Teknologi Mobilitas Blue-Green Siap Hadapi Kejut Urban Masa Depan di Era Kota Pintar

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

30 Juni 2025, 09.35

pixabay.com

Pendahuluan
Dunia kini menghadapi berbagai tantangan global: perubahan iklim, urbanisasi pesat, polusi, dan ketimpangan sosial. Kota-kota membutuhkan sistem mobilitas yang mampu menjawab tantangan-tantangan ini tanpa mengorbankan kualitas hidup masyarakatnya. Artikel “Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living” oleh Hamid Doost Mohammadian dan Fatemeh Rezaie (2020) menyajikan konsep teknologi mobilitas Blue-Green sebagai solusi yang tidak hanya cerdas dan berkelanjutan, tetapi juga mampu mengantisipasi “urban shock” masa depan.

Studi ini mengangkat dua studi kasus utama: Songdo (Korea Selatan) dan Copenhagen (Denmark), yang menjadi percontohan nyata penerapan teknologi mobilitas pintar dan berkelanjutan di dua konteks budaya dan geografis berbeda.

1. Apa itu Blue-Green Smart Mobility?

Blue-Green mobility adalah konsep yang menggabungkan pendekatan hijau (lingkungan, efisiensi energi, emisi rendah) dengan pendekatan biru (manajemen air, pengendalian banjir, daur ulang air hujan), serta didukung teknologi seperti:

  • IoT (Internet of Things)
  • IoE (Internet of Energy)
  • Digitalisasi dan Smart Infrastructure
  • Sistem transportasi cerdas (ITS)
  • Kendaraan energi bersih (EV, biofuel)

Tujuan utama konsep ini adalah menciptakan kota yang tidak hanya layak huni, tetapi juga adaptif terhadap guncangan masa depan, seperti krisis iklim, polusi, kepadatan penduduk, hingga pandemi.

2. Pilar Teori: The 5th Wave Theory & 7PS Model

Konsep ini dibangun atas The 5th Wave Theory, yaitu teori peradaban masa depan yang menekankan bahwa tantangan abad 21 akan dihadapi melalui kombinasi antara teknologi tinggi dan kesadaran sosial.

Sementara itu, model 7PS menambahkan pilar keberlanjutan yang lebih luas:

  1. Ekonomi
  2. Sosial
  3. Lingkungan
  4. Politik
  5. Budaya
  6. Edukasi
  7. Teknologi

Analisis tambahan: 7PS memberi pemahaman bahwa keberlanjutan bukan sekadar "hijau" secara ekologis, tapi juga harus adil, inklusif, dan siap menghadapi disrupsi teknologi.

3. Studi Kasus: Songdo, Korea Selatan

Songdo adalah kota yang dibangun dari nol dengan visi sebagai U-city (Ubiquitous City). Beberapa fitur utama:

  • Sistem transportasi terintegrasi, termasuk bus otomatis dan sistem sensor jalan.
  • Green building bersertifikat LEED.
  • Sistem limbah pneumatik otomatis (tanpa truk sampah).
  • Sistem pengumpulan dan penggunaan ulang air hujan.

Data dan Fakta:

  • Didesain untuk menampung 65.000 penduduk dan 300.000 pekerja.
  • Investasi awal: USD 40 miliar.
  • Emisi CO₂ berkurang lebih dari 30% dibandingkan kota konvensional.

Kritik:

  • Meski canggih, kota ini menghadapi tantangan "kekosongan" sosial: tidak semua infrastruktur berhasil mengundang partisipasi warga secara alami.

4. Studi Kasus: Copenhagen, Denmark

Copenhagen memiliki target ambisius: menjadi ibu kota netral karbon pertama di dunia pada 2025. Strategi Blue-Green mobility kota ini meliputi:

  • 42% perjalanan harian dilakukan dengan sepeda.
  • Penerapan ITS untuk manajemen lalu lintas cerdas.
  • Pusat kota bebas kendaraan bahan bakar fosil.
  • Maersk (konglomerat transportasi Denmark) menargetkan pengurangan emisi 40% dan netral karbon pada 2050.

