Studi menyeluruh tentang tantangan dan solusi infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara melalui pendekatan STEEP dan praktik global.

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

30 Juni 2025, 09.31

pixabay.com

Pendahuluan
Afrika Sub-Sahara (SSA) menghadapi tantangan luar biasa dalam hal penyediaan dan pengelolaan air bersih. Pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi yang tidak terkendali, perubahan iklim, dan lemahnya tata kelola membuat infrastruktur air di kawasan ini rapuh dan tidak berkelanjutan. Dalam artikel "Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa" oleh Henrietta George-Williams, Dexter Hunt, dan Christopher Rogers (2024), dikaji secara mendalam pendekatan sistemik terhadap pembangunan infrastruktur air dengan menempatkan keberlanjutan dan ketahanan sebagai inti melalui kerangka STEEP (social, technological, economic, environmental, political).

1. Konteks dan Tantangan Utama Infrastruktur Air di SSA

Hanya sekitar 30% populasi di SSA yang memiliki akses ke air minum aman (WHO, 2020). Sementara itu, urbanisasi meningkat pesat—diprediksi penduduk perkotaan SSA naik dua kali lipat dalam 25 tahun ke depan. Tekanan terhadap infrastruktur meningkat, sementara kapasitas institusi, keuangan, dan teknis belum memadai.

Tantangan utama yang diuraikan dalam paper ini mencakup:

  • Akses dan kualitas air yang tidak merata
  • Ketergantungan pada dana donor dan subsidi
  • Tata kelola yang lemah dan birokratis
  • Infrastruktur tua yang tidak terawat
  • Ketimpangan sosial dalam distribusi air

2. Pendekatan STEEP: Solusi Holistik untuk Air Berkelanjutan

a. Sosial (Societal)
Pertumbuhan penduduk SSA diproyeksikan mencapai 2,1 miliar jiwa pada 2050. Masyarakat masih minim edukasi terkait konservasi air. Kesenjangan gender, marginalisasi kelompok miskin, dan keterbatasan partisipasi masyarakat memperburuk ketimpangan akses. Studi kasus dari Afrika Selatan menunjukkan keterlibatan publik masih didominasi oleh pihak vokal, mengabaikan kelompok rentan.

b. Teknologi (Technological)
Teknologi penting untuk perencanaan dan manajemen aset air. Namun, di SSA, 90% utilitas masih memakai pendekatan “fix-on-failure”. Penggunaan teknologi seperti BIM, GIS, IoT, dan robotika masih sangat rendah. Beberapa negara seperti Kenya dan Ghana mulai mempertimbangkan desalinasi, tetapi biayanya tinggi dan dampaknya masih diperdebatkan. Rainwater harvesting dinilai menjanjikan untuk daerah rural, namun terkendala desain buruk dan risiko kesehatan.

c. Ekonomi (Economic)
Sektor air hanya menarik 6% dari investasi infrastruktur global, padahal sangat vital. Mayoritas negara SSA mengandalkan dana donor hingga 80%. Contoh di Sierra Leone dan Burkina Faso menunjukkan ketergantungan pada dana eksternal menghambat keberlanjutan.
Untuk menutup kesenjangan pembiayaan, OECD menyarankan kombinasi:

  • Tariff, Tax, Transfers (3Ts)
  • Public–Private Partnership (PPP)
  • Blended Finance & Catalytic Capital

Namun, risiko tinggi dan return rendah membuat sektor ini tidak menarik bagi investor swasta.

d. Lingkungan (Environmental)
SSA rentan terhadap polusi air, bencana alam, dan penurunan air tanah.

  • 1,5 juta kematian per tahun diakibatkan oleh kontaminasi air tanah oleh limbah domestik.
  • Tambang emas di Afrika Selatan mencemari air tanah dengan logam berat.
  • Banjir besar di Sierra Leone (2017) dan kekeringan di Somalia (2010–2012) menunjukkan lemahnya kesiapsiagaan.
  • Pengambilan air tanah berlebihan, tanpa pengelolaan akuifer yang baik, berisiko menimbulkan konflik sosial.

e. Politik (Political)
Pengelolaan air lintas negara seperti Sungai Nil masih penuh ketegangan. Meskipun inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) dibentuk, konflik antarnegara seperti Mesir dan Ethiopia tetap tinggi.

  • Sistem hak atas air berbasis adat (customary water tenure) masih mendominasi di daerah rural.
  • Kekosongan hukum menyebabkan konflik antarpetani dengan perusahaan besar.
  • Governance framework dari OECD menjadi rujukan utama global, namun adopsinya di SSA masih minim.

3. Studi Kasus dan Angka-Angka Penting

  • SSA menyumbang 20% dari populasi global, tapi hanya memiliki 9% sumber daya air dunia.
  • 87% negara SSA memiliki indeks ketahanan air–energi–pangan di bawah 0,5 (skala 0–1).
  • Di Mali, rata-rata konsumsi air domestik hanya 14 liter per orang per hari, jauh dari standar WHO (50–100 liter).
  • Namibia dan Afrika Selatan adalah dua contoh negara SSA yang menunjukkan tren membaik dalam manajemen air.

4. Rekomendasi & Visi Ke Depan

Transformasi sistem air di SSA harus mencakup:

  • Pendekatan lintas sektor, bukan sektoral sempit
  • Desain adaptif berbasis data, bukan proyek reaktif
  • Keterlibatan masyarakat dari tahap awal, bukan sekadar konsultasi simbolik
  • Adopsi teknologi berbiaya rendah seperti harvesting hujan & sistem desentralisasi
  • Kebijakan berbasis keadilan air (water justice) yang melindungi kelompok miskin dan marginal

Kritik & Analisis Tambahan

Kelebihan artikel ini:

  • Kaya akan sumber dan studi global
  • Memberi peta jalan jelas berbasis kerangka STEEP
  • Mengangkat kompleksitas realitas sosial dan politik di SSA

Keterbatasannya:

  • Tidak memberikan solusi teknis mikro untuk komunitas lokal
  • Minim analisis kuantitatif dan permodelan berbasis data lokal
  • Implementasi dari rekomendasi masih terlalu umum dan perlu konteks lokal yang lebih spesifik

Kesimpulan

Membangun infrastruktur air berkelanjutan di Afrika Sub-Sahara adalah tantangan besar sekaligus peluang besar. Dengan kombinasi visi strategis, inovasi teknologi, dan tata kelola inklusif, kawasan ini bisa bergerak dari “krisis air” menuju “ketahanan air.” Artikel ini menjadi panggilan bagi akademisi, pemerintah, dan sektor swasta untuk merancang solusi kolaboratif yang berdampak nyata.

Sumber asli:
George-Williams, H.E.M., Hunt, D.V.L., & Rogers, C.D.F. (2024). Sustainable Water Infrastructure: Visions and Options for Sub-Saharan Africa. Sustainability, 16(4), 1592.