Kebijakan Infrastruktur Air

Mengelola Kota Pintar Air dengan IoT, Data Besar, dan Kendali Terpadu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan: Smart City Tidak Lengkap Tanpa Smart Water

Dalam perkembangan kota pintar (smart cities), sistem air perkotaan kerap tertinggal dari sektor lain seperti energi dan transportasi. Padahal, Urban Water Infrastructure (UWI) memainkan peran vital dalam pasokan air bersih, pengelolaan limbah cair, dan mitigasi banjir. Disertasi karya Martin Oberascher (2022) menjawab tantangan ini dengan menyusun pendekatan menyeluruh untuk mengintegrasikan teknologi komunikasi, Internet of Things (IoT), dan konsep kontrol cerdas dalam UWI—sebagai fondasi Smart Water Cities.

Konsep Utama: Apa Itu Smart Water City?

Smart Water City mengacu pada kota yang:

  • Memanfaatkan sensor digital, sistem kontrol otomatis, dan komunikasi nirkabel dalam sistem air minum, drainase, dan solusi berbasis alam.
  • Menggabungkan pemodelan hidraulik, manajemen data waktu nyata, serta strategi kontrol prediktif untuk mengoptimalkan seluruh jaringan air.
  • Meningkatkan keberlanjutan, efisiensi biaya, dan resiliensi terhadap perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk.

Tujuan Penelitian dan Kontribusi Utama

Penelitian ini terbagi dalam empat sasaran utama:

  1. Analisis literatur ICT dan resolusi data untuk aplikasi UWI.
  2. Pengembangan konsep Smart Rain Barrel (SRB) sebagai solusi panen air berbasis IoT.
  3. Optimasi performa mikro-storage berbasis IoT dalam skala besar.
  4. Implementasi nyata dan pengujian sistem cerdas di Smart Campus Innsbruck.

Setiap sasaran didukung dengan eksperimen simulasi dan aplikasi lapangan nyata.

Studi Kasus 1: Smart Rain Barrel – Solusi Inovatif di Rumah Tangga

Smart Rain Barrel (SRB) merupakan modifikasi dari tong air hujan konvensional yang dilengkapi katup kendali otomatis. Dengan mengintegrasikan prediksi cuaca resolusi tinggi, SRB bisa dikosongkan sebelum hujan agar bisa menampung air lebih banyak.

Dalam simulasi pada infrastruktur kota pegunungan di Austria:

  • Instalasi SRB secara luas mengurangi kebutuhan sistem drainase tambahan.
  • Efektif menahan limpasan air permukaan dan membantu efisiensi penggunaan air non-minum.
  • Namun, keberhasilannya sangat tergantung pada akurasi data cuaca dan stabilitas transmisi data.

Studi Kasus 2: Smart Campus Innsbruck – Laboratorium Hidup

Kampus Teknik Universitas Innsbruck dijadikan laboratorium nyata dengan:

  • Jaringan sensor resolusi tinggi memantau aliran air masuk dan keluar kampus.
  • Peringatan dini kebocoran air pada sistem distribusi internal.
  • Integrasi pengukuran suhu air minum selama lockdown COVID-19, yang mengungkap dinamika termal akibat stagnasi jaringan.

Teknologi Komunikasi: Pilihan Menentukan Efisiensi

Penelitian ini menelaah lebih dari 20 teknologi komunikasi, baik kabel maupun nirkabel, dan memetakan sesuai:

  • Resolusi temporal (dari hitungan detik hingga bulanan)
  • Resolusi spasial (dari rumah tangga hingga skala kota)
  • Kebutuhan daya, biaya, dan stabilitas transmisi

Contoh:

  • LoRa dan NB-IoT cocok untuk data periodik dan area luas.
  • M-Bus dan kabel optik ideal untuk kontrol presisi waktu nyata.

Framework yang dikembangkan memungkinkan:

  • Pemilihan teknologi yang sesuai dengan aplikasi, atau
  • Penentuan aplikasi terbaik berdasarkan infrastruktur komunikasi yang tersedia.

Aplikasi Smart City di UWI: Kombinasi Data, Manusia, dan Teknologi

Penelitian ini juga mengeksplorasi:

  • Strategi Personal Water Demand Management (PWDMS) berbasis data meteran rumah tangga untuk edukasi dan efisiensi konsumsi.
  • Citizen science untuk mengumpulkan data curah hujan, suhu, dan banjir dari publik.
  • Pemanfaatan CCTV publik untuk deteksi banjir dan peringatan dini.

Pendekatan ini menekankan bahwa kota cerdas harus melibatkan warga secara aktif, bukan hanya sensor dan algoritma.

Tantangan dan Isu Etis

Tantangan Teknis:

  • Energi baterai terbatas untuk sensor di lokasi terpencil.
  • Kompleksitas integrasi antar-sistem (misalnya, air minum dan drainase).
  • Keandalan prediksi cuaca sebagai dasar pengambilan keputusan otomatis.

Isu Etis dan Sosial:

  • Privasi data rumah tangga dari penggunaan sensor konsumsi air.
  • Vulnerabilitas terhadap serangan siber pada sistem air yang terkoneksi.
  • Pertanyaan ekologis seputar limbah elektronik dari perangkat digital.

Rekomendasi Strategis

  1. Pilih teknologi komunikasi sesuai resolusi data dan lokasi.
  2. Koordinasikan kontrol perangkat secara sistemik, hindari kerja terpisah antar komponen.
  3. Dorong partisipasi warga dalam pemantauan lingkungan.
  4. Fokus pada interoperabilitas sistem infrastruktur kota (air, energi, cuaca).
  5. Sederhanakan sistem untuk kota kecil, gunakan indikator berbasis neraca massa seperti efisiensi aliran masuk–keluar.

Kesimpulan: Kota Cerdas Air adalah Pilar Kota Masa Depan

Disertasi ini membuktikan bahwa integrasi data, perangkat IoT, kontrol cerdas, dan partisipasi warga merupakan kunci membangun sistem air kota yang adaptif, efisien, dan berkelanjutan. Framework dan studi kasus dari Austria ini sangat relevan bagi kota-kota di dunia, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air perkotaan.

Smart Water Cities bukan sekadar digitalisasi air, tapi transformasi menyeluruh dari cara kita mengelola dan memahami air dalam ruang kota.

