Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan: Smart City Tidak Lengkap Tanpa Smart Water
Dalam perkembangan kota pintar (smart cities), sistem air perkotaan kerap tertinggal dari sektor lain seperti energi dan transportasi. Padahal, Urban Water Infrastructure (UWI) memainkan peran vital dalam pasokan air bersih, pengelolaan limbah cair, dan mitigasi banjir. Disertasi karya Martin Oberascher (2022) menjawab tantangan ini dengan menyusun pendekatan menyeluruh untuk mengintegrasikan teknologi komunikasi, Internet of Things (IoT), dan konsep kontrol cerdas dalam UWI—sebagai fondasi Smart Water Cities.
Konsep Utama: Apa Itu Smart Water City?
Smart Water City mengacu pada kota yang:
Tujuan Penelitian dan Kontribusi Utama
Penelitian ini terbagi dalam empat sasaran utama:
Setiap sasaran didukung dengan eksperimen simulasi dan aplikasi lapangan nyata.
Studi Kasus 1: Smart Rain Barrel – Solusi Inovatif di Rumah Tangga
Smart Rain Barrel (SRB) merupakan modifikasi dari tong air hujan konvensional yang dilengkapi katup kendali otomatis. Dengan mengintegrasikan prediksi cuaca resolusi tinggi, SRB bisa dikosongkan sebelum hujan agar bisa menampung air lebih banyak.
Dalam simulasi pada infrastruktur kota pegunungan di Austria:
Studi Kasus 2: Smart Campus Innsbruck – Laboratorium Hidup
Kampus Teknik Universitas Innsbruck dijadikan laboratorium nyata dengan:
Teknologi Komunikasi: Pilihan Menentukan Efisiensi
Penelitian ini menelaah lebih dari 20 teknologi komunikasi, baik kabel maupun nirkabel, dan memetakan sesuai:
Contoh:
Framework yang dikembangkan memungkinkan:
Aplikasi Smart City di UWI: Kombinasi Data, Manusia, dan Teknologi
Penelitian ini juga mengeksplorasi:
Pendekatan ini menekankan bahwa kota cerdas harus melibatkan warga secara aktif, bukan hanya sensor dan algoritma.
Tantangan dan Isu Etis
Tantangan Teknis:
Isu Etis dan Sosial:
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Kota Cerdas Air adalah Pilar Kota Masa Depan
Disertasi ini membuktikan bahwa integrasi data, perangkat IoT, kontrol cerdas, dan partisipasi warga merupakan kunci membangun sistem air kota yang adaptif, efisien, dan berkelanjutan. Framework dan studi kasus dari Austria ini sangat relevan bagi kota-kota di dunia, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air perkotaan.
Smart Water Cities bukan sekadar digitalisasi air, tapi transformasi menyeluruh dari cara kita mengelola dan memahami air dalam ruang kota.
Sumber : Oberascher, M. (2022). Innovative Concepts and Applications for Smart Water Cities: Towards Integrated Management of Network-based Urban Water Infrastructure. Dissertation, Universität Innsbruck.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Air Minum Masih Jadi Tantangan Serius
Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang semakin krusial, terutama di wilayah dengan kondisi geografis menantang seperti Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Wilayah ini terdiri dari rawa, gambut, pantai, dan pulau, sehingga pengembangan infrastruktur air minum memerlukan investasi besar dan pendekatan kelembagaan yang kuat. Artikel karya M. Gasali (2017) dalam jurnal Selodang Mayang mengulas secara komprehensif tentang strategi dan regulasi kemitraan pemerintah-swasta (PPP) dalam membangun infrastruktur air minum di daerah tersebut.
Kebutuhan Air dan Kesenjangan Investasi
Berdasarkan perhitungan teknis, kebutuhan air di Indragiri Hilir mencapai 80,88–160,64 liter/detik atau 6.988,01–13.879,2 m³/hari. Namun, keterbatasan anggaran publik menimbulkan funding gap serius antara kebutuhan dan kemampuan pembiayaan infrastruktur. Oleh karena itu, skema PPP diajukan sebagai solusi utama.
Apa Itu PPP dan Mengapa Relevan?
