Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Transisi menuju circular economy di Inggris tidak hanya berkaitan dengan isu pengelolaan sumber daya, tetapi juga dengan agenda dekarbonisasi industri dan reposisi struktur ekonomi nasional dalam menghadapi tekanan iklim global. Paper ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur memainkan peran sentral dalam proses tersebut: ia menjadi sumber emisi sekaligus ruang potensial bagi inovasi material, efisiensi energi, dan rekayasa ulang proses produksi.
Inggris berada pada persimpangan strategis. Di satu sisi, negara ini memikul komitmen ambisius terhadap target net-zero dan pengurangan emisi industri. Di sisi lain, struktur ekonominya masih bergantung pada rantai produksi yang intensif energi dan material di sektor seperti baja, kimia, konstruksi, serta komponen manufaktur berat. Circular economy kemudian hadir bukan sebagai konsep tambahan, tetapi sebagai pendekatan rekonstruktif terhadap cara industri dikelola — mulai dari desain produk hingga siklus pasca-konsumsi.
Paper menegaskan bahwa hubungan antara circular economy dan dekarbonisasi tidak bersifat otomatis. Circularity dapat berkontribusi pada pengurangan emisi, tetapi dampaknya sangat bergantung pada desain kebijakan, kesiapan industri, serta integrasi antara strategi material efficiency, inovasi proses, dan transformasi rantai pasok. Dengan kata lain, circular economy di Inggris bekerja sebagai arena kebijakan–industri, bukan sebagai skema teknis yang berdiri sendiri.
2. Circular Economy, Emisi Industri, dan Kerangka Transformasi Manufaktur di Inggris
Bagian ini membahas bagaimana circular economy diposisikan dalam strategi nasional pengurangan emisi sektor manufaktur. Paper menggambarkan hubungan yang kompleks antara efisiensi material, rekayasa proses produksi, dan kebijakan iklim — menunjukkan bahwa circular economy menjadi salah satu pilar, namun bukan satu-satunya instrumen transisi.
a. Circular economy sebagai pendekatan pengurangan emisi berbasis material efficiency
Paper menekankan bahwa sebagian besar emisi industri terkait erat dengan ekstraksi bahan baku, produksi material primer, dan proses energi-intensif di hulu rantai produksi. Circular economy kemudian diposisikan sebagai mekanisme pengurangan emisi melalui pengurangan konsumsi material baru, peningkatan daur ulang, perpanjangan umur produk, serta substitusi proses produksi.
Namun, kontribusi circular economy tidak bersifat linier. Efek pengurangan emisi bergantung pada skala implementasi, kualitas material sekunder, dan kemampuan industri mengintegrasikan perubahan desain serta proses produksi ke dalam operasi yang telah mapan.
b. Pergeseran fokus dari manajemen limbah ke rekayasa sistem produksi
Paper menunjukkan bahwa circular economy di Inggris semakin bergerak dari pendekatan berbasis limbah menuju rekayasa ulang struktur produksi. Alih-alih hanya memproses residu di hilir, circularity mulai masuk ke tahap desain produk, modularitas komponen, logistik reverse supply chain, serta integrasi remanufaktur.
Pendekatan ini menggeser posisi circular economy dari sektor pengelolaan limbah menuju strategi industrial. Nilai sirkular tidak lagi tercipta di akhir siklus, tetapi di seluruh rantai produksi.
c. Ketegangan antara ambisi kebijakan dan realitas implementasi industri
Salah satu dimensi analitis penting dalam paper adalah kesenjangan antara target kebijakan dekarbonisasi dan kapasitas nyata industri untuk beradaptasi. Transformasi circular manufacturing membutuhkan investasi tinggi, stabilitas pasar material sekunder, serta kepastian regulasi jangka panjang — hal-hal yang belum sepenuhnya terjamin.
Di titik ini, circular economy beroperasi dalam ruang negosiasi antara kepentingan ekonomi, risiko kompetitif industri, dan tuntutan keberlanjutan. Transisi terjadi secara bertahap, bukan dalam lompatan kebijakan yang instan.
