Risiko Banjir

Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?

Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.

Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi

Dampak Global dan Tren Masa Depan

  • Banjir dan kekeringan bersama-sama telah menyebabkan kematian lebih dari 166 ribu orang dan kerugian ratusan miliar dolar antara 2000–20202.
  • Dampak keduanya diproyeksikan meningkat akibat perubahan iklim yang memperbesar variabilitas curah hujan, perubahan tutupan lahan, dan pertumbuhan populasi.
  • Contoh nyata: Setelah kekeringan lima tahun (2012–2017), California dilanda hujan ekstrem yang merusak spillway Bendungan Oroville, memaksa evakuasi hampir 200.000 orang. Demikian pula, Drought Millennium di Australia (1997–2009) diakhiri oleh banjir besar yang menyebabkan kegagalan tanggul di Sungai Murray1.

Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga

  • Langkah DRR untuk satu bahaya bisa memperbesar risiko bahaya lain. Misal, bendungan yang dioptimalkan untuk penanggulangan banjir (menyimpan air rendah) bisa memperburuk risiko kekeringan, sedangkan jika dioptimalkan untuk kekeringan (menyimpan air tinggi) justru memperbesar risiko banjir jika terjadi hujan ekstrem1.
  • Dampak kebijakan juga sering tidak terduga: Pembangunan tanggul dan levee memangkas risiko banjir lokal, tapi menurunkan infiltrasi dan recharge air tanah, sehingga memperparah kekeringan. Sebaliknya, pengurasan bendungan untuk antisipasi banjir bisa menyebabkan kekurangan air saat musim kering13.

Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan

1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage

  • Tanggul dan Levee: Di Belanda, 5% kegagalan tanggul antara 1134–2006 dipicu kekeringan, seperti kegagalan tanggul Wilnis 2003 yang menyebabkan 600 rumah terendam dan 2.000 orang dievakuasi. Kekeringan membuat tanah gambut menyusut, menurunkan bobot tanggul, sehingga mudah tergelincir saat debit sungai naik1.
  • Bendungan: Di California, 40% kapasitas Folsom Reservoir harus disisihkan untuk pengendalian banjir, yang berarti cadangan air untuk kekeringan berkurang. Di India, kekeringan pasca-banjir Kerala 2018 diperparah karena bendungan sudah dikuras untuk antisipasi banjir1.
  • Subsurface Storage: Di Thailand, recharge air banjir ke akuifer (Managed Aquifer Recharge/MAR) menjadi solusi ganda untuk banjir dan kekeringan, namun jika over-pumping terjadi saat kekeringan, bisa memicu penurunan tanah dan memperbesar risiko banjir saat hujan deras13.

2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan

  • Dams mikro di Brasil: Lebih dari 3.000 dam kecil dibangun 2001–2009, meningkatkan kelembaban tanah, memperbaiki vegetasi, dan menurunkan risiko kekeringan. Namun, jika tidak dikelola baik, bisa meningkatkan sedimentasi dan risiko banjir lokal1.
  • Reforestasi: Di Jerman dan Fiji, reforestasi terbukti meningkatkan infiltrasi dan menurunkan risiko banjir, tapi di musim kering justru mengurangi aliran air dasar (baseflow), memperparah kekeringan1.
  • Teknologi irigasi hemat air: Penggantian irigasi banjir dengan drip irrigation menurunkan risiko kekeringan, namun bisa meningkatkan risiko banjir karena berkurangnya evaporasi dan meningkatnya limpasan saat hujan ekstrem3.

3. Migrasi dan Urbanisasi

  • Relokasi pasca-banjir di Mozambik: Lebih dari 40.000 keluarga dipindahkan dari zona banjir ke upland yang lebih rawan kekeringan. Produktivitas pertanian menurun, sehingga banyak yang kembali ke dataran rendah dan terpapar banjir ulang1.
  • Urbanisasi Dakar, Senegal: 40% migran baru antara 1998–2008 menempati zona rawan banjir. Urbanisasi memperbesar limpasan permukaan, memperparah risiko banjir, dan meningkatkan tekanan air bersih1.

4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan

  • Early Warning System (EWS): Salah input pada EWS banjir bisa menyebabkan pengurasan air bendungan yang tidak perlu, memperparah kekeringan jika hujan tidak datang. Sebaliknya, EWS kekeringan yang gagal bisa membuat petani gagal menanam atau panen saat musim hujan tiba-tiba datang1.

Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan

1. Fragmentasi Penanganan

Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.

2. Skala dan Kompleksitas

Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.

3. Data dan Monitoring

Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.

4. Dinamika Sosial dan Ekonomi

Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.

Best Practices dan Rekomendasi Global

1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko

  • Integrated Flood Management (IFM) dan Integrated Drought Management (IDM) menjadi kerangka utama yang direkomendasikan UNESCO dan lembaga internasional. IFM menuntut pengelolaan siklus air secara utuh, integrasi lahan-air, manajemen risiko & ketidakpastian, serta partisipasi multi-aktor52.
  • EPIC Response Framework menekankan pentingnya tata kelola lintas sektor, perencanaan multi-level (dari DAS hingga komunitas), investasi pada infrastruktur dan ekosistem, serta pengendalian penggunaan lahan dan air5.

2. Investasi pada Solusi Ganda

  • Room for the River (Belanda): Mengembalikan ruang sungai untuk banjir, sekaligus meningkatkan recharge air tanah dan konservasi ekosistem13.
  • Managed Aquifer Recharge (Thailand, California): Menyimpan air banjir di akuifer untuk digunakan saat kekeringan, mengurangi risiko keduanya secara bersamaan1.
  • Stormwater Control Measures (SCM): Green infrastructure seperti taman resapan, green roof, dan rain garden bisa menahan air saat banjir dan menyimpan air untuk musim kering13.

