Kebijakan Infrastruktur Air

Bangun Kapasitas Air yang Tangguh: Strategi Publik Menuju Layanan Air Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Transformasi Kapasitas di Sektor Air: Kerangka Strategis untuk Entitas Publik

Pembangunan kapasitas dalam sektor air bukan lagi sekadar pelatihan individu, melainkan strategi sistemik yang mencakup struktur kelembagaan, organisasi, hingga konteks negara. Paper berjudul Unleashing Capacity in the Water Sector: A Framework for Public Entities oleh Jiménez, Prado, dan Saikia (2024) menyusun kerangka lengkap berdasarkan scoping review terhadap 153 artikel ilmiah dan 103 dokumen abu-abu, serta masukan dari pakar internasional.

Evolusi Konsep Pembangunan Kapasitas

Sejak 1970-an, istilah capacity development berkembang dari sekadar pelatihan teknis menjadi proses jangka panjang berbasis nilai, kebijakan, dan partisipasi sosial. Kini, pendekatan ini digunakan untuk:

  • Meningkatkan efisiensi layanan air dan sanitasi
  • Menguatkan daya tahan institusi
  • Mendorong akuntabilitas sektor publik

OECD (2006) mendefinisikan pembangunan kapasitas sebagai proses di mana masyarakat, organisasi, dan sistem sosial menciptakan, memperkuat, dan mempertahankan kapasitas mereka seiring waktu.

Studi Kasus dan Fakta Penting

  • Anggaran bantuan tahunan untuk capacity development: USD 15 miliar (25% dari total bantuan pembangunan)
  • Hanya 1 dari 5 pekerja air adalah perempuan, lebih rendah lagi di level manajerial
  • 80% negara kekurangan tenaga terlatih untuk pengelolaan sanitasi onsite dan sistem air kecil (GLAAS, 2022)

Contoh negara:

  • Uganda: Program transformasi manajemen air melalui pendekatan kontrak kinerja menghasilkan peningkatan pelayanan secara drastis
  • Indonesia: Reformasi irigasi 20 tahun meningkatkan kapasitas institusi lokal dan partisipasi masyarakat

Kerangka 4-Tingkat Pembangunan Kapasitas

Penelitian ini mengusulkan kerangka empat tingkat yang saling terkait dan berfokus pada entitas publik air:

1. Tingkat Individu

Menekankan pada nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan, dan adaptabilitas.
Metode: pelatihan, peer learning, coaching, MOOC, dan kunjungan lapangan.

2. Tingkat Organisasi

Fokus pada struktur formal seperti proses, keuangan, strategi, dan sumber daya; serta dimensi budaya seperti kepemimpinan, motivasi personel, dan gaya manajemen.
Contoh intervensi: ISO, Aquarating, program climate-smart utilities.

3. Tingkat Institusional

  • Sublevel (3a): Interaksi dalam sektor air → Koordinasi formal/informal, akuntabilitas antar lembaga.
  • Sublevel (3b): Keterkaitan dengan sistem pemerintahan umum → Desentralisasi, kebijakan SDM, peran masyarakat sipil.

4. Tingkat Struktural

Mencakup kondisi makro seperti pendidikan nasional, ketimpangan gender, ketersediaan pusat pelatihan, dan nilai air di masyarakat.

Prinsip-prinsip Umum Pembangunan Kapasitas yang Efektif

Kapabilitas institusional yang tangguh tidak dapat dibangun secara instan. Paper ini menekankan prinsip kunci:

  • Kepemilikan lokal: Proses harus dimulai dari kebutuhan dan kepemimpinan nasional
  • Kontekstualisasi: Setiap strategi harus menyesuaikan kondisi lokal
  • Partisipatif: Keterlibatan pemangku kepentingan menjamin legitimasi
  • Adaptif & Inovatif: Terbuka pada pembelajaran dan penyesuaian
  • Pendekatan jangka panjang: Di luar batas proyek tahunan

Mengukur Keberhasilan dan Tantangan

Paper mengakui bahwa evaluasi hasil capacity development sangat kompleks, karena melibatkan interaksi antara individu, organisasi, dan konteks luar. Penilaian konvensional sering gagal menangkap dinamika ini. Oleh karena itu, pendekatan sistemik dan partisipatif lebih disarankan, seperti model berbasis "best fit" ketimbang "best practice".

Rekomendasi Strategis bagi Pembuat Kebijakan

  1. Gunakan kerangka empat tingkat sebagai alat diagnosis dan perencanaan
  2. Fokus pada keberlanjutan: Reformasi kelembagaan harus didorong seiring peningkatan kapasitas personel
  3. Bangun kolaborasi antar-lembaga dan lintas sektor
  4. Prioritaskan inklusi gender dan regenerasi tenaga kerja air
  5. Investasi dalam pendidikan vokasi dan pelatihan teknis sektor air

Kesimpulan: Bangun Kekuatan dari Dalam

Pengelolaan air tidak hanya soal infrastruktur, melainkan tentang manusia dan sistem yang mendukungnya. Kerangka yang disusun Jiménez dkk. ini menghadirkan alat praktis dan strategis untuk mengurai kompleksitas, menjawab tantangan air di masa depan lewat pendekatan berbasis kapasitas dan keberlanjutan.

