Sosiohidrologi

Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Community-Based Monitoring (CBM) atau pemantauan berbasis komunitas, telah menjadi strategi yang berkembang pesat dalam upaya pelestarian lingkungan. Artikel ilmiah "Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists" karya Tyler Carlson dan Alice Cohen menyoroti hubungan antara data lingkungan yang dikumpulkan oleh warga dengan penggunaan data tersebut dalam kebijakan pemerintah, khususnya dalam konteks sumber daya air di Kanada.

Mengapa CBM Diperlukan dan Bagaimana Itu Bekerja?

CBM memungkinkan masyarakat lokal baik ilmuwan warga maupun relawan untuk mengukur kualitas air melalui parameter seperti pH, suhu, oksigen terlarut, dan konduktivitas. Pendekatan ini bukan hanya menambah cakupan pemantauan air yang tidak mampu dijangkau oleh pemerintah, tetapi juga meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan keterlibatan publik terhadap isu lingkungan lokal.

Fakta penting:

  • Rata-rata usia program CBM adalah 8,9 tahun, dengan rentang antara kurang dari 1 tahun hingga 47 tahun.
  • Sejak tahun 2000 hingga 2016, jumlah program CBM naik empat kali lipat di Kanada.
  • 78% responden mengikuti protokol pemantauan standar, menunjukkan perbaikan integritas data.

Masalah Utama: Data Tak Diterima Pemerintah

Meski sebagian besar program CBM mengikuti standar ilmiah, hanya 46% responden menyatakan bahwa data mereka digunakan dalam kebijakan pemerintah. Bahkan, 30% menyatakan data mereka diabaikan, dan 24% tidak tahu apakah datanya dimanfaatkan.

Studi kasus menarik:
Program yang menjalin kemitraan dengan pemerintah dan jaringan CBM lainnya memiliki tingkat efektivitas tertinggi (74%) dalam mencapai tujuan awal mereka. Sebaliknya, hanya 29% dari program tanpa kemitraan yang merasa program mereka efektif.

Motivasi Warga Beragam, Tapi Tetap Konsisten

Dari hasil survei terhadap 121 organisasi, lima alasan utama warga melakukan CBM adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap ekosistem lokal (52%)
  2. Edukasi & literasi lingkungan (27%)
  3. Kekosongan data dari pemerintah (22%)
  4. Mempengaruhi kebijakan (20%)
  5. Riset jangka panjang (15%)

Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan bisa berbeda, kebutuhan akan data lingkungan dari warga sangat penting.

Studi Kasus Implementasi di Lapangan

CBM digunakan oleh warga untuk berbagai tujuan lokal seperti:

  • Dampak pertambangan (8 kasus)
  • Pertanian & urbanisasi (14 kasus)
  • Banjir, logging, rekreasi, dan PLTA (10+ kasus)

Namun, keberhasilan CBM dalam memengaruhi kebijakan sangat bergantung pada tiga faktor:

  1. Usia program: Program >15 tahun memiliki tingkat adopsi kebijakan 58%.
  2. Jenis protokol: Protokol pemerintah daerah memiliki tingkat adopsi 50%, dibandingkan protokol federal hanya 25%.
  3. Kemitraan: Program dengan kolaborasi ganda lebih sukses dalam menciptakan perubahan.

Antara Data Berkualitas dan Keterlibatan Warga

Ironisnya, banyak ilmuwan masih meragukan kredibilitas data CBM. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kesalahan data warga setara dengan ilmuwan profesional, terutama dalam parameter sederhana seperti suhu dan pH. Bahkan, ketika komunitas diberi pelatihan dan alat ukur memadai, mereka dapat menghasilkan data setara kualitas laboratorium.

Masalah utama bukan kualitas data, melainkan akses dan komunikasi antar lembaga. Banyak pemerintah tidak transparan soal apakah dan bagaimana mereka memakai data CBM. Kurangnya umpan balik ini menyebabkan kebingungan dan demoralisasi komunitas.

Menuju Kolaborasi dan Kebijakan yang Lebih Inklusif

Para penulis menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak melihat CBM sebagai alternatif murah dari riset ilmiah resmi. CBM harus dianggap sebagai mitra strategis dalam pengumpulan data jangka panjang, terutama mengingat tantangan fiskal dan geografis yang dihadapi negara seperti Kanada.

Rekomendasi dari penelitian ini:

  • Pemerintah perlu memberikan pendanaan jangka panjang dan pelatihan teknis kepada program CBM.
  • Standarisasi protokol harus fleksibel, agar tidak menghilangkan pendekatan lokal dan kearifan lokal.
  • Harus ada mekanisme umpan balik agar warga tahu bagaimana data mereka digunakan.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Meskipun studi ini dilakukan di Kanada, pelajarannya sangat relevan bagi negara-negara lain seperti Indonesia, yang memiliki banyak komunitas lokal yang peduli terhadap sumber daya air namun kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Untuk menjadikan CBM sebagai alat transformasi, diperlukan:

  • Integrasi data CBM ke sistem informasi resmi.
  • Peningkatan kapasitas digital dan teknologi di komunitas lokal.
  • Pendekatan multi-aktor: melibatkan LSM, pemerintah, industri, dan universitas.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan dan potensi CBM sebagai jembatan antara warga dan pembuat kebijakan. Dengan menjembatani kesenjangan antara pengetahuan lokal dan keputusan formal, CBM dapat menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Sumber: Carlson, T., & Cohen, A. (2018). Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists. Journal of Environmental Management, 219, 168–177. DOI: 10.1016/j.jenvman.2018.04.077

Selengkapnya
Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Sumber Daya Air

Model Dinamika Sistem untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Studi Nexus Air-Pangan-Energi di Khuzestan, Iran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Krisis air, pangan, dan energi kini menjadi tantangan utama pembangunan berkelanjutan, terutama di kawasan yang mengalami pertumbuhan penduduk pesat dan tekanan ekonomi tinggi. Paper “System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach” (Keyhanpour, Musavi Jahromi, Ebrahimi, 2021) menawarkan pendekatan baru berbasis model dinamika sistem (system dynamics/SD) untuk mengelola keterkaitan kompleks antara air, pangan, dan energi (Nexus WFE). Studi ini berfokus pada Provinsi Khuzestan, Iran—wilayah strategis yang kaya sumber daya namun rawan krisis air akibat tekanan pertanian, industri, dan pertumbuhan ekonomi.