3. Tata Kelola dan Kelembagaan

  • Harmonisasi kebijakan lintas sektor dan negara sangat penting, terutama di DAS lintas negara seperti Volta Basin di Afrika Barat yang mengembangkan strategi bersama untuk banjir dan kekeringan4.
  • Partisipasi masyarakat dan multi-aktor: Semua pihak—pemerintah, swasta, LSM, komunitas—harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi52.

4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka

  • Sistem monitoring dan peringatan dini harus terintegrasi untuk banjir dan kekeringan, dengan data real-time dan akses terbuka bagi semua pemangku kepentingan52.
  • Pengumpulan paired-event case studies (banjir dan kekeringan berurutan di satu wilayah) sangat penting untuk pembelajaran dan evaluasi efektivitas kebijakan1.

Studi Banding dan Angka-Angka Kunci

  • Afghanistan (2017–2019): Kekeringan multi-tahun menyebabkan 9,8 juta orang rawan pangan. Hujan deras dan snowmelt tiba-tiba pada 2019 menyebabkan banjir besar, 65 korban jiwa, dan 200.000 terdampak1.
  • Corigliano-Rossano, Italia (2015): Banjir pluvial dengan curah hujan return period >100 tahun, terjadi saat puncak musim wisata, menyebabkan kerugian ekonomi besar karena eksposur tinggi6.
  • North Carolina, AS (2007–2009): Kekeringan ekstrem 27 bulan menyebabkan kerugian pertanian €535 juta, meski sistem peringatan dini berhasil mengurangi kerentanan dibanding periode 2000–20036.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Paper Ward dkk.

  • Menyajikan analisis interaksi banjir-kekeringan dengan contoh nyata lintas benua.
  • Memberikan kerangka konseptual dan tabel ringkasan dampak intervensi DRR pada kedua bahaya.
  • Menyoroti pentingnya integrasi data, tata kelola, dan partisipasi multi-aktor.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Banyak solusi masih bersifat “best practice” dan belum teruji di semua konteks, terutama di negara berkembang dengan kapasitas terbatas.
  • Perlu riset lebih lanjut tentang efektivitas jangka panjang solusi ganda, serta dampak sosial-ekonomi dari trade-off kebijakan.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasikan DRR banjir dan kekeringan dalam perencanaan nasional dan lokal: Hindari silo kebijakan dan pastikan satu intervensi tidak memperparah risiko lain.
  • Kembangkan sistem monitoring dan data terbuka untuk mendukung pengambilan keputusan adaptif.
  • Dorong inovasi teknologi dan solusi berbasis alam yang memberikan manfaat ganda.
  • Libatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi, serta perkuat edukasi risiko lintas bahaya.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif

Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.

Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.

Selengkapnya
Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Risiko Banjir

Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?

Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.

Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional

Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:

  • Tingkat ketidakpastian tinggi: Hubungan antara kedalaman air dan tingkat kerusakan sangat bervariasi antar bangunan, lokasi, dan jenis banjir.
  • Kurangnya faktor pelengkap: Banyak variabel penting lain (misal kecepatan arus, durasi banjir, kualitas bangunan, kontaminasi air) tidak masuk dalam model.
  • Keterbatasan data mikro: Kurva ini gagal menjelaskan variasi kerusakan di tingkat rumah tangga, padahal keputusan mitigasi sering diambil di level ini.

Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.

Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional

Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.

Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.

Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting

Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):

  1. Jarak bangunan ke sungai/tinggi lahan (31% mention rate, ranking 1)
    • Faktor utama yang menentukan probabilitas dan tingkat kerusakan. Semakin dekat ke sungai atau semakin rendah elevasi, risiko makin besar.
  2. Kecepatan dan arus air (7%, ranking 2)
    • Kecepatan arus (misal 3 m/s dengan head 1 m) bisa menyebabkan kerusakan struktural serius pada dinding rumah.
  3. Waktu respons penanganan (36%, ranking 3)
    • Semakin cepat tim restorasi tiba dan melakukan mitigasi (pengeringan, pembersihan), kerusakan bisa ditekan signifikan.
  4. Basement yang diubah jadi ruang tinggal (40%, ranking 4)
    • Basement yang difungsikan sebagai ruang tinggal (dengan material organik, karpet, drywall) jauh lebih rentan terhadap kerusakan dan jamur.
  5. Kewajiban mengikuti kode bangunan baru (31%, ranking 5)
    • Rehabilitasi rumah pasca-banjir seringkali harus mengikuti kode bangunan terbaru, menambah biaya dan kompleksitas.
  6. Durasi kejadian banjir (49%, ranking 6)
    • Semakin lama air menggenang, semakin besar kerusakan akibat kapilaritas, kelembaban, dan kontaminasi.
  7. Desain dan pemeliharaan sistem drainase dan air limbah (44%, ranking 7)
    • Drainase yang buruk atau tidak terawat menyebabkan backflow, limpasan, dan kerusakan lebih besar.
  8. Penataan lahan dan lanskap (49%, ranking 8)
    • Topografi, tingkat mineralisasi, vegetasi, dan kemiringan lahan sangat mempengaruhi arah dan akumulasi air.
  9. Kesiapan dan kompetensi pemerintah kota (11%, ranking 9)
    • Kota yang siap dan kompeten dalam respons serta edukasi risiko mampu menekan kerugian lebih baik.
  10. Jenis program kompensasi dan syarat klaim (13%, ranking 10)
  • Proses klaim yang lambat dan rumit memperparah kerusakan karena penundaan perbaikan.

Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Basement: Studi di Quebec (2011) pada 1.639 rumah terdampak banjir Richelieu menunjukkan 18% rumah tanpa basement, 25% unfinished, dan 57% finished basement. Basement finished jauh lebih rentan dan mahal diperbaiki.
  • Kode Bangunan: Koefisien kerusakan untuk rumah sebelum 1965 adalah 130 (basis 100 untuk rumah setelah 2022), artinya rumah tua 30% lebih rentan rusak.
  • Jenis tanah: Tanah liat (clay) memiliki koefisien kerusakan 120 (20% lebih tinggi dari pasir/sand).
  • Nilai bangunan: Nilai pengganti (replacement cost) rata-rata 1,5 kali nilai penilaian properti oleh kota (koefisien 150), sedangkan nilai isi rumah sekitar 35% dari nilai bangunan.
  • Durasi klaim: Rata-rata waktu penyelesaian klaim banjir di Quebec mencapai 221 hari (2019) dan 521 hari (2017), menunda pemulihan dan memperbesar kerugian sekunder.

Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi

1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?

Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.

2. Peran Sentral Pemerintah Kota

Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:

  • Melarang pembangunan di zona rawan banjir,
  • Mewajibkan standar bangunan tahan banjir,
  • Investasi pada sistem drainase dan edukasi publik.

3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan

Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:

  • Rumah di tanah liat: kerusakan 20% lebih tinggi dari rumah di pasir.
  • Rumah tua (sebelum 1965): kerusakan 30% lebih tinggi dari rumah baru.
  • Basement finished: kerugian lebih besar dibanding unfinished.

4. Keterbatasan dan Tantangan

  • Mayoritas pakar berasal dari industri asuransi, sehingga ada potensi bias pada faktor yang sering muncul di klaim.
  • Studi fokus pada rumah tinggal; perlu riset lebih lanjut untuk bangunan komersial dan infrastruktur.
  • Data mikro seperti jenis basement, kode bangunan, dan detail lanskap masih tersebar di banyak basis data, belum terintegrasi.

Perbandingan dan Relevansi Global

Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasi data mikro: Pemerintah kota perlu mengumpulkan dan mengintegrasikan data jenis basement, tahun bangunan, kode bangunan, jenis tanah, dan lanskap ke dalam sistem penilaian properti.
  • Reformasi penilaian risiko: Model estimasi kerusakan harus memasukkan koefisien penyesuaian untuk faktor-faktor utama, bukan hanya kedalaman air.
  • Peningkatan kesiapsiagaan kota: Investasi pada sistem drainase, edukasi risiko, dan percepatan proses klaim sangat krusial.
  • Kolaborasi lintas sektor: Asuransi, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja sama mengembangkan sistem mitigasi dan kompensasi yang lebih responsif.

Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif

Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.

Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.

Selengkapnya
Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Perubahan Iklim

Mengurai Tantangan Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh: Dua Dekade Pasca-Tsunami

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Aceh, Laboratorium Kebijakan Bencana dan Iklim Indonesia

Dua puluh tahun setelah tsunami Samudra Hindia 2004 yang menewaskan 168.000 jiwa dan menyebabkan kerugian lebih dari USD 5,1 miliar di Aceh, provinsi ini menjadi laboratorium kebijakan pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi perubahan iklim (CCA) di Indonesia. Namun, di balik kemajuan masif pada infrastruktur, regulasi, dan kapasitas kelembagaan, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan DRR dan CCA secara efektif di level lokal. Paper Sofyan Sufri dan Jonatan Anderias Lassa (2024) mengupas secara kritis perjalanan, capaian, dan hambatan integrasi DRR-CCA di Aceh, khususnya di Banda Aceh, dengan menyoroti studi kasus, angka-angka kunci, dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Latar Belakang: Dari Tsunami ke Ancaman Multi-Bencana

Tsunami 2004 bukan hanya bencana terbesar di awal abad ke-21, tetapi juga pemicu perubahan geomorfologi besar di pesisir Aceh. Subsiden tanah 0,5–1 meter di kawasan pantai barat, selatan, dan barat daya membuat wilayah ini makin rentan terhadap banjir pesisir, rob, dan badai. Setelah tsunami, Aceh terus dilanda bencana hidrometeorologi:

  • Banjir besar akhir 2006 melanda 767 desa di tujuh kabupaten, menewaskan 47 orang, merugikan USD 210 juta, dan berdampak pada lebih dari setengah juta jiwa.
  • Setiap tahun, Aceh mengalami banjir, longsor, erosi pantai, cuaca ekstrem, dan kekeringan yang makin intens akibat perubahan iklim.

Data menunjukkan bahwa banyak masyarakat kembali bermukim di wilayah pesisir yang rawan banjir dan subsiden, didorong harga tanah murah, akses pekerjaan, dan kedekatan keluarga, meski risiko bencana meningkat.

Kerangka Konseptual: DRR dan CCA, Dua Sektor yang Sering Terpisah

DRR dan CCA sama-sama bertujuan mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana, namun secara kelembagaan dan operasional sering berjalan sendiri-sendiri. DRR di Indonesia dikelola oleh BNPB dan BPBD/BPBA di tingkat provinsi/kabupaten, sementara CCA dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dinas lingkungan hidup daerah.

  • DRR menangani semua jenis bahaya (geologi, hidrometeorologi, dll), fokus pada risiko saat ini dan jangka pendek.
  • CCA fokus pada bahaya terkait iklim (banjir, kekeringan, erosi, dll), dengan cakupan jangka menengah-panjang.
  • Kedua sektor menggunakan alat, pendekatan, dan istilah yang serupa (risiko, kerentanan, kapasitas adaptif, resiliensi), namun sering terjebak dalam “silo” birokrasi dan regulasi.