Sumber : Oberascher, M. (2022). Innovative Concepts and Applications for Smart Water Cities: Towards Integrated Management of Network-based Urban Water Infrastructure. Dissertation, Universität Innsbruck.

Selengkapnya
Mengelola Kota Pintar Air dengan IoT, Data Besar, dan Kendali Terpadu

Kebijakan Infrastruktur Air

Strategi PPP Tanggulangi Krisis Air Minum di Indragiri Hilir

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan: Infrastruktur Air Minum Masih Jadi Tantangan Serius

Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang semakin krusial, terutama di wilayah dengan kondisi geografis menantang seperti Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Wilayah ini terdiri dari rawa, gambut, pantai, dan pulau, sehingga pengembangan infrastruktur air minum memerlukan investasi besar dan pendekatan kelembagaan yang kuat. Artikel karya M. Gasali (2017) dalam jurnal Selodang Mayang mengulas secara komprehensif tentang strategi dan regulasi kemitraan pemerintah-swasta (PPP) dalam membangun infrastruktur air minum di daerah tersebut.

Kebutuhan Air dan Kesenjangan Investasi

Berdasarkan perhitungan teknis, kebutuhan air di Indragiri Hilir mencapai 80,88–160,64 liter/detik atau 6.988,01–13.879,2 m³/hari. Namun, keterbatasan anggaran publik menimbulkan funding gap serius antara kebutuhan dan kemampuan pembiayaan infrastruktur. Oleh karena itu, skema PPP diajukan sebagai solusi utama.

Apa Itu PPP dan Mengapa Relevan?

Public Private Partnership (PPP) adalah kolaborasi jangka panjang antara sektor publik dan swasta untuk pembiayaan, pembangunan, pengelolaan, dan penyediaan layanan publik. PPP tidak hanya mengisi kekurangan dana, tetapi juga:

PPP untuk sektor air minum di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, seperti:

  • Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 dan amandemennya,
  • PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM,
  • Permen PU No. 12/2010 tentang bentuk kontrak PPP,
  • Serta UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Strategi Implementasi PPP di Indragiri Hilir

Penelitian ini memetakan 9 strategi utama dalam mengimplementasikan PPP sektor air minum:

  1. Penetapan harga keekonomian air.
  2. Pengamanan sumber daya air berbasis lingkungan.
  3. Prinsip good governance dan transparansi.
  4. Dorongan investasi swasta.
  5. Jaminan akses air untuk seluruh lapisan masyarakat.
  6. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan penghematan air.
  7. Efisiensi pemanfaatan infrastruktur air.
  8. Optimalisasi sumber air lokal.
  9. Pemanfaatan infrastruktur pedesaan seperti PAMSIMAS dan sumur bor.

Regulasi Kunci: Landasan Hukum PPP Air Minum

Terdapat beberapa kebijakan utama yang menjadi fondasi pelaksanaan PPP:

  • Peraturan Daerah Indragiri Hilir No. 5 Tahun 2014 tentang RPJMD.
  • Kebijakan tarif air berdasarkan prinsip full cost recovery.
  • Instrumen hukum seperti BOT (Build Operate Transfer), ROT (Rehabilitate Operate Transfer), dan kontrak konsesi.

Selain itu, dukungan fiskal dari pusat melalui subsidi bunga kredit dan jaminan pembayaran pinjaman kepada PDAM menjadi insentif yang memperkuat skema PPP.

Kelembagaan: Siapa Melakukan Apa?

Implementasi PPP memerlukan koordinasi multipihak:

  • Pusat: BPPSPAM, Bappenas, Kementerian PUPR.
  • Daerah: Bupati, Dinas SDA, Dinas Penanaman Modal, PDAM, hingga DPRD.
  • Swasta: Investor, kontraktor, perbankan.
  • Akademisi: Universitas sebagai mitra teknis dan riset.

Keterlibatan lintas sektoral ini menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan proyek.

Pola Pelayanan dan Model Kelembagaan

  1. PDAM sebagai BUMD utama, mengelola distribusi pipa air rumah tangga.
  2. Kemitraan PPP: sekitar 15% sistem pipa telah bermitra dengan swasta.
  3. Badan Layanan Umum (BLU): bentuk non-profit pelayanan publik, tidak bisa meminjam.
  4. Utilitas Air Regional: kolaborasi antar-PDAM di beberapa wilayah untuk efisiensi ekonomi.

Studi Kasus Kebijakan Tarif dan Pembiayaan

Tarif air dalam skema PPP ditentukan dengan prinsip:

  • Keterjangkauan dan keadilan,
  • Mutu pelayanan dan efisiensi,
  • Transparansi dan perlindungan air baku.

Komponen biaya yang dihitung:

  • Operasi dan pemeliharaan.
  • Depresiasi, bunga, keuntungan wajar.
  • Biaya non-fisik (seperti edukasi dan sosialisasi).

Sumber pendanaan bisa berasal dari:

  • APBD/APBN.
  • Swasta (investor, BUMN, koperasi).
  • Dana masyarakat.
  • Pinjaman perbankan dengan jaminan pusat.

Program Unggulan: Dari Survei Hingga Sosialisasi

Beberapa program nyata yang sedang atau direncanakan di Indragiri Hilir:

  • Survei potensi air dan pembangunan database air minum.
  • Kampanye hemat air di sektor rumah tangga.
  • Peningkatan sambungan rumah tangga oleh PDAM.
  • Penggunaan perangkat hemat air.
  • Pelatihan manajemen air untuk masyarakat.

Rekomendasi Penting

  1. PPP harus berpihak pada masyarakat, tidak hanya menguntungkan investor.
  2. Pemerintah daerah harus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan dokumen hukum yang komprehensif.
  3. Perlu peningkatan literasi PPP di kalangan pejabat daerah dan masyarakat.
  4. Dokumen RPJMD harus diperbarui agar selaras dengan dinamika kebutuhan dan perubahan regulasi.

Kesimpulan: PPP Bukan Hanya Tentang Dana, Tapi Tentang Kerja Sama dan Visi

PPP di sektor air minum dapat menjadi katalisator pemerataan layanan dasar di wilayah tertinggal, termasuk Indragiri Hilir. Namun, keberhasilan skema ini bergantung pada tiga hal utama:

  • Regulasi dan dasar hukum yang kuat.
  • Komitmen kelembagaan di semua level.
  • Keselarasan tujuan antara pemerintah dan swasta.