Resensi ini akan membedah konsep, metodologi, hasil simulasi, serta relevansi kebijakan dari studi tersebut, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan praktik tata kelola sumber daya lintas sektor.

Latar Belakang: Mengapa Pendekatan Nexus Penting?

  • Pertumbuhan penduduk dunia menambah 80 juta jiwa per tahun, konsumsi air global naik 1% per tahun.
  • Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan tepat, hanya 60% kebutuhan air dunia yang akan terpenuhi pada 2030.
  • Untuk memenuhi kebutuhan pangan 2050, produksi pertanian harus naik 60%; konsumsi energi naik 50% hingga 2035.
  • Di Asia, persaingan antar sektor atas sumber daya air, pangan, dan energi kian tajam, memicu risiko krisis multidimensi.

Nexus WFE menekankan pentingnya melihat keterkaitan dan dampak lintas sektor—misal, irigasi pertanian menyedot air dan energi, sementara industri energi juga butuh air dalam jumlah besar. Pendekatan ini menuntut kebijakan lintas sektor, bukan lagi parsial.

Studi Kasus: Khuzestan, Iran—“Jantung Air dan Energi” yang Terancam

Profil Wilayah

  • Khuzestan mencakup bagian dari tiga DAS besar: Karkheh, Grand Karun, dan Zohreh-Jarahi.
  • Menyimpan 17% area Karkheh, 43% Grand Karun, dan 61% Zohreh-Jarahi.
  • 80% minyak dan 16% gas Iran berasal dari Khuzestan, menjadikan wilayah ini pusat ekonomi energi nasional.
  • Memiliki 9 bendungan besar, sungai permanen, dan potensi pertanian tinggi (tiga kali panen/tahun di banyak area).
  • Namun, tekanan pada air permukaan dan tanah meningkat akibat ekspansi pertanian dan industri.

Metodologi: Model Dinamika Sistem Berbasis Nexus WFE

Konsep dan Struktur Model

  • Model dibangun dalam tiga subsistem: air, pangan, dan energi, dengan hubungan sebab-akibat dan umpan balik (feedback loop).
  • Data diambil dari lembaga resmi Iran (2011–2016), simulasi dilakukan untuk horizon 20 tahun.
  • Validasi model menggunakan Root Mean Square Percentage Error (RMSPE) untuk membandingkan hasil simulasi dan data historis.

Variabel Kunci

  • Air: curah hujan, air permukaan, air tanah, konsumsi sektor pertanian, industri, domestik, dan energi.
  • Pangan: produksi pertanian, perikanan, peternakan, konsumsi pangan, efisiensi irigasi, pola tanam.
  • Energi: produksi dan konsumsi energi (fosil, hidro, lainnya), kebutuhan air untuk pembangkit dan industri, polusi air dari sektor energi.

Studi Sensitivitas

  • Analisis sensitivitas (Monte Carlo) untuk mengidentifikasi leverage point: pola tanam, teknologi irigasi, durasi pengembangan pertanian.
  • Hasil: perubahan pada variabel-variabel ini sangat memengaruhi keamanan air, pangan, dan energi.

Hasil Simulasi: Proyeksi dan Evaluasi Kebijakan

Validasi Model

  • RMSPE untuk variabel utama (curah hujan, produksi pangan, konsumsi air pertanian, energi fosil) di bawah 5%, menunjukkan model cukup akurat.
  • Contoh: produksi pangan simulasi 15,9 juta ton (2016), data aktual 15,2 juta ton.

Simulasi Dasar (Tanpa Intervensi)

  • Tren penurunan air tanah dan air permukaan selama 20 tahun.
  • Kenaikan permintaan air dan energi, sementara keamanan air dan pangan menurun jika tidak ada kebijakan baru.

Analisis Kebijakan: Empat Skenario Strategis

1. Manajemen Suplai Air

  • Mengurangi pembangunan pembangkit hidro, meningkatkan air terbarukan di sektor urban, energi, dan industri.
  • Hasil: Kenaikan ketersediaan air, tetapi dampak terbatas jika permintaan tetap tinggi.

2. Manajemen Permintaan Air

  • Fokus pada efisiensi irigasi dan perubahan pola tanam.
  • Pengembangan teknologi irigasi (dari 30% ke 46% lahan irigasi bertekanan) bisa menghemat 16% kebutuhan irigasi.
  • Modifikasi pola tanam (misal, mengurangi padi, meningkatkan tanaman hemat air) potensi efisiensi air hingga 10%.

3. Manajemen Sumber Pangan

  • Mengurangi kehilangan pangan pra dan pasca panen (target penurunan dari 12% jadi 6%).
  • Modifikasi pola konsumsi dan peningkatan produktivitas pertanian (target kenaikan hasil 5%).
  • Hasil: Ketahanan pangan meningkat, tekanan pada air dan energi menurun.

