Pembangunan Pedesaan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.
Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?
Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan
Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.
Sistem Kompleks dan Ketidakpastian
Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:
Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah
Latar Belakang Wilayah
Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.
Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog
Penelitian dilakukan melalui:
Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan
Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:
Narasi ini cenderung mengabaikan:
Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang
1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif
Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.
2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran
Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.
3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan
Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:
4. Ketimpangan dan Spiral Negatif
Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.
Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain
Tantangan Serupa di Negara Lain
Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Pendekatan Paper
Keterbatasan dan Tantangan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner
Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.
Air Bersih
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Akses air minum bersih adalah hak dasar, namun pada 2020, sekitar 387 juta orang di Afrika Sub-Sahara (SSA) masih belum memilikinya. Bahkan, 38% penduduk Kenya dan 55% penduduk Siaya County—wilayah studi utama dalam paper ini—masih bergantung pada sumber air yang tidak layak. Target SDG 6 “air bersih untuk semua” diprediksi sulit tercapai pada 2030, dengan 1,6 miliar orang di dunia tetap tanpa akses air aman jika tren saat ini berlanjut1.
Permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan air, tapi pada kegagalan proyek air minum untuk beroperasi secara berkelanjutan. Antara 30–60% sistem air di pedesaan SSA rusak atau tidak berfungsi setelah dibangun. Ironisnya, banyak proyek air hanya dinilai dari keberadaan infrastrukturnya, bukan dari fungsionalitas atau kualitas layanan. Akibatnya, ratusan juta dolar terbuang setiap tahun untuk membangun atau memperbaiki proyek yang gagal, menciptakan lingkaran setan kegagalan dan pemborosan dana pembangunan1.
Keterbatasan Pendekatan Lama: Fragmentasi dan Siloed Thinking
Literatur selama ini cenderung membahas kegagalan proyek air minum dari sudut pandang sempit—misal hanya aspek teknis, ekonomi, atau sosial saja. Pendekatan ini menutupi akar masalah dan mengabaikan keterlibatan multi-pemangku kepentingan lintas level, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga global. Padahal, proyek air minum adalah sistem kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, ekonomi, teknologi, lingkungan, tata kelola, dan politik di berbagai level1.
Framework Holistik: Holistic Integrated Framework (HIF)
Untuk menjawab tantangan tersebut, Ornit Avidar mengembangkan Holistic Integrated Framework (HIF). Framework ini dirancang untuk mengevaluasi dan merencanakan keberlanjutan proyek air minum dengan mempertimbangkan:
Dimensi HIF
Framework ini juga merekomendasikan penilaian pada setiap tahap proyek: perencanaan, implementasi, pasca-implementasi, dan evaluasi.
Studi Kasus: Proyek Sidindi Malanga-African Development Bank (SM-ADB) di Siaya, Kenya
Gambaran Proyek
SM-ADB merupakan proyek flagship senilai $20 juta, bertujuan meningkatkan cakupan air bersih di Siaya County dari 25% menjadi lebih dari 50% populasi (sekitar 1 juta jiwa). Proyek ini didanai African Development Bank (ADB) dan pemerintah Kenya, serta dioperasikan oleh Siaya-Bondo Water and Sanitation Company (SIBO)1.
Secara teknis, proyek ini menggunakan sistem distribusi gravitasi yang ramah lingkungan dan hemat listrik, dengan target produksi air 24.200 m³/hari (peningkatan signifikan dari kapasitas awal 5.200 m³/hari). Namun, pada 2019, realisasi produksi hanya 7.760 m³/hari—jauh di bawah target.
Permasalahan Teknis dan Permukaan
Namun, analisis HIF menunjukkan bahwa masalah teknis hanyalah “puncak gunung es”.