Artikel ini memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa pembangunan infrastruktur air bukan semata proyek teknis, tetapi juga proses sosial dan politik yang perlu ditata rapi.

Sumber : Gasali, M. (2017). Regulasi dan Strategi dalam Penyediaan Infrastruktur Air Minum dengan Skema Public Private Partnership (PPP) di Kabupaten Indragiri Hilir. Selodang Mayang, Vol. 3 No. 1, April 2017.

Selengkapnya
Strategi PPP Tanggulangi Krisis Air Minum di Indragiri Hilir

Kebijakan Infrastruktur Air

Uni Eropa Atur Kebijakan Infrastruktur Air Pintar untuk Masa Depan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar
Infrastruktur air pintar (Smart Water Infrastructure/SWI) merupakan solusi masa depan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, krisis energi, dan kebutuhan efisiensi sektor utilitas air. Artikel ilmiah karya Ellen Margrethe Basse berjudul "The Conditions for Future Energy-Smart Water Utilities under EU and Danish Law and Policy" menyajikan analisis mendalam mengenai kerangka hukum dan kebijakan di Uni Eropa (UE) dan Denmark dalam mendukung transisi menuju utilitas air yang ramah energi dan rendah karbon. Artikel ini mengintegrasikan aspek hukum, lingkungan, dan teknologi serta memberikan penekanan pada pentingnya strategi multifungsi lintas sektor.

Interdependensi Sektor Air dan Energi
Basse menekankan bahwa air dan energi saling bergantung: air digunakan dalam pembangkitan dan pendinginan energi, sementara energi dibutuhkan dalam proses pemurnian, distribusi, dan pengolahan air limbah. Di UE, layanan air dan energi menyumbang lebih dari sepertiga emisi CO2. Oleh karena itu, sektor ini tidak hanya penyebab emisi gas rumah kaca (GRK) tetapi juga terkena dampak langsung perubahan iklim.

Konsep Utilitas Air Pintar
Utilitas air pintar melampaui fungsi tradisional distribusi dan pengolahan air. Mereka bertindak sebagai "prosumen pintar," memproduksi energi terbarukan melalui fasilitas air, seperti biogas dari lumpur limbah dan pembangkit listrik tenaga air. Di Denmark, teknologi ini digunakan untuk menyuntikkan bio-methane ke jaringan gas alam serta digunakan dalam pembangkit listrik dan bahan bakar transportasi.

Data Studi Kasus dan Angka Penting

  • Di Amerika Serikat, 13% konsumsi energi primer berasal dari penggunaan air.
  • Biogas dari limbah air memiliki potensi tinggi sebagai sumber energi terbarukan.
  • 95% utilitas air global dimiliki oleh sektor publik; namun, UE memberikan keleluasaan pada negara anggota untuk mengatur kepemilikan.

Hambatan Hukum dan Regulasi
Salah satu tantangan besar adalah fragmentasi hukum antara sektor air dan energi. UE belum memiliki pasar internal untuk air, berbeda dengan energi yang telah diharmonisasi melalui berbagai direktif. Basse menyoroti pentingnya pendekatan hukum holistik dan prinsip integrasi kebijakan lingkungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Traktat Fungsi Uni Eropa (TFEU).

Di Denmark, regulasi harga, prinsip pemulihan biaya penuh, dan kerangka insentif investasi menjadi kunci. Namun, keterbatasan dalam regulasi lokal dan pembagian wewenang antar level pemerintahan kadang memperlambat inovasi dan adopsi teknologi pintar.

Strategi Multifungsi dan Kolaborasi Internasional
Basse mengusulkan pentingnya beralih dari pendekatan sektoral menjadi strategi lintas fungsi yang mengintegrasikan air, energi, dan kebijakan iklim. Strategi ini mencakup:

  • Promosi energi dari limbah air.
  • Desain ulang insentif fiskal.
  • Penyesuaian regulasi untuk memungkinkan partisipasi sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta (PPP).

Relevansi Global dan Perspektif Masa Depan
Studi ini juga mencerminkan kebutuhan global untuk kebijakan yang mendukung infrastruktur pintar dalam konteks urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi hijau. Komisi Eropa melalui strategi "Europe 2020" menargetkan pengurangan 20% konsumsi energi dan 20% peningkatan penggunaan energi terbarukan. SWI menjadi bagian penting dari roadmap ini.

Opini dan Analisis Tambahan
Pendekatan UE yang fleksibel memungkinkan negara anggota seperti Denmark menyesuaikan implementasi sesuai dengan struktur politik dan tradisi hukum nasional. Namun, diperlukan penguatan kerangka pemantauan dan evaluasi untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar menghasilkan pengurangan emisi dan peningkatan efisiensi energi.

Menariknya, artikel ini juga menyoroti ketimpangan antara energi dan air dalam konteks hak veto di UE: keputusan signifikan terkait air memerlukan persetujuan bulat negara anggota, sedangkan energi tidak. Hal ini dapat memengaruhi laju reformasi di sektor air.

Kesimpulan
Melalui analisis mendalam terhadap kerangka hukum UE dan Denmark, Ellen Margrethe Basse menunjukkan bahwa pencapaian utilitas air pintar bergantung pada reformasi hukum yang mendukung integrasi sektor, penerapan prinsip keberlanjutan, serta investasi dalam teknologi baru. Dengan pendekatan lintas sektor dan kolaboratif, infrastruktur air pintar berpotensi besar mewujudkan layanan air yang efisien, terjangkau, dan ramah iklim.

Sumber:
Basse, Ellen Margrethe. The Conditions for Future Energy-Smart Water Utilities under EU and Danish Law and Policy. Scandinavian Studies in Law, 2015.

