Pembangunan Pedesaan

Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?

Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan

Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.

Sistem Kompleks dan Ketidakpastian

Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:

  • Jangka waktu panjang antara perencanaan dan realisasi membuat kebijakan mudah usang sebelum infrastruktur selesai dibangun.
  • Perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan selama proses berlangsung bisa mengubah kebutuhan dan prioritas masyarakat.
  • Keterbatasan data dan partisipasi menyebabkan kebijakan seringkali hanya didasarkan pada persepsi atau narasi dominan, bukan pada pemetaan kebutuhan nyata semua pemangku kepentingan1.

Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah

Latar Belakang Wilayah

Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.

Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog

Penelitian dilakukan melalui:

  • Wawancara dan diskusi kelompok dengan 17 pejabat muda (junior) dan 25 pejabat senior dari enam kota.
  • Analisis dokumen strategi, visualisasi, dan photovoice (peserta mengambil foto isu aksesibilitas di wilayahnya).
  • Workshop dan seminar yang mempertemukan pejabat lintas kota untuk mendiskusikan visi masa depan, tantangan, dan solusi.

Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan

Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:

  1. Warga Lokal: Fokus pada kebutuhan mobilitas penduduk tetap, terutama untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari.
  2. Kerja dan Rekreasi: Menyoroti pentingnya akses transportasi untuk komuter dan aktivitas waktu luang.
  3. Lingkungan Urban: Mengidealkan kota kecil dengan akses 15 menit ke segala layanan, namun mengabaikan realitas pedesaan yang lebih luas.
  4. Layanan Transportasi Publik: Menekankan pentingnya transportasi umum, namun seringkali hanya relevan untuk area dengan kepadatan penduduk cukup tinggi.

Narasi ini cenderung mengabaikan:

  • Kebutuhan kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, anak muda, migran baru).
  • Aksesibilitas untuk pelaku usaha, wisatawan, dan layanan penting seperti kesehatan, logistik, dan komunikasi digital.
  • Peran infrastruktur kritis non-transportasi (air bersih, listrik, internet) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan12.

Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang

1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif

Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.

2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran

Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.

3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan

Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:

  • Kurangnya jalur pejalan kaki dan sepeda yang aman.
  • Minimnya koneksi bus dan informasi perjalanan.
  • Stasiun kereta dan terminal bus yang terasa tidak aman dan kurang ramah pengguna.
  • Keterbatasan sinyal telepon dan internet di beberapa area1.

4. Ketimpangan dan Spiral Negatif

Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.

Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain

Tantangan Serupa di Negara Lain

  • Nordic Roadmap for Rural Development menyoroti pentingnya pendekatan berbasis tempat (“place-based”), inovasi tata kelola, dan keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan serupa di seluruh Skandinavia3.
  • OECD menekankan bahwa aksesibilitas bukan sekadar soal mobilitas, tetapi juga tentang kemudahan mengakses layanan, peluang kerja, pendidikan, dan rekreasi. Mobilitas tinggi tidak selalu berarti akses tinggi, dan sebaliknya4.
  • Studi tentang perumahan pedesaan di Swedia juga menegaskan pentingnya integrasi antara akses transportasi, ketersediaan layanan, dan kebijakan perumahan untuk mendukung keberlanjutan sosial dan ekonomi5.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:

  • Ketimpangan akses antara kota besar dan desa terpencil.
  • Kebutuhan akan narasi pembangunan yang lebih inklusif, tidak hanya berpusat pada kelompok mayoritas.
  • Pentingnya kolaborasi lintas wilayah dan pelibatan masyarakat dalam perumusan visi masa depan.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Pendekatan Paper

  • Menggunakan kombinasi pendekatan naratif dan sistem untuk membedah kebijakan infrastruktur.
  • Melibatkan visualisasi dan partisipasi aktif pejabat muda dan senior, memperkaya pemahaman lintas generasi dan lintas bidang.
  • Menyoroti pentingnya “deep shadows”—isu-isu yang sering luput dari narasi dominan namun krusial bagi keberlanjutan jangka panjang1.

Keterbatasan dan Tantangan

  • Narasi yang dihasilkan masih cenderung “tanpa wajah”—kurang menampilkan karakter nyata (hero, villain, victim) yang bisa memicu aksi kolektif.
  • Kurangnya data dan perspektif dari pelaku usaha, kelompok rentan, dan otoritas nasional membatasi cakupan analisis.
  • Visi masa depan cenderung homogen dan kurang berani mengambil posisi unik atau diferensiasi strategis.

Rekomendasi Praktis

  • Perluas dialog lintas kelompok: Libatkan pelaku usaha, komunitas, dan kelompok rentan dalam perumusan visi pembangunan.
  • Kembangkan narasi yang lebih kaya dan kritis: Jangan hanya mengandalkan cerita “warga lokal dan komuter”, tapi juga kebutuhan layanan dasar, logistik, dan peluang ekonomi baru.
  • Integrasikan data dan visualisasi: Gunakan data spasial, survei kebutuhan, dan visualisasi untuk mengidentifikasi “blind spot” dan prioritas nyata.
  • Dorong inovasi tata kelola: Bangun mekanisme kolaborasi yang jelas, adil, dan transparan antar wilayah, serta pastikan distribusi manfaat dan beban yang proporsional.
  • Fokus pada keberlanjutan jangka panjang: Jangan terjebak pada solusi jangka pendek atau tren sesaat; rancang kebijakan yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner

Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.

Selengkapnya
Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Air Bersih

Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Akses air minum bersih adalah hak dasar, namun pada 2020, sekitar 387 juta orang di Afrika Sub-Sahara (SSA) masih belum memilikinya. Bahkan, 38% penduduk Kenya dan 55% penduduk Siaya County—wilayah studi utama dalam paper ini—masih bergantung pada sumber air yang tidak layak. Target SDG 6 “air bersih untuk semua” diprediksi sulit tercapai pada 2030, dengan 1,6 miliar orang di dunia tetap tanpa akses air aman jika tren saat ini berlanjut1.

Permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan air, tapi pada kegagalan proyek air minum untuk beroperasi secara berkelanjutan. Antara 30–60% sistem air di pedesaan SSA rusak atau tidak berfungsi setelah dibangun. Ironisnya, banyak proyek air hanya dinilai dari keberadaan infrastrukturnya, bukan dari fungsionalitas atau kualitas layanan. Akibatnya, ratusan juta dolar terbuang setiap tahun untuk membangun atau memperbaiki proyek yang gagal, menciptakan lingkaran setan kegagalan dan pemborosan dana pembangunan1.

