Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Transformasi Kapasitas di Sektor Air: Kerangka Strategis untuk Entitas Publik
Pembangunan kapasitas dalam sektor air bukan lagi sekadar pelatihan individu, melainkan strategi sistemik yang mencakup struktur kelembagaan, organisasi, hingga konteks negara. Paper berjudul Unleashing Capacity in the Water Sector: A Framework for Public Entities oleh Jiménez, Prado, dan Saikia (2024) menyusun kerangka lengkap berdasarkan scoping review terhadap 153 artikel ilmiah dan 103 dokumen abu-abu, serta masukan dari pakar internasional.
Evolusi Konsep Pembangunan Kapasitas
Sejak 1970-an, istilah capacity development berkembang dari sekadar pelatihan teknis menjadi proses jangka panjang berbasis nilai, kebijakan, dan partisipasi sosial. Kini, pendekatan ini digunakan untuk:
OECD (2006) mendefinisikan pembangunan kapasitas sebagai proses di mana masyarakat, organisasi, dan sistem sosial menciptakan, memperkuat, dan mempertahankan kapasitas mereka seiring waktu.
Studi Kasus dan Fakta Penting
Contoh negara:
Kerangka 4-Tingkat Pembangunan Kapasitas
Penelitian ini mengusulkan kerangka empat tingkat yang saling terkait dan berfokus pada entitas publik air:
1. Tingkat Individu
Menekankan pada nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan, dan adaptabilitas.
Metode: pelatihan, peer learning, coaching, MOOC, dan kunjungan lapangan.
2. Tingkat Organisasi
Fokus pada struktur formal seperti proses, keuangan, strategi, dan sumber daya; serta dimensi budaya seperti kepemimpinan, motivasi personel, dan gaya manajemen.
Contoh intervensi: ISO, Aquarating, program climate-smart utilities.
3. Tingkat Institusional
4. Tingkat Struktural
Mencakup kondisi makro seperti pendidikan nasional, ketimpangan gender, ketersediaan pusat pelatihan, dan nilai air di masyarakat.
Prinsip-prinsip Umum Pembangunan Kapasitas yang Efektif
Kapabilitas institusional yang tangguh tidak dapat dibangun secara instan. Paper ini menekankan prinsip kunci:
Mengukur Keberhasilan dan Tantangan
Paper mengakui bahwa evaluasi hasil capacity development sangat kompleks, karena melibatkan interaksi antara individu, organisasi, dan konteks luar. Penilaian konvensional sering gagal menangkap dinamika ini. Oleh karena itu, pendekatan sistemik dan partisipatif lebih disarankan, seperti model berbasis "best fit" ketimbang "best practice".
Rekomendasi Strategis bagi Pembuat Kebijakan
Kesimpulan: Bangun Kekuatan dari Dalam
Pengelolaan air tidak hanya soal infrastruktur, melainkan tentang manusia dan sistem yang mendukungnya. Kerangka yang disusun Jiménez dkk. ini menghadirkan alat praktis dan strategis untuk mengurai kompleksitas, menjawab tantangan air di masa depan lewat pendekatan berbasis kapasitas dan keberlanjutan.
Sumber: Jiménez, A., Álvarez Prado, L., & Saikia, P. (2024). Unleashing capacity in the water sector: A framework for public entities. Water Policy, 26(5), 577–594.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Smart city bukan lagi sekadar teknologi—ia adalah cerminan keadilan, keterlibatan warga, dan keberlanjutan lingkungan. Laporan World Smart Cities Outlook 2024 oleh UN-Habitat menghadirkan gambaran global transformasi digital kota-kota dunia yang berorientasi pada manusia (people-centred smart cities), berdasarkan data dari 69% pemerintah kota yang telah mengadopsi agenda strategis smart city dan 81% negara dengan rencana e-government aktif.
Fokus Inklusivitas dan Keadilan Digital
Laporan menyoroti tantangan besar berupa kesenjangan digital:
Langkah-langkah yang diambil meliputi:
Namun, data juga mengungkap bahwa ketimpangan gender dalam keterampilan digital masih tinggi: di negara-negara berkembang, gap mencapai 10–15%, dengan perempuan sering tertinggal.