Selengkapnya
Uni Eropa Atur Kebijakan Infrastruktur Air Pintar untuk Masa Depan Berkelanjutan

Kebijakan Infrastruktur Air

Denmark Kembangkan Ekonomi Sirkular untuk Hadapi Krisis Iklim Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar
Transisi menuju ekonomi sirkular menjadi urgensi global untuk menjawab krisis iklim, degradasi lingkungan, dan keterbatasan sumber daya. The Circularity Gap Report: Denmark yang dirilis oleh Circle Economy mengungkap bahwa tingkat sirkularitas ekonomi Denmark hanya mencapai 4%, jauh di bawah rata-rata global sebesar 7,2%, dan sangat jauh dari tingkat berkelanjutan yang diestimasikan sebesar 8 ton per kapita. Artikel ini mengulas secara kritis isi laporan tersebut, termasuk data konsumsi material Denmark, dampak ekologis, serta strategi konkret untuk menutup celah sirkularitas (circularity gap).

Tingginya Konsumsi Material dan Emisi Karbon
Denmark mengonsumsi 142,2 juta ton material per tahun, setara dengan 24,5 ton per kapita, lebih dari tiga kali lipat batas konsumsi berkelanjutan. Mayoritas konsumsi ini berasal dari sumber virgin materials, termasuk bahan tambang, biomassa, dan bahan bakar fosil. Emisi karbon Denmark mencapai 11,1 ton per kapita, di atas rata-rata Uni Eropa (9,5 ton per kapita), dengan 54% emisi berasal dari produk impor.

Sektor Berdampak Tinggi
Tiga sektor penyumbang terbesar jejak material dan karbon adalah:

  • Konstruksi: 31% jejak material dan 17% jejak karbon.
  • Manufaktur: 18% material dan 22% karbon, khususnya dari kilang minyak dan manufaktur kendaraan.
  • Agrifood: 15% material dan 16% karbon, terutama dari peternakan sapi dan produksi susu.

Tantangan dalam Menutup Circularity Gap

  • 49,2% material digunakan sebagai stok jangka panjang (bangunan, infrastruktur, kendaraan), tidak segera tersedia untuk daur ulang.
  • Hanya 4% material yang kembali ke ekonomi sebagai material sekunder (recycled).
  • 27,3% berpotensi sirkular dari biomassa karbon netral.
  • 17,3% adalah input non-sirkular (fossil fuel), dan 0,5% material non-terbarukan belum didaur ulang.

Studi Kasus dan Angka Strategis

  • Limbah makanan di Denmark mencapai 814.000 ton/tahun, atau 140 kg per orang.
  • Konsumsi energi dari mobil pribadi sangat rendah efisiensinya: mobil rata-rata hanya digunakan 5% dari waktu keberadaannya.
  • Program pengembalian botol Denmark mencapai tingkat pengembalian 96%, tertinggi di Eropa.

Skenario Perubahan dan Dampaknya
Circle Economy menawarkan lima skenario transformasi yang dapat meningkatkan tingkat sirkularitas Denmark dari 4% menjadi 7,6%, sekaligus:

  • Mengurangi jejak material sebesar 39% menjadi 86,8 juta ton.
  • Mengurangi emisi karbon sebesar 42% menjadi 35,7 juta ton CO2e.
  • Menurunkan jejak material per kapita dari 24,5 ton menjadi 15 ton, lebih mendekati rata-rata global (11,9 ton).

Lima Skenario Transformasional:

  1. Membangun lingkungan binaan sirkular
  2. Menerapkan gaya hidup sirkular
  3. Transportasi dan mobilitas berkelanjutan
  4. Sistem pangan berputar (circular food system)
  5. Manufaktur sirkular yang maju

Kesiapan Tenaga Kerja dan Pendidikan
Sekitar 9,6% lapangan kerja di Denmark saat ini mendukung ekonomi sirkular. Namun, sebagian besar adalah peran tidak langsung. Diperlukan peningkatan:

  • Pendidikan vokasional dan pembelajaran seumur hidup.
  • Integrasi keterampilan sirkular dalam sistem pendidikan tinggi.
  • Pusat kompetensi dan pelatihan lintas sektor.

Kritik dan Opini Tambahan
Laporan menunjukkan kemajuan Denmark dalam elektrifikasi dan manajemen limbah, namun masih minim dalam pencegahan limbah dan perubahan pola konsumsi. Banyak kebijakan ambisius, seperti Strategi Ekonomi Sirkular Nasional dan Rencana Aksi Limbah, kekurangan pendanaan atau implementasi menyeluruh. Konsumsi berbasis impor masih menjadi titik lemah yang belum tertangani.

Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan
Denmark termasuk negara Shift dalam klasifikasi Circle Economy: negara berpendapatan tinggi dengan jejak ekologis besar. Jika seluruh dunia hidup seperti warga Denmark, dibutuhkan lebih dari empat planet untuk menopang gaya hidup tersebut. Ini menegaskan bahwa transisi sirkular di Denmark akan menjadi preseden penting bagi negara maju lainnya.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Transisi menuju ekonomi sirkular di Denmark memerlukan reformasi sistemik: koordinasi lintas sektor, kerangka kebijakan yang sesuai, pendanaan untuk UKM, dan pemantauan kinerja yang menyeluruh. Potensi untuk mengurangi konsumsi material dan emisi karbon sangat besar, namun keberhasilan bergantung pada komitmen politik dan partisipasi masyarakat luas.

Sumber: Circle Economy. The Circularity Gap Report: Denmark, 2023.

Selengkapnya
Denmark Kembangkan Ekonomi Sirkular untuk Hadapi Krisis Iklim Global

Sumber Daya Air

Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air yang Baik Itu Penting?

Tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama dalam menjawab tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “tata kelola air yang baik”? Bagaimana cara menilainya secara objektif dan sistematis? Paper “Assessing the Soundness of Water Governance: Lessons Learned from Applying the 10 Building Blocks Approach” karya Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts, dan Marleen van Rijswick (2022) menawarkan jawaban melalui kajian mendalam atas pengalaman penerapan pendekatan 10 Building Blocks di berbagai negara dan konteks isu air. Artikel ini akan membedah konsep, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan tata kelola air global.

Mengenal 10 Building Blocks Approach: Pilar Penilaian Tata Kelola Air

Apa Itu 10 Building Blocks Approach?