Sumber: Jiménez, A., Álvarez Prado, L., & Saikia, P. (2024). Unleashing capacity in the water sector: A framework for public entities. Water Policy, 26(5), 577–594.

Selengkapnya
Bangun Kapasitas Air yang Tangguh: Strategi Publik Menuju Layanan Air Berkelanjutan

Kebijakan Infrastruktur Air

Teknologi Perkotaan Memajukan Kota: Strategi Inklusif dalam Smart City Berbasis Manusia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Smart city bukan lagi sekadar teknologi—ia adalah cerminan keadilan, keterlibatan warga, dan keberlanjutan lingkungan. Laporan World Smart Cities Outlook 2024 oleh UN-Habitat menghadirkan gambaran global transformasi digital kota-kota dunia yang berorientasi pada manusia (people-centred smart cities), berdasarkan data dari 69% pemerintah kota yang telah mengadopsi agenda strategis smart city dan 81% negara dengan rencana e-government aktif.

Fokus Inklusivitas dan Keadilan Digital

Laporan menyoroti tantangan besar berupa kesenjangan digital:

  • 39% populasi dunia tidak menggunakan internet meski memiliki akses
  • 5% saja dari portal kota telah memenuhi standar aksesibilitas digital
  • 87% kota melaporkan partisipasi warga rendah dalam proyek smart city

Langkah-langkah yang diambil meliputi:

  • 59% kota menyediakan pelatihan keterampilan digital
  • 63% menawarkan Wi-Fi publik gratis
  • 26% memberi subsidi perangkat dan akses internet.

Namun, data juga mengungkap bahwa ketimpangan gender dalam keterampilan digital masih tinggi: di negara-negara berkembang, gap mencapai 10–15%, dengan perempuan sering tertinggal.

Studi Kasus Inspiratif dari Lapangan

Beberapa contoh nyata upaya implementasi teknologi yang berkelanjutan dan partisipatif meliputi:

  • Uzungöl, Türkiye: Citizen science untuk pemantauan kualitas air, melibatkan warga sebagai pengumpul data, meningkatkan kesadaran lingkungan.
  • Wyndham City, Australia: Smart bin tenaga surya yang memadatkan sampah secara otomatis, mengurangi 80% perjalanan truk sampah, menekan emisi dan biaya.
  • Medellín, Kolombia: Deteksi sampah jalanan dengan machine learning capai akurasi hingga 95,76%, mendukung tata kelola kota bersih berbasis AI.

Tantangan Tata Kelola dan Regulasi

Hanya 36% kota yang memiliki pedoman etika AI secara menyeluruh, sementara 82% pemerintah kota mengaku belum memiliki arahan jelas soal hak digital. Beberapa tantangan lain mencakup:

  • Ketiadaan kerangka hukum nasional soal privasi dan data
  • Keterbatasan SDM publik dalam mengelola transformasi digital
  • Kurangnya integrasi antara rencana lokal dan nasional

Untuk mengatasi ini, rekomendasi laporan meliputi:

  • Penilaian human rights impact sebelum dan sesudah proyek smart city
  • Peningkatan pelatihan digital untuk PNS dan warga
  • Pembuatan kerangka regulasi teknologi inklusif dan etis

Ekosistem Kolaboratif dan Keuangan Berkelanjutan

Kunci sukses implementasi smart city menurut laporan:

  • Partisipasi warga melalui pendekatan blended online-offline
  • Kemitraan lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta
  • Pendanaan proyek masih dominan berasal dari anggaran pemerintah lokal (65%) dan nasional (46%), sementara partisipasi swasta hanya 13%.

Beberapa tantangan juga muncul di negara berkembang, seperti:

  • Hambatan birokrasi dalam proses pengadaan
  • Ketergantungan pada dana luar negeri yang tidak berkelanjutan

Dimensi Keberlanjutan Lingkungan

Meskipun 89% kota telah memasukkan tujuan lingkungan dalam rencana smart city, hanya sebagian kecil yang memonitor dampak digital terhadap lingkungan. Tantangan lain mencakup:

  • Limbah elektronik
  • Konsumsi energi infrastruktur digital
  • Kurangnya standar desain teknologi berkelanjutan.