Public Private Partnership (PPP) adalah kolaborasi jangka panjang antara sektor publik dan swasta untuk pembiayaan, pembangunan, pengelolaan, dan penyediaan layanan publik. PPP tidak hanya mengisi kekurangan dana, tetapi juga:
PPP untuk sektor air minum di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, seperti:
Strategi Implementasi PPP di Indragiri Hilir
Penelitian ini memetakan 9 strategi utama dalam mengimplementasikan PPP sektor air minum:
Regulasi Kunci: Landasan Hukum PPP Air Minum
Terdapat beberapa kebijakan utama yang menjadi fondasi pelaksanaan PPP:
Selain itu, dukungan fiskal dari pusat melalui subsidi bunga kredit dan jaminan pembayaran pinjaman kepada PDAM menjadi insentif yang memperkuat skema PPP.
Kelembagaan: Siapa Melakukan Apa?
Implementasi PPP memerlukan koordinasi multipihak:
Keterlibatan lintas sektoral ini menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan proyek.
Pola Pelayanan dan Model Kelembagaan
Studi Kasus Kebijakan Tarif dan Pembiayaan
Tarif air dalam skema PPP ditentukan dengan prinsip:
Komponen biaya yang dihitung:
Sumber pendanaan bisa berasal dari:
Program Unggulan: Dari Survei Hingga Sosialisasi
Beberapa program nyata yang sedang atau direncanakan di Indragiri Hilir:
Rekomendasi Penting
Kesimpulan: PPP Bukan Hanya Tentang Dana, Tapi Tentang Kerja Sama dan Visi
PPP di sektor air minum dapat menjadi katalisator pemerataan layanan dasar di wilayah tertinggal, termasuk Indragiri Hilir. Namun, keberhasilan skema ini bergantung pada tiga hal utama:
Artikel ini memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa pembangunan infrastruktur air bukan semata proyek teknis, tetapi juga proses sosial dan politik yang perlu ditata rapi.
Sumber : Gasali, M. (2017). Regulasi dan Strategi dalam Penyediaan Infrastruktur Air Minum dengan Skema Public Private Partnership (PPP) di Kabupaten Indragiri Hilir. Selodang Mayang, Vol. 3 No. 1, April 2017.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Infrastruktur air pintar (Smart Water Infrastructure/SWI) merupakan solusi masa depan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, krisis energi, dan kebutuhan efisiensi sektor utilitas air. Artikel ilmiah karya Ellen Margrethe Basse berjudul "The Conditions for Future Energy-Smart Water Utilities under EU and Danish Law and Policy" menyajikan analisis mendalam mengenai kerangka hukum dan kebijakan di Uni Eropa (UE) dan Denmark dalam mendukung transisi menuju utilitas air yang ramah energi dan rendah karbon. Artikel ini mengintegrasikan aspek hukum, lingkungan, dan teknologi serta memberikan penekanan pada pentingnya strategi multifungsi lintas sektor.
Interdependensi Sektor Air dan Energi
Basse menekankan bahwa air dan energi saling bergantung: air digunakan dalam pembangkitan dan pendinginan energi, sementara energi dibutuhkan dalam proses pemurnian, distribusi, dan pengolahan air limbah. Di UE, layanan air dan energi menyumbang lebih dari sepertiga emisi CO2. Oleh karena itu, sektor ini tidak hanya penyebab emisi gas rumah kaca (GRK) tetapi juga terkena dampak langsung perubahan iklim.
Konsep Utilitas Air Pintar
Utilitas air pintar melampaui fungsi tradisional distribusi dan pengolahan air. Mereka bertindak sebagai "prosumen pintar," memproduksi energi terbarukan melalui fasilitas air, seperti biogas dari lumpur limbah dan pembangkit listrik tenaga air. Di Denmark, teknologi ini digunakan untuk menyuntikkan bio-methane ke jaringan gas alam serta digunakan dalam pembangkit listrik dan bahan bakar transportasi.