Studi Kasus: Banda Aceh dan Implementasi DRR-CCA

Kemajuan Kelembagaan dan Regulasi

Setelah tsunami, Aceh membentuk BPBA (2010) dan BPBD di 23 kabupaten/kota. Infrastruktur mitigasi bencana berkembang pesat:

  • 6 gedung evakuasi tsunami, 3 jalan evakuasi utama di Banda Aceh,
  • 85 taman memorial tsunami, museum tsunami, dan 11 sensor gempa,
  • 8 menara sirene (masih jauh dari ideal untuk garis pantai 800 km).

Regulasi kunci yang dihasilkan antara 2010–2022 meliputi Qanun Aceh tentang penanggulangan bencana, SOP sistem peringatan dini, rencana aksi DRR, hingga dokumen penilaian risiko terbaru (2021–2025).

Implementasi Adaptasi Iklim: ProKlim dan Tantangannya

Program Kampung Iklim (ProKlim) diperkenalkan KLHK di Aceh sejak 2012, dengan kegiatan seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan penguatan kapasitas adaptasi di 11 desa Banda Aceh. Namun, partisipasi masyarakat masih minim—hanya 1 dari 6 responden di Meuraxa-Lambung yang memahami ProKlim. Banyak warga mengaku tidak tahu tujuan program, merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan akhirnya tidak memiliki rasa kepemilikan.

Temuan Kunci: Empat Hambatan Integrasi DRR-CCA di Aceh

1. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi

DRR dan CCA dikelola oleh institusi berbeda, dengan budaya kerja, struktur, dan regulasi sendiri-sendiri.

  • BPBA/BPBD fokus pada penilaian risiko dan mitigasi bencana, tanpa melibatkan DLHK dalam tim penyusun.
  • DLHK lebih banyak menjalankan ProKlim yang sporadis dan terbatas pada pengurangan emisi, bukan adaptasi multi-bahaya.
  • Akibatnya, upaya DRR dan CCA sering tumpang tindih, tidak efisien, dan miskin sinergi.

2. Kurangnya Komitmen Politik

Wawancara dengan pejabat dan politisi lokal menunjukkan rendahnya kesadaran dan prioritas terhadap isu perubahan iklim.

  • Banyak pejabat masih menganggap perubahan iklim bukan isu mendesak di Aceh, lebih fokus pada respons darurat ketimbang adaptasi jangka panjang.
  • Anggaran DRR dan CCA sering kalah prioritas dibanding isu pendidikan, kesehatan, atau ekonomi.
  • Tidak ada alokasi dana khusus (earmarked) untuk integrasi DRR-CCA di tingkat kabupaten/desa.

3. Keterbatasan Pendanaan

Baik BPBA maupun DLHK mengeluhkan minimnya dana untuk DRR dan CCA, apalagi untuk integrasi keduanya.

  • BPBA mengaku kekurangan dana untuk program DRR, apalagi untuk kolaborasi lintas sektor.
  • ProKlim hanya didanai dari dana desa dan APBD/APBN, tidak ada dukungan khusus untuk integrasi dengan DRR.
  • Akibatnya, banyak program tidak berkelanjutan dan bergantung pada donor eksternal.

4. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat yang Lemah

Partisipasi masyarakat dalam program adaptasi iklim jauh lebih rendah dibanding program DRR berbasis komunitas (CBDRR).

  • ProKlim cenderung top-down, tanpa konsultasi berarti dengan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan.
  • Hanya 17% responden di tingkat desa yang paham ProKlim, dan banyak yang merasa tidak lagi terlibat setelah program berjalan.
  • Sebaliknya, program CBDRR seperti Desa Tangguh Bencana lebih berhasil membangun partisipasi dan rasa kepemilikan.

Studi Banding: Perbandingan dengan Daerah Lain dan Tren Global

  • Fragmentasi kelembagaan dan minimnya komitmen politik juga menjadi kendala utama di banyak negara Asia Tenggara dan Asia Selatan.
  • Studi di Sri Lanka, Filipina, dan Kenya menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA membutuhkan kepemimpinan politik, insentif fiskal, dan forum multi-pemangku kepentingan.
  • Inisiatif seperti Community-Based Climate Change Adaptation (CBCCA) terbukti lebih berkelanjutan jika mengadopsi prinsip partisipasi penuh, transfer pengetahuan lokal, dan pembagian manfaat yang adil.

Rekomendasi dan Agenda Perbaikan

  1. Perkuat Koordinasi Lintas Sektor: Bentuk task force atau forum multi-aktor di bawah Sekda untuk merumuskan kebijakan dan program integrasi DRR-CCA, dengan mandat jelas dan insentif kolaborasi.
  2. Dorong Komitmen Politik dan Anggaran: Jadikan DRR-CCA prioritas dalam rencana pembangunan daerah dan APBD, serta dorong insentif fiskal untuk program integrasi di tingkat desa.
  3. Transformasi Partisipasi Masyarakat: Terapkan pendekatan CBCCA berbasis pengalaman sukses CBDRR di Aceh, libatkan masyarakat sejak perencanaan, penilaian risiko, hingga monitoring.
  4. Penguatan Kapasitas dan Dokumentasi: Lakukan pelatihan lintas sektor, dokumentasi praktik baik, dan evaluasi berkala untuk memastikan pembelajaran berkelanjutan.
  5. Manfaatkan Dana Desa dan Program Nasional: Integrasikan DRR-CCA dalam prioritas penggunaan Dana Desa, serta sinergikan dengan ProKlim dan program Desa Tangguh Bencana.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Aceh menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau donor, melainkan butuh perubahan budaya kelembagaan, kepemimpinan politik, dan partisipasi masyarakat. Pengalaman Aceh sangat relevan untuk provinsi rawan bencana lain di Indonesia, serta negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa:

  • Hindari silo birokrasi, dorong sinergi lintas sektor.
  • Prioritaskan edukasi dan pelibatan masyarakat agar program adaptasi benar-benar berakar dan berkelanjutan.
  • Jadikan pengalaman lokal sebagai dasar inovasi kebijakan nasional.