Studi Kasus Inspiratif dari Lapangan
Beberapa contoh nyata upaya implementasi teknologi yang berkelanjutan dan partisipatif meliputi:
Tantangan Tata Kelola dan Regulasi
Hanya 36% kota yang memiliki pedoman etika AI secara menyeluruh, sementara 82% pemerintah kota mengaku belum memiliki arahan jelas soal hak digital. Beberapa tantangan lain mencakup:
Untuk mengatasi ini, rekomendasi laporan meliputi:
Ekosistem Kolaboratif dan Keuangan Berkelanjutan
Kunci sukses implementasi smart city menurut laporan:
Beberapa tantangan juga muncul di negara berkembang, seperti:
Dimensi Keberlanjutan Lingkungan
Meskipun 89% kota telah memasukkan tujuan lingkungan dalam rencana smart city, hanya sebagian kecil yang memonitor dampak digital terhadap lingkungan. Tantangan lain mencakup:
Untuk itu, laporan merekomendasikan:
Kesimpulan: Kota Cerdas Harus Adil, Berbasis Warga, dan Berkelanjutan
Transformasi digital kota bukan sekadar proyek teknologi, melainkan revolusi sosial dan tata kelola. Dalam dunia dengan urbanisasi dan krisis iklim yang makin kompleks, smart city hanya dapat berhasil bila dibangun dengan:
✔️ Akses teknologi merata
✔️ Kebijakan digital inklusif
✔️ Keterlibatan aktif warga
✔️ Tata kelola transparan dan kolaboratif
Melalui pendekatan ini, smart city tak sekadar menjadi kota pintar—melainkan kota yang benar-benar cerdas secara sosial, etis, dan manusiawi.
Sumber: UN-Habitat. (2024). World Smart Cities Outlook 2024.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Pendahuluan
Di tengah meningkatnya urgensi krisis lingkungan global, perguruan tinggi memainkan peran vital sebagai katalis perubahan menuju keberlanjutan. Artikel “UI GreenMetric World University Rankings 2023” yang dipublikasikan oleh Universitas Indonesia mengangkat sistem pemeringkatan kampus hijau global berbasis enam kategori utama yang mencerminkan komitmen terhadap lingkungan, efisiensi energi, riset, dan pendidikan berkelanjutan.
Diluncurkan pertama kali pada 2010, UI GreenMetric kini menjadi sistem pemeringkatan keberlanjutan terbesar di dunia, dengan 1.050 universitas dari 85 negara berpartisipasi di tahun 2022. Pemeringkatan ini mendorong transformasi kampus melalui indikator konkret dan benchmarking yang dapat diterapkan secara global.
1. Latar Belakang dan Tujuan Pemeringkatan
UI GreenMetric dilahirkan atas keprihatinan terhadap isu lingkungan seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan ketergantungan energi fosil. Tujuan utamanya adalah:
Framework UI GreenMetric mengadopsi prinsip 3E (Environment, Economy, Equity) serta menyelaraskan indikator dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
2. Pilar dan Metodologi Penilaian
UI GreenMetric menilai universitas berdasarkan enam kategori utama berikut:
Indikator 2023 diperluas dengan penambahan pertanyaan baru seperti:
Penilaian bersifat kuantitatif dan berbasis bukti (evidence-based scoring). Universitas wajib menyertakan data dan dokumentasi untuk setiap indikator.
3. Studi Kasus dan Statistik Global
Contoh universitas anggota UIGWURN:
4. Inovasi, Dampak, dan Arah Masa Depan
Tema UI GreenMetric 2023 adalah “Innovation, Impacts, and Future Direction of Sustainable Universities.”
Inovasi:
Dampak:
Arah Masa Depan:
5. Keunggulan UI GreenMetric Dibanding Sistem Lain
Dibanding sistem seperti STARS (AS), Green Report Card, dan LEED (AS), UI GreenMetric lebih inklusif karena:
UI GreenMetric juga lebih kuat dalam pengukuran aksi nyata, seperti:
6. Kritik dan Tantangan
Kelebihan:
Kekurangan:
7. Relevansi UI GreenMetric untuk Kampus Indonesia
Sebagai inisiatif dari Universitas Indonesia, UI GreenMetric telah mendorong ratusan kampus nasional untuk:
Universitas Indonesia, UGM, ITS, dan Universitas Diponegoro termasuk yang paling aktif mengimplementasikan indikator GreenMetric ke dalam tata kelola institusi.