Keterbatasan Pendekatan Lama: Fragmentasi dan Siloed Thinking

Literatur selama ini cenderung membahas kegagalan proyek air minum dari sudut pandang sempit—misal hanya aspek teknis, ekonomi, atau sosial saja. Pendekatan ini menutupi akar masalah dan mengabaikan keterlibatan multi-pemangku kepentingan lintas level, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga global. Padahal, proyek air minum adalah sistem kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, ekonomi, teknologi, lingkungan, tata kelola, dan politik di berbagai level1.

Framework Holistik: Holistic Integrated Framework (HIF)

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ornit Avidar mengembangkan Holistic Integrated Framework (HIF). Framework ini dirancang untuk mengevaluasi dan merencanakan keberlanjutan proyek air minum dengan mempertimbangkan:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan dari level global, nasional, regional, hingga komunitas.
  • Lima kategori utama faktor keberlanjutan: sosial-politik, ekonomi, teknologi, lingkungan, serta perencanaan dan manajemen.
  • Analisis interaksi dan feedback loop antar faktor dan antar level, sehingga akar masalah dan hubungan sebab-akibat dapat diidentifikasi secara komprehensif.

Dimensi HIF

  1. Vertikal (Stakeholders’ Levels):
    • Meta-global (lembaga internasional, donor, tren global)
    • Macro-nasional (pemerintah pusat, kementerian, regulasi nasional)
    • Meso-regional (pemerintah daerah, perusahaan air daerah, asosiasi lokal)
    • Mikro-lokal (komunitas, proyek, pengguna, komite air, pemimpin lokal)
  2. Horizontal (Faktor Keberlanjutan):
    • Perencanaan & Manajemen: Keterlibatan dalam desain, pengumpulan data, O&M, pelatihan, transparansi, exit strategy.
    • Sosial & Politik: Dinamika komunitas, budaya, sejarah, gender, partisipasi, pemberdayaan, kepercayaan, konflik.
    • Ekonomi & Pendanaan: Sumber dana, tarif, kemampuan dan kemauan membayar, keberlanjutan finansial, pendapatan lokal.
    • Teknologi: Kesesuaian teknologi, ketersediaan suku cadang, pelatihan, inovasi, biaya operasional.
    • Lingkungan: Konservasi, kualitas dan kuantitas air, perubahan iklim, dampak ekologis, keamanan air.

Framework ini juga merekomendasikan penilaian pada setiap tahap proyek: perencanaan, implementasi, pasca-implementasi, dan evaluasi.

Studi Kasus: Proyek Sidindi Malanga-African Development Bank (SM-ADB) di Siaya, Kenya

Gambaran Proyek

SM-ADB merupakan proyek flagship senilai $20 juta, bertujuan meningkatkan cakupan air bersih di Siaya County dari 25% menjadi lebih dari 50% populasi (sekitar 1 juta jiwa). Proyek ini didanai African Development Bank (ADB) dan pemerintah Kenya, serta dioperasikan oleh Siaya-Bondo Water and Sanitation Company (SIBO)1.

Secara teknis, proyek ini menggunakan sistem distribusi gravitasi yang ramah lingkungan dan hemat listrik, dengan target produksi air 24.200 m³/hari (peningkatan signifikan dari kapasitas awal 5.200 m³/hari). Namun, pada 2019, realisasi produksi hanya 7.760 m³/hari—jauh di bawah target.

Permasalahan Teknis dan Permukaan

  • Instalasi turbin air yang tidak sesuai (tidak cocok untuk air berlumpur dari Sungai Yala) menyebabkan kerusakan fasilitas.
  • 47% pipa air tidak aktif; dua dari sepuluh fasilitas utama tidak berfungsi.
  • Banyak pipa bocor atau rusak akibat kualitas pekerjaan kontraktor yang buruk.

Namun, analisis HIF menunjukkan bahwa masalah teknis hanyalah “puncak gunung es”.

Analisis Holistik: Akar Masalah dan Feedback Loop

  1. Meta-Global:
    • African Development Bank sebagai donor utama menentukan prioritas proyek (misal, fokus pada cakupan air di kota kecil), sehingga banyak komunitas pedesaan di sekitar proyek justru tidak terlayani.
    • Kontraktor asal Tiongkok memenangkan tender, namun hasil pekerjaannya buruk, memperparah masalah teknis.
    • Kurangnya supervisi dan akuntabilitas dari donor dan lembaga global.
  2. Macro-Nasional:
    • Pemerintah Kenya mengadopsi sistem devolusi (desentralisasi), namun proyek flagship tetap dikendalikan pusat, sehingga pemerintah daerah dan operator lokal tidak punya kuasa penuh.
    • Kebijakan dan pendanaan nasional tidak sinkron dengan kebutuhan daerah.
  3. Meso-Regional:
    • Pemerintah daerah (Siaya County) tidak bisa mengawasi atau mengintervensi proyek, meski bertanggung jawab kepada masyarakat.
    • SIBO sebagai operator hanya penerima proyek, tidak terlibat dalam implementasi, sehingga tidak siap mengelola fasilitas baru.
  4. Mikro-Lokal:
    • Masyarakat kecewa karena akses air tetap terbatas, banyak yang menolak membayar atau bahkan merusak infrastruktur.
    • Ketidakpercayaan dan demoralisasi muncul karena kegagalan proyek sebelumnya, memperkuat lingkaran setan kegagalan.

Feedback Loops yang Teridentifikasi

  • Lingkaran ekonomi: Proyek gagal menghasilkan pendapatan, sehingga tidak mampu membiayai perbaikan atau ekspansi, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan memperburuk keuangan perusahaan.
  • Lingkaran akuntabilitas: Banyaknya aktor pada berbagai level menyebabkan kebingungan tanggung jawab, sehingga tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab saat proyek gagal.
  • Lingkaran kemiskinan: Masyarakat miskin tidak mampu membayar air, perusahaan air kekurangan dana, sehingga layanan memburuk dan masyarakat makin miskin.
  • Lingkaran demoralisasi: Kegagalan berulang membuat masyarakat kehilangan harapan dan enggan berpartisipasi dalam proyek baru.

Pelajaran Penting dari Studi Kasus

  1. Kegagalan proyek air minum di SSA bukan sekadar masalah teknis, tapi hasil interaksi kompleks berbagai faktor lintas level.
  2. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan—dari donor global hingga komunitas lokal.
  3. Desain proyek harus mempertimbangkan konteks lokal, baik dari sisi teknologi, sosial-budaya, maupun ekonomi.
  4. Akuntabilitas dan supervisi harus jelas di semua level, agar tidak terjadi “no one is responsible” ketika proyek bermasalah.
  5. Feedback loop negatif harus diidentifikasi dan diputus, misal dengan memperkuat kapasitas operator lokal, memperbaiki sistem pendanaan, dan membangun kepercayaan masyarakat.