Analisis Holistik: Akar Masalah dan Feedback Loop
Feedback Loops yang Teridentifikasi
Pelajaran Penting dari Studi Kasus
Nilai Tambah Framework HIF untuk Praktisi dan Peneliti
Framework HIF menawarkan alat analisis dan perencanaan yang lebih komprehensif dibanding pendekatan konvensional yang fragmentaris. Dengan memetakan semua aktor dan faktor, serta menganalisis interaksi dan feedback loop, HIF membantu:
Kritik, Opini, dan Perbandingan
Framework HIF sangat relevan untuk konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek air minum pedesaan. Namun, implementasi HIF membutuhkan sumber daya, waktu, dan komitmen lintas sektor yang besar. Tantangan lain adalah resistensi birokrasi dan budaya organisasi yang masih sering bekerja dalam silo. Meski begitu, pendekatan holistik seperti HIF penting untuk menghindari kegagalan proyek yang berulang.
Studi lain di Ghana dan Kenya juga menegaskan pentingnya partisipasi komunitas dan rasa kepemilikan dalam keberlanjutan proyek air minum. Namun, partisipasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh tata kelola yang baik, pendanaan berkelanjutan, dan teknologi yang sesuai2. HIF melengkapi temuan tersebut dengan menekankan pentingnya analisis multi-level dan multi-faktor.
Implikasi untuk Industri, Pemerintah, dan Donor
Kesimpulan
Keberlanjutan proyek air minum di pedesaan Afrika Sub-Sahara sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua faktor dan pemangku kepentingan lintas level. Framework HIF yang dikembangkan dalam studi ini menawarkan alat penting untuk mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan memutus lingkaran kegagalan proyek air minum. Dengan komitmen dan kolaborasi nyata, target “Water for All” bukanlah mimpi yang mustahil.
Sumber asli:
Ornit Avidar. (2024). A holistic framework for evaluating and planning sustainable rural drinking water projects in sub-Saharan Africa. Journal of Rural Studies, 107, 103243.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Mengapa Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Semakin Penting?
Pantai-pantai Indonesia, khususnya di selatan Pulau Jawa, menjadi magnet utama wisatawan domestik dan mancanegara. Namun, di balik pesona “3S—sand, sea, sun”, kawasan ini menyimpan risiko bencana tsunami yang nyata. Kejadian tsunami besar di Aceh (2004), Pangandaran (2006), dan Banten (2018) menjadi pengingat bahwa wisata bahari harus diimbangi dengan manajemen risiko bencana yang kuat. Paper oleh Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, dan Dina Ruslanjari (2024) mengupas tuntas kesiapsiagaan pengguna pantai di Bantul, DIY, dalam menghadapi ancaman tsunami—sebuah studi yang sangat relevan di tengah tren pertumbuhan pesat pariwisata pesisir.
Latar Belakang: Bantul, Pariwisata, dan Ancaman Tsunami
Bantul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki garis pantai yang menjadi destinasi favorit jutaan wisatawan setiap tahun. Tiga pantai utama—Parangtritis, Depok, dan Baru—menjadi lokasi penelitian karena karakteristiknya yang unik, baik dari sisi wisata maupun potensi bencana. Secara geologis, pesisir selatan Bantul berhadapan langsung dengan zona subduksi Sunda Megathrust, sumber utama gempa dan tsunami besar di Indonesia. Meski catatan tsunami di Bantul tidak sebanyak di daerah lain, potensi bencana tetap tinggi, apalagi dengan prediksi probabilitas tsunami besar (>3 meter) sebesar 2,1% per tahun di wilayah ini.
Metode: Survei Kesiapsiagaan Pengguna Pantai
Penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan wawancara langsung terhadap 221 pengguna pantai (wisatawan dan warga lokal) di tiga pantai utama. Survei dilakukan pada akhir pekan, saat kunjungan wisata memuncak, agar hasilnya merepresentasikan berbagai segmen pengunjung. Kuesioner meliputi profil demografi, karakteristik perjalanan, kesadaran risiko, pengetahuan tentang peringatan bahaya, dan perilaku evakuasi yang direncanakan.