Kesimpulan
UI GreenMetric bukan sekadar pemeringkatan, tapi peta jalan menuju masa depan pendidikan tinggi yang lebih hijau, adil, dan berkelanjutan. Dengan indikator yang konkret dan dapat diukur, sistem ini membantu kampus dari berbagai latar belakang untuk menyusun strategi hijau yang berdampak luas. Kolaborasi global yang terus diperluas membuktikan bahwa keberlanjutan bukanlah tren sesaat, tapi komitmen jangka panjang yang wajib diadopsi oleh institusi pendidikan di seluruh dunia.
Sumber : Universitas Indonesia. (2023). UI GreenMetric World University Rankings 2023 Report. UI GreenMetric.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Pendahuluan
Dunia kini menghadapi berbagai tantangan global: perubahan iklim, urbanisasi pesat, polusi, dan ketimpangan sosial. Kota-kota membutuhkan sistem mobilitas yang mampu menjawab tantangan-tantangan ini tanpa mengorbankan kualitas hidup masyarakatnya. Artikel “Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living” oleh Hamid Doost Mohammadian dan Fatemeh Rezaie (2020) menyajikan konsep teknologi mobilitas Blue-Green sebagai solusi yang tidak hanya cerdas dan berkelanjutan, tetapi juga mampu mengantisipasi “urban shock” masa depan.
Studi ini mengangkat dua studi kasus utama: Songdo (Korea Selatan) dan Copenhagen (Denmark), yang menjadi percontohan nyata penerapan teknologi mobilitas pintar dan berkelanjutan di dua konteks budaya dan geografis berbeda.
1. Apa itu Blue-Green Smart Mobility?
Blue-Green mobility adalah konsep yang menggabungkan pendekatan hijau (lingkungan, efisiensi energi, emisi rendah) dengan pendekatan biru (manajemen air, pengendalian banjir, daur ulang air hujan), serta didukung teknologi seperti:
Tujuan utama konsep ini adalah menciptakan kota yang tidak hanya layak huni, tetapi juga adaptif terhadap guncangan masa depan, seperti krisis iklim, polusi, kepadatan penduduk, hingga pandemi.
2. Pilar Teori: The 5th Wave Theory & 7PS Model
Konsep ini dibangun atas The 5th Wave Theory, yaitu teori peradaban masa depan yang menekankan bahwa tantangan abad 21 akan dihadapi melalui kombinasi antara teknologi tinggi dan kesadaran sosial.
Sementara itu, model 7PS menambahkan pilar keberlanjutan yang lebih luas:
Analisis tambahan: 7PS memberi pemahaman bahwa keberlanjutan bukan sekadar "hijau" secara ekologis, tapi juga harus adil, inklusif, dan siap menghadapi disrupsi teknologi.
3. Studi Kasus: Songdo, Korea Selatan
Songdo adalah kota yang dibangun dari nol dengan visi sebagai U-city (Ubiquitous City). Beberapa fitur utama:
Data dan Fakta:
Kritik:
4. Studi Kasus: Copenhagen, Denmark
Copenhagen memiliki target ambisius: menjadi ibu kota netral karbon pertama di dunia pada 2025. Strategi Blue-Green mobility kota ini meliputi:
Fakta tambahan:
5. Peran Teknologi dalam Blue-Green Mobility
Teknologi menjadi fondasi dari mobilitas Blue-Green. Konsep-konsep seperti:
Peran Industri 4.0 & Society 5.0:
6. Dampak terhadap Kualitas Hidup dan Livability
Penelitian ini mengembangkan model 5N.BG.7PS untuk menilai pengaruh mobilitas pintar terhadap livability. Lima jaringan utama:
Temuan penting dari survei terhadap 50 pakar:
Kesimpulan: Mobilitas Blue-Green bukan hanya tentang teknologi, tapi soal kesejahteraan kota secara menyeluruh.