Nilai Tambah Framework HIF untuk Praktisi dan Peneliti

Framework HIF menawarkan alat analisis dan perencanaan yang lebih komprehensif dibanding pendekatan konvensional yang fragmentaris. Dengan memetakan semua aktor dan faktor, serta menganalisis interaksi dan feedback loop, HIF membantu:

  • Mengidentifikasi akar masalah yang tersembunyi di balik isu teknis.
  • Merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, misal dengan memperkuat kapasitas pengelola lokal, memperbaiki tata kelola, atau mengadaptasi teknologi.
  • Menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, sehingga investasi pembangunan tidak terbuang sia-sia.
  • Meningkatkan peluang tercapainya SDG 6 dan “Water for All” di Afrika Sub-Sahara dan negara berkembang lain.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Framework HIF sangat relevan untuk konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek air minum pedesaan. Namun, implementasi HIF membutuhkan sumber daya, waktu, dan komitmen lintas sektor yang besar. Tantangan lain adalah resistensi birokrasi dan budaya organisasi yang masih sering bekerja dalam silo. Meski begitu, pendekatan holistik seperti HIF penting untuk menghindari kegagalan proyek yang berulang.

Studi lain di Ghana dan Kenya juga menegaskan pentingnya partisipasi komunitas dan rasa kepemilikan dalam keberlanjutan proyek air minum. Namun, partisipasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh tata kelola yang baik, pendanaan berkelanjutan, dan teknologi yang sesuai2. HIF melengkapi temuan tersebut dengan menekankan pentingnya analisis multi-level dan multi-faktor.

Implikasi untuk Industri, Pemerintah, dan Donor

  • Donor internasional: Harus memastikan keterlibatan dan penguatan kapasitas aktor lokal, bukan sekadar transfer dana dan teknologi.
  • Pemerintah nasional dan daerah: Perlu memperjelas pembagian tugas, memperkuat supervisi, dan memastikan proyek sesuai kebutuhan lokal.
  • Operator air dan komunitas: Didorong untuk aktif dalam perencanaan, pemeliharaan, dan evaluasi proyek, serta membangun kepercayaan dan rasa kepemilikan bersama.

Kesimpulan

Keberlanjutan proyek air minum di pedesaan Afrika Sub-Sahara sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua faktor dan pemangku kepentingan lintas level. Framework HIF yang dikembangkan dalam studi ini menawarkan alat penting untuk mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan memutus lingkaran kegagalan proyek air minum. Dengan komitmen dan kolaborasi nyata, target “Water for All” bukanlah mimpi yang mustahil.

Sumber asli:
Ornit Avidar. (2024). A holistic framework for evaluating and planning sustainable rural drinking water projects in sub-Saharan Africa. Journal of Rural Studies, 107, 103243.

Selengkapnya
Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Bencana Alam

Mengenal dan Menguatkan Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Pantai: Studi Kasus Bantul, Yogyakarta

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Mengapa Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Semakin Penting?

Pantai-pantai Indonesia, khususnya di selatan Pulau Jawa, menjadi magnet utama wisatawan domestik dan mancanegara. Namun, di balik pesona “3S—sand, sea, sun”, kawasan ini menyimpan risiko bencana tsunami yang nyata. Kejadian tsunami besar di Aceh (2004), Pangandaran (2006), dan Banten (2018) menjadi pengingat bahwa wisata bahari harus diimbangi dengan manajemen risiko bencana yang kuat. Paper oleh Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, dan Dina Ruslanjari (2024) mengupas tuntas kesiapsiagaan pengguna pantai di Bantul, DIY, dalam menghadapi ancaman tsunami—sebuah studi yang sangat relevan di tengah tren pertumbuhan pesat pariwisata pesisir.

Latar Belakang: Bantul, Pariwisata, dan Ancaman Tsunami

Bantul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki garis pantai yang menjadi destinasi favorit jutaan wisatawan setiap tahun. Tiga pantai utama—Parangtritis, Depok, dan Baru—menjadi lokasi penelitian karena karakteristiknya yang unik, baik dari sisi wisata maupun potensi bencana. Secara geologis, pesisir selatan Bantul berhadapan langsung dengan zona subduksi Sunda Megathrust, sumber utama gempa dan tsunami besar di Indonesia. Meski catatan tsunami di Bantul tidak sebanyak di daerah lain, potensi bencana tetap tinggi, apalagi dengan prediksi probabilitas tsunami besar (>3 meter) sebesar 2,1% per tahun di wilayah ini.

Metode: Survei Kesiapsiagaan Pengguna Pantai

Penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan wawancara langsung terhadap 221 pengguna pantai (wisatawan dan warga lokal) di tiga pantai utama. Survei dilakukan pada akhir pekan, saat kunjungan wisata memuncak, agar hasilnya merepresentasikan berbagai segmen pengunjung. Kuesioner meliputi profil demografi, karakteristik perjalanan, kesadaran risiko, pengetahuan tentang peringatan bahaya, dan perilaku evakuasi yang direncanakan.

Temuan Utama: Tingkat Kesadaran, Pengetahuan, dan Perilaku Evakuasi

1. Profil Responden dan Karakteristik Kunjungan

  • 81% responden adalah pengunjung (bukan warga Bantul), dengan proporsi terbesar berasal dari DIY (selain Bantul) dan luar DIY.
  • Mayoritas responden laki-laki (59,3%), usia produktif 30–49 tahun (53,4%), dan berpendidikan SMA ke atas (83,7%).
  • Hampir setengah responden sudah lebih dari lima kali berkunjung ke pantai, namun sekitar 20% baru pertama kali.

2. Kesadaran Risiko Bencana

  • 73,8% responden menyebut tsunami sebagai ancaman utama di pantai Bantul, diikuti gempa (61,5%) dan gelombang ekstrem (48,9%).
  • Hanya 6,8% yang tidak tahu bahaya apa saja yang mengancam.
  • Sumber informasi utama: internet/media sosial (65,2%), TV/radio (41,6%), percakapan informal (24%), pengalaman pribadi (21,3%).
  • Responden lokal lebih banyak tahu tentang bahaya dibanding pengunjung, terutama pengunjung dari luar DIY yang paling minim pengetahuan.

