Mengapa Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Semakin Penting?
Pantai-pantai Indonesia, khususnya di selatan Pulau Jawa, menjadi magnet utama wisatawan domestik dan mancanegara. Namun, di balik pesona “3S—sand, sea, sun”, kawasan ini menyimpan risiko bencana tsunami yang nyata. Kejadian tsunami besar di Aceh (2004), Pangandaran (2006), dan Banten (2018) menjadi pengingat bahwa wisata bahari harus diimbangi dengan manajemen risiko bencana yang kuat. Paper oleh Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, dan Dina Ruslanjari (2024) mengupas tuntas kesiapsiagaan pengguna pantai di Bantul, DIY, dalam menghadapi ancaman tsunami—sebuah studi yang sangat relevan di tengah tren pertumbuhan pesat pariwisata pesisir.
Latar Belakang: Bantul, Pariwisata, dan Ancaman Tsunami
Bantul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki garis pantai yang menjadi destinasi favorit jutaan wisatawan setiap tahun. Tiga pantai utama—Parangtritis, Depok, dan Baru—menjadi lokasi penelitian karena karakteristiknya yang unik, baik dari sisi wisata maupun potensi bencana. Secara geologis, pesisir selatan Bantul berhadapan langsung dengan zona subduksi Sunda Megathrust, sumber utama gempa dan tsunami besar di Indonesia. Meski catatan tsunami di Bantul tidak sebanyak di daerah lain, potensi bencana tetap tinggi, apalagi dengan prediksi probabilitas tsunami besar (>3 meter) sebesar 2,1% per tahun di wilayah ini.
Metode: Survei Kesiapsiagaan Pengguna Pantai
Penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan wawancara langsung terhadap 221 pengguna pantai (wisatawan dan warga lokal) di tiga pantai utama. Survei dilakukan pada akhir pekan, saat kunjungan wisata memuncak, agar hasilnya merepresentasikan berbagai segmen pengunjung. Kuesioner meliputi profil demografi, karakteristik perjalanan, kesadaran risiko, pengetahuan tentang peringatan bahaya, dan perilaku evakuasi yang direncanakan.
Temuan Utama: Tingkat Kesadaran, Pengetahuan, dan Perilaku Evakuasi
1. Profil Responden dan Karakteristik Kunjungan
- 81% responden adalah pengunjung (bukan warga Bantul), dengan proporsi terbesar berasal dari DIY (selain Bantul) dan luar DIY.
- Mayoritas responden laki-laki (59,3%), usia produktif 30–49 tahun (53,4%), dan berpendidikan SMA ke atas (83,7%).
- Hampir setengah responden sudah lebih dari lima kali berkunjung ke pantai, namun sekitar 20% baru pertama kali.
2. Kesadaran Risiko Bencana
- 73,8% responden menyebut tsunami sebagai ancaman utama di pantai Bantul, diikuti gempa (61,5%) dan gelombang ekstrem (48,9%).
- Hanya 6,8% yang tidak tahu bahaya apa saja yang mengancam.
- Sumber informasi utama: internet/media sosial (65,2%), TV/radio (41,6%), percakapan informal (24%), pengalaman pribadi (21,3%).
- Responden lokal lebih banyak tahu tentang bahaya dibanding pengunjung, terutama pengunjung dari luar DIY yang paling minim pengetahuan.
3. Pengetahuan Sejarah Tsunami
- Hanya 34,8% responden tahu bahwa tsunami pernah terjadi di pesisir selatan Jawa (1994 dan 2006), dan cuma 8,6% yang tahu tsunami pernah sampai ke Bantul.
- Mayoritas (77,8%) yakin tsunami belum pernah terjadi di Bantul, bahkan di kalangan warga lokal.
- Persepsi risiko tsunami di Bantul rata-rata sedang (skor 2,7 dari 5), dengan warga lokal cenderung memberi skor lebih rendah dari pengunjung.
4. Pengetahuan Tanda Peringatan Bahaya
- 44,8% responden menilai kekuatan dan durasi gempa adalah indikator utama tsunami, 31,7% hanya melihat kekuatan gempa.
- Hanya 3,2% yang benar-benar paham bahwa durasi gempa (bukan hanya kekuatan) adalah kunci—padahal dua tsunami besar di Jawa dipicu gempa “slow rupture” yang getarannya lemah.
- 45,7% tahu tanda alami tsunami adalah surutnya air laut, namun 38,5% tidak tahu tanda-tanda alami apapun.
- Hanya 25% responden pernah melihat atau tahu sistem peringatan dini tsunami di Bantul (siren, pengumuman BMKG). Pengunjung luar DIY paling tidak tahu (14,6%).
5. Pengetahuan Waktu Datangnya Tsunami
- 49,1% responden tahu tsunami lokal bisa tiba kurang dari 1 jam setelah gempa, sisanya salah paham atau tidak tahu.
- Banyak pengunjung luar DIY yang tidak tahu waktu kedatangan tsunami.
6. Perilaku Evakuasi yang Direncanakan
- 57,9% responden akan langsung evakuasi setelah gempa, 14,9% menunggu peringatan resmi, 10% menunggu tanda alam lain, 7,2% baru evakuasi setelah melihat gelombang.
- Arah evakuasi paling banyak dipilih adalah menjauh ke daratan (horizontal), diikuti ke bukit atau bangunan tinggi.