4. Manajemen Permintaan Energi

  • Mengurangi konsumsi air dan energi di industri minyak, pembangkit, dan petrokimia (target efisiensi 5–10%).
  • Mengurangi polusi air dari industri hingga 15%.
  • Hasil: Kebutuhan air untuk energi turun, kualitas air membaik, konsumsi energi lebih efisien.

Kombinasi Kebijakan Terbaik

  • Simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan manajemen permintaan air dan pangan paling efektif meningkatkan keamanan air, pangan, dan energi.
  • Proyeksi 20 tahun: keamanan air dan pangan meningkat signifikan dibanding skenario business as usual.

Angka-Angka Kunci dari Studi

  • Efisiensi irigasi naik 16% → kebutuhan air irigasi turun drastis.
  • Perbaikan pola tanam 10% → konsumsi air sektor pertanian menurun.
  • Penurunan kehilangan pangan 6% → suplai pangan nasional naik tanpa perluasan lahan.
  • Peningkatan hasil pertanian 5% → suplai pangan naik, tekanan air dan energi turun.
  • Efisiensi energi dan pengurangan polusi industri 5–15% → kualitas air dan efisiensi energi membaik.

Studi Kasus: Efisiensi Irigasi dan Pola Tanam di Khuzestan

  • Wheat (gandum): irigasi permukaan efisiensi 40% (5.100 m³/ha); irigasi bertekanan efisiensi 65% (3.825 m³/ha).
  • Tomat: irigasi permukaan 45% (6.000 m³/ha); irigasi bertekanan 85% (3.600 m³/ha).
  • Dates (kurma): irigasi permukaan 48% (17.500 m³/ha); irigasi bertekanan 85% (11.025 m³/ha).
  • Target: konversi ke irigasi bertekanan dan pergeseran ke tanaman hemat air secara signifikan mengurangi kebutuhan air total.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Model

  • Integratif: Mampu mensimulasikan dampak lintas sektor secara dinamis dan interaktif.
  • Berbasis data dan validasi: Model diverifikasi dengan data historis dan masukan ahli.
  • Kebijakan berbasis bukti: Hasil simulasi memberikan dasar kuat untuk perumusan kebijakan lintas sektor.

Keterbatasan

  • Model belum memasukkan variabel air virtual, daur ulang air limbah, dan dampak perubahan iklim secara rinci.
  • Dinamika sosial-politik dan perilaku petani/industri belum dimodelkan secara eksplisit.
  • Studi berbasis pada satu provinsi; aplikasi ke wilayah lain perlu adaptasi variabel lokal.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi serupa di China, Maroko, dan Spanyol juga menunjukkan bahwa efisiensi irigasi dan perubahan pola tanam adalah leverage point utama penghematan air dan energi.
  • Namun, keberhasilan implementasi sangat tergantung pada insentif ekonomi, edukasi petani, dan dukungan kebijakan lintas sektor.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

  • Pemerintah: Perlu mengintegrasikan kebijakan air, pangan, dan energi secara lintas kementerian; insentif untuk efisiensi irigasi dan pola tanam adaptif sangat krusial.
  • Industri: Sektor energi dan pertanian harus berinvestasi dalam teknologi hemat air dan energi serta pengolahan limbah.
  • Masyarakat: Edukasi publik tentang konsumsi pangan dan air, serta partisipasi dalam program efisiensi, menjadi kunci keberhasilan.

Keterkaitan dengan Tren Global

Pendekatan Nexus WFE kini diadopsi secara luas oleh lembaga internasional (FAO, UNESCAP, World Economic Forum) untuk mendukung SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), dan SDG 7 (Affordable Energy). Model seperti yang dikembangkan di Khuzestan dapat direplikasi di wilayah lain yang menghadapi tekanan sumber daya serupa, termasuk Indonesia.

Rekomendasi dan Pengembangan Lanjutan

  • Tambahkan variabel air virtual, daur ulang air limbah, dan dampak perubahan iklim pada model.
  • Kembangkan skenario kebijakan berbasis insentif ekonomi dan perubahan perilaku.
  • Lakukan studi komparatif di berbagai provinsi atau negara untuk validasi eksternal.

Penutup: Menuju Tata Kelola Sumber Daya Terintegrasi

Studi Keyhanpour dkk. menunjukkan bahwa solusi krisis air, pangan, dan energi hanya bisa dicapai dengan pendekatan lintas sektor berbasis model dinamis. Efisiensi irigasi, perubahan pola tanam, pengurangan kehilangan pangan, dan efisiensi energi adalah kunci keberlanjutan. Dengan kebijakan terintegrasi dan dukungan teknologi, wilayah kaya sumber daya seperti Khuzestan dapat menjadi model tata kelola Nexus WFE yang sukses untuk dunia.

Sumber asli:
Keyhanpour, Mohammad Javad; Musavi Jahromi, Seyed Habib; Ebrahimi, Hossein. (2021). System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach. Ain Shams Engineering Journal, 12(1), 1267–1281.

Selengkapnya
Model Dinamika Sistem untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Studi Nexus Air-Pangan-Energi di Khuzestan, Iran

Industri Kontruksi

Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh tantangan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Perubahan regulasi, tuntutan globalisasi, serta kebutuhan akan inovasi membuat industri ini membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan adaptif, kreatif, dan berwawasan luas. Namun, apakah lulusan pendidikan manajemen konstruksi benar-benar siap menghadapi tuntutan dunia kerja? Paper “Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP” oleh H. S. M. Hasan dkk. (2011) mengupas secara sistematis kesenjangan antara kompetensi lulusan dan harapan industri, khususnya di Malaysia, dengan menyoroti hasil survei dan analisis mendalam terhadap pelaku industri dan lulusan.