3. Pengetahuan Sejarah Tsunami

  • Hanya 34,8% responden tahu bahwa tsunami pernah terjadi di pesisir selatan Jawa (1994 dan 2006), dan cuma 8,6% yang tahu tsunami pernah sampai ke Bantul.
  • Mayoritas (77,8%) yakin tsunami belum pernah terjadi di Bantul, bahkan di kalangan warga lokal.
  • Persepsi risiko tsunami di Bantul rata-rata sedang (skor 2,7 dari 5), dengan warga lokal cenderung memberi skor lebih rendah dari pengunjung.

4. Pengetahuan Tanda Peringatan Bahaya

  • 44,8% responden menilai kekuatan dan durasi gempa adalah indikator utama tsunami, 31,7% hanya melihat kekuatan gempa.
  • Hanya 3,2% yang benar-benar paham bahwa durasi gempa (bukan hanya kekuatan) adalah kunci—padahal dua tsunami besar di Jawa dipicu gempa “slow rupture” yang getarannya lemah.
  • 45,7% tahu tanda alami tsunami adalah surutnya air laut, namun 38,5% tidak tahu tanda-tanda alami apapun.
  • Hanya 25% responden pernah melihat atau tahu sistem peringatan dini tsunami di Bantul (siren, pengumuman BMKG). Pengunjung luar DIY paling tidak tahu (14,6%).

5. Pengetahuan Waktu Datangnya Tsunami

  • 49,1% responden tahu tsunami lokal bisa tiba kurang dari 1 jam setelah gempa, sisanya salah paham atau tidak tahu.
  • Banyak pengunjung luar DIY yang tidak tahu waktu kedatangan tsunami.

6. Perilaku Evakuasi yang Direncanakan

  • 57,9% responden akan langsung evakuasi setelah gempa, 14,9% menunggu peringatan resmi, 10% menunggu tanda alam lain, 7,2% baru evakuasi setelah melihat gelombang.
  • Arah evakuasi paling banyak dipilih adalah menjauh ke daratan (horizontal), diikuti ke bukit atau bangunan tinggi.
  • Mayoritas (sekitar 55%) memilih berjalan kaki/lari sebagai moda evakuasi, sisanya naik motor/mobil sesuai moda transportasi saat datang ke pantai.
  • Tingkat pemahaman rute evakuasi rata-rata sedang (skor 2,7 dari 5), terendah pada pengunjung pertama kali dan pengunjung luar DIY.

Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang di Bantul

Tantangan

  • Kurangnya pengetahuan sejarah tsunami di kalangan pengunjung dan bahkan warga lokal. Padahal, pengalaman masa lalu sangat penting untuk membangun budaya siaga.
  • Miskonsepsi tentang tanda tsunami: Banyak yang mengira tsunami hanya terjadi jika gempa terasa kuat, padahal tsunami di selatan Jawa sering dipicu gempa yang getarannya lemah.
  • Minimnya pengetahuan sistem peringatan dini di kalangan pengunjung, khususnya dari luar DIY, membuat mereka sangat rentan.
  • Evakuasi horizontal lebih dipilih karena keterbatasan infrastruktur vertikal (bangunan tinggi atau bukit). Di beberapa pantai seperti Baru, jarak ke bukit cukup jauh, sehingga waktu evakuasi sangat kritis.
  • Pemahaman rute evakuasi masih rendah, terutama bagi pengunjung baru dan luar daerah.

Peluang dan Rekomendasi

  • Kampanye edukasi tsunami harus diperluas, tidak hanya untuk warga lokal tapi juga untuk wisatawan. Informasi bisa disisipkan di tiket masuk, papan informasi multibahasa, dan media sosial destinasi wisata.
  • Prinsip 20/20/20 perlu disosialisasikan: Jika terjadi gempa selama 20 detik, segera evakuasi dalam 20 menit ke tempat setinggi minimal 20 meter.
  • Penekanan pada tanda-tanda alami yang bervariasi: Tidak semua tsunami diawali surutnya air laut, sehingga edukasi harus menekankan keragaman tanda bahaya.
  • Peningkatan infrastruktur evakuasi: Penambahan jalur dan penanda evakuasi, serta penguatan bangunan vertikal di lokasi strategis.
  • Pelibatan pelaku wisata dan komunitas lokal sebagai agen komunikasi risiko, mengingat pengunjung cenderung bergantung pada inisiatif tuan rumah saat darurat.
  • Simulasi rutin dan pelatihan evakuasi yang melibatkan wisatawan, operator wisata, dan masyarakat lokal untuk membangun refleks tanggap darurat.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global

Penelitian ini sejalan dengan temuan di Jepang, Norwegia, dan Bali, di mana wisatawan cenderung memiliki pengetahuan lebih rendah tentang risiko tsunami dibanding penduduk lokal. Studi di Kamakura, Jepang, dan Bali, Indonesia, juga menyoroti pentingnya edukasi tanda bahaya dan rute evakuasi bagi wisatawan. Di negara-negara maju sekalipun, tantangan utama adalah memastikan semua pengunjung paham sistem peringatan dan rute penyelamatan.

Tren global menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana di destinasi wisata harus adaptif, berbasis komunitas, dan mengintegrasikan teknologi (aplikasi peringatan dini, peta digital rute evakuasi) dengan pendekatan sosial-budaya setempat.

Opini dan Kritik

Studi ini sangat relevan untuk konteks Indonesia yang sedang menggenjot sektor pariwisata pesisir. Namun, ada beberapa catatan penting:

  • Metode convenience sampling memang efisien, tapi membatasi generalisasi hasil. Survei lanjutan dengan sampling acak dan melibatkan wisatawan internasional akan memperkaya hasil.
  • Kurangnya pengukuran perilaku nyata (bukan hanya niat evakuasi) menjadi tantangan umum dalam riset kesiapsiagaan. Studi longitudinal atau simulasi dapat memberikan gambaran lebih akurat.
  • Keterlibatan institusi wisata (hotel, operator tur) dalam edukasi dan simulasi masih perlu didorong lebih sistematis.

Implikasi untuk Industri Pariwisata dan Pemerintah

  • Destinasi wisata harus menjadikan kesiapsiagaan bencana sebagai bagian dari standar layanan. Sertifikasi “safe tourism” bisa menjadi nilai tambah daya saing.
  • Pemerintah daerah perlu memperkuat sinergi dengan pelaku wisata untuk edukasi, simulasi, dan penyediaan infrastruktur evakuasi.
  • Pengembangan aplikasi mobile yang menyediakan info real-time tentang peringatan tsunami, rute evakuasi, dan tips keselamatan bisa menjadi inovasi strategis.