- Mayoritas (sekitar 55%) memilih berjalan kaki/lari sebagai moda evakuasi, sisanya naik motor/mobil sesuai moda transportasi saat datang ke pantai.
- Tingkat pemahaman rute evakuasi rata-rata sedang (skor 2,7 dari 5), terendah pada pengunjung pertama kali dan pengunjung luar DIY.
Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang di Bantul
Tantangan
- Kurangnya pengetahuan sejarah tsunami di kalangan pengunjung dan bahkan warga lokal. Padahal, pengalaman masa lalu sangat penting untuk membangun budaya siaga.
- Miskonsepsi tentang tanda tsunami: Banyak yang mengira tsunami hanya terjadi jika gempa terasa kuat, padahal tsunami di selatan Jawa sering dipicu gempa yang getarannya lemah.
- Minimnya pengetahuan sistem peringatan dini di kalangan pengunjung, khususnya dari luar DIY, membuat mereka sangat rentan.
- Evakuasi horizontal lebih dipilih karena keterbatasan infrastruktur vertikal (bangunan tinggi atau bukit). Di beberapa pantai seperti Baru, jarak ke bukit cukup jauh, sehingga waktu evakuasi sangat kritis.
- Pemahaman rute evakuasi masih rendah, terutama bagi pengunjung baru dan luar daerah.
Peluang dan Rekomendasi
- Kampanye edukasi tsunami harus diperluas, tidak hanya untuk warga lokal tapi juga untuk wisatawan. Informasi bisa disisipkan di tiket masuk, papan informasi multibahasa, dan media sosial destinasi wisata.
- Prinsip 20/20/20 perlu disosialisasikan: Jika terjadi gempa selama 20 detik, segera evakuasi dalam 20 menit ke tempat setinggi minimal 20 meter.
- Penekanan pada tanda-tanda alami yang bervariasi: Tidak semua tsunami diawali surutnya air laut, sehingga edukasi harus menekankan keragaman tanda bahaya.
- Peningkatan infrastruktur evakuasi: Penambahan jalur dan penanda evakuasi, serta penguatan bangunan vertikal di lokasi strategis.
- Pelibatan pelaku wisata dan komunitas lokal sebagai agen komunikasi risiko, mengingat pengunjung cenderung bergantung pada inisiatif tuan rumah saat darurat.
- Simulasi rutin dan pelatihan evakuasi yang melibatkan wisatawan, operator wisata, dan masyarakat lokal untuk membangun refleks tanggap darurat.
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Penelitian ini sejalan dengan temuan di Jepang, Norwegia, dan Bali, di mana wisatawan cenderung memiliki pengetahuan lebih rendah tentang risiko tsunami dibanding penduduk lokal. Studi di Kamakura, Jepang, dan Bali, Indonesia, juga menyoroti pentingnya edukasi tanda bahaya dan rute evakuasi bagi wisatawan. Di negara-negara maju sekalipun, tantangan utama adalah memastikan semua pengunjung paham sistem peringatan dan rute penyelamatan.
Tren global menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana di destinasi wisata harus adaptif, berbasis komunitas, dan mengintegrasikan teknologi (aplikasi peringatan dini, peta digital rute evakuasi) dengan pendekatan sosial-budaya setempat.
Opini dan Kritik
Studi ini sangat relevan untuk konteks Indonesia yang sedang menggenjot sektor pariwisata pesisir. Namun, ada beberapa catatan penting:
- Metode convenience sampling memang efisien, tapi membatasi generalisasi hasil. Survei lanjutan dengan sampling acak dan melibatkan wisatawan internasional akan memperkaya hasil.
- Kurangnya pengukuran perilaku nyata (bukan hanya niat evakuasi) menjadi tantangan umum dalam riset kesiapsiagaan. Studi longitudinal atau simulasi dapat memberikan gambaran lebih akurat.
- Keterlibatan institusi wisata (hotel, operator tur) dalam edukasi dan simulasi masih perlu didorong lebih sistematis.
Implikasi untuk Industri Pariwisata dan Pemerintah
- Destinasi wisata harus menjadikan kesiapsiagaan bencana sebagai bagian dari standar layanan. Sertifikasi “safe tourism” bisa menjadi nilai tambah daya saing.
- Pemerintah daerah perlu memperkuat sinergi dengan pelaku wisata untuk edukasi, simulasi, dan penyediaan infrastruktur evakuasi.
- Pengembangan aplikasi mobile yang menyediakan info real-time tentang peringatan tsunami, rute evakuasi, dan tips keselamatan bisa menjadi inovasi strategis.
Kesimpulan
Kesiapsiagaan tsunami di kawasan wisata pantai Bantul masih menghadapi tantangan utama pada aspek pengetahuan sejarah bencana, pemahaman tanda peringatan, dan penguasaan rute evakuasi—terutama di kalangan pengunjung luar daerah. Meski kesadaran risiko cukup tinggi, kesiapan praktis masih perlu ditingkatkan. Upaya edukasi, penguatan infrastruktur, dan pelibatan multi-pihak menjadi kunci membangun destinasi wisata yang benar-benar tangguh bencana.
Sumber asli:
Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, Dina Ruslanjari (2024). Tsunami risk awareness, hazard warning knowledge, and intended evacuation behavior among beach users in Bantul, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 109.