10 Building Blocks Approach adalah kerangka penilaian interdisipliner yang dikembangkan untuk menganalisis tata kelola air secara holistik. Kerangka ini membagi penilaian menjadi tiga dimensi utama—Konten, Organisasi, dan Implementasi—yang dijabarkan dalam 10 blok penilaian (building blocks) berikut:

  1. Water System Knowledge: Pengetahuan tentang sistem air dan dampak perubahan lingkungan.
  2. Values, Principles, and Policy Discourses: Nilai, prinsip, dan diskursus kebijakan yang mendasari pengambilan keputusan air.
  3. Stakeholder Involvement: Keterlibatan pemangku kepentingan dan keseimbangan kepentingan.
  4. Trade-offs Between Social Objectives: Analisis kompromi antara tujuan sosial dan ekonomi.
  5. Responsibility, Authority, and Means: Organisasi kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya.
  6. Regulations and Agreements: Legitimasi dan adaptivitas regulasi serta kesepakatan.
  7. Financing Water Management: Keberlanjutan dan keadilan pembiayaan.
  8. Engineering and Monitoring: Ketersediaan desain teknis, monitoring, dan tindak lanjut.
  9. Enforcement: Penegakan aturan dan ketersediaan mekanisme remediasi.
  10. Conflict Prevention and Resolution: Mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik.

Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai konteks—mulai dari pengelolaan banjir di Belanda, kualitas air di China dan Nigeria, hingga program sanitasi di Ghana—dan terbukti mampu mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan tata kelola air di berbagai skala dan budaya1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Penerapan 10 Building Blocks di Dunia Nyata

1. Skala dan Ragam Aplikasi

  • Jumlah Studi: 9 jurnal ilmiah, 2 buku akademik, dan 67 makalah mahasiswa dianalisis sebagai basis refleksi aplikasi pendekatan ini.
  • Wilayah Studi: Eropa (Belanda, Inggris, Italia), Asia (China, Hong Kong, Indonesia), Afrika (Nigeria, Ghana), Amerika (AS, Kanada, Brasil, Peru), dan Australia.
  • Isu yang Dianalisis: Banjir, kualitas air, kelangkaan air, sanitasi, pengelolaan DAS, hingga pembangunan infrastruktur ramah lingkungan seperti green roofs dan riverbank restoration1.

2. Contoh Studi Kasus

  • Belanda: Program “Rainproof Cities” di Amsterdam dan Rotterdam menargetkan kota 100% rainproof pada 2050, namun belum memiliki indikator kinerja yang jelas dan mekanisme penilaian periodik yang kuat.
  • Lima, Peru: Analisis SWOT pada tiap blok mengungkap bahwa tata kelola air di Lima masih lemah dalam aspek pendanaan, monitoring, dan penegakan hukum, meski sudah ada kemajuan dalam keterlibatan pemangku kepentingan.
  • Nigeria: Fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan sering mengorbankan aspek lingkungan, dengan partisipasi masyarakat sipil yang sangat terbatas.
  • São Paulo, Brasil: Komite DAS Alto Tietê membagi pemangku kepentingan menjadi tiga kelompok (pemerintah negara bagian, pemerintah kota, masyarakat sipil) untuk memastikan representasi yang adil dalam pengambilan keputusan.
  • South Africa (Incomati Catchment): Model tata kelola adaptif diterapkan untuk mengatasi tantangan lintas negara, dengan penekanan pada partisipasi publik dan peningkatan kepatuhan1.

Analisis Setiap Building Block: Temuan, Tantangan, dan Praktik Terbaik

1. Water System Knowledge

  • Tantangan: Data sistem air seringkali hanya tersedia dari pemerintah, yang bisa menjadi masalah di negara dengan tingkat kepercayaan institusi rendah (misal, Nigeria, Bolivia).
  • Studi Kasus: Di Mountain Aquifer (Israel–Palestina), kedua pihak sering memberikan data bias untuk memanipulasi persepsi distribusi air.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek sumber, keterbukaan, dan ketidakpastian data, termasuk aspek perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk1.

2. Values, Principles, and Policy Discourses

  • Temuan: Perubahan nilai terjadi di banyak negara, misal dari “menghindari air” ke “hidup bersama air” (Belanda, China), atau dari “air sebagai barang sosial gratis” ke “air sebagai barang ekonomi” (Indonesia).
  • Praktik Baik: Mekanisme bridging seperti Water Test (Belanda) dan lembaga koordinasi multilevel (Delaware River Basin, AS) membantu mengurangi konflik nilai dan meningkatkan legitimasi1.

3. Stakeholder Involvement

  • Temuan: Keterlibatan pemangku kepentingan sangat bervariasi. Di negara demokrasi, partisipasi multidireksional lebih mungkin terjadi, sementara di negara otoriter atau dengan struktur pemerintahan sentralistik, partisipasi sering hanya formalitas.
  • Studi Kasus: Melbourne mengembangkan rencana komunikasi dan konsultasi khusus untuk melibatkan pemangku kepentingan dalam rekoneksi reservoir air1.

4. Trade-offs Between Social Objectives

  • Tantangan: Monetisasi manfaat dan biaya seringkali sulit dan subjektif. Banyak pihak belum familiar dengan konsep service-level agreements (SLA), sehingga lebih baik menggunakan istilah “policy targets”.
  • Studi Kasus: Skema pengurangan risiko banjir Leeds, Inggris, menargetkan investasi £112 juta untuk melindungi lebih dari 1.000 rumah dan 474 bisnis secara spesifik—memudahkan penilaian kemajuan implementasi1.

5. Responsibility, Authority, and Means

  • Temuan: Publik sering menganggap pengelolaan air sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, padahal peran swasta (misal, asuransi, pemilik rumah) sangat penting dalam mitigasi risiko.
  • Praktik Baik: Keterlibatan swasta dalam pengelolaan banjir, misal pemasangan mobile barriers dan asuransi banjir, dapat mengurangi kerugian secara signifikan1.

6. Regulations and Agreements

  • Temuan: Legitimasi regulasi dipengaruhi oleh proses penyusunan yang partisipatif dan keterbukaan diskusi alternatif kebijakan.
  • Studi Kasus: Inisiatif “Rainproof Cities” di Belanda sulit ditegakkan karena kurangnya mekanisme penegakan hukum yang jelas.
  • Rekomendasi: Perlu integrasi antara peraturan air dan tata ruang, serta antara kebijakan air dan sektor lain (lingkungan, kesehatan, energi, pertanian)1.