Kesimpulan

Kesiapsiagaan tsunami di kawasan wisata pantai Bantul masih menghadapi tantangan utama pada aspek pengetahuan sejarah bencana, pemahaman tanda peringatan, dan penguasaan rute evakuasi—terutama di kalangan pengunjung luar daerah. Meski kesadaran risiko cukup tinggi, kesiapan praktis masih perlu ditingkatkan. Upaya edukasi, penguatan infrastruktur, dan pelibatan multi-pihak menjadi kunci membangun destinasi wisata yang benar-benar tangguh bencana.

Sumber asli:
Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, Dina Ruslanjari (2024). Tsunami risk awareness, hazard warning knowledge, and intended evacuation behavior among beach users in Bantul, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 109.

Selengkapnya
Mengenal dan Menguatkan Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Pantai: Studi Kasus Bantul, Yogyakarta

Pertanian

Mendorong Transformasi Pertanian Sub-Sahara Afrika Melalui Energi Terbarukan: Agenda Riset, Studi Kasus, dan Implikasi Nyata

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Mengapa Energi Terbarukan Jadi Kunci Masa Depan Pertanian Afrika?

Pertanian adalah tulang punggung ekonomi di Sub-Sahara Afrika, melibatkan lebih dari 60% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pangan serta mata pencaharian masyarakat pedesaan12. Namun, sektor ini menghadapi tantangan besar: 95% lahan pertanian masih bergantung pada hujan, hanya 5% yang memiliki sistem irigasi, dan lebih dari dua pertiga penduduk pedesaan belum menikmati akses listrik yang andal31. Ketidakpastian iklim, pertumbuhan populasi yang pesat, serta minimnya infrastruktur energi dan air semakin memperparah kerentanan pangan dan kemiskinan.

Artikel ini meresensi secara kritis paper “A renewable energy-centred research agenda for planning and financing Nexus development objectives in rural sub-Saharan Africa” (Falchetta et al., 2022), mengulas agenda riset yang diusulkan, studi kasus implementasi, serta membandingkannya dengan tren dan inovasi nyata di lapangan. Artikel ini juga menyoroti bagaimana energi terbarukan dapat menjadi katalisator transformasi pertanian dan pembangunan pedesaan yang inklusif.

Tantangan dan Realitas: Gambaran Sistem Pertanian dan Energi di Sub-Sahara Afrika

Ketergantungan pada Pertanian Skala Kecil

  • 80% produksi pertanian di Sub-Sahara Afrika berasal dari petani kecil, yang mewakili sekitar 60% populasi regional3.
  • Lebih dari 90% lahan pertanian hanya mengandalkan air hujan, jauh di atas rata-rata global dan India (sekitar 60%)3.
  • Minimnya mekanisasi: hanya 10% tenaga pertanian yang terotomasi, sisanya masih mengandalkan tenaga manusia dan hewan.
  • 10-20% hasil panen hilang pasca panen karena kurangnya fasilitas penyimpanan dan pengolahan berbasis listrik.

Krisis Energi dan Air di Pedesaan

  • Sekitar 470 juta dari 640 juta penduduk pedesaan di Afrika belum memiliki akses listrik3.
  • Hanya 60% penduduk pedesaan yang memiliki akses air bersih, dan 30% memiliki sanitasi layak.
  • Irigasi yang ada masih didominasi pompa diesel—mahal, tidak ramah lingkungan, dan membebani keuangan petani serta negara.

Dampak Sosial dan Lingkungan

  • Deforestasi lebih dari 90% di Afrika dipicu oleh praktik perladangan berpindah akibat rendahnya produktivitas lahan.
  • Ketimpangan gender tinggi: perempuan kurang memiliki akses terhadap pendidikan, aset, dan teknologi, serta menanggung beban kerja tambahan.

Studi Kasus: Solar Irrigation dan Inovasi Energi Terbarukan di Rwanda

Transformasi nyata mulai terlihat di Rwanda, di mana 299 koperasi pertanian dan lebih dari 1.100 petani telah mengoperasikan sistem irigasi skala besar berbasis tenaga surya untuk mengatasi kelangkaan air1. Di zona rawan kekeringan, 87 koperasi telah menggunakan irigasi surya untuk meningkatkan hasil panen secara signifikan.

Salah satu petani, Ndwaniye, mengaku hasil panen wortel dan kolnya melonjak dari 1 ton per hektar menjadi 3 ton per hektar setelah dua musim menggunakan irigasi surya1. Teknologi ini kini menjadi standar untuk suplai air di wilayah off-grid Rwanda, didukung oleh program pemerintah dan lembaga internasional.

Studi oleh tim dari University of Sheffield menegaskan bahwa irigasi tenaga surya mampu menekan biaya operasional, menghemat air, dan meningkatkan pendapatan petani. Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman kebutuhan spesifik tanaman dan survei lokasi yang cermat untuk desain sistem yang optimal.

Agenda Riset: Integrasi Nexus dan Model Bisnis Berkelanjutan

Falchetta dkk. menegaskan perlunya agenda riset terintegrasi yang menghubungkan dimensi iklim, air, energi terbarukan, pertanian, dan pembangunan3. Agenda ini menjadi fondasi proyek EC-H2020 LEAP-RE RE4AFAGRI yang bertujuan:

  • Mengembangkan model multi-skala untuk mengintegrasikan kebutuhan air, energi, dan pertanian.
  • Membuat platform analisis terbuka berbasis data spasial dan pemodelan untuk mendukung pengambilan keputusan pemerintah, swasta, dan komunitas lokal.
  • Meneliti dan mengembangkan model bisnis yang layak secara komersial bagi perusahaan swasta dan koperasi petani.
  • Merancang kerangka kerja yang fleksibel agar dapat direplikasi di berbagai konteks negara berkembang.

Komponen Kunci Agenda Riset

  • Integrasi alat pemodelan Nexus dengan perencanaan elektrifikasi, fokus pada energi terbarukan.
  • Penguatan data spasial: pemetaan kebutuhan irigasi, akses listrik, dan potensi energi terbarukan secara detail.
  • Pengembangan model bisnis: meneliti insentif, risiko, dan peluang investasi swasta dalam infrastruktur energi dan air.
  • Kolaborasi multi-aktor: melibatkan universitas, pemerintah, perusahaan energi, koperasi petani, dan lembaga keuangan.

Inovasi Model Bisnis: Dari Mini-Grid hingga Pembiayaan Mikro

Salah satu kendala utama elektrifikasi pedesaan adalah persepsi risiko dan profitabilitas rendah di mata investor swasta. Falchetta dkk. menekankan pentingnya menggeser fokus dari elektrifikasi rumah tangga ke pemanfaatan produktif energi—misalnya untuk irigasi, pengolahan hasil, dan penyimpanan dingin32.