7. Kritik dan Tantangan
Kelebihan artikel ini:
Kritik utama:
8. Relevansi Global dan Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa: banjir perkotaan, polusi udara, transportasi publik yang belum merata. Implementasi konsep Blue-Green dapat dimulai dengan:
Kesimpulan
Blue-Green Smart Mobility adalah langkah revolusioner menuju kota masa depan yang berkelanjutan, cerdas, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Teknologi memang menjadi tulang punggung, tetapi visi pembangunan yang menyeluruh dan partisipatif adalah kunci utama keberhasilannya.
Konsep ini bukan hanya cocok diterapkan di negara maju seperti Korea dan Denmark, tapi juga sangat relevan bagi negara berkembang yang ingin merancang kota-kota ramah lingkungan dan tahan terhadap guncangan sosial-ekonomi masa depan.
Sumber : Mohammadian, H. D., & Rezaie, F. (2020). Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living. Technologies, 8(3), 39.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Pendahuluan
Afrika Sub-Sahara (SSA) menghadapi tantangan luar biasa dalam hal penyediaan dan pengelolaan air bersih. Pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi yang tidak terkendali, perubahan iklim, dan lemahnya tata kelola membuat infrastruktur air di kawasan ini rapuh dan tidak berkelanjutan. Dalam artikel "Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa" oleh Henrietta George-Williams, Dexter Hunt, dan Christopher Rogers (2024), dikaji secara mendalam pendekatan sistemik terhadap pembangunan infrastruktur air dengan menempatkan keberlanjutan dan ketahanan sebagai inti melalui kerangka STEEP (social, technological, economic, environmental, political).
1. Konteks dan Tantangan Utama Infrastruktur Air di SSA
Hanya sekitar 30% populasi di SSA yang memiliki akses ke air minum aman (WHO, 2020). Sementara itu, urbanisasi meningkat pesat—diprediksi penduduk perkotaan SSA naik dua kali lipat dalam 25 tahun ke depan. Tekanan terhadap infrastruktur meningkat, sementara kapasitas institusi, keuangan, dan teknis belum memadai.
Tantangan utama yang diuraikan dalam paper ini mencakup:
2. Pendekatan STEEP: Solusi Holistik untuk Air Berkelanjutan
a. Sosial (Societal)
Pertumbuhan penduduk SSA diproyeksikan mencapai 2,1 miliar jiwa pada 2050. Masyarakat masih minim edukasi terkait konservasi air. Kesenjangan gender, marginalisasi kelompok miskin, dan keterbatasan partisipasi masyarakat memperburuk ketimpangan akses. Studi kasus dari Afrika Selatan menunjukkan keterlibatan publik masih didominasi oleh pihak vokal, mengabaikan kelompok rentan.
b. Teknologi (Technological)
Teknologi penting untuk perencanaan dan manajemen aset air. Namun, di SSA, 90% utilitas masih memakai pendekatan “fix-on-failure”. Penggunaan teknologi seperti BIM, GIS, IoT, dan robotika masih sangat rendah. Beberapa negara seperti Kenya dan Ghana mulai mempertimbangkan desalinasi, tetapi biayanya tinggi dan dampaknya masih diperdebatkan. Rainwater harvesting dinilai menjanjikan untuk daerah rural, namun terkendala desain buruk dan risiko kesehatan.
c. Ekonomi (Economic)
Sektor air hanya menarik 6% dari investasi infrastruktur global, padahal sangat vital. Mayoritas negara SSA mengandalkan dana donor hingga 80%. Contoh di Sierra Leone dan Burkina Faso menunjukkan ketergantungan pada dana eksternal menghambat keberlanjutan.
Untuk menutup kesenjangan pembiayaan, OECD menyarankan kombinasi:
Namun, risiko tinggi dan return rendah membuat sektor ini tidak menarik bagi investor swasta.
d. Lingkungan (Environmental)
SSA rentan terhadap polusi air, bencana alam, dan penurunan air tanah.
e. Politik (Political)
Pengelolaan air lintas negara seperti Sungai Nil masih penuh ketegangan. Meskipun inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) dibentuk, konflik antarnegara seperti Mesir dan Ethiopia tetap tinggi.