Untuk itu, laporan merekomendasikan:

  • Life cycle impact assessment sejak awal perencanaan
  • Standarisasi teknologi digital ramah lingkungan
  • Harmonisasi regulasi nasional-internasional tentang e-waste

Kesimpulan: Kota Cerdas Harus Adil, Berbasis Warga, dan Berkelanjutan

Transformasi digital kota bukan sekadar proyek teknologi, melainkan revolusi sosial dan tata kelola. Dalam dunia dengan urbanisasi dan krisis iklim yang makin kompleks, smart city hanya dapat berhasil bila dibangun dengan:
✔️ Akses teknologi merata
✔️ Kebijakan digital inklusif
✔️ Keterlibatan aktif warga
✔️ Tata kelola transparan dan kolaboratif

Melalui pendekatan ini, smart city tak sekadar menjadi kota pintar—melainkan kota yang benar-benar cerdas secara sosial, etis, dan manusiawi.

Sumber: UN-Habitat. (2024). World Smart Cities Outlook 2024.

Selengkapnya
Teknologi Perkotaan Memajukan Kota: Strategi Inklusif dalam Smart City Berbasis Manusia

Kebijakan Infrastruktur Air

UI GreenMetric Dorong Kampus Dunia Capai Target Berkelanjutan Lewat Pemeringkatan Hijau Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Pendahuluan
Di tengah meningkatnya urgensi krisis lingkungan global, perguruan tinggi memainkan peran vital sebagai katalis perubahan menuju keberlanjutan. Artikel “UI GreenMetric World University Rankings 2023” yang dipublikasikan oleh Universitas Indonesia mengangkat sistem pemeringkatan kampus hijau global berbasis enam kategori utama yang mencerminkan komitmen terhadap lingkungan, efisiensi energi, riset, dan pendidikan berkelanjutan.

Diluncurkan pertama kali pada 2010, UI GreenMetric kini menjadi sistem pemeringkatan keberlanjutan terbesar di dunia, dengan 1.050 universitas dari 85 negara berpartisipasi di tahun 2022. Pemeringkatan ini mendorong transformasi kampus melalui indikator konkret dan benchmarking yang dapat diterapkan secara global.

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemeringkatan

UI GreenMetric dilahirkan atas keprihatinan terhadap isu lingkungan seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan ketergantungan energi fosil. Tujuan utamanya adalah:

  • Meningkatkan kesadaran kampus terhadap isu keberlanjutan
  • Menjadi alat self-assessment bagi institusi pendidikan tinggi
  • Mendorong aksi nyata, bukan sekadar wacana
  • Membentuk jejaring kolaboratif antar kampus di dunia

Framework UI GreenMetric mengadopsi prinsip 3E (Environment, Economy, Equity) serta menyelaraskan indikator dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

2. Pilar dan Metodologi Penilaian

UI GreenMetric menilai universitas berdasarkan enam kategori utama berikut:

  1. Setting & Infrastructure (SI) – 15%
  2. Energy & Climate Change (EC) – 21%
  3. Waste (WS) – 18%
  4. Water (WR) – 10%
  5. Transportation (TR) – 18%
  6. Education & Research (ED) – 18%

Indikator 2023 diperluas dengan penambahan pertanyaan baru seperti:

  • Implementasi smart building
  • Volume emisi karbon per orang
  • Jumlah startup berbasis keberlanjutan
  • Program 3R dan daur ulang air
  • Keterlibatan organisasi mahasiswa

Penilaian bersifat kuantitatif dan berbasis bukti (evidence-based scoring). Universitas wajib menyertakan data dan dokumentasi untuk setiap indikator.

3. Studi Kasus dan Statistik Global

  • Partisipan meningkat dari 95 (2010) menjadi 1.050 universitas (2022)
  • Total jaringan UIGWURN mencakup lebih dari 17 juta mahasiswa, 2 juta staf, dan dana riset gabungan mencapai USD 68 miliar
  • Workshop dan pelatihan telah dilakukan di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia, Iran, Meksiko, Kolombia, Rusia, dan Thailand
  • UI GreenMetric Online Course telah melibatkan universitas dari 7 negara dan mengedukasi mahasiswa tentang praktik terbaik SDGs

Contoh universitas anggota UIGWURN:

  • Universitas Diponegoro, Indonesia
  • Mahidol University, Thailand
  • University of Sao Paulo, Brasil
  • RUDN University, Rusia
  • Universidad Tecnologica ECOTEC, Ekuador

4. Inovasi, Dampak, dan Arah Masa Depan

Tema UI GreenMetric 2023 adalah “Innovation, Impacts, and Future Direction of Sustainable Universities.”