Beberapa model bisnis yang mulai berkembang antara lain:

  • Mini-grid berbasis surya untuk desa atau sentra pertanian, di mana pelanggan produktif (seperti koperasi tani) menjadi “anchor customer” yang menjamin kelayakan finansial proyek.
  • Sistem irigasi surya individual: cocok untuk lahan kecil, mudah dioperasikan, dan biaya perawatan rendah.
  • Skema pembiayaan mikro dan leasing alat pertanian berbasis energi terbarukan, mengurangi beban investasi awal bagi petani.
  • Keterlibatan komunitas dalam pengelolaan dan pemeliharaan, serta bagi hasil dari keuntungan energi dan hasil pertanian.

Dampak dan Peluang: Transformasi Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan

  • Studi di Rwanda menunjukkan hasil panen dapat meningkat hingga tiga kali lipat dengan irigasi surya1.
  • Penggunaan energi terbarukan menurunkan biaya operasional, memperluas akses pasar, dan meningkatkan daya tawar petani.

Pengurangan Kerugian Pascapanen

  • Dengan listrik yang andal, petani bisa memanfaatkan mesin pengolahan, pendingin, dan penyimpanan hasil—mengurangi kerugian 10-20% yang selama ini terjadi karena pembusukan.

Penguatan Ketahanan Iklim dan Lingkungan

  • Irigasi berbasis energi terbarukan mengurangi ketergantungan pada diesel, menekan emisi karbon, dan meminimalisir deforestasi akibat perluasan lahan baru.
  • Diversifikasi sumber energi dan air memperkuat ketahanan terhadap cuaca ekstrem dan perubahan pola hujan.

Pemberdayaan Perempuan dan Pengurangan Ketimpangan

  • Akses energi dan teknologi baru membuka peluang usaha, pendidikan, dan pengurangan beban kerja bagi perempuan di pedesaan.

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Agenda riset Falchetta dkk. sangat progresif karena mengintegrasikan pendekatan lintas sektor dan menekankan pentingnya model bisnis yang berkelanjutan. Namun, tantangan implementasi tetap besar:

  • Pendanaan dan skala: Banyak proyek masih bersifat pilot, belum masif, dan sangat tergantung pada hibah atau donor.
  • Kapasitas teknis lokal: Masih diperlukan pelatihan dan transfer teknologi agar komunitas mampu mengelola sistem secara mandiri.
  • Regulasi dan insentif: Pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif, termasuk insentif pajak, regulasi tarif, dan perlindungan investasi.

Dibandingkan dengan studi lain, seperti proyek Renewable Energy Map di Kamerun yang memetakan potensi dan merancang 54 pembangkit energi terbarukan untuk 480 desa4, pendekatan Falchetta dkk. lebih menekankan integrasi data spasial, pemodelan multi-skala, dan replikasi lintas negara. Sementara proyek di Rwanda dan Uganda menunjukkan keberhasilan nyata di lapangan, agenda riset ini menawarkan kerangka kerja sistematis untuk memperluas dampak ke seluruh Sub-Sahara Afrika.

Keterkaitan dengan Agenda Global dan Tren Industri

Transformasi pertanian berbasis energi terbarukan sangat sejalan dengan SDG7 (energi bersih dan terjangkau), SDG2 (pengentasan kelaparan), SDG13 (aksi iklim), dan SDG8 (pertumbuhan ekonomi inklusif). Inisiatif seperti LEAP-RE, RE4AFAGRI, dan PURE (Productive Use of Renewable Energy) yang didukung oleh lembaga internasional dan pemerintah Afrika menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor dan negara sangat krusial untuk mempercepat adopsi energi terbarukan di sektor pertanian56.

Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

  • Perkuat kolaborasi multi-aktor: Libatkan universitas, pemerintah, swasta, koperasi, dan lembaga keuangan dalam riset, implementasi, dan pembiayaan.
  • Dorong inovasi model bisnis: Fokus pada pemanfaatan produktif energi, pembiayaan mikro, dan mini-grid berbasis komunitas.
  • Bangun kapasitas lokal: Investasi pada pelatihan teknis, manajemen, dan kewirausahaan di tingkat desa.
  • Integrasikan data spasial dan pemodelan: Gunakan platform terbuka untuk pemetaan kebutuhan dan potensi energi, air, dan pertanian.
  • Ciptakan regulasi yang mendukung: Pemerintah perlu memberikan insentif dan perlindungan bagi investasi energi terbarukan di pedesaan.

Penutup

Energi terbarukan bukan sekadar solusi teknis, melainkan fondasi transformasi sosial-ekonomi dan lingkungan di Sub-Sahara Afrika. Agenda riset dan inovasi nyata yang diulas dalam paper ini menunjukkan bahwa integrasi energi terbarukan dalam pertanian mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan ketahanan iklim masyarakat pedesaan. Dengan kolaborasi lintas sektor, inovasi model bisnis, dan dukungan kebijakan yang tepat, Sub-Sahara Afrika berpeluang besar menjadi contoh sukses transisi energi dan pembangunan pertanian berkelanjutan di dunia.

Sumber asli:
Falchetta, G., Adeleke, A., Awais, M., Byers, E., Copinschi, P., Duby, S., Hughes, A., Ireland, G., Riahi, K., Rukera-Tabaro, S., Semeria, F., Shendrikova, D., Stevanato, N., Troost, A., Tuninetti, M., Vinca, A., Zulu, A., & Hafner, M. (2022). A renewable energy-centred research agenda for planning and financing Nexus development objectives in rural sub-Saharan Africa. Energy Strategy Reviews, 43, 100922.

Selengkapnya
Mendorong Transformasi Pertanian Sub-Sahara Afrika Melalui Energi Terbarukan: Agenda Riset, Studi Kasus, dan Implikasi Nyata

Perubahan Iklim

Menguatkan Ketahanan Iklim di Kawasan Pegunungan: Pendekatan dari Uttarakhand dan Pelajaran untuk Kawasan Pegunungan Lain

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Tantangan Unik Kawasan Pegunungan terhadap Perubahan Iklim

Kawasan pegunungan merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena karakteristik geografis dan ekosistemnya yang unik. Sekitar 13% populasi dunia, yaitu sekitar 915 juta orang, tinggal di daerah pegunungan, dengan 150 juta di antaranya berada di ketinggian lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut. Pegunungan juga menjadi habitat bagi lebih dari 85% spesies amfibi, burung, dan mamalia dunia, banyak yang endemik dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Selain itu, pegunungan berfungsi sebagai "menara air" yang menopang kebutuhan air bagi jutaan orang di dataran rendah1.