3. Sektor Manufaktur Strategis: Di Mana Circular Economy Paling Relevan terhadap Pengurangan Emisi?
Circular economy tidak berdampak sama pada semua sektor. Paper menunjukkan bahwa kontribusi terbesar terhadap dekarbonisasi justru berada pada sektor-sektor material intensif dan berenergi tinggi, di mana perubahan desain dan manajemen siklus material dapat menghasilkan pengurangan emisi yang signifikan.
a. Sektor baja, logam, dan material berat: circularity sebagai strategi energi tidak langsung
Produksi baja dan logam merupakan salah satu sumber emisi terbesar karena ketergantungan pada energi tinggi dan bahan baku primer. Circular economy berperan melalui peningkatan penggunaan scrap metal, remanufaktur komponen, serta penguatan rantai pasok material sekunder.
Paper menekankan bahwa pengurangan emisi di sektor ini sering kali berasal dari penghematan energi tidak langsung: semakin sedikit material primer yang diproduksi, semakin besar potensi pengurangan emisi hulu.
b. Industri konstruksi: pergeseran dari demolish–replace ke reuse–retrofit
Sektor konstruksi memiliki jejak material yang besar melalui produksi semen, beton, dan baja struktural. Circular economy menawarkan alternatif melalui reuse material bangunan, desain modular, serta praktik retrofit alih-alih pembongkaran total.
Namun, paper menyoroti bahwa penerapan strategi ini masih menghadapi hambatan regulasi teknis, standar keselamatan struktural, serta resistensi pasar terhadap material bekas. Dengan demikian, circular economy di sektor konstruksi memerlukan rekayasa kelembagaan selain inovasi teknis.
c. Industri kimia dan manufaktur berbasis energi tinggi: substitusi proses dan integrasi circularity
Di sektor kimia, circular economy berkaitan dengan substitusi bahan baku fosil dengan feedstock sekunder, peningkatan closed-loop material, serta integrasi efisiensi proses. Paper menunjukkan bahwa potensi pengurangan emisi cukup besar, tetapi memerlukan perubahan struktural pada desain reaktor, rantai pasok bahan baku, dan model produksi.
Circular economy pada sektor ini tidak dapat dipisahkan dari agenda inovasi teknologi dekarbonisasi, sehingga keduanya perlu diposisikan sebagai strategi yang saling melengkapi.
4. Peluang dan Batasan Circular Economy dalam Kontribusinya terhadap Dekarbonisasi Industri
Bagian ini menggali pembacaan kritis: sejauh mana circular economy benar-benar berkontribusi pada pengurangan emisi, dan di mana batas-batas strukturalnya berada.
a. Circular economy efektif ketika terintegrasi dengan transformasi energi
Paper menegaskan bahwa circular economy paling efektif ketika bersinergi dengan transisi energi bersih. Efisiensi material memang mengurangi kebutuhan produksi primer, tetapi dampak emisinya akan lebih signifikan jika sumber energi sistem produksi juga mengalami dekarbonisasi.
Dengan kata lain, circular economy bukan pengganti kebijakan energi rendah karbon — keduanya berjalan dalam satu kerangka transisi sistem produksi.
b. Risiko rebound effect dan ilusi efisiensi
Paper mengingatkan bahwa peningkatan efisiensi material dapat menghasilkan rebound effect: penghematan biaya mendorong peningkatan produksi atau konsumsi baru, sehingga manfaat pengurangan emisi menjadi berkurang. Circular economy berpotensi kehilangan dampak iklim apabila tidak diiringi perubahan struktur permintaan dan pola konsumsi.
Hal ini memperlihatkan bahwa circular economy tidak berdiri dalam ruang netral pasar; ia berinteraksi dengan dinamika ekonomi makro yang dapat memperkuat atau melemahkan dampaknya.
c. Pentingnya kerangka evaluasi berbasis emisi, bukan sekadar volume daur ulang
Paper menyoroti bahwa keberhasilan circular economy sering diukur melalui indikator teknis seperti peningkatan daur ulang atau penurunan timbulan limbah. Namun, kontribusi terhadap pengurangan emisi belum selalu menjadi pusat evaluasi.
Analisis ini menegaskan perlunya pergeseran indikator: circular economy harus dinilai berdasarkan dampak iklim yang nyata, bukan hanya keluaran material.