Artikel ini merangkum temuan utama paper, menyajikan data dan studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren pendidikan dan industri konstruksi global.

Latar Belakang: Kompetensi yang Dibutuhkan Industri Konstruksi

Industri konstruksi menuntut lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu bekerja lintas disiplin, adaptif terhadap perubahan, dan terampil dalam mengelola ketidakpastian. Lulusan manajemen konstruksi diharapkan dapat berkontribusi di berbagai sektor—mulai dari kontraktor, konsultan, pengembang, hingga lembaga publik dan swasta. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya gap antara teori yang dipelajari di kampus dan praktik di dunia kerja.

Metodologi: Survei dan Analisis Persepsi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei pos kepada 420 responden di Klang Valley, Malaysia, terdiri dari 210 karyawan dan 210 pemberi kerja di sektor konstruksi. Tingkat respons mencapai 71,4% (300 kuesioner kembali; 200 karyawan dan 100 pemberi kerja). Survei ini dirancang untuk menggali persepsi tentang:

  • Praktik inovasi dan indikator kinerja utama di industri konstruksi Malaysia,
  • Proses transfer pengetahuan dari pendidikan ke industri,
  • Hubungan dan pendanaan antara institusi pendidikan dan industri,
  • Profil demografi dan posisi responden.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan tabulasi frekuensi untuk menangkap pola persepsi dan pengalaman.

Temuan Utama: Kesenjangan Kompetensi dan Persepsi Industri

1. Spesialisasi Berlebihan dan Kurangnya Kolaborasi

Hasil survei menunjukkan bahwa industri terlalu menekankan spesialisasi dalam organisasi, sehingga terjadi kekurangan pertukaran ide antar departemen. Pegawai didorong untuk fokus pada bidang tertentu, yang menyebabkan keterampilan mereka hanya berkembang di area terbatas. Akibatnya, inovasi dan kolaborasi lintas bidang menjadi terhambat.

2. Perbedaan Harapan antara Industri dan Lulusan

Industri mengharapkan lulusan mampu langsung memenuhi target spesifik yang seringkali tidak sesuai dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan. Sementara itu, lulusan merasa bahwa nilai suatu mata kuliah atau pelatihan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan nyata di tempat kerja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.

3. Kekurangan Keterampilan Interpersonal dan Inovasi

Banyak pekerja baru dinilai kurang memiliki keterampilan interpersonal dan enggan menerapkan inovasi. Industri juga mengeluhkan minimnya budaya kritik konstruktif terhadap proyek yang gagal, sehingga pembelajaran dari kegagalan kurang optimal.

4. Perspektif Karyawan: Kurangnya Kesempatan Berinovasi

Lulusan sering kali tidak diberi ruang untuk berinovasi di tempat kerja, sehingga mereka cenderung berpindah ke perusahaan konsultan manajemen yang lebih terbuka terhadap ide baru. Universitas dianggap bertugas memperkenalkan pengetahuan baru dan melatih pola pikir kritis, sementara industri lebih fokus pada penerapan praktis.

5. Transfer Pengetahuan Butuh Waktu

Meskipun sebagian besar pengetahuan dan inovasi yang diperoleh di kampus dapat diterapkan di industri, lulusan membutuhkan waktu dan posisi yang cukup senior untuk benar-benar mengimplementasikannya.

Studi Kasus: Survei di Klang Valley, Malaysia

Survei dilakukan di kawasan metropolitan Klang Valley, pusat pertumbuhan ekonomi dan konstruksi di Malaysia. Dari 420 kuesioner yang dikirim, 300 kembali dan dianalisis. Temuan utama dari survei ini antara lain:

  • 71,4% tingkat respons menunjukkan tingginya minat dan relevansi isu ini di kalangan pelaku industri.
  • Mayoritas pemberi kerja menyoroti kekurangan kolaborasi lintas departemen dan kurangnya keterampilan interpersonal sebagai hambatan utama.
  • Karyawan muda merasa kurang diberi peluang untuk berinovasi dan mengembangkan kemampuan manajerial.
  • Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program formal untuk transfer pengetahuan atau pelatihan lintas bidang.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Menggunakan data primer yang representatif dari kawasan industri utama di Malaysia.
  • Menyoroti perbedaan persepsi antara tiga kelompok kunci: industri, akademisi, dan lulusan.
  • Memberikan rekomendasi praktis untuk memperkuat kolaborasi antara universitas dan industri.

Kelemahan dan Tantangan

  • Survei terbatas pada satu wilayah (Klang Valley), sehingga generalisasi ke seluruh Malaysia atau negara lain perlu kehati-hatian.
  • Tidak membedakan antara sektor konstruksi bangunan dan infrastruktur, padahal kebutuhan kompetensi bisa berbeda.
  • Analisis masih bersifat deskriptif; penelitian lanjutan dengan pendekatan kualitatif atau studi kasus mendalam akan memperkaya pemahaman.

Rekomendasi: Menutup Kesenjangan Kompetensi

Berdasarkan temuan, paper ini merekomendasikan beberapa langkah strategis:

  • Mendorong mobilitas internal: Lulusan sebaiknya diberi kesempatan rotasi antar departemen untuk memperluas wawasan dan keterampilan.
  • Perubahan budaya organisasi: Industri perlu lebih berinvestasi dalam pengembangan SDM dan mendorong kolaborasi lintas disiplin.
  • Kolaborasi kurikulum: Universitas dan industri harus bersama-sama merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan nyata, termasuk studi kasus dan magang.
  • Fokus pada efektivitas, bukan hanya efisiensi: Industri perlu mengutamakan pembelajaran dan inovasi, bukan sekadar target jangka pendek.
  • Peningkatan forum dan seminar internal: Organisasi didorong untuk mengadakan diskusi rutin berbagi praktik terbaik dan pembelajaran dari kegagalan.