Namun, kondisi topografi yang terjal dan ekosistem yang rapuh membuat kawasan ini menghadapi risiko bencana yang kompleks, seperti longsor, banjir bandang, dan glacial lake outburst floods (GLOF). Data dari 1985 hingga 2014 menunjukkan bahwa di kawasan Hindu Kush Himalaya terjadi 323 bencana besar dengan kerugian ekonomi mencapai USD 44,7 miliar dan korban jiwa sebanyak 26.991 orang1.

Kerentanan Sosial dan Ekonomi di Pegunungan

Penduduk pegunungan cenderung lebih rentan secara sosial dan ekonomi dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kemiskinan lebih tinggi, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terbatas, serta isolasi geografis memperparah kerentanan mereka. Kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak seringkali paling terdampak, terutama karena keterbatasan akses informasi dan sumber daya. Migrasi penduduk usia produktif ke luar daerah menambah beban bagi perempuan dan lansia yang tertinggal, sehingga memperbesar risiko sosial dan ekonomi1.

Studi Kasus: Ketahanan Iklim di Uttarakhand, India

Uttarakhand merupakan negara bagian di India yang 93% wilayahnya berupa pegunungan Himalaya. Dengan populasi sekitar 10,1 juta jiwa, wilayah ini menjadi sumber dua sungai besar India, Gangga dan Yamuna. Ekonomi utama di sana meliputi pertanian, hortikultura, pariwisata, dan energi hidro1.

Dampak Perubahan Iklim dan Bencana

Uttarakhand telah mengalami bencana besar yang terkait dengan perubahan iklim. Pada Juni 2013, banjir bandang akibat hujan ekstrem dan mencairnya gletser Chorabari menewaskan lebih dari 5.700 orang. Pada Februari 2021, runtuhnya sebagian gletser Nanda Devi menyebabkan lebih dari 100 orang hilang. Kejadian ini menegaskan urgensi penguatan ketahanan iklim di wilayah tersebut1.

Upaya Penguatan Ketahanan Iklim

Pemerintah Uttarakhand telah memperkuat tata kelola dan kapasitas pengurangan risiko bencana melalui:

  • Koordinasi multi-level antara pemerintah pusat, negara bagian, dan komunitas lokal untuk pengelolaan risiko secara terpadu, termasuk pengelolaan sumber daya air dan mitigasi bencana.
  • Pendanaan inovatif, seperti integrasi pertimbangan ketahanan iklim dalam anggaran daerah, pendanaan adaptasi nasional, serta dukungan donor internasional. Contohnya adalah pengembangan asuransi indeks cuaca untuk petani yang menanam jahe, kentang, tomat, dan kacang polong.
  • Pengembangan data dan teknologi, termasuk pemasangan stasiun meteorologi, sistem peringatan dini, dan penggunaan teknologi geospasial untuk pemantauan risiko bencana.
  • Solusi berbasis alam, seperti rehabilitasi hutan untuk mencegah longsor dan restorasi sistem pengelolaan air tradisional, yang juga memberikan manfaat ekologis dan sosial1.

Mekanisme dan Pendekatan Penguatan Ketahanan Iklim di Pegunungan

Penguatan ketahanan iklim di kawasan pegunungan memerlukan pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik geografis dan sosial-ekonomi unik wilayah tersebut. Beberapa mekanisme utama meliputi:

  • Tata kelola multi-level dan lintas sektor untuk memastikan kebijakan dan program yang terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk komunitas adat dan organisasi masyarakat sipil.
  • Instrumen kebijakan dan ekonomi, seperti regulasi tata ruang untuk menghindari pembangunan di daerah rawan bencana, serta program pembayaran jasa lingkungan (Payments for Ecosystem Services/PES) yang memberikan insentif bagi konservasi ekosistem oleh masyarakat lokal.
  • Pendanaan yang adaptif dan inovatif, termasuk penggabungan ketahanan iklim dalam perencanaan anggaran, fasilitasi akses ke dana iklim, dan pengembangan skema asuransi yang sesuai dengan kondisi pegunungan.
  • Monitoring, evaluasi, dan pembelajaran yang berkelanjutan untuk menyesuaikan kebijakan dan program berdasarkan data dan pengalaman lapangan.
  • Peningkatan kapasitas dan kesadaran melalui pelatihan, pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan risiko.
  • Pemanfaatan teknologi, seperti sistem peringatan dini berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi geospasial untuk pemetaan risiko dan perencanaan adaptasi1.

Pelajaran dari Kawasan Pegunungan Lain

Selain Uttarakhand, kawasan pegunungan di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa. Misalnya:

  • Di Andes, petani harus memindahkan lahan pertanian ke ketinggian lebih tinggi, namun tanaman tradisional seperti kentang dan oca terancam punah.
  • Di Afrika Timur, monitoring deforestasi telah mendorong program restorasi hutan yang meningkatkan produktivitas lahan.
  • Di Pegunungan Carpathians, kualitas air menurun akibat pencemaran dan over-eksploitasi, diperparah oleh perubahan iklim1.

Relevansi dan Rekomendasi untuk Indonesia

Indonesia memiliki banyak kawasan pegunungan yang juga rentan terhadap perubahan iklim, seperti di Sumatera, Jawa, Papua, dan Sulawesi. Pelajaran dari Uttarakhand dan kawasan lain dapat menjadi acuan, antara lain:

  • Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan wilayah, khususnya antara daerah hulu dan hilir dalam pengelolaan sumber daya air dan mitigasi bencana.
  • Mengembangkan dan memperluas program asuransi indeks cuaca dan pembayaran jasa lingkungan berbasis komunitas.
  • Memperkuat kapasitas data dan teknologi, termasuk pemasangan stasiun cuaca dan sistem peringatan dini yang mudah diakses masyarakat.
  • Mendorong solusi berbasis alam yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dan tradisional.
  • Meningkatkan literasi iklim dan teknologi di sekolah dan komunitas pegunungan untuk membangun kesadaran dan kapasitas adaptasi.
  • Memastikan pendanaan yang memadai dan inovatif untuk mendukung program adaptasi dan mitigasi di pegunungan1.