Inovasi:

  • Implementasi smart campus (BIM, IoT)
  • Green building & penghematan energi
  • Program konservasi air & daur ulang limbah

Dampak:

  • Peningkatan jumlah publikasi & program mahasiswa
  • Adopsi teknologi hijau oleh universitas
  • Kerja sama riset lintas negara

Arah Masa Depan:

  • Menyusun Indikator Sosial dan Kultural yang lebih inklusif
  • Evaluasi berkelanjutan atas instrumen penilaian
  • Memperluas kursus daring global tentang keberlanjutan

5. Keunggulan UI GreenMetric Dibanding Sistem Lain

Dibanding sistem seperti STARS (AS), Green Report Card, dan LEED (AS), UI GreenMetric lebih inklusif karena:

  • Bersifat global, bukan hanya negara maju
  • Tidak berorientasi komersial (non-profit)
  • Gratis dan berbasis bukti, bukan opini

UI GreenMetric juga lebih kuat dalam pengukuran aksi nyata, seperti:

  • Kebijakan bebas emisi kendaraan
  • Luas lahan hijau kampus
  • Rasio energi terbarukan
  • Kuantitas kegiatan mahasiswa terkait lingkungan

6. Kritik dan Tantangan

Kelebihan:

  • Sistematis dan transparan, cocok untuk benchmarking
  • Dapat digunakan sebagai alat perecanaan strategis kampus hijau
  • Mendorong perubahan struktural, bukan sekadar dekoratif

Kekurangan:

  • Ketimpangan kapasitas antara kampus besar dan kecil dalam mengisi indikator
  • Keterbatasan dalam verifikasi lapangan secara langsung
  • Tidak semua indikator cocok untuk semua konteks geografis (misalnya kampus di zona arid vs tropis)

7. Relevansi UI GreenMetric untuk Kampus Indonesia

Sebagai inisiatif dari Universitas Indonesia, UI GreenMetric telah mendorong ratusan kampus nasional untuk:

  • Membentuk unit khusus keberlanjutan (green office)
  • Menyusun laporan keberlanjutan kampus
  • Mengembangkan startup ramah lingkungan
  • Mengintegrasikan SDGs dalam kurikulum dan riset

Universitas Indonesia, UGM, ITS, dan Universitas Diponegoro termasuk yang paling aktif mengimplementasikan indikator GreenMetric ke dalam tata kelola institusi.

Kesimpulan

UI GreenMetric bukan sekadar pemeringkatan, tapi peta jalan menuju masa depan pendidikan tinggi yang lebih hijau, adil, dan berkelanjutan. Dengan indikator yang konkret dan dapat diukur, sistem ini membantu kampus dari berbagai latar belakang untuk menyusun strategi hijau yang berdampak luas. Kolaborasi global yang terus diperluas membuktikan bahwa keberlanjutan bukanlah tren sesaat, tapi komitmen jangka panjang yang wajib diadopsi oleh institusi pendidikan di seluruh dunia.

Sumber : Universitas Indonesia. (2023). UI GreenMetric World University Rankings 2023 Report. UI GreenMetric.

Selengkapnya
UI GreenMetric Dorong Kampus Dunia Capai Target Berkelanjutan Lewat Pemeringkatan Hijau Global

Kebijakan Infrastruktur Air

Teknologi Mobilitas Blue-Green Siap Hadapi Kejut Urban Masa Depan di Era Kota Pintar

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Pendahuluan
Dunia kini menghadapi berbagai tantangan global: perubahan iklim, urbanisasi pesat, polusi, dan ketimpangan sosial. Kota-kota membutuhkan sistem mobilitas yang mampu menjawab tantangan-tantangan ini tanpa mengorbankan kualitas hidup masyarakatnya. Artikel “Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living” oleh Hamid Doost Mohammadian dan Fatemeh Rezaie (2020) menyajikan konsep teknologi mobilitas Blue-Green sebagai solusi yang tidak hanya cerdas dan berkelanjutan, tetapi juga mampu mengantisipasi “urban shock” masa depan.

Studi ini mengangkat dua studi kasus utama: Songdo (Korea Selatan) dan Copenhagen (Denmark), yang menjadi percontohan nyata penerapan teknologi mobilitas pintar dan berkelanjutan di dua konteks budaya dan geografis berbeda.

1. Apa itu Blue-Green Smart Mobility?

Blue-Green mobility adalah konsep yang menggabungkan pendekatan hijau (lingkungan, efisiensi energi, emisi rendah) dengan pendekatan biru (manajemen air, pengendalian banjir, daur ulang air hujan), serta didukung teknologi seperti:

  • IoT (Internet of Things)
  • IoE (Internet of Energy)
  • Digitalisasi dan Smart Infrastructure
  • Sistem transportasi cerdas (ITS)
  • Kendaraan energi bersih (EV, biofuel)

Tujuan utama konsep ini adalah menciptakan kota yang tidak hanya layak huni, tetapi juga adaptif terhadap guncangan masa depan, seperti krisis iklim, polusi, kepadatan penduduk, hingga pandemi.

2. Pilar Teori: The 5th Wave Theory & 7PS Model

Konsep ini dibangun atas The 5th Wave Theory, yaitu teori peradaban masa depan yang menekankan bahwa tantangan abad 21 akan dihadapi melalui kombinasi antara teknologi tinggi dan kesadaran sosial.

Sementara itu, model 7PS menambahkan pilar keberlanjutan yang lebih luas:

  1. Ekonomi
  2. Sosial
  3. Lingkungan
  4. Politik
  5. Budaya
  6. Edukasi
  7. Teknologi

Analisis tambahan: 7PS memberi pemahaman bahwa keberlanjutan bukan sekadar "hijau" secara ekologis, tapi juga harus adil, inklusif, dan siap menghadapi disrupsi teknologi.