Perbandingan dengan Tren Global

Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri bukan hanya masalah di Malaysia. Studi di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa lulusan teknik dan manajemen konstruksi sering kali membutuhkan pelatihan tambahan, terutama dalam soft skills, manajemen proyek, dan adaptasi teknologi baru. Negara-negara maju mulai mengadopsi model kolaborasi tripartit antara universitas, industri, dan asosiasi profesi untuk memperkuat link and match.

Implikasi untuk Industri Konstruksi dan Pendidikan Tinggi

  • Industri konstruksi perlu lebih terbuka pada inovasi, pembelajaran lintas disiplin, dan pengembangan SDM berbasis kompetensi.
  • Pendidikan tinggi harus responsif terhadap perubahan kebutuhan industri, memperbanyak studi kasus, magang, dan kolaborasi riset terapan.
  • Pemerintah dan asosiasi profesi dapat berperan sebagai fasilitator kolaborasi, penyusun standar kompetensi, dan pemberi insentif untuk program pelatihan bersama.

Penutup: Menuju Sinergi Pendidikan dan Industri

Paper Hasan dkk. menegaskan bahwa keberhasilan proyek konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM yang mampu menjembatani teori dan praktik. Kesenjangan antara pendidikan dan industri harus diatasi melalui kolaborasi, inovasi kurikulum, dan perubahan budaya organisasi. Dengan langkah strategis dan sinergi lintas sektor, industri konstruksi dapat menghasilkan tenaga kerja yang bukan hanya kompeten, tapi juga siap menghadapi tantangan masa depan.

Sumber asli:
H. S. M. Hasan, H. Ahamad, M. R. Mohamed. (2011). Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP. Procedia Engineering, 20, 291–297.

Selengkapnya
Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Sosiohidrologi

Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang terus menghadapi tekanan perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan, pemantauan hidrologi menjadi fondasi penting untuk memastikan pengelolaan air yang berkelanjutan. Sayangnya, biaya tinggi dan keterbatasan jaringan pemantauan membuat negara-negara berpenghasilan rendah sulit memperoleh data yang memadai. Artikel ilmiah dari Njue et al. (2019) mengusulkan solusi revolusioner: citizen science, yakni keterlibatan masyarakat umum dalam pengumpulan dan analisis data ilmiah, sebagai alternatif yang murah, partisipatif, dan efektif.

Mengapa Citizen Science Relevan untuk Hidrologi?

Pemantauan hidrologi konvensional mahal, memerlukan sensor otomatis, tenaga ahli, dan infrastruktur kompleks. Namun:

  • Banyak wilayah belum dipantau atau memiliki data hidrologi yang tidak memadai.
  • Peristiwa ekstrem seperti banjir atau kekeringan sering terlewat.
  • Negara-negara berpendapatan rendah seperti Kenya, Ethiopia, dan Tanzania mengalami kesenjangan data.

Citizen science menjembatani kesenjangan ini dengan:

  • Mengurangi biaya melalui pengumpulan data oleh sukarelawan.
  • Memperluas jangkauan spasial dan frekuensi pengukuran.
  • Meningkatkan literasi lingkungan masyarakat.

Temuan Kunci dan Angka-Angka dari Studi

  • Review dilakukan terhadap 71 studi dari tahun 2001 hingga 2018.
  • Sekitar 63% proyek citizen science fokus pada kualitas air, meski data tinggi muka air lebih mudah dikumpulkan.
  • 45% proyek berlangsung di Amerika Utara, 20% di Eropa, dan hanya 10% di Afrika serta 9% di Asia—menunjukkan adanya kesenjangan adopsi global.
  • Sebanyak 73% proyek bersifat "contributory", artinya masyarakat hanya berperan dalam pengumpulan data.

Studi Kasus Nyata: Teknologi, Data, dan Partisipasi

1. Kenya – Sondu Catchment

  • Digunakan alat murah seperti tampon detektor deterjen, turbidity tube, dan pengukuran nitrat dengan strip warna.
  • Data dikumpulkan dan dilaporkan melalui SMS oleh warga.
  • Tingkat akurasi pengukuran cukup tinggi dan komparabel dengan sensor otomatis.

2. CoCoRaHS (AS dan Kanada)

  • Jaringan pemantauan curah hujan oleh warga sejak 1998.
  • Lebih dari 20.000 partisipan menghasilkan data berkualitas tinggi.
  • Data digunakan oleh NOAA dan badan pemerintah untuk validasi radar dan peringatan dini.

3. CrowdHydrology (AS)

  • Warga mengirim pembacaan tinggi air melalui pesan teks.
  • Data dikalibrasi dengan sensor tekanan—hasilnya sangat akurat.

4. NetAtmo dan IoT

  • Sensor cuaca pribadi warga tersambung otomatis ke platform daring.
  • Memberikan data suhu, tekanan udara, kelembaban, curah hujan—sangat membantu dalam pemodelan hidrologi perkotaan.

Keunggulan dan Tantangan Citizen Science

Keunggulan:

  • Biaya rendah: proyek dapat dimulai dengan peralatan sederhana.
  • Skalabilitas tinggi: dari lokal hingga global.
  • Kualitas data baik, terutama jika warga mendapat pelatihan dan protokol jelas.
  • Data dapat diunggah secara real-time melalui aplikasi smartphone, SMS, atau web.

Tantangan:

  • Kekhawatiran akan kualitas dan validitas data dari warga biasa.
  • Rendahnya adopsi di negara berkembang karena kurangnya pelatihan, dukungan, dan infrastruktur.
  • Keterbatasan dalam desain partisipatif—mayoritas proyek masih bersifat top-down.