Penutup

Ketahanan iklim di kawasan pegunungan menuntut pendekatan yang holistik dan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan ekologis. Studi kasus Uttarakhand menunjukkan bahwa penguatan tata kelola, inovasi pendanaan, pemanfaatan teknologi, dan solusi berbasis alam adalah kunci untuk menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengadopsi dan mengadaptasi praktik-praktik ini untuk membangun masa depan pegunungan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Kato, T., M. Rambali and V. Blanco-Gonzalez (2021), “Strengthening climate resilience in mountainous areas”, OECD Development Co-operation Working Papers, No. 104, OECD Publishing, Paris.

Selengkapnya
Menguatkan Ketahanan Iklim di Kawasan Pegunungan: Pendekatan dari Uttarakhand dan Pelajaran untuk Kawasan Pegunungan Lain

Kebijakan Infrastruktur Air

Smart Water Utility Tingkatkan Efisiensi dan Inovasi Pengelolaan Air Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang semakin kompleks, kebutuhan akan pengelolaan air yang cerdas menjadi keharusan. Buku Smart Water Utilities: Complexity Made Simple karya Pernille Ingildsen dan Gustaf Olsson memberikan pendekatan revolusioner terhadap utilitas air dengan menyederhanakan kompleksitas tersebut. Buku ini bukan sekadar teori; ia menawarkan solusi nyata melalui konsep M-A-D (Measure – Analyse – Decide) yang dirancang untuk mengoptimalkan pengambilan keputusan di semua tingkatan pengelolaan air.

Konteks Global dan Relevansi

Dengan prediksi 75% penduduk dunia akan tinggal di kota pada 2050, dan kebutuhan air terus meningkat, efisiensi dan keandalan sistem air menjadi isu krusial. Buku ini menjawab tantangan ini melalui konsep Smart Water, yang tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga membangun kesadaran sistemik—mengintegrasikan sains, teknologi, dan kebijakan dalam satu kerangka.

Konsep Inti: M-A-D – Measure, Analyse, Decide

1. Measure (Pengukuran)

Pengukuran real-time adalah dasar dari sistem air pintar. Sensor yang dapat mengukur kualitas dan kuantitas air secara langsung memungkinkan data dikumpulkan secara otomatis dan berkelanjutan.

2. Analyse (Analisis)

Penggunaan model matematika dan alat analisis kontekstual memungkinkan data mentah diubah menjadi informasi yang dapat ditindaklanjuti. Analisis ini mencakup pola harian konsumsi, prediksi gangguan sistem, hingga simulasi kebocoran.

3. Decide (Keputusan)

Keputusan dibuat dalam tiga tingkat:

  • Otomatis: Melalui pengendalian sistem.
  • Operasional: Pengaturan set point.
  • Strategis: Perencanaan dan pengelolaan sumber daya jangka panjang.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik

1. Kalundborg Utility – Denmark

Utilitas ini menerapkan circular water economy, menggabungkan pengolahan air minum, air limbah, dan energi panas distrik. Mereka juga membuka kolaborasi dengan startup untuk menguji inovasi teknologi air.

2. Penggunaan Sensor dan Online Model

  • Implementasi sensor DO (dissolved oxygen) untuk pengendalian biologis air limbah.
  • Model matematika real-time digunakan untuk mengatur aliran berdasarkan prediksi cuaca.

3. Penerapan Global

Buku mencakup studi kasus dari 11 negara, termasuk:

  • China: Tantangan air bersih di wilayah utara.
  • India: Polusi air permukaan dan tanah.
  • Meksiko: Kota Meksiko mengalami penurunan tanah akibat ekstraksi air tanah.
  • USA: Penurunan air di Lake Mead mempengaruhi pembangkit Hoover Dam.

Kritik dan Analisis Tambahan

Nilai tambah utama buku ini adalah kemampuannya mendekatkan konsep teknis dengan pendekatan manusiawi dan strategis. Bahkan, analogi yang digunakan dengan psikologi Carl Jung dan sistem saraf manusia menunjukkan bahwa pengendalian air tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal persepsi, pengalaman, dan pembelajaran sistemik.

Contoh diagnosis sistem kontrol air digambarkan layaknya penyakit psikologis:

  • Amnesia: Tidak menyimpan data historis.
  • ADHD: Tidak menyelesaikan sistem kontrol.
  • Schizophrenia: Tujuan sistem yang bertentangan di berbagai bagian jaringan air.

Analogi ini menyederhanakan pemahaman teknis sekaligus menyampaikan urgensi akan sistem air yang adaptif, terukur, dan terkontrol.

Tren dan Tantangan Masa Depan

Buku ini menyebutkan 10 tren utama dalam pengembangan Smart Water Utility, termasuk:

  • Pemanfaatan energi dari air limbah.
  • Peningkatan reusabilitas air.
  • Peningkatan peran operator melalui edukasi berbasis data.
  • Kolaborasi antar sektor: industri, akademisi, pemerintah.

Namun, terdapat tantangan besar seperti:

  • Kurangnya standar integrasi teknologi.
  • Keterbatasan kapasitas SDM dalam memahami data.
  • Biaya investasi awal yang tinggi.

Hubungan dengan Tren Industri dan SDGs

Smart Water Utility memiliki peran vital dalam mencapai SDGs, terutama Tujuan 6 (Akses Air Bersih dan Sanitasi) dan Tujuan 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Penerapan konsep M-A-D memungkinkan kota merespons cepat krisis air, efisiensi energi, dan kebutuhan populasi perkotaan.

Dalam konteks Indonesia, urbanisasi pesat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menuntut transformasi sistem air menuju versi 2.0 seperti yang dikemukakan dalam buku ini. Penerapan Smart Water bukan pilihan, tapi keniscayaan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Buku Smart Water Utilities: Complexity Made Simple berhasil memberikan peta jalan menuju masa depan pengelolaan air yang lebih pintar dan berkelanjutan. Pendekatannya yang sistematis, analogis, dan praktis menjadikannya bahan bacaan wajib bagi manajer utilitas, pembuat kebijakan, dan insinyur air.

Rekomendasi kebijakan dan praktik:

  • Pemerintah dan utilitas air harus berinvestasi dalam pendidikan SDM berbasis teknologi air.
  • Perlu insentif fiskal untuk adopsi sensor, pemodelan matematis, dan kontrol otomatis.
  • Perusahaan startup teknologi air harus didorong sebagai bagian dari ekosistem inovasi.

Sumber : Ingildsen, P., & Olsson, G. (2020). Smart Water Utilities: Complexity Made Simple. IWA Publishing.

Selengkapnya
Smart Water Utility Tingkatkan Efisiensi dan Inovasi Pengelolaan Air Global
« First Previous page 20 of 1.119 Next Last »