5. Tantangan Implementasi: Antara Rasionalitas Industri, Investasi Transisi, dan Kepastian Kebijakan
Circular economy di sektor manufaktur Inggris tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan teknis, tetapi sebagai proses ekonomi–institusional yang memerlukan kepastian investasi, stabilitas pasar, dan keselarasan kebijakan. Paper menunjukkan bahwa hambatan utama transisi sering muncul bukan pada teknologi, tetapi pada koordinasi kebijakan dan kalkulasi risiko industri.
a. Struktur biaya transisi dan ketidakpastian investasi jangka panjang
Transformasi menuju circular manufacturing membutuhkan investasi pada redesign proses, teknologi pemrosesan ulang, serta pembentukan rantai pasok material sekunder. Namun, paper menyoroti bahwa banyak perusahaan masih berhitung hati-hati terhadap return on investment, terutama di sektor dengan margin tipis dan volatilitas permintaan.
Tanpa sinyal kebijakan yang konsisten dan jaminan pasar material sekunder, circular economy berisiko berhenti pada proyek pilot, bukan berubah menjadi strategi produksi arus utama.
b. Fragmentasi kebijakan dan kesenjangan koordinasi lintas sektor
Paper menunjukkan bahwa kebijakan circular economy, kebijakan dekarbonisasi, dan kebijakan industri sering bergerak dalam jalur yang belum sepenuhnya terintegrasi. Hal ini membuat perusahaan menghadapi tumpang tindih regulasi, perbedaan indikator keberhasilan, dan ketidakjelasan prioritas implementasi.
Transisi circular economy di sektor manufaktur pada akhirnya memerlukan kerangka koordinasi lintas sektor — energi, industri, konstruksi, dan bahan baku — agar arah transformasi berjalan konsisten.
c. Keterbatasan adopsi di kalangan UKM manufaktur
Sebagaimana konteks negara lain, paper menyoroti bahwa UKM manufaktur di Inggris menghadapi hambatan terbesar dalam mengadopsi circular economy: keterbatasan modal, akses teknologi, dan kapasitas manajerial. Padahal, UKM merupakan bagian besar dari struktur ekonomi manufaktur nasional.
Ini menegaskan bahwa circular economy tidak hanya membutuhkan inovasi industri, tetapi juga desain dukungan kelembagaan yang memastikan transisi tidak terpusat pada perusahaan besar saja.
6. Refleksi Strategis: Posisi Circular Economy dalam Peta Dekarbonisasi Industri Inggris
Bagian ini mengembangkan refleksi strategis yang menjadi inti pembacaan analitis paper: circular economy bukan solusi tunggal, tetapi salah satu pilar penting dalam transformasi industri menuju sistem rendah karbon.
a. Circular economy sebagai pelengkap, bukan substitusi, teknologi dekarbonisasi
Paper menegaskan bahwa circular economy dan inovasi teknologi energi rendah karbon harus diposisikan sebagai strategi yang saling melengkapi. Circularity mengurangi kebutuhan produksi material primer, sementara dekarbonisasi energi menurunkan emisi dari proses yang masih harus dijalankan.
Dengan sinergi tersebut, kontribusi circular economy terhadap target iklim menjadi lebih kuat dan terukur.
b. Peran desain produk dan rekayasa sistem sebagai titik pengungkit utama
Analisis menunjukkan bahwa dampak circular economy paling besar muncul di tahap desain: modularitas, kemudahan perbaikan, remanufaktur, serta perencanaan siklus hidup. Circular economy menjadi efektif ketika perubahan tidak hanya terjadi di hilir, tetapi tertanam sejak produk dirancang.
Dengan demikian, transformasi manufaktur masa depan bergeser dari sekadar efisiensi operasi menuju rekayasa ulang sistem produksi secara menyeluruh.
c. Circular economy sebagai agenda industrial policy berbasis transisi sistemik
Kesimpulan reflektif dari paper adalah bahwa circular economy perlu dipahami sebagai bagian dari strategi industrial policy — bukan proyek lingkungan yang terpisah. Ia bekerja pada tingkat struktur ekonomi: bagaimana material diproduksi, bagaimana nilai diciptakan, dan bagaimana emisi dikurangi melalui reorganisasi proses industri.
Dengan kerangka ini, circular economy berpotensi berkontribusi tidak hanya pada pengurangan emisi, tetapi juga pada pembaruan daya saing industri Inggris di era transisi global menuju ekonomi rendah karbon.