7. Financing Water Management

  • Angka Kunci: Di Belanda, lebih dari 95% biaya pengelolaan air bersih dan limbah ditanggung pengguna melalui skema full cost recovery.
  • Tantangan: Ketergantungan pada donor (misal, Bangladesh, Kenya) berisiko bagi keberlanjutan pembiayaan jangka panjang.
  • Rekomendasi: Kombinasi pendanaan pemerintah, pengguna, dan donor harus dikelola agar adil dan berkelanjutan1.

8. Engineering and Monitoring

  • Praktik Baik: Uni Eropa menerapkan sistem monitoring tiga tingkat (surveillance, operational, further investigation) sesuai Water Framework Directive.
  • Tantangan: Banyak program yang targetnya tidak spesifik, sehingga sulit menilai kemajuan dan efektivitas intervensi teknis.
  • Rekomendasi: Monitoring harus diikuti tindak lanjut adaptif jika target belum tercapai1.

9. Compliance and Enforcement

  • Studi Kasus: Kebijakan green roofs di Toronto sukses karena ada sanksi tegas (denda hingga C$100.000), sementara di Belanda gagal karena bersifat sukarela.
  • Tantangan: Korupsi dan resistensi stakeholder dapat menghambat penegakan hukum, seperti pada Riverbank Improvement Program di Bangladesh.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek mekanisme monitoring, sanksi, dan peran swasta dalam penegakan1.

10. Conflict Prevention and Resolution

  • Praktik Baik: EPA (AS) membentuk Conflict Prevention and Resolution Centre, sementara Korea Selatan membangun dewan stakeholder lokal untuk konsultasi dan kompensasi.
  • Temuan: Konsensus nilai mengurangi konflik, namun jika terjadi, mekanisme mediasi, arbitrase, dan pengadilan harus tersedia dan efektif1.

Pembaruan: Building Blocks 2.0 dan Inovasi Penilaian

Paper ini memperkenalkan versi baru, “Building Blocks 2.0”, dengan kriteria yang lebih spesifik dan visualisasi diagram sirkular untuk menekankan keterkaitan antarblok. Penilaian dapat menggunakan sistem traffic light (hijau-kuning-merah), skor 1–5, atau analisis SWOT, sehingga hasilnya lebih komunikatif dan mudah dibandingkan lintas kasus atau negara.

  • Kelebihan: Memberikan gambaran terintegrasi, mengidentifikasi gap, dan memfasilitasi dialog lintas sektor.
  • Kekurangan: Masih bersifat normatif dan subjektif, terutama dalam menilai istilah seperti “cukup”, “berkelanjutan”, “adil”. Perlu panel stakeholder untuk memperkuat intersubjektivitas dan transparansi penilaian1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Kerangka Lain

Kritik terhadap 10 Building Blocks Approach

  • Overlapping dan Terminologi: Beberapa blok tumpang tindih (misal, stakeholder involvement dan responsibility), serta penggunaan istilah yang belum seragam dan kadang ambigu.
  • Bias Data: Ketergantungan pada data pemerintah bisa menimbulkan bias, terutama di negara dengan transparansi rendah.
  • Konteks Global Selatan: Beberapa peneliti menilai pendekatan ini lebih cocok untuk negara maju karena blok-bloknya berakar pada persepsi Eropa.

Perbandingan dengan Framework Lain

  • OECD Principles on Water Governance: Lebih menekankan pada transparansi, integritas, dan kapasitas kelembagaan.
  • City Blueprint Framework: Fokus pada indikator kuantitatif dan benchmarking antar kota.
  • Governance Capacity Framework: Menekankan kapasitas institusional dan adaptasi.

Opini Penulis dan Relevansi Industri

  • Industri Air dan Infrastruktur: Pendekatan ini sangat relevan untuk audit tata kelola air di perusahaan air minum, utilitas kota, dan proyek infrastruktur, terutama dalam konteks ESG dan pelaporan keberlanjutan.
  • Tren Digitalisasi: Integrasi data digital, IoT, dan big data dalam monitoring dan penilaian tata kelola air dapat memperkuat transparansi dan kecepatan respon kebijakan.

Rekomendasi Strategis untuk Praktik dan Kebijakan

  1. Mulai dari Tujuan Kebijakan yang Jelas
    Penilaian harus dimulai dengan mendefinisikan target kebijakan secara spesifik agar analisis tiap blok relevan dan terfokus.
  2. Libatkan Panel Stakeholder
    Untuk mengurangi subjektivitas, gunakan panel stakeholder dalam menilai dan memverifikasi skor tiap blok.
  3. Perkuat Integrasi Data dan Transparansi
    Dorong keterbukaan data antar lembaga, adopsi teknologi digital, dan sistem monitoring real-time.
  4. Harmonisasi dengan Framework Global
    Sinkronkan pendekatan 10 Building Blocks dengan prinsip OECD, SDGs, dan kerangka tata kelola air internasional.
  5. Fokus pada Adaptasi dan Inovasi
    Tata kelola air harus adaptif terhadap perubahan iklim, urbanisasi, dan dinamika sosial-ekonomi, dengan inovasi regulasi, pembiayaan, dan teknologi.

Menata Masa Depan Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa tidak ada satu pendekatan penilaian tata kelola air yang sempurna, namun 10 Building Blocks Approach menawarkan kerangka kerja yang komprehensif, fleksibel, dan mudah diadaptasi untuk berbagai konteks. Kunci keberhasilan terletak pada kejelasan tujuan, keterlibatan stakeholder, transparansi data, serta keberanian untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Dengan demikian, tata kelola air dapat menjadi motor penggerak pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan kesejahteraan masyarakat lintas generasi.

Sumber artikel :
Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts & Marleen van Rijswick. “Assessing the soundness of water governance: lessons learned from applying the 10 Building Blocks Approach.” Water International, 47:4, 610-631, DOI: 10.1080/02508060.2022.2048487

Selengkapnya
Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Sumber Daya Air

Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Hak Air Bersih di Tengah Krisis Global

Pandemi COVID-19 bukan sekadar ujian kesehatan, tetapi juga ujian tata kelola sumber daya dasar—terutama air bersih. Di Indonesia, negara dengan sumber air tawar melimpah, ironi besar terjadi: jutaan rumah tangga masih kesulitan mengakses air layak, terutama saat kebutuhan melonjak akibat pandemi. Studi Nadia Astriani dkk. (2021) membedah secara kritis bagaimana negara memenuhi (atau justru gagal memenuhi) hak atas air bersih selama krisis, menyoroti kebijakan, implementasi, hingga studi kasus nyata seperti Kendeng. Resensi ini mengajak pembaca memahami akar masalah, menelaah data dan studi kasus, serta merefleksikan solusi dan kritik yang relevan dengan tren global tata kelola air1.