Penutup: Menuju Integrasi DRR-CCA yang Inklusif dan Berkelanjutan

Studi Sufri & Lassa menegaskan bahwa dua dekade pasca-tsunami, Aceh telah mengalami kemajuan besar di bidang DRR dan adaptasi iklim, namun integrasi keduanya masih terhambat oleh fragmentasi kelembagaan, lemahnya komitmen politik, keterbatasan dana, dan minimnya partisipasi masyarakat. Transformasi menuju integrasi DRR-CCA yang efektif hanya bisa dicapai dengan kepemimpinan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama. Pelajaran dari Aceh menjadi cermin penting bagi Indonesia dan negara-negara lain dalam membangun ketangguhan iklim di era risiko multi-bencana.

Sumber asli:
Sofyan Sufri, Jonatan Anderias Lassa. (2024). Integration of disaster risk reduction and climate change adaptation in Aceh: Progress and challenges after 20 Years of Indian Ocean Tsunamis. International Journal of Disaster Risk Reduction, 113, 104894.

Selengkapnya
Mengurai Tantangan Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh: Dua Dekade Pasca-Tsunami

Risiko Banjir

Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.

Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.

Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS

NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).

Tiga prinsip utama NBS:

  • Bisa berdiri sendiri atau dikombinasikan dengan solusi lain,
  • Diterapkan pada skala lanskap,
  • Menjadi bagian integral dari desain kebijakan dan tindakan penanganan tantangan sosial.

Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.

Tantangan Merancang NBS yang Tangguh

Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.

Proses desain NBS tangguh meliputi:

  • Robust parameter design: Meningkatkan karakteristik fisik dan proses ekologis agar sistem tahan terhadap bencana ekstrem (misal, memperdalam furrow irigasi, memilih vegetasi tahan genangan).
  • Robust control: Menyediakan mekanisme kontrol dinamis (misal, pintu air, pompa, pengalihan aliran) agar fungsi ekosistem bisa diubah sementara saat terjadi bencana (misal, taman kota menjadi kolam retensi banjir).

Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand

Latar Belakang Wilayah

Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.

Sistem Kanal dan Furrow

  • Sistem utama: Kanal Raphiphat (kapasitas maksimal 215–170 m³/detik), kanal Rangsit (45 m³/detik), serta sub-kanal Klong 7–12 (masing-masing 15–30 m³/detik).
  • Area pertanian: 44,16 km² dari total 54,48 km² wilayah Nong Sua.
  • Sistem pengelolaan: Kolaborasi antara Royal Irrigation Department (RID), Hydro Informatics Institute (HII), dan komunitas petani.

Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)

Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.

Data dan Angka Kunci

  • Selama 32 tahun (1985–2016), tercatat 69 kejadian banjir besar di Thailand.
  • Pada 2011, curah hujan musiman mencapai 1823 mm (28% di atas rata-rata 2002–2010), menyebabkan banjir besar yang merusak enam kawasan industri dan menyebabkan 70% kerugian sektor manufaktur di Pathum Thani dan Ayutthaya.
  • Sistem irigasi tradisional mampu menampung limpasan banjir hingga 160 m³/detik, jauh di atas kapasitas desain kanal utama (40 m³/detik).

Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh

1. Desain Ketangguhan

  • Parameter kunci: Kedalaman furrow, jumlah pintu air (flow regulator), vegetasi tahan genangan, dan tanggul perimeter.
  • Intervensi: Setelah banjir 2011, petani memperdalam dan memperluas furrow, serta menambah pintu air di Klong 7–10 (misal, Klong 7 dari 1 menjadi 6 pintu air).
  • Integrasi infrastruktur abu-abu: Penggunaan flow regulator dan tanggul perimeter untuk mengendalikan genangan dan mencegah limpasan tak terkendali.

2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis

  • Menggunakan model hidrodinamika 1-D (MIKE HYDRO River) untuk mensimulasikan respons sistem terhadap berbagai skenario banjir (55–160 m³/detik).
  • Indikator robust analysis:
    • Lower resistance threshold: Titik air mulai naik di furrow (+1,53 m MSL).
    • Proportionality: Seberapa besar kenaikan air di furrow dan kanal utama terhadap peningkatan debit banjir.
    • Manageability: Kemampuan menjaga air di bawah level bed tanaman (+2,55 m MSL) dan tanggul perimeter (+2,91 m MSL).
    • Upper resistance threshold: Titik di mana air melebihi bed tanaman atau tanggul, menyebabkan kerusakan ekonomi dan lingkungan.

3. Hasil Evaluasi

  • Tanpa NBS, kanal utama akan meluap pada debit 70 m³/detik (30 m³/detik di atas kapasitas desain).
  • Dengan NBS, kanal mampu berfungsi hingga debit 160 m³/detik tanpa meluap, berkat penampungan air di furrow.
  • Efisiensi penyimpanan air di furrow Klong 7 dan 8 meningkat dari 82% dan 81% menjadi 96% dan 95% setelah penambahan pintu air.
  • Sistem ini juga menjaga air tetap di bawah level bed tanaman, sehingga kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi bisa diminimalkan.