7. Nilai Tambah Analitis: Membaca Circular Economy sebagai Strategi Rekonstruksi Industri, Bukan Sekadar Efisiensi Material
Circular economy dalam konteks industri Inggris memperlihatkan bahwa keberlanjutan tidak hanya berbicara tentang pengurangan limbah atau peningkatan daur ulang, tetapi tentang rekonstruksi ulang cara nilai ekonomi diproduksi di sektor manufaktur. Paper memberi dasar empiris, sementara analisis membantu menempatkan circular economy sebagai proses transformasi struktural.
a. Circular economy sebagai reposisi relasi antara material, energi, dan nilai ekonomi
Circular economy memaksa industri untuk meninjau ulang hubungan klasik antara volume produksi, konsumsi energi, dan penciptaan nilai. Nilai tidak lagi hanya berasal dari produksi material baru, tetapi dari kemampuan memperpanjang siklus hidup produk, memanfaatkan kembali komponen, dan mengurangi ketergantungan pada bahan baku primer.
Ini menciptakan logika industri yang berbeda: keberlanjutan tidak lagi dipahami sebagai biaya moral, tetapi sebagai strategi produktivitas jangka panjang.
b. Circular economy sebagai ruang negosiasi antara inovasi dan risiko industri
Analisis memperlihatkan bahwa circular economy berjalan melalui serangkaian kompromi: perusahaan harus menyeimbangkan inovasi desain produk dengan risiko pasar, kebutuhan investasi dengan tekanan harga, serta tuntutan keberlanjutan dengan realitas rantai pasok global.
Dengan demikian, circular economy tidak berkembang dalam ruang ideal normatif, melainkan dalam ruang negosiasi praktis yang membentuk arah transformasi secara bertahap.
c. Circular economy sebagai bagian dari pembentukan paradigma industri baru
Circular economy di sektor manufaktur Inggris memberi sinyal bahwa industri sedang bergerak menuju paradigma baru yang menggabungkan efisiensi material, dekarbonisasi energi, dan rekayasa sistem produksi. Pergeseran ini tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui akumulasi praktik, kebijakan, dan inovasi yang perlahan membentuk struktur produksi yang lebih adaptif dan sirkular.
8. Kesimpulan
Circular economy di sektor manufaktur Inggris, sebagaimana tergambarkan dalam paper, memainkan peran penting dalam transisi menuju sistem industri rendah karbon. Circularity berkontribusi melalui pengurangan kebutuhan material primer, optimalisasi siklus produk, serta rekayasa ulang proses produksi di sektor-sektor intensif emisi seperti baja, konstruksi, dan kimia.
Namun, kontribusi tersebut tidak terjadi secara otomatis. Implementasi circular economy dipengaruhi oleh struktur biaya transisi, ketidakpastian investasi, kesenjangan kesiapan industri, serta keterbatasan integrasi kebijakan lintas sektor. Circular economy menjadi efektif ketika diposisikan sebagai bagian dari strategi transformasi industri yang lebih luas — terhubung dengan dekarbonisasi energi, desain produk, dan inovasi rantai pasok.
Dengan demikian, circular economy di Inggris sebaiknya dipahami sebagai strategi rekonstruksi sistem produksi, bukan sekadar pendekatan teknis pengelolaan material. Masa depannya akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan industri menyelaraskan kepentingan iklim, daya saing ekonomi, dan inovasi industri dalam satu kerangka transisi yang konsisten, bertahap, dan berorientasi jangka panjang.
Daftar Pustaka:
Taylor, M., & Ghosh, S. K. (2023). Circular Economy and Industrial Decarbonisation in the United Kingdom: Manufacturing, Emissions, and Policy Challenges. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore.
UK Government. (2021). Industrial Decarbonisation Strategy.
OECD. (2023). Circular Economy and the Low-Carbon Transition: Policy Perspectives for Industry.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Pembahasan circular manufacturing di Asia tidak hanya berkaitan dengan inovasi teknologi produksi, tetapi juga dengan transformasi cara industri memaknai hubungan antara material, proses produksi, dan nilai ekonomi. Paper ini menunjukkan bahwa pergeseran menuju circular manufacturing lahir dari tekanan yang bersifat multidimensi: keterbatasan sumber daya, tuntutan keberlanjutan global, perubahan struktur pasar, serta kebutuhan menjaga daya saing industri di tengah perubahan lanskap ekonomi internasional.