Temuan Utama: Tingkat Kesadaran, Pengetahuan, dan Perilaku Evakuasi
1. Profil Responden dan Karakteristik Kunjungan
2. Kesadaran Risiko Bencana
3. Pengetahuan Sejarah Tsunami
4. Pengetahuan Tanda Peringatan Bahaya
5. Pengetahuan Waktu Datangnya Tsunami
6. Perilaku Evakuasi yang Direncanakan
Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang di Bantul
Tantangan
Peluang dan Rekomendasi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Penelitian ini sejalan dengan temuan di Jepang, Norwegia, dan Bali, di mana wisatawan cenderung memiliki pengetahuan lebih rendah tentang risiko tsunami dibanding penduduk lokal. Studi di Kamakura, Jepang, dan Bali, Indonesia, juga menyoroti pentingnya edukasi tanda bahaya dan rute evakuasi bagi wisatawan. Di negara-negara maju sekalipun, tantangan utama adalah memastikan semua pengunjung paham sistem peringatan dan rute penyelamatan.
Tren global menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana di destinasi wisata harus adaptif, berbasis komunitas, dan mengintegrasikan teknologi (aplikasi peringatan dini, peta digital rute evakuasi) dengan pendekatan sosial-budaya setempat.
Opini dan Kritik
Studi ini sangat relevan untuk konteks Indonesia yang sedang menggenjot sektor pariwisata pesisir. Namun, ada beberapa catatan penting:
Implikasi untuk Industri Pariwisata dan Pemerintah
Kesimpulan
Kesiapsiagaan tsunami di kawasan wisata pantai Bantul masih menghadapi tantangan utama pada aspek pengetahuan sejarah bencana, pemahaman tanda peringatan, dan penguasaan rute evakuasi—terutama di kalangan pengunjung luar daerah. Meski kesadaran risiko cukup tinggi, kesiapan praktis masih perlu ditingkatkan. Upaya edukasi, penguatan infrastruktur, dan pelibatan multi-pihak menjadi kunci membangun destinasi wisata yang benar-benar tangguh bencana.
Sumber asli:
Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, Dina Ruslanjari (2024). Tsunami risk awareness, hazard warning knowledge, and intended evacuation behavior among beach users in Bantul, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 109.
Pertanian
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Mengapa Energi Terbarukan Jadi Kunci Masa Depan Pertanian Afrika?
Pertanian adalah tulang punggung ekonomi di Sub-Sahara Afrika, melibatkan lebih dari 60% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pangan serta mata pencaharian masyarakat pedesaan12. Namun, sektor ini menghadapi tantangan besar: 95% lahan pertanian masih bergantung pada hujan, hanya 5% yang memiliki sistem irigasi, dan lebih dari dua pertiga penduduk pedesaan belum menikmati akses listrik yang andal31. Ketidakpastian iklim, pertumbuhan populasi yang pesat, serta minimnya infrastruktur energi dan air semakin memperparah kerentanan pangan dan kemiskinan.
Artikel ini meresensi secara kritis paper “A renewable energy-centred research agenda for planning and financing Nexus development objectives in rural sub-Saharan Africa” (Falchetta et al., 2022), mengulas agenda riset yang diusulkan, studi kasus implementasi, serta membandingkannya dengan tren dan inovasi nyata di lapangan. Artikel ini juga menyoroti bagaimana energi terbarukan dapat menjadi katalisator transformasi pertanian dan pembangunan pedesaan yang inklusif.
Tantangan dan Realitas: Gambaran Sistem Pertanian dan Energi di Sub-Sahara Afrika
Ketergantungan pada Pertanian Skala Kecil
Krisis Energi dan Air di Pedesaan
Dampak Sosial dan Lingkungan
Studi Kasus: Solar Irrigation dan Inovasi Energi Terbarukan di Rwanda
Transformasi nyata mulai terlihat di Rwanda, di mana 299 koperasi pertanian dan lebih dari 1.100 petani telah mengoperasikan sistem irigasi skala besar berbasis tenaga surya untuk mengatasi kelangkaan air1. Di zona rawan kekeringan, 87 koperasi telah menggunakan irigasi surya untuk meningkatkan hasil panen secara signifikan.
Salah satu petani, Ndwaniye, mengaku hasil panen wortel dan kolnya melonjak dari 1 ton per hektar menjadi 3 ton per hektar setelah dua musim menggunakan irigasi surya1. Teknologi ini kini menjadi standar untuk suplai air di wilayah off-grid Rwanda, didukung oleh program pemerintah dan lembaga internasional.