Aplikasi di Media Sosial dan Teknologi Terbuka

Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Flickr menjadi sumber data baru:

  • Video banjir, foto aliran air, atau laporan warga secara tidak langsung berkontribusi pada pemodelan banjir dan pemetaan kejadian ekstrem.
  • Studi di Prancis dan Argentina menunjukkan bahwa video warga dapat digunakan untuk mengestimasi debit dan kecepatan aliran.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Untuk Peneliti dan Akademisi:

  • Gunakan kombinasi metode tradisional dan partisipatif.
  • Kembangkan aplikasi yang mudah digunakan dan mampu memberi umpan balik otomatis.
  • Bangun proyek co-created agar warga juga terlibat dalam desain dan interpretasi hasil.

Untuk Pemerintah dan Lembaga Lingkungan:

  • Buat kebijakan yang mendukung integrasi data warga ke dalam sistem nasional.
  • Berikan insentif atau sertifikasi kepada warga yang berpartisipasi.

Untuk Platform Pembelajaran dan LSM:

  • Gunakan platform digital untuk pelatihan warga, seperti video daring, gamifikasi, dan aplikasi instruksional.
  • Promosikan konsep citizen scientist sebagai profesi masa depan.

Kesimpulan: Masa Depan Hidrologi Bersama Masyarakat

Artikel ini membuktikan bahwa citizen science mampu menghasilkan data hidrologi yang kredibel, luas, dan hemat biaya. Kuncinya adalah pelatihan, komunikasi dua arah, dan integrasi data ke dalam pengambilan keputusan. Dengan meningkatnya teknologi, smartphone, dan konektivitas internet, potensi untuk memobilisasi warga menjadi pengumpul data sains semakin besar, terutama di negara berkembang.

Citizen science bukan hanya strategi ilmiah, tapi juga gerakan sosial yang memperkuat hak masyarakat atas air, data, dan masa depan yang berkelanjutan.

Sumber : Njue, N., Kroese, J. S., Gräf, J., Jacobs, S. R., Weeser, B., Breuer, L., & Rufino, M. C. (2019). Citizen science in hydrological monitoring and ecosystem services management: State of the art and future prospects. Science of the Total Environment, 693, 133531.

Selengkapnya
Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Pembangunan Pedesaan

Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Transformasi Akses Air Minum di Era SDG

Bangladesh sering dipuji sebagai kisah sukses dalam memperluas akses air minum ke masyarakat pedesaan. Namun, di balik statistik capaian Millennium Development Goals (MDGs), terdapat dinamika baru yang kini menjadi tantangan utama di era Sustainable Development Goals (SDGs): pergeseran tanggung jawab penyediaan air minum dari negara ke individu dan rumah tangga. Paper “Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh” karya Alex Fischer dkk. (2020) membedah secara kritis fenomena pertumbuhan pesat self-supply—yakni sumur bor dan pompa air yang didanai dan dikelola sendiri oleh rumah tangga—beserta implikasi sosial, ekonomi, dan kelembagaannya.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Matlab dan Khulna, serta mengaitkan dengan tren global, tantangan regulasi, dan pelajaran bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

Latar Belakang: Dari Infrastruktur Publik ke Self-Supply

Evolusi Kebijakan dan Infrastruktur

Pada dekade 1970–1980-an, pemerintah Bangladesh bersama donor internasional membangun ratusan ribu sumur bor dangkal (shallow tubewell) sebagai respons terhadap epidemi kolera dan kontaminasi air permukaan. Namun, sejak 1990-an, terjadi desentralisasi dan liberalisasi pasar, sehingga pemasangan sumur bor mulai didominasi sektor swasta informal dan rumah tangga.

Data menunjukkan, antara 2012–2017, untuk setiap satu titik air publik yang dibangun pemerintah, terdapat 45 sumur bor baru yang dipasang secara privat. Akibatnya, jumlah infrastruktur air nasional lebih dari dua kali lipat sejak 2006. Rasio rumah tangga per sumur bor menurun drastis dari 57 pada 1982 menjadi kurang dari 2 pada 2017—menandakan hampir setiap rumah kini memiliki sumur sendiri. Penurunan harga riil sumur bor privat hingga 70% sejak 1982 turut mendorong tren ini.

Studi Kasus: Matlab dan Khulna—Dinamika Self-Supply di Lapangan

Matlab: Lonjakan Sumur Bor Privat

  • Populasi studi: 25.617 jiwa di 6.036 rumah tangga, tersebar di 10 desa.
  • Jumlah titik air (2017): 3.830, dengan 3.734 digunakan untuk kebutuhan domestik.
  • Dominasi privat: 95% sumur dangkal dan 72% sumur dalam dibiayai dan dikelola swasta.
  • Motivasi investasi: 94% rumah tangga memilih sumur privat demi kenyamanan akses pribadi, bukan karena kekhawatiran kualitas air.

Pertumbuhan sumur bor tetap eksponensial bahkan setelah krisis arsenik di awal 2000-an dan program pengujian massal. Pada 2017, dua pertiga sumur dangkal hanya dipakai satu rumah tangga, dan 90% sumur baru dipakai maksimal tiga rumah tangga—menandakan pergeseran dari model kolektif ke individual.

Khulna: Tantangan Salinitas dan Diversifikasi Sumber

  • Populasi studi: 34.639 jiwa, 2.805 sumur bor, 19 pond sand filter.
  • Pertumbuhan pesat: Jumlah sumur bor di Khulna meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir.
  • Diversifikasi: Selain sumur bor, masyarakat juga mengandalkan air hujan, filter pasir, dan vendor air karena masalah salinitas tinggi.
  • Kualitas air: Sepertiga sumur yang digunakan untuk minum melebihi ambang batas salinitas nasional (1.500 µS/cm).