3. Studi Kasus: Songdo, Korea Selatan

Songdo adalah kota yang dibangun dari nol dengan visi sebagai U-city (Ubiquitous City). Beberapa fitur utama:

  • Sistem transportasi terintegrasi, termasuk bus otomatis dan sistem sensor jalan.
  • Green building bersertifikat LEED.
  • Sistem limbah pneumatik otomatis (tanpa truk sampah).
  • Sistem pengumpulan dan penggunaan ulang air hujan.

Data dan Fakta:

  • Didesain untuk menampung 65.000 penduduk dan 300.000 pekerja.
  • Investasi awal: USD 40 miliar.
  • Emisi CO₂ berkurang lebih dari 30% dibandingkan kota konvensional.

Kritik:

  • Meski canggih, kota ini menghadapi tantangan "kekosongan" sosial: tidak semua infrastruktur berhasil mengundang partisipasi warga secara alami.

4. Studi Kasus: Copenhagen, Denmark

Copenhagen memiliki target ambisius: menjadi ibu kota netral karbon pertama di dunia pada 2025. Strategi Blue-Green mobility kota ini meliputi:

  • 42% perjalanan harian dilakukan dengan sepeda.
  • Penerapan ITS untuk manajemen lalu lintas cerdas.
  • Pusat kota bebas kendaraan bahan bakar fosil.
  • Maersk (konglomerat transportasi Denmark) menargetkan pengurangan emisi 40% dan netral karbon pada 2050.

Fakta tambahan:

  • Smart lighting & sensor lalu lintas mampu menghemat 10–15% konsumsi energi per tahun.
  • Proyek “Copenhagen Cleantech Cluster” menjadi magnet inovasi hijau dari seluruh dunia.

5. Peran Teknologi dalam Blue-Green Mobility

Teknologi menjadi fondasi dari mobilitas Blue-Green. Konsep-konsep seperti:

  • IoT & IoE: memantau penggunaan energi dan efisiensi transportasi secara real-time.
  • Smart Road Infrastructure: menggunakan sensor untuk pengelolaan air hujan, parkir pintar, dan peringatan dini kecelakaan.
  • Ubiquitous Transport: layanan transportasi berbasis aplikasi (contoh: UBus, U-Taxi).

Peran Industri 4.0 & Society 5.0:

  • Perusahaan harus adaptif terhadap teknologi seperti AI, Machine Learning, dan Data Analytics.
  • Munculnya SME 4.0 (perusahaan kecil menengah berbasis CSR & teknologi) yang menjadi pemain utama sektor mobilitas berkelanjutan.

6. Dampak terhadap Kualitas Hidup dan Livability

Penelitian ini mengembangkan model 5N.BG.7PS untuk menilai pengaruh mobilitas pintar terhadap livability. Lima jaringan utama:

  1. Jaringan politik
  2. Jaringan teknis
  3. Jaringan ekonomi
  4. Jaringan organisasi
  5. Jaringan komunitas

Temuan penting dari survei terhadap 50 pakar:

  • Mobilitas pintar memberikan skor tertinggi untuk dampaknya pada:
    • Infrastruktur kota: 4,6
    • Keberlanjutan lingkungan: 4,5
    • Kesehatan masyarakat: 4,0
    • Stabilitas sosial: 3,8
    • Keamanan: 3,7

Kesimpulan: Mobilitas Blue-Green bukan hanya tentang teknologi, tapi soal kesejahteraan kota secara menyeluruh.

7. Kritik dan Tantangan

Kelebihan artikel ini:

  • Terintegrasi secara teoritis dan praktis.
  • Memberikan studi kasus nyata yang saling melengkapi.
  • Menawarkan pendekatan sistemik yang bisa direplikasi.

Kritik utama:

  • Cenderung bersifat “top-down”, kurang mengulas peran komunitas lokal dalam implementasi.
  • Belum ada metrik kuantitatif universal yang bisa mengukur keberhasilan Blue-Green mobility lintas negara.

8. Relevansi Global dan Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan serupa: banjir perkotaan, polusi udara, transportasi publik yang belum merata. Implementasi konsep Blue-Green dapat dimulai dengan:

  • Penerapan sistem transportasi terpadu di kota megapolitan (contoh: Jakarta, Surabaya).
  • Integrasi IoT di transportasi publik, seperti TransJakarta & MRT.
  • Revitalisasi infrastruktur air dan sistem drainase berbasis data.
  • Membangun kota percontohan Blue-Green di kawasan urban baru (misal Ibu Kota Nusantara).

Kesimpulan

Blue-Green Smart Mobility adalah langkah revolusioner menuju kota masa depan yang berkelanjutan, cerdas, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Teknologi memang menjadi tulang punggung, tetapi visi pembangunan yang menyeluruh dan partisipatif adalah kunci utama keberhasilannya.