Studi oleh tim dari University of Sheffield menegaskan bahwa irigasi tenaga surya mampu menekan biaya operasional, menghemat air, dan meningkatkan pendapatan petani. Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman kebutuhan spesifik tanaman dan survei lokasi yang cermat untuk desain sistem yang optimal.
Agenda Riset: Integrasi Nexus dan Model Bisnis Berkelanjutan
Falchetta dkk. menegaskan perlunya agenda riset terintegrasi yang menghubungkan dimensi iklim, air, energi terbarukan, pertanian, dan pembangunan3. Agenda ini menjadi fondasi proyek EC-H2020 LEAP-RE RE4AFAGRI yang bertujuan:
Komponen Kunci Agenda Riset
Inovasi Model Bisnis: Dari Mini-Grid hingga Pembiayaan Mikro
Salah satu kendala utama elektrifikasi pedesaan adalah persepsi risiko dan profitabilitas rendah di mata investor swasta. Falchetta dkk. menekankan pentingnya menggeser fokus dari elektrifikasi rumah tangga ke pemanfaatan produktif energi—misalnya untuk irigasi, pengolahan hasil, dan penyimpanan dingin32.
Beberapa model bisnis yang mulai berkembang antara lain:
Dampak dan Peluang: Transformasi Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan
Pengurangan Kerugian Pascapanen
Penguatan Ketahanan Iklim dan Lingkungan
Pemberdayaan Perempuan dan Pengurangan Ketimpangan
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Agenda riset Falchetta dkk. sangat progresif karena mengintegrasikan pendekatan lintas sektor dan menekankan pentingnya model bisnis yang berkelanjutan. Namun, tantangan implementasi tetap besar:
Dibandingkan dengan studi lain, seperti proyek Renewable Energy Map di Kamerun yang memetakan potensi dan merancang 54 pembangkit energi terbarukan untuk 480 desa4, pendekatan Falchetta dkk. lebih menekankan integrasi data spasial, pemodelan multi-skala, dan replikasi lintas negara. Sementara proyek di Rwanda dan Uganda menunjukkan keberhasilan nyata di lapangan, agenda riset ini menawarkan kerangka kerja sistematis untuk memperluas dampak ke seluruh Sub-Sahara Afrika.
Keterkaitan dengan Agenda Global dan Tren Industri
Transformasi pertanian berbasis energi terbarukan sangat sejalan dengan SDG7 (energi bersih dan terjangkau), SDG2 (pengentasan kelaparan), SDG13 (aksi iklim), dan SDG8 (pertumbuhan ekonomi inklusif). Inisiatif seperti LEAP-RE, RE4AFAGRI, dan PURE (Productive Use of Renewable Energy) yang didukung oleh lembaga internasional dan pemerintah Afrika menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor dan negara sangat krusial untuk mempercepat adopsi energi terbarukan di sektor pertanian56.
Rekomendasi dan Langkah Ke Depan
Penutup
Energi terbarukan bukan sekadar solusi teknis, melainkan fondasi transformasi sosial-ekonomi dan lingkungan di Sub-Sahara Afrika. Agenda riset dan inovasi nyata yang diulas dalam paper ini menunjukkan bahwa integrasi energi terbarukan dalam pertanian mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan ketahanan iklim masyarakat pedesaan. Dengan kolaborasi lintas sektor, inovasi model bisnis, dan dukungan kebijakan yang tepat, Sub-Sahara Afrika berpeluang besar menjadi contoh sukses transisi energi dan pembangunan pertanian berkelanjutan di dunia.