Angka-Angka Penting: Skala, Investasi, dan Pola Konsumsi

  • Estimasi nasional (2017): 11,5–18,4 juta sumur bor di seluruh Bangladesh, dengan 8–15% saja yang dibiayai publik.
  • Investasi rumah tangga (2018): USD 177,6–253 juta untuk pemasangan dan pemeliharaan sumur bor baru.
  • Kontribusi ke sektor WASH: Investasi privat pada sumur bor mencapai 65% dari total belanja rumah tangga di sektor air dan sanitasi nasional.
  • Biaya pemasangan: Harga riil sumur bor privat turun dari USD 444 (1980) ke USD 125 (2017); biaya publik turun dari USD 444 ke USD 275.
  • Biaya operasional: Rata-rata USD 4,5–7,5 per tahun per sumur, tergantung usia infrastruktur.

Risiko dan Tantangan: Dari Kesehatan hingga Tata Kelola

1. Kesehatan dan Kualitas Air

  • Arsenik: Setelah program pengujian massal selesai pada 2006, sembilan juta sumur baru dipasang tanpa pengujian kualitas air.
  • Salinitas: Di wilayah pesisir, banyak sumur privat tidak layak konsumsi karena kandungan garam tinggi.
  • Minim pengujian: Hanya 1–3% biaya pemasangan sumur yang diperlukan untuk tes kualitas air, namun hampir tidak ada rumah tangga yang melakukannya.

2. Tata Kelola dan Regulasi

  • Sumur privat di luar regulasi: Tidak ada kewajiban izin, pengujian, atau pelaporan bagi sumur privat.
  • Pemerintah kehilangan kontrol: Tanggung jawab pengelolaan risiko air kini berpindah ke individu, bukan lagi kolektif atau negara.
  • Data nasional bias: Sistem monitoring pemerintah hanya menghitung infrastruktur publik, sehingga paparan risiko air tidak aman di level populasi terabaikan.

3. Ekonomi dan Ketimpangan

  • Akses makin merata: Standar deviasi rasio rumah tangga per sumur antar desa menurun dari 1,63 (2005) ke 0,38 (2017), menandakan distribusi akses makin setara.
  • Tapi... Desa termiskin justru mengalami lonjakan pemasangan sumur, yang bisa menambah beban ekonomi dan risiko kesehatan jika kualitas air buruk.

Analisis dan Tinjauan Kritis

Keberhasilan dan Dilema Self-Supply

  • Keberhasilan: Self-supply mempercepat capaian akses air, mengurangi ketergantungan pada negara dan donor, serta meningkatkan kenyamanan rumah tangga.
  • Dilema: Keberhasilan ini dibayar mahal dengan meningkatnya risiko kesehatan (arsenik, salinitas), hilangnya mekanisme kolektif pengelolaan risiko, dan lemahnya sistem monitoring.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • AS dan Eropa Timur: Sistem sumur privat juga lazim, tapi regulasi dan pengujian kualitas air lebih ketat, meski masih ada celah.
  • Afrika dan Asia: Self-supply makin diakui sebagai solusi alternatif, tapi tantangan kualitas air dan ketahanan infrastruktur serupa Bangladesh.

Peluang dan Rekomendasi

  • Blended finance: Pemerintah dapat memanfaatkan investasi privat melalui skema pembiayaan campuran, insentif pengujian air, dan sertifikasi sumur aman.
  • Regulasi progresif: Sertifikasi tukang bor, pelaporan sumur baru, dan integrasi data privat ke sistem nasional bisa jadi langkah awal.
  • Edukasi dan inovasi: Dorong rumah tangga untuk menguji air secara rutin lewat subsidi alat tes murah atau layanan keliling.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

  • Pemerintah: Harus berperan sebagai regulator risiko, bukan sekadar penyedia infrastruktur. Reformasi kebijakan air minum perlu mengatur peran, insentif, dan tanggung jawab semua aktor.
  • Industri: Pasar sumur bor dan alat tes air bisa berkembang pesat jika didukung regulasi dan edukasi.
  • Masyarakat: Perlu edukasi tentang pentingnya kualitas air, bukan hanya akses fisik.

Keterkaitan dengan Tren Global dan SDGs

Fenomena self-supply di Bangladesh menjadi cermin tantangan global dalam mencapai SDG 6.1 (air minum aman dan terjangkau untuk semua). Banyak negara kini menghadapi dilema serupa: bagaimana mengelola pertumbuhan infrastruktur privat tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan air? Bangladesh memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan akses harus diimbangi dengan tata kelola risiko dan regulasi yang adaptif.

Penutup: Menuju Tata Kelola Air Minum yang Berbasis Risiko

Studi Fischer dkk. menegaskan bahwa capaian akses air minum di Bangladesh tidak lepas dari investasi privat rumah tangga, namun keberlanjutan dan keamanan layanan sangat bergantung pada reformasi kelembagaan dan regulasi. Menuju SDG, pendekatan berbasis risiko—bukan sekadar infrastruktur—harus menjadi arus utama. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap sumur yang dibangun benar-benar memberikan air yang aman, bukan sekadar menambah angka statistik.

Sumber asli:
Alex Fischer, Rob Hope, Achut Manandhar, Sonia Hoque, Tim Foster, Adnan Hakim, Md. Sirajul Islam, David Bradley. (2020). Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh. Global Environmental Change, 65, 102152.

