Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim
Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.
Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.
Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik
Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.
Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:
- Badai tropis dan siklon: Probabilitas terkena dampak langsung mencapai 13% per tahun.
- Banjir dan longsor: 69% wilayah memiliki kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap longsor, terutama akibat hujan ekstrem.
- Wabah penyakit: Puerto Vallarta konsisten mencatat kasus dengue tertinggi di Jalisco, dan menjadi salah satu zona paling terdampak COVID-19 di negara bagian tersebut.
Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)
Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:
- Network analysis untuk memetakan persepsi aktor terhadap akar masalah, tekanan dinamis, dan kondisi tidak aman.
- Model PAR untuk mengidentifikasi rantai penyebab kerentanan dan merumuskan agenda aksi.
- Diskusi terfokus untuk menyusun agenda manajemen risiko komprehensif, yang selaras dengan empat prioritas Sendai Framework.
Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta
Akar Masalah (Root Causes)
- Minim insentif investasi pencegahan risiko: Pemerintah dan swasta lebih fokus pada reaksi pasca-bencana ketimbang pencegahan.
- Lemahnya penegakan regulasi lingkungan: Banyak izin pembangunan diberikan di zona rawan banjir dan longsor.
- Penghapusan Dana Bencana Alam (FONDEN): Sejak 2020, kota kehilangan sumber dana penting untuk mitigasi dan respons bencana.
- Kurangnya koordinasi lintas pemerintah: Dua kota, dua negara bagian, dan beda partai politik membuat tata kelola metropolitan tidak sinkron.
Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)
- Pertumbuhan penduduk dan infrastruktur pesat: 42,3% penduduk adalah migran, mendorong deforestasi, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan hotel di area mangrove.
- Kurangnya perencanaan tata ruang metropolitan: Tidak ada program pengendalian penggunaan lahan lintas kota, meski sudah ada kesepakatan sejak 2012.
- Kurangnya pengetahuan dan kesadaran risiko di masyarakat: Informasi risiko belum tersosialisasi dengan baik.
- Sumber daya terbatas dan aliansi antar lembaga masih lemah.
Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)
- Permukiman informal di zona rawan: Banyak rumah dan hotel berdiri di daerah banjir dan longsor.
- Infrastruktur drainase dan pengendali banjir tidak memadai.
- Ekonomi lokal rapuh, konflik antar pelaku wisata, dan masyarakat kurang terlatih menghadapi darurat.
- Sistem manajemen risiko masih reaktif, belum berbasis pencegahan dan tata kelola metropolitan.
Bahaya (Hazards) dan Dampak
- Banjir besar, longsor, badai tropis: Dalam 2000–2021, tercatat empat status darurat dan tujuh deklarasi bencana akibat fenomena hidrometeorologi.
- Kerugian besar: Misal, Badai Kenna (2002, kategori 5) menyebabkan dua korban jiwa, 30.000 orang mengungsi, 95% rumah terdampak, dan kerugian USD 150 juta.
- Wabah dengue dan COVID-19: Pada 2019–2020, Jalisco menempati peringkat pertama nasional kasus dengue. Zona hotel-komersial Puerto Vallarta paling rentan COVID-19.
Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis
Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:
1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem
- Implementasi praktik konservasi tanah dan solusi berbasis alam (nature-based solutions).
- Restorasi mangrove dan kawasan lindung seperti Estero El Salado dan Sierra Vallejo.
2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola
- Penyusunan program tata ruang metropolitan berbasis DAS dan risiko.
- Relokasi permukiman informal di zona rawan.
- Pembaruan berkala dokumen perencanaan dengan partisipasi masyarakat.
- Penguatan regulasi limbah, ekstraksi material, dan sistem pemantauan.
3. Infrastruktur
- Pembangunan observatorium meteorologi dan pusat data risiko.
- Penguatan infrastruktur pengendali banjir dan longsor.
- Pemeliharaan dan perluasan sistem drainase.
4. Diseminasi dan Pelatihan
- Sosialisasi tata ruang dan instrumen risiko ke publik.
- Pelatihan kesiapsiagaan bencana untuk masyarakat dan sektor pertanian.
5. Aliansi Strategis
- Koordinasi efektif lintas pemerintah (kota, negara bagian, pusat).
- Pertukaran pengalaman dengan kota lain yang menghadapi risiko serupa.
- Penguatan kolaborasi dengan akademisi nasional.
6. Pembiayaan
- Mobilisasi sumber daya manusia, material, dan finansial untuk manajemen risiko.
- Insentif investasi swasta dalam pencegahan risiko.
Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global
Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta
- Partisipatif dan multidisipliner: Agenda disusun bersama pemangku kepentingan lintas sektor, meningkatkan rasa kepemilikan dan peluang implementasi.
- Berbasis bukti dan sistemik: Model PAR memetakan rantai kerentanan dari akar hingga dampak, bukan sekadar reaksi terhadap bencana.
- Selaras dengan standar internasional: Agenda mengadopsi prinsip Sendai Framework, SDGs, dan best practice manajemen risiko global.
Tantangan dan Keterbatasan
- Koordinasi lintas pemerintah masih lemah: Dua kota, dua provinsi, beda partai politik, dan regulasi yang belum terintegrasi.
- Pendanaan dan sumber daya terbatas: Penghapusan FONDEN membuat kota sangat rentan jika terjadi bencana besar.
- Implementasi agenda sangat tergantung pada kolaborasi dan komitmen politik lintas periode pemerintahan.
- Partisipasi masyarakat dan pelaku usaha masih perlu diperluas, terutama dalam sosialisasi dan pengawasan tata ruang.
Studi Banding dan Tren Global
- Mirip dengan tantangan di kota wisata lain (Bali, Phuket, Cartagena): Urbanisasi pesisir tanpa tata ruang berbasis risiko meningkatkan kerentanan.
- Studi di Kolombia dan Bangladesh menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, lemahnya edukasi risiko, dan tata kelola yang tidak adaptif adalah akar masalah serupa.
- Solusi berbasis alam dan tata ruang adaptif kini menjadi tren global, didukung lembaga internasional seperti UNDRR, World Bank, dan OECD.
Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia
- Kota wisata pesisir di Indonesia (Bali, Lombok, Labuan Bajo, Manado) menghadapi tantangan serupa: pertumbuhan pesat, tekanan pariwisata, dan risiko bencana hidrometeorologi.
- Pentingnya tata ruang berbasis risiko: Relokasi permukiman informal, perlindungan ekosistem pesisir, dan penguatan drainase mutlak diperlukan.
- Perlu agenda aksi partisipatif: Libatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyusunan dan monitoring agenda manajemen risiko.
- Kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah: Belajar dari Puerto Vallarta, integrasi tata kelola metropolitan dan insentif investasi swasta sangat penting.
- Investasi pada edukasi dan sistem peringatan dini: Sosialisasi risiko dan pelatihan kesiapsiagaan harus menjadi prioritas utama.
Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif
Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.
Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.