1. Hak Atas Air: Fondasi Konstitusi dan Hak Asasi

Air sebagai Hak Asasi dan Mandat Konstitusi

  • Konstitusi Indonesia (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3) menegaskan air sebagai sumber daya vital yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Hak atas air bersih juga diakui sebagai hak asasi manusia, diperkuat oleh adopsi Resolusi PBB 2010 tentang hak air dan sanitasi sebagai hak fundamental1.
  • Tiga Pilar Kewajiban Negara:
    • Menghormati: Tidak menghambat akses masyarakat pada air.
    • Melindungi: Mencegah pihak ketiga (swasta, pencemar) merusak akses air.
    • Memenuhi: Mengupayakan segala sumber daya untuk menjamin hak air bagi semua1.

Regulasi Kunci Tata Kelola Air

  • UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: Menjamin hak rakyat atas air untuk kebutuhan dasar, pertanian rakyat, dan usaha air minum, dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat.
  • UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Memastikan setiap bangunan dan kawasan permukiman wajib menyediakan akses air bersih dan sanitasi layak1.

2. Realitas di Lapangan: Data, Ketimpangan, dan Tantangan Selama Pandemi

Akses Air Bersih: Angka-angka Penting

  • Akses Nasional: Pada 2018, akses air minum layak baru 72% (target 100% di 2019 tidak tercapai). Pada 2019, hanya 76–77% penduduk yang terlayani air minum layak. Artinya, 23% penduduk masih rentan terhadap penyakit akibat air tidak layak1.
  • DKI Jakarta: Cakupan air bersih hanya 60%—artinya 40% warga ibu kota tidak punya akses air layak, dengan kelompok miskin paling terdampak. Di beberapa wilayah, air sumur berwarna hitam, bau, dan tidak layak konsumsi, sementara air PAM tidak selalu mengalir meski sudah dibayar1.
  • Sanitasi: Pada 2018, akses sanitasi layak nasional 70,97%, naik jadi 77,39% di 2019. Namun, hanya 6,8% penduduk yang benar-benar punya akses aman (secure access)1.
  • Kebutuhan Minimum: Rata-rata kebutuhan air rumah tangga 144 liter/hari, dengan kebutuhan minimum 70 liter/orang/hari1.

Dampak Pandemi: Kebutuhan Meningkat, Akses Tertinggal

  • Pandemi COVID-19 meningkatkan kebutuhan air untuk cuci tangan, kebersihan rumah, dan sanitasi. Namun, kelompok miskin dan penghuni kawasan kumuh tetap kesulitan mengakses air layak, bahkan harus membeli dari pedagang keliling tanpa jaminan higienitas1.
  • Pergeseran Konsumsi: Konsumsi air rumah tangga naik signifikan, sementara konsumsi industri turun. PAM Jaya mencatat peningkatan distribusi air melalui mobil tangki dan kios air di wilayah tanpa jaringan pipa1.

3. Studi Kasus: Kendeng dan Perjuangan Hak Air Komunitas Lokal

Kendeng: Karst, Air, dan Perlawanan Warga

  • Latar Belakang: Pegunungan Karst Kendeng di Jawa Tengah adalah “spons” alami yang menyimpan dan mengalirkan air bersih untuk lebih dari 500 ribu warga. Rencana penambangan karst oleh PT Semen Indonesia (BUMN) memicu protes warga, terutama perempuan petani, yang khawatir sumber air akan rusak1.
  • Fakta Lapangan: Kajian pemerintah menemukan permintaan air di Kendeng sudah melebihi pasokan. Penambangan karst mengancam sumber air bawah tanah dan memperparah krisis air, terutama di musim kemarau1.
  • Putusan Mahkamah Agung: Pada 2016, MA membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia setelah gugatan warga dan WALHI dikabulkan. Presiden memerintahkan moratorium izin baru dan penghentian aktivitas tambang sampai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) selesai, namun implementasi di lapangan masih lemah—izin baru tetap terbit, penambangan berlanjut, dan akses air warga tetap terancam1.

Refleksi Kasus Kendeng

  • Kasus Kendeng menyoroti konflik antara pembangunan (industri semen) dan hak dasar warga atas air. Keterlibatan perempuan, advokasi komunitas, dan litigasi lingkungan menjadi kunci perlawanan, namun lemahnya implementasi putusan hukum dan inkonsistensi pemerintah daerah memperburuk ketidakadilan akses air1.

4. Kebijakan dan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas

Kebijakan Nasional dan Target SDGs

  • SDGs (Tujuan 6): Pemerintah menargetkan akses air minum layak 100% dan sanitasi 90% pada 2024, serta 15% akses air minum aman. Namun, capaian hingga 2019 masih jauh dari target, terutama di kawasan timur (Papua hanya 32,87% akses sanitasi layak)1.
  • Rencana Strategis Kementerian PUPR: Fokus pada pembangunan infrastruktur dasar (jaringan pipa, bendungan, irigasi), namun pandemi memaksa refocusing anggaran sehingga banyak program air bersih tertunda1.
  • Pendanaan: Rata-rata anggaran air bersih Rp3,5–6,5 triliun/tahun (2015–2020), jauh dari kebutuhan Rp147 triliun (2024) atau Rp238 triliun (2030). Ketergantungan pada APBN/APBD dan minimnya investasi swasta memperlambat ekspansi layanan1.

Respons Pemerintah Selama Pandemi

  • Minim Terobosan: Tidak ada upaya tambahan signifikan selain program yang sudah direncanakan dalam RPJM dan Renstra. Pemerintah pusat dan daerah lebih fokus pada pembatasan sosial daripada mempercepat akses air bersih1.
  • Inovasi Terbatas: Kementerian PUPR meluncurkan inovasi “Kereta MCK” (mobil toilet dan cuci tangan) di DKI Jakarta, dengan kapasitas 7.000 liter air/hari untuk 350 orang. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah akses air1.
  • Peran Daerah dan Swasta: Beberapa pemerintah daerah memberikan keringanan tarif air, namun bantuan air bersih lebih banyak datang dari inisiatif lokal dan swasta, seperti pemasangan wastafel portabel di area publik1.