Konsep ini bukan hanya cocok diterapkan di negara maju seperti Korea dan Denmark, tapi juga sangat relevan bagi negara berkembang yang ingin merancang kota-kota ramah lingkungan dan tahan terhadap guncangan sosial-ekonomi masa depan.

Sumber : Mohammadian, H. D., & Rezaie, F. (2020). Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living. Technologies, 8(3), 39.

Selengkapnya
Teknologi Mobilitas Blue-Green Siap Hadapi Kejut Urban Masa Depan di Era Kota Pintar

Kebijakan Infrastruktur Air

Studi menyeluruh tentang tantangan dan solusi infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara melalui pendekatan STEEP dan praktik global.

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Pendahuluan
Afrika Sub-Sahara (SSA) menghadapi tantangan luar biasa dalam hal penyediaan dan pengelolaan air bersih. Pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi yang tidak terkendali, perubahan iklim, dan lemahnya tata kelola membuat infrastruktur air di kawasan ini rapuh dan tidak berkelanjutan. Dalam artikel "Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa" oleh Henrietta George-Williams, Dexter Hunt, dan Christopher Rogers (2024), dikaji secara mendalam pendekatan sistemik terhadap pembangunan infrastruktur air dengan menempatkan keberlanjutan dan ketahanan sebagai inti melalui kerangka STEEP (social, technological, economic, environmental, political).

1. Konteks dan Tantangan Utama Infrastruktur Air di SSA

Hanya sekitar 30% populasi di SSA yang memiliki akses ke air minum aman (WHO, 2020). Sementara itu, urbanisasi meningkat pesat—diprediksi penduduk perkotaan SSA naik dua kali lipat dalam 25 tahun ke depan. Tekanan terhadap infrastruktur meningkat, sementara kapasitas institusi, keuangan, dan teknis belum memadai.

Tantangan utama yang diuraikan dalam paper ini mencakup:

  • Akses dan kualitas air yang tidak merata
  • Ketergantungan pada dana donor dan subsidi
  • Tata kelola yang lemah dan birokratis
  • Infrastruktur tua yang tidak terawat
  • Ketimpangan sosial dalam distribusi air

2. Pendekatan STEEP: Solusi Holistik untuk Air Berkelanjutan

a. Sosial (Societal)
Pertumbuhan penduduk SSA diproyeksikan mencapai 2,1 miliar jiwa pada 2050. Masyarakat masih minim edukasi terkait konservasi air. Kesenjangan gender, marginalisasi kelompok miskin, dan keterbatasan partisipasi masyarakat memperburuk ketimpangan akses. Studi kasus dari Afrika Selatan menunjukkan keterlibatan publik masih didominasi oleh pihak vokal, mengabaikan kelompok rentan.

b. Teknologi (Technological)
Teknologi penting untuk perencanaan dan manajemen aset air. Namun, di SSA, 90% utilitas masih memakai pendekatan “fix-on-failure”. Penggunaan teknologi seperti BIM, GIS, IoT, dan robotika masih sangat rendah. Beberapa negara seperti Kenya dan Ghana mulai mempertimbangkan desalinasi, tetapi biayanya tinggi dan dampaknya masih diperdebatkan. Rainwater harvesting dinilai menjanjikan untuk daerah rural, namun terkendala desain buruk dan risiko kesehatan.

c. Ekonomi (Economic)
Sektor air hanya menarik 6% dari investasi infrastruktur global, padahal sangat vital. Mayoritas negara SSA mengandalkan dana donor hingga 80%. Contoh di Sierra Leone dan Burkina Faso menunjukkan ketergantungan pada dana eksternal menghambat keberlanjutan.
Untuk menutup kesenjangan pembiayaan, OECD menyarankan kombinasi:

  • Tariff, Tax, Transfers (3Ts)
  • Public–Private Partnership (PPP)
  • Blended Finance & Catalytic Capital

Namun, risiko tinggi dan return rendah membuat sektor ini tidak menarik bagi investor swasta.

d. Lingkungan (Environmental)
SSA rentan terhadap polusi air, bencana alam, dan penurunan air tanah.

  • 1,5 juta kematian per tahun diakibatkan oleh kontaminasi air tanah oleh limbah domestik.
  • Tambang emas di Afrika Selatan mencemari air tanah dengan logam berat.
  • Banjir besar di Sierra Leone (2017) dan kekeringan di Somalia (2010–2012) menunjukkan lemahnya kesiapsiagaan.
  • Pengambilan air tanah berlebihan, tanpa pengelolaan akuifer yang baik, berisiko menimbulkan konflik sosial.

e. Politik (Political)
Pengelolaan air lintas negara seperti Sungai Nil masih penuh ketegangan. Meskipun inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) dibentuk, konflik antarnegara seperti Mesir dan Ethiopia tetap tinggi.

