Lulusan yang mampu membuat perencanaan bisnis, mengembangkan produk baru, dan berkontribusi pada pertumbuhan usaha akan lebih mudah direkrut, atau bahkan menjadi entrepreneur sendiri.

4. Literasi Digital dan Teknologi (8,2%)

Kemampuan menggunakan BIM (Building Information Modeling), AutoCAD, dan pemahaman digitalisasi data sangat dihargai. Di era industri 4.0, teknologi sudah menjadi syarat wajib untuk berkarier di sektor konstruksi.

5. Kemampuan Kerja Tim (6,23%)

Skill ini mencakup kemampuan berkolaborasi, menerima keputusan kelompok, dan menyelesaikan konflik. Kampus dapat mendorong keterampilan ini lewat tugas kelompok dan simulasi proyek.

6. Kemampuan Teknik Sipil Dasar (5,65%)

Meskipun esensial, pengetahuan teknis seperti prinsip desain dan formulasi masalah hanya menduduki peringkat ke-6. Ini menegaskan bahwa keterampilan teknis diasumsikan sudah menjadi "modal awal", namun belum cukup tanpa soft skills.

7. Pengetahuan Geoteknik (4,83%)

Dalam proyek konstruksi, pemahaman tentang struktur tanah, stabilitas lereng, dan kapasitas beban sangat diperlukan. Ini sering menjadi titik lemah lulusan karena kurang praktik lapangan.

8. Komunikasi Efektif (4,59%)

Perusahaan mengeluhkan lemahnya kemampuan komunikasi teknis, baik lisan maupun tertulis. Lulusan harus mampu mempresentasikan ide dan berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk lintas budaya.

9. Client-Oriented Thinking (3,24%)

Memahami kebutuhan dan harapan klien sangat penting dalam proyek berbasis tender. Kepuasan klien bisa menjadi tolok ukur keberhasilan proyek dan peluang proyek berikutnya.

10. Mental Kuat dan Sikap Positif (2,13%)

Tekanan pekerjaan di dunia konstruksi sangat tinggi. Kemampuan mengelola stres dan tetap positif menjadi nilai tambah yang tidak boleh diabaikan.

Studi Kasus: Apa yang Terjadi di Dunia Nyata?

Data dari BPS (2018) menunjukkan bahwa 83% pekerja konstruksi belum bersertifikasi. Ini menunjukkan tantangan besar dalam peningkatan kualitas SDM. Sementara itu, hasil survei terhadap 313 responden menunjukkan bahwa integritas menjadi kompetensi yang paling sering disebut, meski akhirnya dihapus dalam analisis karena tidak memenuhi uji reliabilitas (Cronbach Alpha jika dihapus = 0,984).

Menariknya, walau universitas masih fokus pada aspek akademis dan teori, perusahaan justru menaruh bobot lebih pada kepribadian dan fleksibilitas individu. Seorang lulusan dengan nilai bagus tapi lemah dalam komunikasi dan kerja tim bisa kalah bersaing dengan kandidat lain yang secara akademik lebih biasa tapi memiliki soft skills kuat.

Apa yang Harus Dilakukan Kampus dan Mahasiswa?

Penelitian ini menyarankan transformasi kurikulum dari yang semata-mata berbasis teori menuju pendekatan praktikal dan berbasis kebutuhan industri. Beberapa rekomendasi strategis yang bisa dilakukan:

  • Integrasi tugas bisnis dalam mata kuliah teknik.
  • Penggunaan BIM dan teknologi digital dalam pembelajaran proyek.
  • Kolaborasi lebih erat dengan industri melalui program magang yang berbobot.
  • Kegiatan yang mendorong pembentukan karakter, seperti pelatihan kepemimpinan dan kerja sosial.
  • Mata kuliah komunikasi teknis dan pengembangan diri secara eksplisit.

Bandingkan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini menegaskan temuan dari Male et al. (2011) di Australia dan Zaheer et al. (2020) di Inggris, yang menyebutkan bahwa kompetensi generik seperti komunikasi, kerja tim, dan manajemen diri adalah kunci kesuksesan karier. Namun, pendekatan Fitriani dan Ajayi lebih kontekstual dengan fokus di Indonesia dan menyasar data kuantitatif langsung dari pelaku industri, sehingga hasilnya lebih relevan secara lokal.