Sumber asli:
Falchetta, G., Adeleke, A., Awais, M., Byers, E., Copinschi, P., Duby, S., Hughes, A., Ireland, G., Riahi, K., Rukera-Tabaro, S., Semeria, F., Shendrikova, D., Stevanato, N., Troost, A., Tuninetti, M., Vinca, A., Zulu, A., & Hafner, M. (2022). A renewable energy-centred research agenda for planning and financing Nexus development objectives in rural sub-Saharan Africa. Energy Strategy Reviews, 43, 100922.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Tantangan Unik Kawasan Pegunungan terhadap Perubahan Iklim
Kawasan pegunungan merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena karakteristik geografis dan ekosistemnya yang unik. Sekitar 13% populasi dunia, yaitu sekitar 915 juta orang, tinggal di daerah pegunungan, dengan 150 juta di antaranya berada di ketinggian lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut. Pegunungan juga menjadi habitat bagi lebih dari 85% spesies amfibi, burung, dan mamalia dunia, banyak yang endemik dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Selain itu, pegunungan berfungsi sebagai "menara air" yang menopang kebutuhan air bagi jutaan orang di dataran rendah1.
Namun, kondisi topografi yang terjal dan ekosistem yang rapuh membuat kawasan ini menghadapi risiko bencana yang kompleks, seperti longsor, banjir bandang, dan glacial lake outburst floods (GLOF). Data dari 1985 hingga 2014 menunjukkan bahwa di kawasan Hindu Kush Himalaya terjadi 323 bencana besar dengan kerugian ekonomi mencapai USD 44,7 miliar dan korban jiwa sebanyak 26.991 orang1.
Kerentanan Sosial dan Ekonomi di Pegunungan
Penduduk pegunungan cenderung lebih rentan secara sosial dan ekonomi dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kemiskinan lebih tinggi, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terbatas, serta isolasi geografis memperparah kerentanan mereka. Kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak seringkali paling terdampak, terutama karena keterbatasan akses informasi dan sumber daya. Migrasi penduduk usia produktif ke luar daerah menambah beban bagi perempuan dan lansia yang tertinggal, sehingga memperbesar risiko sosial dan ekonomi1.
Studi Kasus: Ketahanan Iklim di Uttarakhand, India
Uttarakhand merupakan negara bagian di India yang 93% wilayahnya berupa pegunungan Himalaya. Dengan populasi sekitar 10,1 juta jiwa, wilayah ini menjadi sumber dua sungai besar India, Gangga dan Yamuna. Ekonomi utama di sana meliputi pertanian, hortikultura, pariwisata, dan energi hidro1.
Dampak Perubahan Iklim dan Bencana
Uttarakhand telah mengalami bencana besar yang terkait dengan perubahan iklim. Pada Juni 2013, banjir bandang akibat hujan ekstrem dan mencairnya gletser Chorabari menewaskan lebih dari 5.700 orang. Pada Februari 2021, runtuhnya sebagian gletser Nanda Devi menyebabkan lebih dari 100 orang hilang. Kejadian ini menegaskan urgensi penguatan ketahanan iklim di wilayah tersebut1.
Upaya Penguatan Ketahanan Iklim
Pemerintah Uttarakhand telah memperkuat tata kelola dan kapasitas pengurangan risiko bencana melalui:
Mekanisme dan Pendekatan Penguatan Ketahanan Iklim di Pegunungan
Penguatan ketahanan iklim di kawasan pegunungan memerlukan pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik geografis dan sosial-ekonomi unik wilayah tersebut. Beberapa mekanisme utama meliputi:
Pelajaran dari Kawasan Pegunungan Lain
Selain Uttarakhand, kawasan pegunungan di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa. Misalnya:
Relevansi dan Rekomendasi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kawasan pegunungan yang juga rentan terhadap perubahan iklim, seperti di Sumatera, Jawa, Papua, dan Sulawesi. Pelajaran dari Uttarakhand dan kawasan lain dapat menjadi acuan, antara lain:
Penutup
Ketahanan iklim di kawasan pegunungan menuntut pendekatan yang holistik dan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan ekologis. Studi kasus Uttarakhand menunjukkan bahwa penguatan tata kelola, inovasi pendanaan, pemanfaatan teknologi, dan solusi berbasis alam adalah kunci untuk menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengadopsi dan mengadaptasi praktik-praktik ini untuk membangun masa depan pegunungan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Kato, T., M. Rambali and V. Blanco-Gonzalez (2021), “Strengthening climate resilience in mountainous areas”, OECD Development Co-operation Working Papers, No. 104, OECD Publishing, Paris.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam dunia yang semakin kompleks, kebutuhan akan pengelolaan air yang cerdas menjadi keharusan. Buku Smart Water Utilities: Complexity Made Simple karya Pernille Ingildsen dan Gustaf Olsson memberikan pendekatan revolusioner terhadap utilitas air dengan menyederhanakan kompleksitas tersebut. Buku ini bukan sekadar teori; ia menawarkan solusi nyata melalui konsep M-A-D (Measure – Analyse – Decide) yang dirancang untuk mengoptimalkan pengambilan keputusan di semua tingkatan pengelolaan air.