Fakta tambahan:

  • Smart lighting & sensor lalu lintas mampu menghemat 10–15% konsumsi energi per tahun.
  • Proyek “Copenhagen Cleantech Cluster” menjadi magnet inovasi hijau dari seluruh dunia.

5. Peran Teknologi dalam Blue-Green Mobility

Teknologi menjadi fondasi dari mobilitas Blue-Green. Konsep-konsep seperti:

  • IoT & IoE: memantau penggunaan energi dan efisiensi transportasi secara real-time.
  • Smart Road Infrastructure: menggunakan sensor untuk pengelolaan air hujan, parkir pintar, dan peringatan dini kecelakaan.
  • Ubiquitous Transport: layanan transportasi berbasis aplikasi (contoh: UBus, U-Taxi).

Peran Industri 4.0 & Society 5.0:

  • Perusahaan harus adaptif terhadap teknologi seperti AI, Machine Learning, dan Data Analytics.
  • Munculnya SME 4.0 (perusahaan kecil menengah berbasis CSR & teknologi) yang menjadi pemain utama sektor mobilitas berkelanjutan.

6. Dampak terhadap Kualitas Hidup dan Livability

Penelitian ini mengembangkan model 5N.BG.7PS untuk menilai pengaruh mobilitas pintar terhadap livability. Lima jaringan utama:

  1. Jaringan politik
  2. Jaringan teknis
  3. Jaringan ekonomi
  4. Jaringan organisasi
  5. Jaringan komunitas

Temuan penting dari survei terhadap 50 pakar:

  • Mobilitas pintar memberikan skor tertinggi untuk dampaknya pada:
    • Infrastruktur kota: 4,6
    • Keberlanjutan lingkungan: 4,5
    • Kesehatan masyarakat: 4,0
    • Stabilitas sosial: 3,8
    • Keamanan: 3,7

Kesimpulan: Mobilitas Blue-Green bukan hanya tentang teknologi, tapi soal kesejahteraan kota secara menyeluruh.

7. Kritik dan Tantangan

Kelebihan artikel ini:

  • Terintegrasi secara teoritis dan praktis.
  • Memberikan studi kasus nyata yang saling melengkapi.
  • Menawarkan pendekatan sistemik yang bisa direplikasi.

Kritik utama:

  • Cenderung bersifat “top-down”, kurang mengulas peran komunitas lokal dalam implementasi.
  • Belum ada metrik kuantitatif universal yang bisa mengukur keberhasilan Blue-Green mobility lintas negara.

8. Relevansi Global dan Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan serupa: banjir perkotaan, polusi udara, transportasi publik yang belum merata. Implementasi konsep Blue-Green dapat dimulai dengan:

  • Penerapan sistem transportasi terpadu di kota megapolitan (contoh: Jakarta, Surabaya).
  • Integrasi IoT di transportasi publik, seperti TransJakarta & MRT.
  • Revitalisasi infrastruktur air dan sistem drainase berbasis data.
  • Membangun kota percontohan Blue-Green di kawasan urban baru (misal Ibu Kota Nusantara).

Kesimpulan

Blue-Green Smart Mobility adalah langkah revolusioner menuju kota masa depan yang berkelanjutan, cerdas, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Teknologi memang menjadi tulang punggung, tetapi visi pembangunan yang menyeluruh dan partisipatif adalah kunci utama keberhasilannya.

Konsep ini bukan hanya cocok diterapkan di negara maju seperti Korea dan Denmark, tapi juga sangat relevan bagi negara berkembang yang ingin merancang kota-kota ramah lingkungan dan tahan terhadap guncangan sosial-ekonomi masa depan.

Sumber : Mohammadian, H. D., & Rezaie, F. (2020). Blue-Green Smart Mobility Technologies as Readiness for Facing Tomorrow’s Urban Shock toward the World as a Better Place for Living. Technologies, 8(3), 39.