Data Studi Kasus dan Angka Penting
Hambatan Hukum dan Regulasi
Salah satu tantangan besar adalah fragmentasi hukum antara sektor air dan energi. UE belum memiliki pasar internal untuk air, berbeda dengan energi yang telah diharmonisasi melalui berbagai direktif. Basse menyoroti pentingnya pendekatan hukum holistik dan prinsip integrasi kebijakan lingkungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Traktat Fungsi Uni Eropa (TFEU).
Di Denmark, regulasi harga, prinsip pemulihan biaya penuh, dan kerangka insentif investasi menjadi kunci. Namun, keterbatasan dalam regulasi lokal dan pembagian wewenang antar level pemerintahan kadang memperlambat inovasi dan adopsi teknologi pintar.
Strategi Multifungsi dan Kolaborasi Internasional
Basse mengusulkan pentingnya beralih dari pendekatan sektoral menjadi strategi lintas fungsi yang mengintegrasikan air, energi, dan kebijakan iklim. Strategi ini mencakup:
Relevansi Global dan Perspektif Masa Depan
Studi ini juga mencerminkan kebutuhan global untuk kebijakan yang mendukung infrastruktur pintar dalam konteks urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi hijau. Komisi Eropa melalui strategi "Europe 2020" menargetkan pengurangan 20% konsumsi energi dan 20% peningkatan penggunaan energi terbarukan. SWI menjadi bagian penting dari roadmap ini.
Opini dan Analisis Tambahan
Pendekatan UE yang fleksibel memungkinkan negara anggota seperti Denmark menyesuaikan implementasi sesuai dengan struktur politik dan tradisi hukum nasional. Namun, diperlukan penguatan kerangka pemantauan dan evaluasi untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar menghasilkan pengurangan emisi dan peningkatan efisiensi energi.
Menariknya, artikel ini juga menyoroti ketimpangan antara energi dan air dalam konteks hak veto di UE: keputusan signifikan terkait air memerlukan persetujuan bulat negara anggota, sedangkan energi tidak. Hal ini dapat memengaruhi laju reformasi di sektor air.
Kesimpulan
Melalui analisis mendalam terhadap kerangka hukum UE dan Denmark, Ellen Margrethe Basse menunjukkan bahwa pencapaian utilitas air pintar bergantung pada reformasi hukum yang mendukung integrasi sektor, penerapan prinsip keberlanjutan, serta investasi dalam teknologi baru. Dengan pendekatan lintas sektor dan kolaboratif, infrastruktur air pintar berpotensi besar mewujudkan layanan air yang efisien, terjangkau, dan ramah iklim.
Sumber:
Basse, Ellen Margrethe. The Conditions for Future Energy-Smart Water Utilities under EU and Danish Law and Policy. Scandinavian Studies in Law, 2015.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Transisi menuju ekonomi sirkular menjadi urgensi global untuk menjawab krisis iklim, degradasi lingkungan, dan keterbatasan sumber daya. The Circularity Gap Report: Denmark yang dirilis oleh Circle Economy mengungkap bahwa tingkat sirkularitas ekonomi Denmark hanya mencapai 4%, jauh di bawah rata-rata global sebesar 7,2%, dan sangat jauh dari tingkat berkelanjutan yang diestimasikan sebesar 8 ton per kapita. Artikel ini mengulas secara kritis isi laporan tersebut, termasuk data konsumsi material Denmark, dampak ekologis, serta strategi konkret untuk menutup celah sirkularitas (circularity gap).
Tingginya Konsumsi Material dan Emisi Karbon
Denmark mengonsumsi 142,2 juta ton material per tahun, setara dengan 24,5 ton per kapita, lebih dari tiga kali lipat batas konsumsi berkelanjutan. Mayoritas konsumsi ini berasal dari sumber virgin materials, termasuk bahan tambang, biomassa, dan bahan bakar fosil. Emisi karbon Denmark mencapai 11,1 ton per kapita, di atas rata-rata Uni Eropa (9,5 ton per kapita), dengan 54% emisi berasal dari produk impor.