4. Co-Benefits dan Batasan

  • Selain pengendalian banjir, air yang tertampung bisa digunakan untuk irigasi di musim kemarau, meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan petani.
  • Karakteristik tanah liat di Nong Sua (plasticity index 30–50%, liquid limit 60–80%) membuat air bisa ditahan lebih lama, namun membatasi infiltrasi dan pengisian air tanah.
  • Keterbatasan model: Studi hanya menggunakan model 1-D, sehingga belum mengevaluasi limpasan permukaan secara spasial penuh (butuh model 2-D untuk analisis lanjutan).

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Studi

  • Mengembangkan proses desain dan evaluasi NBS tangguh yang sistematis, bisa diadaptasi untuk berbagai konteks.
  • Studi kasus berbasis data nyata dan kolaborasi multi-aktor, sehingga hasilnya relevan untuk perumusan kebijakan.
  • Menunjukkan pentingnya integrasi NBS dan infrastruktur abu-abu (hybrid solution) untuk ketangguhan sistem.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Masih sedikit studi yang mengevaluasi NBS secara kuantitatif dan membandingkannya dengan solusi konvensional.
  • Keterbatasan data dan kapasitas teknis di banyak negara berkembang bisa menjadi hambatan implementasi.
  • Studi ini fokus pada banjir; aplikasi untuk kekeringan dan kawasan pesisir masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Perbandingan dengan Tren Global

  • Konsep serupa diterapkan di Belanda (“Room for the River”), Denmark (Cloudburst Management), dan Tiongkok (Sponge City), namun adaptasi lokal sangat penting.
  • Banyak negara kini mulai mengadopsi solusi berbasis alam untuk pengurangan risiko bencana, didukung kebijakan internasional (EU Green Deal, SDGs, Sendai Framework).

Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia

  • Wilayah dataran banjir di Indonesia (misal, Bekasi, Karawang, Semarang) dapat mengadopsi pendekatan serupa, mengoptimalkan sistem irigasi tradisional dan lahan pertanian sebagai penampung banjir musiman.
  • Penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam desain dan pengelolaan NBS, serta mengintegrasikan solusi dengan infrastruktur abu-abu.
  • Evaluasi kuantitatif dengan model hidrodinamika dan indikator robust analysis harus menjadi standar dalam perencanaan NBS.
  • Perlu penguatan kapasitas teknis, pendanaan, dan kolaborasi lintas sektor untuk implementasi skala besar.

Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam

Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.

Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.

Selengkapnya
Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand

Risiko Banjir

Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?

Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.

Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi

Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:

  • Berkurangnya kapasitas ekonomi dan fiskal,
  • Penurunan layanan publik (transportasi, kesehatan, pendidikan),
  • Berkurangnya tenaga sukarela untuk penanggulangan bencana,
  • Potensi “lingkaran setan kemunduran” komunitas rural.

Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.

Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data

Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.

Metode yang digunakan:

  • Survei rumah tangga (respons 7,8%) untuk mengukur kerentanan sosial, kapasitas coping, dan adaptasi.
  • Analisis spasial dengan ArcGIS untuk memetakan perubahan eksposur bangunan terhadap banjir (1998–2019) dan proyeksi masa depan.
  • Wawancara semi-terstruktur dengan pejabat, walikota, perencana, dan relawan bencana.
  • Analisis wacana kebijakan dan media.

Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur

1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas

  • 81,8% responden survei adalah pemilik rumah, mayoritas tinggal di rumah sendiri.
  • 75,1% responden pernah mengalami banjir; 38,7% pernah mengalami banjir kecil dan sebagian besar masih mengingat banjir besar 1965–1966.
  • Tingkat kohesi sosial tinggi: 45% aktif di organisasi lokal, hampir semua responden tinggal di area studi sejak lahir.
  • 10,7% rumah tangga memiliki anggota dengan kebutuhan khusus.
  • Tingkat kesiapsiagaan individu untuk banjir 2018: rata-rata 2,45 (skala 1–5), kesiapsiagaan komunitas 2,22, dan kesiapsiagaan otoritas publik 2,79.
  • Pengalaman banjir masa lalu meningkatkan kesiapsiagaan: Responden yang pernah mengalami banjir lebih siap menghadapi banjir berikutnya (χ2 (5) = 23.584; p < 0.001).
  • Faktor gender signifikan: Perempuan cenderung lebih siap secara individu dan dalam ekspektasi terhadap kejadian masa depan (F = 12.775, p < 0.000).

2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang

  • Jumlah bangunan di area rawan banjir justru meningkat meski populasi menurun.
  • Antara 1998–2019, di beberapa kota seperti Kötschach-Mauthen, bangunan di zona banjir naik 14%.
  • Proyeksi masa depan: jika semua lahan permukiman yang diizinkan dibangun, 31% (19 ha) tambahan lahan permukiman di Kötschach-Mauthen akan berada di zona rawan banjir.
  • Populasi Gailtal turun 7% (2001–2019), tapi bangunan di zona banjir terus bertambah.
  • Fenomena ini disebut “exposure paradox”: penurunan populasi tidak otomatis menurunkan eksposur terhadap banjir, karena pembangunan rumah baru (termasuk rumah kedua dan migrasi pensiunan kaya) tetap terjadi di area rawan.

3. Strategi Manajemen Risiko Banjir

  • Sejak 1970, Austria menginvestasikan sekitar EUR 60 juta untuk perlindungan banjir di Gailtal, dengan tambahan EUR 25–35 juta per tahun (2000–2019) untuk Carinthia.
  • Proyek besar:
    • St. Stefan (2013): EUR 5,1 juta, plus EUR 9 juta dari WLV untuk perlindungan sungai.
    • Kötschach-Mauthen (2017): EUR 11,5 juta, perlindungan terhadap banjir 100-tahunan.
    • Hermagor (2020): EUR 13 juta untuk pelebaran sungai dan retensi air.
  • Fokus utama tetap pada infrastruktur fisik: bendungan, pelebaran sungai, retensi air.
  • Pendanaan dan prioritas proyek tidak pernah mempertimbangkan indikator demografi sebagai syarat utama. Namun, komunitas mulai khawatir pendanaan bisa berkurang jika populasi terus turun.