Selengkapnya
Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Sosiohidrologi

Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Di era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, air menjadi sumber daya vital sekaligus sumber ketegangan. Artikel ilmiah oleh Döring, Kim, dan Swain (2024) menyoroti bagaimana bidang socio-hydrology—ilmu yang mengkaji interaksi antara masyarakat dan sistem hidrologi—dapat berkembang pesat bila diintegrasikan dengan riset perdamaian dan konflik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cara kita memahami konflik air, tetapi juga menawarkan cara baru untuk membangun perdamaian melalui tata kelola air yang lebih adil.

Mengapa Integrasi Socio-Hydrology dan Studi Konflik Penting?

Socio-hydrology berfokus pada dinamika sosial, kekuasaan, dan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan air, bukan hanya aspek teknis. Sementara itu, riset konflik dan perdamaian menyajikan kerangka analisis mengenai bagaimana air memicu konflik—dan lebih penting lagi—bagaimana air bisa menjadi alat perdamaian. Dua bidang ini memiliki potensi saling melengkapi untuk menghadapi tantangan besar abad ke-21: kekurangan air, ketidaksetaraan distribusi, dan krisis iklim.

Konflik dan Kerja Sama atas Air: Data dan Temuan Penting

  • 60% air tawar dunia berada di 310 sungai internasional dan lebih dari 500 akuifer lintas batas.
  • Konflik air muncul saat negara hulu dan hilir berbeda kepentingan—seperti terlihat dalam kasus Sungai Nil dan Yordan.
  • Namun, data menunjukkan kerja sama lebih dominan dibandingkan konflik bersenjata.
    • Contoh: Transboundary Freshwater Dispute Database (TFDD) dan International River Conflict and Cooperation dataset (IRCC) menyatakan sebagian besar konflik bersifat diplomatik.

Studi Kasus Empiris dan Data Global

  • Afrika Sub-Sahara dan Asia Tengah: sekitar setengah lahan pertanian mengalami kekurangan air minimal 5 bulan per tahun (Rosa et al., 2020).
  • Afghanistan, DRC, Liberia: pendekatan partisipatif dalam pengelolaan air pasca-konflik terbukti memperkuat perdamaian dan kesehatan masyarakat (Burt & Keiru, 2011).
  • Iraq Marshlands: proyek restorasi pascaperang oleh UNEP meningkatkan kualitas air dan mendorong pemulihan ekonomi, meski memunculkan tantangan tata kelola lokal (Aoki et al., 2011).

Pendekatan Kritis: Politik, Gender, dan Keadilan Air

Penelitian menunjukkan bahwa:

  • Perspektif teknokratis saja tidak cukup. Proyek besar seperti bendungan seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.
  • Kerangka ‘hydro-hegemony’ dan ‘water justice’ digunakan untuk menganalisis kekuasaan dan ketidakadilan dalam akses air.
  • Feminist political ecology mengungkapkan dampak tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan yang harus berjalan jauh untuk mengakses air bersih.

Peran Socio-Hydrology dalam Peacebuilding

Environmental peacebuilding menjadi pendekatan penting dalam pembangunan pascakonflik:

  • Air dapat berfungsi sebagai jalur diplomatik untuk memperkuat institusi pasca-perang.
  • Contoh nyata seperti Sungai Mekong dan Sungai Nil menunjukkan bahwa dialog air lintas negara bisa mengurangi ketegangan geopolitik.
  • Socio-hydrology mampu memberikan model sistemik berbasis data dan pendekatan sosial untuk restorasi sumber daya air, terutama di negara fragile.

Kritik dan Refleksi: Apa yang Kurang dan Harus Diperbaiki

Tantangan utama integrasi dua bidang ini adalah:

  • Masih adanya “silo ilmiah” antara ilmu sosial dan hidrologi.
  • Socio-hydrology sering mengedepankan positivisme, sedangkan ilmu sosial menuntut refleksi ontologis dan nilai-nilai lokal.
  • Kurangnya keterlibatan komunitas lokal dan suara kelompok rentan.

Namun, bila kolaborasi ini difasilitasi secara sistematis, hasilnya bisa membentuk kebijakan air yang lebih tangguh dan inklusif.

Relevansi dengan Target Global

Integrasi socio-hydrology dan studi konflik memiliki dampak langsung terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  • SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi
  • SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh
  • SDG 13: Aksi Iklim

Rekomendasi Kebijakan dan Penelitian

Untuk peneliti:

  • Gunakan data kuantitatif (seperti dataset WARICC atau TFDD) dan gabungkan dengan metode etnografi, wawancara, dan peta partisipatif.
  • Kaji kembali bias dalam desain studi, terutama yang hanya fokus pada konflik dan mengabaikan bentuk-bentuk kerja sama lokal.

Untuk pembuat kebijakan:

  • Prioritaskan restorasi sumber daya air sebagai bagian dari rekonstruksi pasca-konflik.
  • Terapkan pendekatan lintas disiplin yang menyertakan gender, keadilan sosial, dan analisis kekuasaan dalam proyek air.

Untuk masyarakat sipil dan organisasi internasional:

  • Dorong partisipasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan air.
  • Lakukan kampanye hak atas air sebagai hak asasi manusia.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa mengelola air tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga soal politik, keadilan, dan perdamaian. Integrasi antara socio-hydrology dan riset perdamaian memberi arah baru untuk menjawab tantangan air abad ke-21. Jika dikelola dengan cermat, air bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik. Ke depan, kolaborasi antardisiplin harus diperluas agar solusi terhadap krisis air bisa menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.

Sumber : Döring, S., Kim, K., & Swain, A. (2024). Integrating socio-hydrology, and peace and conflict research. Journal of Hydrology, 633, 131000.

Selengkapnya
Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global
« First Previous page 19 of 1.119 Next Last »