Sektor Berdampak Tinggi
Tiga sektor penyumbang terbesar jejak material dan karbon adalah:
Tantangan dalam Menutup Circularity Gap
Studi Kasus dan Angka Strategis
Skenario Perubahan dan Dampaknya
Circle Economy menawarkan lima skenario transformasi yang dapat meningkatkan tingkat sirkularitas Denmark dari 4% menjadi 7,6%, sekaligus:
Lima Skenario Transformasional:
Kesiapan Tenaga Kerja dan Pendidikan
Sekitar 9,6% lapangan kerja di Denmark saat ini mendukung ekonomi sirkular. Namun, sebagian besar adalah peran tidak langsung. Diperlukan peningkatan:
Kritik dan Opini Tambahan
Laporan menunjukkan kemajuan Denmark dalam elektrifikasi dan manajemen limbah, namun masih minim dalam pencegahan limbah dan perubahan pola konsumsi. Banyak kebijakan ambisius, seperti Strategi Ekonomi Sirkular Nasional dan Rencana Aksi Limbah, kekurangan pendanaan atau implementasi menyeluruh. Konsumsi berbasis impor masih menjadi titik lemah yang belum tertangani.
Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan
Denmark termasuk negara Shift dalam klasifikasi Circle Economy: negara berpendapatan tinggi dengan jejak ekologis besar. Jika seluruh dunia hidup seperti warga Denmark, dibutuhkan lebih dari empat planet untuk menopang gaya hidup tersebut. Ini menegaskan bahwa transisi sirkular di Denmark akan menjadi preseden penting bagi negara maju lainnya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Transisi menuju ekonomi sirkular di Denmark memerlukan reformasi sistemik: koordinasi lintas sektor, kerangka kebijakan yang sesuai, pendanaan untuk UKM, dan pemantauan kinerja yang menyeluruh. Potensi untuk mengurangi konsumsi material dan emisi karbon sangat besar, namun keberhasilan bergantung pada komitmen politik dan partisipasi masyarakat luas.
Sumber: Circle Economy. The Circularity Gap Report: Denmark, 2023.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
Mengapa Tata Kelola Air yang Baik Itu Penting?
Tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama dalam menjawab tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “tata kelola air yang baik”? Bagaimana cara menilainya secara objektif dan sistematis? Paper “Assessing the Soundness of Water Governance: Lessons Learned from Applying the 10 Building Blocks Approach” karya Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts, dan Marleen van Rijswick (2022) menawarkan jawaban melalui kajian mendalam atas pengalaman penerapan pendekatan 10 Building Blocks di berbagai negara dan konteks isu air. Artikel ini akan membedah konsep, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan tata kelola air global.
Mengenal 10 Building Blocks Approach: Pilar Penilaian Tata Kelola Air
Apa Itu 10 Building Blocks Approach?
10 Building Blocks Approach adalah kerangka penilaian interdisipliner yang dikembangkan untuk menganalisis tata kelola air secara holistik. Kerangka ini membagi penilaian menjadi tiga dimensi utama—Konten, Organisasi, dan Implementasi—yang dijabarkan dalam 10 blok penilaian (building blocks) berikut:
Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai konteks—mulai dari pengelolaan banjir di Belanda, kualitas air di China dan Nigeria, hingga program sanitasi di Ghana—dan terbukti mampu mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan tata kelola air di berbagai skala dan budaya1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Penerapan 10 Building Blocks di Dunia Nyata
1. Skala dan Ragam Aplikasi
2. Contoh Studi Kasus
Analisis Setiap Building Block: Temuan, Tantangan, dan Praktik Terbaik
1. Water System Knowledge
2. Values, Principles, and Policy Discourses
3. Stakeholder Involvement
4. Trade-offs Between Social Objectives
5. Responsibility, Authority, and Means
6. Regulations and Agreements
7. Financing Water Management
8. Engineering and Monitoring
9. Compliance and Enforcement
10. Conflict Prevention and Resolution
Pembaruan: Building Blocks 2.0 dan Inovasi Penilaian
Paper ini memperkenalkan versi baru, “Building Blocks 2.0”, dengan kriteria yang lebih spesifik dan visualisasi diagram sirkular untuk menekankan keterkaitan antarblok. Penilaian dapat menggunakan sistem traffic light (hijau-kuning-merah), skor 1–5, atau analisis SWOT, sehingga hasilnya lebih komunikatif dan mudah dibandingkan lintas kasus atau negara.