5. Perbandingan Global: Belajar dari Afrika Selatan dan Ethiopia

Afrika Selatan: Respons Proaktif dan Koordinasi Nasional

  • Komando Nasional Air dan Sanitasi: Pemerintah membentuk pusat komando khusus sejak awal lockdown, mendistribusikan 18.262 tangki air dan 1.299 truk air ke seluruh negeri, termasuk ke sekolah dan permukiman informal. Dana tambahan Rp831 miliar dialokasikan untuk memastikan keberlanjutan layanan1.
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Kementerian Air, Pendidikan, dan perusahaan air negara (Rand Water) berkoordinasi memastikan tidak ada sekolah atau komunitas tanpa air selama pandemi. Pendekatan ini menekankan pentingnya kepemimpinan nasional dan sinergi antar lembaga1.

Ethiopia: Teknologi dan Partisipasi Komunitas

  • Para-hydrologists: Ethiopia melibatkan warga terlatih untuk mengumpulkan data akses air dan perilaku higienis, membantu pemerintah menyesuaikan intervensi berbasis data lokal.
  • Inovasi Teknologi: Pemerintah dan donor memperluas penggunaan pompa air tenaga surya dan teknologi panen air hujan untuk mengatasi kekurangan air di desa-desa terpencil. Model pembiayaan inovatif (subsidi, kredit mikro) mempercepat adopsi teknologi ini1.

Pelajaran untuk Indonesia

  • Respons Darurat: Negara lain menunjukkan pentingnya respons ekstra-ordinary di masa krisis, bukan sekadar menjalankan program rutin.
  • Kolaborasi dan Inovasi: Keterlibatan komunitas, adopsi teknologi murah, dan sinergi lintas sektor menjadi kunci memperluas akses air secara cepat dan inklusif.

6. Analisis Kritis dan Opini: Di Mana Letak Masalah Utama?

Kelemahan Tata Kelola dan Implementasi

  • Ketimpangan Regional: Akses air bersih sangat timpang antar wilayah (Jakarta vs Papua), memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan kesehatan1.
  • Keterbatasan Anggaran dan Prioritas: Pandemi memperparah krisis fiskal, membuat pemerintah menunda banyak proyek air bersih. Namun, minimnya inovasi dan keberanian mengambil langkah darurat memperlihatkan lemahnya sense of crisis1.
  • Dominasi Negara, Peran Swasta dan Komunitas Lemah: Negara masih menjadi aktor utama, sementara swasta dan komunitas belum diberdayakan optimal. Padahal, pengalaman Ethiopia dan Afrika Selatan menunjukkan pentingnya kolaborasi multipihak1.
  • Inkonsistensi Penegakan Hukum: Kasus Kendeng membuktikan bahwa putusan hukum progresif tidak selalu diikuti implementasi di lapangan, akibat lemahnya pengawasan dan konflik kepentingan di tingkat lokal1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) menyoroti bahwa hak air sering kali hanya diakui secara normatif, namun gagal diwujudkan dalam kebijakan dan praktik sehari-hari, terutama di Global Selatan.
  • Tren Industri: Sektor air global kini bergerak ke arah digitalisasi (IoT, big data), investasi blended finance, dan standar ESG. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi dan inovasi pembiayaan air1.

7. Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Tangguh

  1. Respons Darurat dan Inovasi Kebijakan
    • Pemerintah harus berani mengambil langkah darurat di masa krisis, seperti distribusi air darurat, pemasangan tangki air massal, dan subsidi air bersih untuk kelompok rentan.
    • Adopsi teknologi murah (pompa surya, panen air hujan) dan inovasi pembiayaan (subsidi, kredit mikro) untuk mempercepat akses air di desa dan kawasan kumuh.
  2. Perkuat Kolaborasi Multipihak
    • Libatkan swasta, komunitas, dan LSM dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring program air bersih.
    • Dorong investasi swasta dan kemitraan publik-swasta untuk pembangunan infrastruktur air.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas
    • Tingkatkan transparansi data akses air, anggaran, dan capaian program. Gunakan platform digital untuk pelaporan dan pengawasan publik.
  4. Reformasi Tata Kelola dan Penegakan Hukum
    • Pastikan implementasi putusan hukum lingkungan berjalan konsisten di lapangan.
    • Perkuat pengawasan dan sanksi bagi pelanggar hak air, termasuk pemerintah daerah dan swasta.
  5. Fokus pada Kelompok Rentan
    • Prioritaskan akses air bersih untuk kelompok miskin, perempuan, anak, dan komunitas adat. Libatkan mereka dalam perumusan kebijakan dan solusi lokal.
  6. Integrasi dengan Agenda SDGs dan Perubahan Iklim
    • Sinkronkan program air bersih dengan target SDGs, aksi iklim, dan agenda pembangunan berkelanjutan.

Hak Air, Pandemi, dan Masa Depan Tata Kelola di Indonesia

Pandemi COVID-19 membuka tabir rapuhnya tata kelola air di Indonesia: regulasi sudah memadai, tetapi implementasi, inovasi, dan keberpihakan pada kelompok rentan masih jauh dari ideal. Studi kasus Kendeng dan data nasional menunjukkan bahwa hak atas air bukan sekadar janji konstitusi, tetapi ujian nyata bagi keberpihakan negara pada rakyat. Belajar dari negara lain, Indonesia harus berani berinovasi, memperkuat kolaborasi, dan memastikan setiap warga, tanpa kecuali, mendapatkan hak dasarnya atas air bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di kehidupan sehari-hari1.

Sumber artikel :
Nadia Astriani, Betty Rubiati, Yulinda Adharani, Siti Sarah Afifah, Rewita Salsabila, Rizkia Diffa. "The Responsibility of the Indonesian Government to Fulfill the Rights to Water During the COVID-19 Pandemic: Some Legal Issues." Environmental Policy and Law 51 (2021): 327–341.

Selengkapnya
Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil
« First Previous page 121 of 1.159 Next Last »