Berbeda dengan narasi circular economy di Eropa yang umumnya digerakkan oleh kerangka kebijakan yang kuat, circular manufacturing di Asia sering berkembang melalui kombinasi antara tekanan pasar, inisiatif perusahaan, dan kebutuhan efisiensi operasional. Banyak perusahaan mengadopsi praktik sirkular bukan sebagai proyek ideologis, melainkan sebagai strategi manajemen risiko, penghematan biaya material, serta upaya menjaga posisi dalam rantai pasok global yang semakin menuntut transparansi keberlanjutan.
Namun, transisi ini tidak seragam. Paper menekankan bahwa Asia bukan entitas tunggal: setiap negara memiliki konfigurasi industri, kapasitas teknologi, dan struktur kebijakan yang berbeda. Karena itu, circular manufacturing di kawasan ini lebih tepat dipahami sebagai spektrum praktik — mulai dari pendekatan berbasis efisiensi produksi hingga integrasi penuh prinsip circularity dalam desain produk dan model bisnis.
2. Circular Manufacturing sebagai Kerangka Transformasi Industri: Pilar Pengalaman dan Orientasi Perubahan
Bagian ini membahas bagaimana circular manufacturing diposisikan sebagai kerangka transformasi industri melalui sejumlah pilar pengalaman (experience pillars) yang dirumuskan dalam paper. Pilar-pilar tersebut menggambarkan bukan hanya dimensi teknis, tetapi juga dimensi organisasi, strategi, dan budaya perusahaan dalam menghadapi transisi menuju sistem produksi berbasis sirkular.
a. Circular manufacturing sebagai strategi efisiensi sumber daya dan daya saing industri
Paper menekankan bahwa bagi banyak perusahaan di Asia, circular manufacturing pertama-tama dipahami sebagai strategi efisiensi. Pengurangan limbah produksi, pemanfaatan kembali material, dan desain ulang proses tidak hanya menurunkan dampak lingkungan, tetapi juga mengurangi biaya operasional dan ketergantungan pada bahan baku primer.
Dalam konteks ini, circular manufacturing bergerak selaras dengan logika bisnis: keberlanjutan tidak diperlakukan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai mekanisme peningkatan produktivitas dan stabilitas rantai pasok.
b. Transformasi organisasi dan pembelajaran lintas proses produksi
Circular manufacturing tidak hanya terjadi di lini teknis pabrik, tetapi juga pada tingkat organisasi. Paper menggambarkan bahwa perusahaan perlu membangun budaya operasi yang berorientasi siklus: pengambilan keputusan berbasis data material flow, integrasi antara departemen desain, produksi, logistik, dan pasca konsumsi, serta pembelajaran organisasi yang berkelanjutan.
Dengan kata lain, circular manufacturing menuntut perubahan cara perusahaan “berpikir” tentang produk — bukan hanya bagaimana produk dibuat, tetapi bagaimana ia digunakan kembali, diproses ulang, dan dikembalikan ke sistem produksi.
c. Circular manufacturing sebagai proses bertahap, bukan lompatan radikal
Paper menegaskan bahwa transisi circular manufacturing di Asia berlangsung secara bertahap. Banyak perusahaan memulai dari perbaikan efisiensi internal sebelum bergerak ke redesign produk atau model bisnis berbasis layanan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa circular manufacturing lebih realistis ketika dipahami sebagai perjalanan transformasi, bukan perubahan instan.
Di sinilah letak nilai analitis penting: circular manufacturing bukan proyek teknologi semata, tetapi proses evolusi industri yang menggabungkan tekanan pasar, kapasitas organisasi, dan pembelajaran jangka panjang dalam rantai produksi.
3. Praktik Circular Manufacturing di Sektor Manufaktur Asia: Spektrum Implementasi dan Dinamika Industri
Circular manufacturing di Asia tidak berjalan secara homogen; ia bergerak melalui sektor-sektor industri tertentu yang memiliki tekanan material, intensitas energi, dan potensi rekonstruksi proses produksi yang paling besar. Paper menampilkan bahwa implementasi circularity paling nyata terjadi pada sektor seperti elektronik, otomotif, tekstil, kemasan, serta komponen industri berbasis logam.
a. Circularity di sektor elektronik dan otomotif: dari recovery komponen ke remanufaktur
Di sektor elektronik dan otomotif, circular manufacturing berkembang melalui praktik pengambilan kembali komponen bernilai tinggi, perpanjangan siklus pakai produk, serta remanufaktur unit yang masih memiliki nilai teknis. Paper menunjukkan bahwa perusahaan mulai melihat produk bukan hanya sebagai barang hasil akhir, tetapi sebagai kumpulan material dan modul yang dapat diproses ulang.