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Kerangka Lain
Kritik terhadap 10 Building Blocks Approach
Perbandingan dengan Framework Lain
Opini Penulis dan Relevansi Industri
Rekomendasi Strategis untuk Praktik dan Kebijakan
Menata Masa Depan Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif
Paper ini menegaskan bahwa tidak ada satu pendekatan penilaian tata kelola air yang sempurna, namun 10 Building Blocks Approach menawarkan kerangka kerja yang komprehensif, fleksibel, dan mudah diadaptasi untuk berbagai konteks. Kunci keberhasilan terletak pada kejelasan tujuan, keterlibatan stakeholder, transparansi data, serta keberanian untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Dengan demikian, tata kelola air dapat menjadi motor penggerak pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan kesejahteraan masyarakat lintas generasi.
Sumber artikel :
Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts & Marleen van Rijswick. “Assessing the soundness of water governance: lessons learned from applying the 10 Building Blocks Approach.” Water International, 47:4, 610-631, DOI: 10.1080/02508060.2022.2048487
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
Hak Air Bersih di Tengah Krisis Global
Pandemi COVID-19 bukan sekadar ujian kesehatan, tetapi juga ujian tata kelola sumber daya dasar—terutama air bersih. Di Indonesia, negara dengan sumber air tawar melimpah, ironi besar terjadi: jutaan rumah tangga masih kesulitan mengakses air layak, terutama saat kebutuhan melonjak akibat pandemi. Studi Nadia Astriani dkk. (2021) membedah secara kritis bagaimana negara memenuhi (atau justru gagal memenuhi) hak atas air bersih selama krisis, menyoroti kebijakan, implementasi, hingga studi kasus nyata seperti Kendeng. Resensi ini mengajak pembaca memahami akar masalah, menelaah data dan studi kasus, serta merefleksikan solusi dan kritik yang relevan dengan tren global tata kelola air1.
1. Hak Atas Air: Fondasi Konstitusi dan Hak Asasi
Air sebagai Hak Asasi dan Mandat Konstitusi
Regulasi Kunci Tata Kelola Air
2. Realitas di Lapangan: Data, Ketimpangan, dan Tantangan Selama Pandemi
Akses Air Bersih: Angka-angka Penting
Dampak Pandemi: Kebutuhan Meningkat, Akses Tertinggal
3. Studi Kasus: Kendeng dan Perjuangan Hak Air Komunitas Lokal
Kendeng: Karst, Air, dan Perlawanan Warga
Refleksi Kasus Kendeng
4. Kebijakan dan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas
Kebijakan Nasional dan Target SDGs
Respons Pemerintah Selama Pandemi
5. Perbandingan Global: Belajar dari Afrika Selatan dan Ethiopia
Afrika Selatan: Respons Proaktif dan Koordinasi Nasional
Ethiopia: Teknologi dan Partisipasi Komunitas
Pelajaran untuk Indonesia
6. Analisis Kritis dan Opini: Di Mana Letak Masalah Utama?
Kelemahan Tata Kelola dan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
7. Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Tangguh
Hak Air, Pandemi, dan Masa Depan Tata Kelola di Indonesia
Pandemi COVID-19 membuka tabir rapuhnya tata kelola air di Indonesia: regulasi sudah memadai, tetapi implementasi, inovasi, dan keberpihakan pada kelompok rentan masih jauh dari ideal. Studi kasus Kendeng dan data nasional menunjukkan bahwa hak atas air bukan sekadar janji konstitusi, tetapi ujian nyata bagi keberpihakan negara pada rakyat. Belajar dari negara lain, Indonesia harus berani berinovasi, memperkuat kolaborasi, dan memastikan setiap warga, tanpa kecuali, mendapatkan hak dasarnya atas air bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di kehidupan sehari-hari1.
Sumber artikel :
Nadia Astriani, Betty Rubiati, Yulinda Adharani, Siti Sarah Afifah, Rewita Salsabila, Rizkia Diffa. "The Responsibility of the Indonesian Government to Fulfill the Rights to Water During the COVID-19 Pandemic: Some Legal Issues." Environmental Policy and Law 51 (2021): 327–341.