4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah

  • Di tingkat negara bagian, isu demografi dan banjir diakui sebagai tantangan, namun jarang diintegrasikan dalam satu kebijakan.
  • Wacana publik dan media lebih banyak menyoroti solusi teknis (infrastruktur) dibanding adaptasi berbasis demografi.
  • Beberapa kebijakan mulai mempertimbangkan usia relawan, kebutuhan rumah tangga dengan anggota lanjut usia, dan urban sprawl akibat migrasi pensiunan.

Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal

  • Oktober 2018: hujan ekstrem menyebabkan jebolnya tanggul di Rattendorf, menenggelamkan 39 rumah, merusak jalan dan jembatan, dengan kerugian EUR 233 juta.
  • November 2019: banjir besar kembali terjadi, menyebabkan kerusakan “ratusan juta euro” di Carinthia, sekitar EUR 100 juta di sektor privat.
  • 5300 petugas pemadam kebakaran dan militer dikerahkan selama banjir 2018.
  • Komunitas menunjukkan proses pemulihan cepat, namun kompensasi kerugian dinilai masih rendah.

Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama

1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?

  • Studi ini menantang asumsi bahwa komunitas tua otomatis lebih rentan.
  • Di Gailtal, kohesi sosial tinggi, pengalaman banjir masa lalu, dan keterlibatan di organisasi lokal justru memperkuat kapasitas coping dan adaptasi.
  • Namun, jika proporsi lansia 80+ tahun terus naik, bisa terjadi “tipping point” di mana kapasitas komunitas benar-benar menurun.

2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?

  • Penurunan jumlah anggota rumah tangga (lebih banyak rumah satu-dua orang), kebijakan lokal yang ingin menarik penduduk baru, dan pembangunan rumah kedua berperan besar.
  • Zoning lahan permukiman sering dilakukan tanpa memperhatikan peta bahaya banjir yang baru tersedia bertahun-tahun setelahnya.
  • Migrasi “new highlanders” (pensiunan kaya) ke Alpen juga memperbanyak rumah di zona rawan.

3. Implikasi untuk Kebijakan

  • Pendanaan proyek banjir masih kuat, tetapi masa depan bisa berubah jika populasi terus turun dan cost-benefit ratio menurun.
  • Tantangan utama ke depan: bagaimana mempertahankan dan merawat infrastruktur perlindungan banjir dengan sumber daya manusia dan dana yang makin terbatas.
  • Kebijakan perlu mulai mengintegrasikan data demografi, proyeksi populasi, dan kebutuhan kelompok rentan dalam perencanaan risiko.

Perbandingan dengan Studi Global

  • Studi di Belanda, Jerman, dan AS juga menemukan bahwa penurunan populasi tidak selalu menurunkan eksposur banjir, terutama jika pembangunan rumah baru tetap terjadi di zona rawan.
  • Kohesi sosial dan pengalaman bencana masa lalu terbukti memperkuat resiliensi di banyak komunitas rural Eropa.
  • Namun, jika tren penuaan ekstrem berlanjut, banyak negara menghadapi tantangan serupa: kekurangan relawan, dana, dan kapasitas perawatan infrastruktur.

Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia

  • Banyak daerah pegunungan di Indonesia juga menghadapi migrasi keluar dan penuaan populasi, terutama di desa-desa terpencil.
  • Penting untuk tidak hanya fokus pada jumlah penduduk, tetapi juga pola pembangunan rumah, kohesi sosial, dan pengalaman bencana lokal.
  • Perencanaan tata ruang dan kebijakan banjir harus mengantisipasi “paradox eksposur”—jangan sampai pembangunan baru justru memperbesar risiko meski penduduk menurun.
  • Investasi pada kohesi sosial, edukasi risiko, dan dokumentasi pengalaman bencana sangat penting untuk membangun resiliensi jangka panjang.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual

Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.

Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.

Selengkapnya
Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Risiko Iklim

Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim

Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.

Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik

Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.

Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:

  • Badai tropis dan siklon: Probabilitas terkena dampak langsung mencapai 13% per tahun.
  • Banjir dan longsor: 69% wilayah memiliki kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap longsor, terutama akibat hujan ekstrem.
  • Wabah penyakit: Puerto Vallarta konsisten mencatat kasus dengue tertinggi di Jalisco, dan menjadi salah satu zona paling terdampak COVID-19 di negara bagian tersebut.

Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)

Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:

  • Network analysis untuk memetakan persepsi aktor terhadap akar masalah, tekanan dinamis, dan kondisi tidak aman.
  • Model PAR untuk mengidentifikasi rantai penyebab kerentanan dan merumuskan agenda aksi.
  • Diskusi terfokus untuk menyusun agenda manajemen risiko komprehensif, yang selaras dengan empat prioritas Sendai Framework.

Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta

Akar Masalah (Root Causes)

  • Minim insentif investasi pencegahan risiko: Pemerintah dan swasta lebih fokus pada reaksi pasca-bencana ketimbang pencegahan.
  • Lemahnya penegakan regulasi lingkungan: Banyak izin pembangunan diberikan di zona rawan banjir dan longsor.
  • Penghapusan Dana Bencana Alam (FONDEN): Sejak 2020, kota kehilangan sumber dana penting untuk mitigasi dan respons bencana.
  • Kurangnya koordinasi lintas pemerintah: Dua kota, dua negara bagian, dan beda partai politik membuat tata kelola metropolitan tidak sinkron.

Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)

  • Pertumbuhan penduduk dan infrastruktur pesat: 42,3% penduduk adalah migran, mendorong deforestasi, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan hotel di area mangrove.
  • Kurangnya perencanaan tata ruang metropolitan: Tidak ada program pengendalian penggunaan lahan lintas kota, meski sudah ada kesepakatan sejak 2012.
  • Kurangnya pengetahuan dan kesadaran risiko di masyarakat: Informasi risiko belum tersosialisasi dengan baik.
  • Sumber daya terbatas dan aliansi antar lembaga masih lemah.

Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)

  • Permukiman informal di zona rawan: Banyak rumah dan hotel berdiri di daerah banjir dan longsor.
  • Infrastruktur drainase dan pengendali banjir tidak memadai.
  • Ekonomi lokal rapuh, konflik antar pelaku wisata, dan masyarakat kurang terlatih menghadapi darurat.
  • Sistem manajemen risiko masih reaktif, belum berbasis pencegahan dan tata kelola metropolitan.

Bahaya (Hazards) dan Dampak

  • Banjir besar, longsor, badai tropis: Dalam 2000–2021, tercatat empat status darurat dan tujuh deklarasi bencana akibat fenomena hidrometeorologi.
  • Kerugian besar: Misal, Badai Kenna (2002, kategori 5) menyebabkan dua korban jiwa, 30.000 orang mengungsi, 95% rumah terdampak, dan kerugian USD 150 juta.
  • Wabah dengue dan COVID-19: Pada 2019–2020, Jalisco menempati peringkat pertama nasional kasus dengue. Zona hotel-komersial Puerto Vallarta paling rentan COVID-19.

Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis

Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:

1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem

  • Implementasi praktik konservasi tanah dan solusi berbasis alam (nature-based solutions).
  • Restorasi mangrove dan kawasan lindung seperti Estero El Salado dan Sierra Vallejo.

2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola

  • Penyusunan program tata ruang metropolitan berbasis DAS dan risiko.
  • Relokasi permukiman informal di zona rawan.
  • Pembaruan berkala dokumen perencanaan dengan partisipasi masyarakat.
  • Penguatan regulasi limbah, ekstraksi material, dan sistem pemantauan.

3. Infrastruktur

  • Pembangunan observatorium meteorologi dan pusat data risiko.
  • Penguatan infrastruktur pengendali banjir dan longsor.
  • Pemeliharaan dan perluasan sistem drainase.

4. Diseminasi dan Pelatihan

  • Sosialisasi tata ruang dan instrumen risiko ke publik.
  • Pelatihan kesiapsiagaan bencana untuk masyarakat dan sektor pertanian.

5. Aliansi Strategis

  • Koordinasi efektif lintas pemerintah (kota, negara bagian, pusat).
  • Pertukaran pengalaman dengan kota lain yang menghadapi risiko serupa.
  • Penguatan kolaborasi dengan akademisi nasional.

6. Pembiayaan

  • Mobilisasi sumber daya manusia, material, dan finansial untuk manajemen risiko.
  • Insentif investasi swasta dalam pencegahan risiko.

Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).

Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global

Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta

  • Partisipatif dan multidisipliner: Agenda disusun bersama pemangku kepentingan lintas sektor, meningkatkan rasa kepemilikan dan peluang implementasi.
  • Berbasis bukti dan sistemik: Model PAR memetakan rantai kerentanan dari akar hingga dampak, bukan sekadar reaksi terhadap bencana.
  • Selaras dengan standar internasional: Agenda mengadopsi prinsip Sendai Framework, SDGs, dan best practice manajemen risiko global.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Koordinasi lintas pemerintah masih lemah: Dua kota, dua provinsi, beda partai politik, dan regulasi yang belum terintegrasi.
  • Pendanaan dan sumber daya terbatas: Penghapusan FONDEN membuat kota sangat rentan jika terjadi bencana besar.
  • Implementasi agenda sangat tergantung pada kolaborasi dan komitmen politik lintas periode pemerintahan.
  • Partisipasi masyarakat dan pelaku usaha masih perlu diperluas, terutama dalam sosialisasi dan pengawasan tata ruang.

Studi Banding dan Tren Global

  • Mirip dengan tantangan di kota wisata lain (Bali, Phuket, Cartagena): Urbanisasi pesisir tanpa tata ruang berbasis risiko meningkatkan kerentanan.
  • Studi di Kolombia dan Bangladesh menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, lemahnya edukasi risiko, dan tata kelola yang tidak adaptif adalah akar masalah serupa.
  • Solusi berbasis alam dan tata ruang adaptif kini menjadi tren global, didukung lembaga internasional seperti UNDRR, World Bank, dan OECD.

Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia

  • Kota wisata pesisir di Indonesia (Bali, Lombok, Labuan Bajo, Manado) menghadapi tantangan serupa: pertumbuhan pesat, tekanan pariwisata, dan risiko bencana hidrometeorologi.
  • Pentingnya tata ruang berbasis risiko: Relokasi permukiman informal, perlindungan ekosistem pesisir, dan penguatan drainase mutlak diperlukan.
  • Perlu agenda aksi partisipatif: Libatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyusunan dan monitoring agenda manajemen risiko.
  • Kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah: Belajar dari Puerto Vallarta, integrasi tata kelola metropolitan dan insentif investasi swasta sangat penting.
  • Investasi pada edukasi dan sistem peringatan dini: Sosialisasi risiko dan pelatihan kesiapsiagaan harus menjadi prioritas utama.

Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif

Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.

Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.

Selengkapnya
Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”
« First Previous page 16 of 1.119 Next Last »