Pendekatan ini menggeser orientasi produksi dari logika throughput ke logika siklus — di mana nilai ekonomi tidak hanya dihasilkan pada saat penjualan pertama, tetapi juga pada tahap penggunaan ulang dan pemrosesan kembali.
b. Industri tekstil dan kemasan: ketegangan antara inovasi material dan struktur pasar
Sektor tekstil dan kemasan menghadirkan dinamika yang berbeda. Circular manufacturing di sektor ini banyak bertumpu pada inovasi material, pengurangan limbah produksi, serta peningkatan penggunaan bahan daur ulang. Namun, paper menekankan bahwa proses ini berjalan di tengah tekanan pasar terhadap biaya rendah dan volume produksi tinggi.
Akibatnya, circular manufacturing di sektor ini tidak hanya menjadi persoalan teknologi, tetapi juga persoalan model bisnis dan struktur konsumsi yang masih sangat linear. Di sinilah terlihat ketegangan antara ambisi circularity dan kenyataan logika pasar mass production.
c. Peran rantai pasok regional dan kolaborasi lintas aktor
Paper menyoroti bahwa circular manufacturing di Asia tidak bisa dilepaskan dari struktur rantai pasok regional. Banyak perusahaan beroperasi dalam jaringan produksi lintas negara, sehingga circularity tidak hanya bergantung pada satu pabrik, tetapi pada koordinasi antar pemasok, kontraktor, dan mitra logistik.
Dengan demikian, circular manufacturing menjadi proyek kolaboratif: keberhasilannya ditentukan oleh sejauh mana aktor-aktor dalam rantai pasok mampu berbagi data, menyelaraskan standar material, dan berinvestasi dalam mekanisme pengembalian komponen secara kolektif.
4. Peluang dan Hambatan Percepatan Circular Manufacturing: Antara Teknologi, Kebijakan, dan Logika Pasar
Bagian ini membahas dimensi strategis percepatan circular manufacturing di Asia — bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kelembagaan, ekonomi, dan model bisnis.
a. Teknologi sebagai enabler, tetapi bukan penentu tunggal
Paper menegaskan bahwa teknologi pengolahan ulang material, sistem pelacakan digital, dan otomasi produksi memang menjadi fondasi circular manufacturing. Namun, teknologi saja tidak cukup. Tanpa model bisnis yang kompatibel dan insentif ekonomi yang jelas, investasi circularity akan sulit berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan bahwa circular manufacturing memerlukan kombinasi antara inovasi teknis dan rekayasa nilai ekonomi dalam rantai pasok.
b. Peran kebijakan sebagai katalis, bukan pengganti mekanisme pasar
Kebijakan publik dapat mendorong percepatan circular manufacturing melalui standar produk, insentif material sekunder, serta regulasi tanggung jawab produsen. Namun, paper mengingatkan bahwa kebijakan tidak bisa menggantikan logika pasar. Circular manufacturing akan bertahan ketika ia selaras dengan rasionalitas biaya dan manfaat bagi perusahaan.
Dalam konteks ini, kebijakan berfungsi sebagai katalis — menciptakan ruang perubahan — bukan sebagai pendorong tunggal yang bekerja secara top–down.
c. Tantangan biaya transisi dan ketimpangan kesiapan industri
Paper juga menyoroti kesenjangan kesiapan antara perusahaan besar dan UMKM. Circular manufacturing memerlukan investasi ulang pada proses, peralatan, dan kompetensi teknis — sesuatu yang tidak selalu mudah diakses oleh perusahaan berskala kecil.
Tantangan ini memperlihatkan bahwa percepatan circular manufacturing membutuhkan pendekatan kebijakan yang diferensiatif, sehingga transisi tidak hanya dinikmati oleh industri berkapasitas besar.