  • Sistem hak atas air berbasis adat (customary water tenure) masih mendominasi di daerah rural.
  • Kekosongan hukum menyebabkan konflik antarpetani dengan perusahaan besar.
  • Governance framework dari OECD menjadi rujukan utama global, namun adopsinya di SSA masih minim.

3. Studi Kasus dan Angka-Angka Penting

  • SSA menyumbang 20% dari populasi global, tapi hanya memiliki 9% sumber daya air dunia.
  • 87% negara SSA memiliki indeks ketahanan air–energi–pangan di bawah 0,5 (skala 0–1).
  • Di Mali, rata-rata konsumsi air domestik hanya 14 liter per orang per hari, jauh dari standar WHO (50–100 liter).
  • Namibia dan Afrika Selatan adalah dua contoh negara SSA yang menunjukkan tren membaik dalam manajemen air.

4. Rekomendasi & Visi Ke Depan

Transformasi sistem air di SSA harus mencakup:

  • Pendekatan lintas sektor, bukan sektoral sempit
  • Desain adaptif berbasis data, bukan proyek reaktif
  • Keterlibatan masyarakat dari tahap awal, bukan sekadar konsultasi simbolik
  • Adopsi teknologi berbiaya rendah seperti harvesting hujan & sistem desentralisasi
  • Kebijakan berbasis keadilan air (water justice) yang melindungi kelompok miskin dan marginal

Kritik & Analisis Tambahan

Kelebihan artikel ini:

  • Kaya akan sumber dan studi global
  • Memberi peta jalan jelas berbasis kerangka STEEP
  • Mengangkat kompleksitas realitas sosial dan politik di SSA

Keterbatasannya:

  • Tidak memberikan solusi teknis mikro untuk komunitas lokal
  • Minim analisis kuantitatif dan permodelan berbasis data lokal
  • Implementasi dari rekomendasi masih terlalu umum dan perlu konteks lokal yang lebih spesifik

Kesimpulan

Membangun infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara adalah tantangan besar sekaligus peluang besar. Dengan kombinasi visi strategis, inovasi teknologi, dan tata kelola inklusif, kawasan ini bisa bergerak dari “krisis air” menuju “ketahanan air.” Artikel ini menjadi panggilan bagi akademisi, pemerintah, dan sektor swasta untuk merancang solusi kolaboratif yang berdampak nyata.

Sumber asli:
George-Williams, H.E.M., Hunt, D.V.L., & Rogers, C.D.F. (2024). Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa. Sustainability, 16(4), 1592.

Selengkapnya
Studi menyeluruh tentang tantangan dan solusi infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara melalui pendekatan STEEP dan praktik global.

Kebijakan Infrastruktur Air

Finlandia Bangun Sistem Keamanan Air Terpadu untuk Hadapi Tantangan Energi dan Pangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Pendahuluan
Keamanan air (water security) kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel “A Framework for Assessing Water Security and the Water–Energy–Food Nexus—The Case of Finland” oleh Marttunen et al. (2019) menawarkan pendekatan sistemik dan partisipatif untuk mengevaluasi keamanan air secara nasional, khususnya di Finlandia, dengan mempertimbangkan keterkaitan erat antara air, energi, dan pangan (nexus WEF). Artikel ini tidak hanya mengajukan kerangka kerja evaluasi, tetapi juga menguji langsung framework tersebut dalam konteks Finlandia tahun 2018 dan proyeksi 2030.

1. Latar Belakang & Tujuan Penelitian

Konsep keamanan air sering kali sulit diukur karena menyangkut aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan risiko. Penilaian biasanya hanya berdasarkan indeks kuantitatif yang sering menyederhanakan isu kompleks. Untuk menjawab kekosongan tersebut, penulis merancang framework berbasis hierarki kriteria serta melibatkan aktor-aktor kunci melalui workshop dan wawancara.

Tujuannya adalah:

  • Membangun kerangka yang memadukan penilaian kualitatif dan kuantitatif.
  • Menilai hubungan antara kriteria keamanan air dengan energi dan pangan.
  • Melibatkan stakeholder untuk memastikan relevansi dan penerimaan kebijakan.

2. Struktur Kerangka & Dimensi Penilaian

Framework ini terdiri dari 4 pilar utama:

  1. Kondisi lingkungan air
  2. Kesehatan dan kesejahteraan manusia
  3. Keberlanjutan mata pencaharian
  4. Stabilitas dan tanggung jawab sosial

Masing-masing terdiri dari 18 kriteria spesifik, seperti status ekologis air, kualitas air minum, infrastruktur, dan manajemen risiko bencana. Penilaian dilakukan menggunakan 5 dimensi:

  • Kondisi saat ini
  • Tren hingga 2030
  • Fungsi legislasi
  • Tingkat pengetahuan
  • Keterkaitan dengan energi & pangan

Framework ini juga dilengkapi alat bantu visual (Excel tool) untuk mempermudah pemetaan dan diskusi antar pemangku kepentingan.