Kesimpulan: Soft Skills Lebih Mahal daripada Nilai IPK?

Jelas terlihat bahwa IPK tinggi bukan jaminan sukses di dunia kerja teknik sipil. Justru soft skills—yang selama ini mungkin dianggap "tambahan"—menjadi pembeda utama. Ini menjadi pengingat keras bagi universitas dan mahasiswa bahwa penguasaan teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan karakter yang kuat, sikap positif, serta kemampuan bekerja sama dan berinovasi.

Dengan adanya hasil studi ini, diharapkan universitas di Indonesia tidak lagi terpaku pada metode konvensional. Pembelajaran teknik sipil masa kini harus berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan berorientasi pada dunia kerja. Mahasiswa pun harus proaktif membangun kapasitas diri di luar kelas—ikut organisasi, pelatihan digital, hingga proyek kewirausahaan.

Sumber artikel asli:
Fitriani, H. & Ajayi, S.O. (2021). Preparing Indonesian Civil Engineering Graduates for the World of Work. Industry and Higher Education. ISSN 0950-4222.

 

Selengkapnya
Mempersiapkan Lulusan Teknik Sipil Indonesia untuk Dunia Kerja: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Industri?

Keinsinyuran

Program Profesi Insinyur UMI: Menjawab Tantangan Industri dan Regulasi Keinsinyuran di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Mengapa Program Profesi Insinyur (PSPPI) Penting di Era Industri Modern?

Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan daya saing industri. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak sarjana teknik belum tersertifikasi sebagai insinyur profesional. Program Profesi Insinyur (PSPPI) menjadi jawaban konkret terhadap amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran yang mendorong terciptanya tenaga profesional yang tak hanya cakap secara teknis, tapi juga diakui secara hukum dan etis.

Universitas Muslim Indonesia (UMI) melalui Fakultas Teknologi Industri menjadi salah satu dari 40 perguruan tinggi yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan PSPPI. Presentasi ini merekam perjalanan, strategi, dan capaian dari pelaksanaan PSPPI UMI—khususnya dalam konteks pengembangan SDM teknik di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Sekilas Tentang PSPPI UMI

UMI resmi menerima mandat penyelenggaraan PSPPI pada Januari 2017 dari Kementerian Ristekdikti. Dengan melibatkan 25 dosen tetap bergelar Insinyur Profesional Madya (IPM), satu IPU (Utama), dan dua penerima ASEAN Eng, program ini menegaskan komitmen terhadap mutu dan profesionalisme.

Tidak kalah menarik, Bupati Konawe Utara, Dr. Ir. Ruksamin, M.Si, tercatat sebagai wisudawan pertama PSPPI UMI dengan nomor stambuk 001. Ini menjadi simbol kuat integrasi antara pemerintah daerah, industri, dan akademisi dalam memajukan sektor teknik lokal.

Kurikulum Berbasis Praktik: Pendidikan untuk Profesional yang Sudah Bekerja

Berbeda dengan pendidikan akademik atau vokasi, PSPPI dirancang sebagai pendidikan untuk orang yang sudah bekerja. Tidak boleh ada lulusan PSPPI yang menganggur—itulah filosofi utamanya. Sistem pembelajarannya lebih menekankan pada praktik keinsinyuran di lapangan:

  • 70% pembelajaran dilakukan di tempat kerja, hanya 30% dilakukan di kelas.
  • Durasi program 1–2 semester dengan total 24 SKS.
  • Metode: studi kasus, laporan praktik, proposal kegiatan, seminar, diskusi, serta evaluasi berbasis kehadiran, partisipasi, dan ujian.

Materi kuliah terdiri dari kode etik, profesionalisme, K3L (keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan), praktik keinsinyuran, studi kasus, hingga pemaparan di seminar dan workshop.

Siapa yang Bisa Mengikuti PSPPI?

Syarat Umum:

  • Lulusan sarjana teknik, terapan teknik, pendidikan teknik, atau sains.
  • Telah memiliki pengalaman kerja minimal 2 tahun (reguler) atau 3 tahun (RPL).
  • Sehat jasmani dan rohani, bebas narkoba.
  • Memenuhi seluruh ketentuan dan lulus seleksi perguruan tinggi penyelenggara.