3. Studi Kasus dan Angka-Angka Penting
4. Rekomendasi & Visi Ke Depan
Transformasi sistem air di SSA harus mencakup:
Kritik & Analisis Tambahan
Kelebihan artikel ini:
Keterbatasannya:
Kesimpulan
Membangun infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara adalah tantangan besar sekaligus peluang besar. Dengan kombinasi visi strategis, inovasi teknologi, dan tata kelola inklusif, kawasan ini bisa bergerak dari “krisis air” menuju “ketahanan air.” Artikel ini menjadi panggilan bagi akademisi, pemerintah, dan sektor swasta untuk merancang solusi kolaboratif yang berdampak nyata.
Sumber asli:
George-Williams, H.E.M., Hunt, D.V.L., & Rogers, C.D.F. (2024). Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa. Sustainability, 16(4), 1592.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Pendahuluan
Keamanan air (water security) kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel “A Framework for Assessing Water Security and the Water–Energy–Food Nexus—The Case of Finland” oleh Marttunen et al. (2019) menawarkan pendekatan sistemik dan partisipatif untuk mengevaluasi keamanan air secara nasional, khususnya di Finlandia, dengan mempertimbangkan keterkaitan erat antara air, energi, dan pangan (nexus WEF). Artikel ini tidak hanya mengajukan kerangka kerja evaluasi, tetapi juga menguji langsung framework tersebut dalam konteks Finlandia tahun 2018 dan proyeksi 2030.
1. Latar Belakang & Tujuan Penelitian
Konsep keamanan air sering kali sulit diukur karena menyangkut aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan risiko. Penilaian biasanya hanya berdasarkan indeks kuantitatif yang sering menyederhanakan isu kompleks. Untuk menjawab kekosongan tersebut, penulis merancang framework berbasis hierarki kriteria serta melibatkan aktor-aktor kunci melalui workshop dan wawancara.
Tujuannya adalah:
2. Struktur Kerangka & Dimensi Penilaian
Framework ini terdiri dari 4 pilar utama:
Masing-masing terdiri dari 18 kriteria spesifik, seperti status ekologis air, kualitas air minum, infrastruktur, dan manajemen risiko bencana. Penilaian dilakukan menggunakan 5 dimensi:
Framework ini juga dilengkapi alat bantu visual (Excel tool) untuk mempermudah pemetaan dan diskusi antar pemangku kepentingan.
3. Studi Kasus: Finlandia (2018–2030)
3.1 Temuan Utama
3.2 Tren ke 2030
3.3 Studi Angka & Fakta:
4. Analisis Nexus Air–Energi–Pangan (WEF)
Framework ini juga menilai keterkaitan dua arah antara air dan sektor energi serta pangan.
Energi → Air
Air → Energi
Pangan → Air
Air → Pangan
5. Kelebihan Framework
6. Keterbatasan & Kritik
7. Relevansi Global dan Konteks Industri
Kerangka ini memiliki potensi diadopsi di negara-negara berkembang dan kawasan yang menghadapi tantangan serupa, seperti:
Di era perubahan iklim dan urbanisasi cepat, pendekatan yang menyatukan data, partisipasi, dan integrasi lintas sektor menjadi fondasi kebijakan air masa depan.
Kesimpulan
Framework yang ditawarkan Marttunen et al. memberikan pendekatan holistik dan fleksibel dalam menilai keamanan air nasional. Walau bersifat kualitatif dan subjektif, pendekatan ini tetap penting untuk menavigasi kompleksitas hubungan antar-sektor dan membantu pemangku kebijakan menyusun prioritas yang lebih tepat. Penekanan pada kerja lintas sektor, adaptasi lokal, dan sistematika partisipatif membuat model ini cocok untuk dijadikan blueprint dalam menghadapi krisis air di abad 21.
Sumber : Marttunen, M., Mustajoki, J., Sojamo, S., Ahopelto, L., & Keskinen, M. (2019). A Framework for Assessing Water Security and the Water–Energy–Food Nexus—The Case of Finland. Sustainability, 11(10), 2900.