Konteks Global dan Relevansi
Dengan prediksi 75% penduduk dunia akan tinggal di kota pada 2050, dan kebutuhan air terus meningkat, efisiensi dan keandalan sistem air menjadi isu krusial. Buku ini menjawab tantangan ini melalui konsep Smart Water, yang tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga membangun kesadaran sistemik—mengintegrasikan sains, teknologi, dan kebijakan dalam satu kerangka.
Konsep Inti: M-A-D – Measure, Analyse, Decide
1. Measure (Pengukuran)
Pengukuran real-time adalah dasar dari sistem air pintar. Sensor yang dapat mengukur kualitas dan kuantitas air secara langsung memungkinkan data dikumpulkan secara otomatis dan berkelanjutan.
2. Analyse (Analisis)
Penggunaan model matematika dan alat analisis kontekstual memungkinkan data mentah diubah menjadi informasi yang dapat ditindaklanjuti. Analisis ini mencakup pola harian konsumsi, prediksi gangguan sistem, hingga simulasi kebocoran.
3. Decide (Keputusan)
Keputusan dibuat dalam tiga tingkat:
Studi Kasus dan Praktik Terbaik
1. Kalundborg Utility – Denmark
Utilitas ini menerapkan circular water economy, menggabungkan pengolahan air minum, air limbah, dan energi panas distrik. Mereka juga membuka kolaborasi dengan startup untuk menguji inovasi teknologi air.
2. Penggunaan Sensor dan Online Model
3. Penerapan Global
Buku mencakup studi kasus dari 11 negara, termasuk:
Kritik dan Analisis Tambahan
Nilai tambah utama buku ini adalah kemampuannya mendekatkan konsep teknis dengan pendekatan manusiawi dan strategis. Bahkan, analogi yang digunakan dengan psikologi Carl Jung dan sistem saraf manusia menunjukkan bahwa pengendalian air tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal persepsi, pengalaman, dan pembelajaran sistemik.
Contoh diagnosis sistem kontrol air digambarkan layaknya penyakit psikologis:
Analogi ini menyederhanakan pemahaman teknis sekaligus menyampaikan urgensi akan sistem air yang adaptif, terukur, dan terkontrol.
Tren dan Tantangan Masa Depan
Buku ini menyebutkan 10 tren utama dalam pengembangan Smart Water Utility, termasuk:
Namun, terdapat tantangan besar seperti:
Hubungan dengan Tren Industri dan SDGs
Smart Water Utility memiliki peran vital dalam mencapai SDGs, terutama Tujuan 6 (Akses Air Bersih dan Sanitasi) dan Tujuan 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Penerapan konsep M-A-D memungkinkan kota merespons cepat krisis air, efisiensi energi, dan kebutuhan populasi perkotaan.
Dalam konteks Indonesia, urbanisasi pesat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menuntut transformasi sistem air menuju versi 2.0 seperti yang dikemukakan dalam buku ini. Penerapan Smart Water bukan pilihan, tapi keniscayaan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Buku Smart Water Utilities: Complexity Made Simple berhasil memberikan peta jalan menuju masa depan pengelolaan air yang lebih pintar dan berkelanjutan. Pendekatannya yang sistematis, analogis, dan praktis menjadikannya bahan bacaan wajib bagi manajer utilitas, pembuat kebijakan, dan insinyur air.
Rekomendasi kebijakan dan praktik:
Sumber : Ingildsen, P., & Olsson, G. (2020). Smart Water Utilities: Complexity Made Simple. IWA Publishing.