Jalur Reguler vs RPL:

  • Jalur reguler untuk yang belum cukup pengalaman.
  • Jalur RPL (Recognition of Prior Learning) memungkinkan pengakuan pengalaman hingga setara 24 SKS.
  • Jika tidak memenuhi seluruh SKS melalui RPL, sisa kredit dipenuhi lewat program reguler.

Capaian Pembelajaran dan Kompetensi Lulusan

Lulusan PSPPI diharapkan memenuhi level 7 KKNI, yakni:

  • Mampu merencanakan dan mengelola sumber daya teknik secara strategis.
  • Mampu memecahkan masalah teknik melalui pendekatan multidisiplin.
  • Mampu mengambil keputusan keinsinyuran dengan akuntabilitas tinggi.
  • Taat pada kode etik profesi dan memiliki kemampuan riset aplikatif.

Ini mencerminkan visi bahwa lulusan PSPPI bukan sekadar teknisi, melainkan pengambil keputusan strategis dalam dunia teknik yang dinamis.

Tantangan Implementasi dan Solusi di UMI

UMI melakukan berbagai upaya sistematis untuk menyukseskan program ini:

Pengelolaan Lembaga:

  • Menyusun panduan mutu internal dan sistem evaluasi.
  • Menyampaikan laporan kinerja kepada pimpinan universitas secara berkala.
  • Menjalin kemitraan dengan PII, industri, dan kementerian.

Pendanaan:

  • Dibiayai oleh anggaran internal, dana masyarakat (uang kuliah), serta kerja sama dengan industri.
  • Dana digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pelaporan PS PPI.

Evaluasi Mutu:

  • Penjaminan mutu dilakukan oleh SPM-UMI.
  • Akreditasi dan evaluasi eksternal mengikuti ketentuan lembaga yang berwenang.

Studi Kasus Konawe Utara: Sinergi Pendidikan dan Pemerintah Daerah

Menjadikan Bupati sebagai wisudawan pertama bukan sekadar simbolis. Ini adalah wujud nyata bagaimana pemerintah daerah turut serta dalam memperkuat profesionalisme teknis di wilayahnya. Kabupaten Konawe Utara dikenal sebagai daerah pertambangan dan pertanian yang memerlukan dukungan SDM teknik unggul. Dengan hadirnya PSPPI di daerah ini, terjadi percepatan dalam pencetakan insinyur yang tidak hanya mumpuni secara teknis, tapi juga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Catatan Kritis: Apa yang Perlu Ditingkatkan?

Meskipun desain program sangat progresif, terdapat beberapa tantangan yang layak diperhatikan:

  • Belum semua lulusan teknik memahami pentingnya sertifikasi profesi.
  • Pengalaman kerja peserta seringkali tidak terdokumentasi dengan baik untuk kebutuhan RPL.
  • Masih perlunya peningkatan pelatihan dosen pembimbing agar mampu mengarahkan mahasiswa secara efektif di tempat kerja.

Sebagai langkah ke depan, perlu dikembangkan sistem pelacakan alumni, penguatan jejaring dengan industri pengguna lulusan, dan integrasi sistem digital untuk pengelolaan portofolio peserta secara daring.

Kesimpulan: PSPPI sebagai Pilar Transformasi SDM Teknik Indonesia

Program Profesi Insinyur di UMI menjadi representasi bagaimana pendidikan tinggi bisa bertransformasi menjadi lebih adaptif, responsif, dan relevan terhadap kebutuhan industri. Melalui pendekatan berbasis praktik, evaluasi kompetensi, dan kolaborasi multi-pihak, program ini mencetak insinyur yang tidak hanya ahli, tapi juga siap terjun langsung dalam tantangan pembangunan nasional.

Lebih dari itu, program ini mendorong semangat keinsinyuran sebagai panggilan etis—dimana ilmu dan teknologi diabdikan demi kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan. PSPPI adalah cerminan visi insinyur masa depan Indonesia: profesional, bermoral, dan berdaya saing global.

Sumber artikel:

Zakir Sabara & Taufik Nur. “Presentasi dan Sosialisasi Program Profesi Insinyur Fakultas Teknologi Industri UMI di Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara”. Presentasi, 2017.

Selengkapnya
Program Profesi Insinyur UMI: Menjawab Tantangan Industri dan Regulasi Keinsinyuran di Indonesia
« First Previous page 234 of 1.139 Next Last »