Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?
Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.
Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi
Dampak Global dan Tren Masa Depan
Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga
Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan
1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage
2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan
3. Migrasi dan Urbanisasi
4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan
Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan
1. Fragmentasi Penanganan
Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.
2. Skala dan Kompleksitas
Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.
3. Data dan Monitoring
Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.
4. Dinamika Sosial dan Ekonomi
Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.
Best Practices dan Rekomendasi Global
1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko
2. Investasi pada Solusi Ganda
3. Tata Kelola dan Kelembagaan
4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka
Studi Banding dan Angka-Angka Kunci
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Paper Ward dkk.
Tantangan dan Keterbatasan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif
Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.
Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?
Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.
Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional
Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:
Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.
Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional
Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.
Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.
Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting
Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):
Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi
1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?
Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.
2. Peran Sentral Pemerintah Kota
Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:
3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan
Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:
4. Keterbatasan dan Tantangan
Perbandingan dan Relevansi Global
Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif
Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.
Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Aceh, Laboratorium Kebijakan Bencana dan Iklim Indonesia
Dua puluh tahun setelah tsunami Samudra Hindia 2004 yang menewaskan 168.000 jiwa dan menyebabkan kerugian lebih dari USD 5,1 miliar di Aceh, provinsi ini menjadi laboratorium kebijakan pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi perubahan iklim (CCA) di Indonesia. Namun, di balik kemajuan masif pada infrastruktur, regulasi, dan kapasitas kelembagaan, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan DRR dan CCA secara efektif di level lokal. Paper Sofyan Sufri dan Jonatan Anderias Lassa (2024) mengupas secara kritis perjalanan, capaian, dan hambatan integrasi DRR-CCA di Aceh, khususnya di Banda Aceh, dengan menyoroti studi kasus, angka-angka kunci, dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Latar Belakang: Dari Tsunami ke Ancaman Multi-Bencana
Tsunami 2004 bukan hanya bencana terbesar di awal abad ke-21, tetapi juga pemicu perubahan geomorfologi besar di pesisir Aceh. Subsiden tanah 0,5–1 meter di kawasan pantai barat, selatan, dan barat daya membuat wilayah ini makin rentan terhadap banjir pesisir, rob, dan badai. Setelah tsunami, Aceh terus dilanda bencana hidrometeorologi:
Data menunjukkan bahwa banyak masyarakat kembali bermukim di wilayah pesisir yang rawan banjir dan subsiden, didorong harga tanah murah, akses pekerjaan, dan kedekatan keluarga, meski risiko bencana meningkat.
Kerangka Konseptual: DRR dan CCA, Dua Sektor yang Sering Terpisah
DRR dan CCA sama-sama bertujuan mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana, namun secara kelembagaan dan operasional sering berjalan sendiri-sendiri. DRR di Indonesia dikelola oleh BNPB dan BPBD/BPBA di tingkat provinsi/kabupaten, sementara CCA dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dinas lingkungan hidup daerah.
Studi Kasus: Banda Aceh dan Implementasi DRR-CCA
Kemajuan Kelembagaan dan Regulasi
Setelah tsunami, Aceh membentuk BPBA (2010) dan BPBD di 23 kabupaten/kota. Infrastruktur mitigasi bencana berkembang pesat:
Regulasi kunci yang dihasilkan antara 2010–2022 meliputi Qanun Aceh tentang penanggulangan bencana, SOP sistem peringatan dini, rencana aksi DRR, hingga dokumen penilaian risiko terbaru (2021–2025).
Implementasi Adaptasi Iklim: ProKlim dan Tantangannya
Program Kampung Iklim (ProKlim) diperkenalkan KLHK di Aceh sejak 2012, dengan kegiatan seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan penguatan kapasitas adaptasi di 11 desa Banda Aceh. Namun, partisipasi masyarakat masih minim—hanya 1 dari 6 responden di Meuraxa-Lambung yang memahami ProKlim. Banyak warga mengaku tidak tahu tujuan program, merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan akhirnya tidak memiliki rasa kepemilikan.
Temuan Kunci: Empat Hambatan Integrasi DRR-CCA di Aceh
1. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi
DRR dan CCA dikelola oleh institusi berbeda, dengan budaya kerja, struktur, dan regulasi sendiri-sendiri.
2. Kurangnya Komitmen Politik
Wawancara dengan pejabat dan politisi lokal menunjukkan rendahnya kesadaran dan prioritas terhadap isu perubahan iklim.
3. Keterbatasan Pendanaan
Baik BPBA maupun DLHK mengeluhkan minimnya dana untuk DRR dan CCA, apalagi untuk integrasi keduanya.
4. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat yang Lemah
Partisipasi masyarakat dalam program adaptasi iklim jauh lebih rendah dibanding program DRR berbasis komunitas (CBDRR).
Studi Banding: Perbandingan dengan Daerah Lain dan Tren Global
Rekomendasi dan Agenda Perbaikan
Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Aceh menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau donor, melainkan butuh perubahan budaya kelembagaan, kepemimpinan politik, dan partisipasi masyarakat. Pengalaman Aceh sangat relevan untuk provinsi rawan bencana lain di Indonesia, serta negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa:
Penutup: Menuju Integrasi DRR-CCA yang Inklusif dan Berkelanjutan
Studi Sufri & Lassa menegaskan bahwa dua dekade pasca-tsunami, Aceh telah mengalami kemajuan besar di bidang DRR dan adaptasi iklim, namun integrasi keduanya masih terhambat oleh fragmentasi kelembagaan, lemahnya komitmen politik, keterbatasan dana, dan minimnya partisipasi masyarakat. Transformasi menuju integrasi DRR-CCA yang efektif hanya bisa dicapai dengan kepemimpinan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama. Pelajaran dari Aceh menjadi cermin penting bagi Indonesia dan negara-negara lain dalam membangun ketangguhan iklim di era risiko multi-bencana.
Sumber asli:
Sofyan Sufri, Jonatan Anderias Lassa. (2024). Integration of disaster risk reduction and climate change adaptation in Aceh: Progress and challenges after 20 Years of Indian Ocean Tsunamis. International Journal of Disaster Risk Reduction, 113, 104894.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.
Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.
Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS
NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).
Tiga prinsip utama NBS:
Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.
Tantangan Merancang NBS yang Tangguh
Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.
Proses desain NBS tangguh meliputi:
Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand
Latar Belakang Wilayah
Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.
Sistem Kanal dan Furrow
Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)
Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.
Data dan Angka Kunci
Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh
1. Desain Ketangguhan
2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis
3. Hasil Evaluasi
4. Co-Benefits dan Batasan
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Studi
Tantangan dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Tren Global
Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia
Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam
Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.
Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?
Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.
Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:
Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.
Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data
Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.
Metode yang digunakan:
Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur
1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas
2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang
3. Strategi Manajemen Risiko Banjir
4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah
Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal
Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama
1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?
2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?
3. Implikasi untuk Kebijakan
Perbandingan dengan Studi Global
Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual
Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.
Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.
Risiko Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim
Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.
Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.
Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik
Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.
Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:
Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)
Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:
Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta
Akar Masalah (Root Causes)
Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)
Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)
Bahaya (Hazards) dan Dampak
Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis
Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:
1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem
2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola
3. Infrastruktur
4. Diseminasi dan Pelatihan
5. Aliansi Strategis
6. Pembiayaan
Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global
Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta
Tantangan dan Keterbatasan
Studi Banding dan Tren Global
Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia
Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif
Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.
Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.