3. Studi Kasus: Finlandia (2018–2030)

3.1 Temuan Utama

  • 35% sungai, 15% danau, dan 75% pesisir laut belum memenuhi target kualitas ekologis (WFD).
  • Kualitas air minum masih baik, tetapi terancam oleh utang perbaikan infrastruktur pipa yang membengkak.
  • Pertanian dan ekstraksi gambut menyebabkan beban nutrien tinggi ke perairan.
  • Zat berbahaya baru seperti mikroplastik, hormon, dan farmasi merupakan ancaman yang belum terpetakan.
  • Infrastruktur drainase pertanian sangat tertinggal sejak 1990, memperburuk risiko erosi dan limpasan nutrien.

3.2 Tren ke 2030

  • Krisis iklim berpotensi memperburuk status air: peningkatan suhu dan hujan mempercepat eutrofikasi dan penyebaran spesies invasif.
  • Investasi infrastruktur air yang rendah (0,5–1% dari nilai aset) jauh di bawah kebutuhan minimal (2–3%).
  • Beberapa undang-undang terkait air dinilai usang dan perlu revisi segera.

3.3 Studi Angka & Fakta:

  • Investasi infrastruktur air Finlandia: hanya €120 juta per tahun, idealnya minimal €320 juta.
  • Area ekstraksi gambut: 40.000–60.000 ha per tahun.
  • 90% penduduk Finlandia terhubung ke sistem air pusat, namun sistemnya makin tua.
  • 6 wawancara ahli dan 4 lokakarya multi-sektor digunakan untuk menguji framework.

4. Analisis Nexus Air–Energi–Pangan (WEF)

Framework ini juga menilai keterkaitan dua arah antara air dan sektor energi serta pangan.

Energi → Air

  • Produksi listrik dari PLTA dan nuklir berdampak pada suhu dan aliran air, mempengaruhi biota.
  • Regulasi air untuk PLTA mengganggu habitat ikan migrasi dan ekosistem sungai.

Air → Energi

  • Peningkatan aliran ekologis demi ekosistem air mengurangi efisiensi energi dari PLTA.
  • Peningkatan kualitas air → menguntungkan bagi pendinginan reaktor.

Pangan → Air

  • Praktik pertanian intensif menyebabkan pencemaran nutrien dan beban organik tinggi.
  • Irigasi mempengaruhi kuantitas air di anak sungai kecil.

Air → Pangan

  • Kualitas air yang baik mendukung produksi makanan dan perikanan.
  • Infrastruktur air yang buruk menurunkan kualitas irigasi dan produktivitas pangan.

5. Kelebihan Framework

  • Komprehensif: mencakup dimensi lingkungan, sosial, ekonomi, dan tata kelola.
  • Visual & partisipatif: cocok untuk fasilitasi dialog lintas sektor.
  • Adaptif: dapat diterapkan di negara lain dengan penyesuaian lokal.

6. Keterbatasan & Kritik

  • Subjektivitas penilaian ahli bisa menimbulkan bias.
  • Generalisasi kriteria tertentu menyulitkan penilaian spesifik per sektor.
  • Belum ada pembobotan kuantitatif, sehingga sulit dibandingkan antar-negara.
  • Tingkat literasi data para pemangku kepentingan dapat mempengaruhi interpretasi hasil.

7. Relevansi Global dan Konteks Industri

Kerangka ini memiliki potensi diadopsi di negara-negara berkembang dan kawasan yang menghadapi tantangan serupa, seperti:

  • Indonesia: kebutuhan akan integrasi lintas sektor dalam pengelolaan DAS dan bendungan.
  • Afrika: pencatatan indeks WEF untuk wilayah rawan kelaparan dan konflik.
  • India: tekanan tinggi pada air tanah dan konflik pemakaian antar-sektor.

Di era perubahan iklim dan urbanisasi cepat, pendekatan yang menyatukan data, partisipasi, dan integrasi lintas sektor menjadi fondasi kebijakan air masa depan.

Kesimpulan

Framework yang ditawarkan Marttunen et al. memberikan pendekatan holistik dan fleksibel dalam menilai keamanan air nasional. Walau bersifat kualitatif dan subjektif, pendekatan ini tetap penting untuk menavigasi kompleksitas hubungan antar-sektor dan membantu pemangku kebijakan menyusun prioritas yang lebih tepat. Penekanan pada kerja lintas sektor, adaptasi lokal, dan sistematika partisipatif membuat model ini cocok untuk dijadikan blueprint dalam menghadapi krisis air di abad 21.

Sumber : Marttunen, M., Mustajoki, J., Sojamo, S., Ahopelto, L., & Keskinen, M. (2019). A Framework for Assessing Water Security and the Water–Energy–Food Nexus—The Case of Finland. Sustainability, 11(10), 2900.

Selengkapnya
Finlandia Bangun Sistem Keamanan Air Terpadu untuk Hadapi Tantangan Energi dan Pangan
« First Previous page 22 of 1.119 Next Last »