5. Membaca Pilar Pengalaman Circular Manufacturing: Dari Praktik Operasional ke Transformasi Strategis
Pilar pengalaman (experience pillars) yang dipaparkan dalam paper membantu memahami circular manufacturing bukan hanya sebagai seperangkat teknik produksi, tetapi sebagai cara baru industri membangun orientasi nilai. Pilar-pilar ini merepresentasikan perjalanan pembelajaran organisasi dalam bertransisi dari sistem linear menuju logika sirkular.
a. Dari pengelolaan limbah menjadi manajemen siklus material
Pada tahap awal, banyak perusahaan memulai circular manufacturing melalui optimalisasi pengelolaan limbah produksi. Namun, paper menunjukkan bahwa pilar pengalaman berikutnya mendorong pergeseran perspektif: limbah tidak lagi dipandang sebagai residu, melainkan sebagai aliran material yang dapat dikembalikan ke sistem produksi.
Perubahan cara pandang ini bersifat mendasar. Circularity tidak berhenti pada pengurangan limbah, tetapi bertransformasi menjadi manajemen siklus material yang terintegrasi dengan desain produk, perencanaan proses, dan strategi pasca konsumsi.
b. Dari efisiensi internal menuju kolaborasi lintas ekosistem industri
Pilar berikutnya menunjukkan bahwa circular manufacturing hanya dapat mencapai dampak penuh ketika perusahaan bergerak melampaui batas internal organisasi. Kolaborasi dengan pemasok, distributor, pelanggan, hingga pelaku logistik menjadi kunci terbentuknya siklus material yang berkelanjutan.
Paper menekankan bahwa circular manufacturing pada akhirnya adalah proyek ekosistem. Nilai sirkular tercipta bukan di satu titik proses, tetapi melalui koordinasi lintas aktor yang saling berbagi informasi, standar kualitas, dan komitmen keberlanjutan.
c. Dari perubahan teknis menuju pembentukan identitas industri baru
Pilar pengalaman terakhir menggarisbawahi dimensi yang lebih strategis: circular manufacturing secara perlahan membentuk identitas baru bagi perusahaan dan sektor industri. Circularity tidak lagi sekadar program operasional, tetapi menjadi bagian dari cara perusahaan mendefinisikan keunggulan kompetitif, reputasi, dan orientasi jangka panjang.
Dengan demikian, circular manufacturing dapat dipahami sebagai proses transformasi bertingkat — dimulai dari perbaikan teknis, berkembang menjadi rekayasa sistem material, dan pada akhirnya membentuk paradigma produksi baru.
6. Refleksi Strategis: Masa Depan Circular Manufacturing di Asia
Bagian ini mengembangkan pembacaan ke depan atas posisi circular manufacturing dalam lanskap industri Asia. Paper memberi fondasi empiris, sementara analisis memperluasnya ke dalam refleksi strategis mengenai arah transformasi industri regional.
a. Circular manufacturing sebagai strategi ketahanan industri
Circular manufacturing berpotensi memperkuat ketahanan industri Asia terhadap guncangan pasokan material dan volatilitas harga global. Dengan membangun siklus material internal, perusahaan tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan baku primer, tetapi juga meningkatkan fleksibilitas produksi.
Ini menunjukkan bahwa circularity bukan sekadar agenda keberlanjutan lingkungan, melainkan strategi ekonomi untuk memperkuat posisi industri di rantai pasok global.
b. Kebutuhan integrasi antara inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan
Paper mengindikasikan bahwa keberhasilan circular manufacturing ke depan bergantung pada dua bentuk inovasi yang berjalan bersamaan: inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Tanpa dukungan regulasi adaptif, standar material sekunder, dan skema insentif yang tepat, inovasi teknis akan sulit berkembang ke skala industri.
Dengan kata lain, masa depan circular manufacturing akan ditentukan oleh kemampuan menyelaraskan teknologi, kebijakan, dan model bisnis.
c. Circular manufacturing sebagai proses evolusi industri jangka panjang
Analisis akhirnya menegaskan bahwa circular manufacturing di Asia merupakan proses evolusi, bukan lompatan revolusioner. Transformasi bergerak melalui akumulasi pembelajaran, adaptasi bertahap, dan perubahan struktur organisasi serta rantai pasok dari waktu ke waktu.
Membaca circular manufacturing sebagai proses jangka panjang membantu kita memahami bahwa keberlanjutan industri tidak dibangun melalui program sesaat, tetapi melalui rekonstruksi bertahap atas cara produksi dirancang, dijalankan, dan dihubungkan dengan siklus materialnya.
7. Nilai Tambah Analitis: Circular Manufacturing sebagai Ruang Rekonstruksi Nilai Industri
Circular manufacturing di Asia memperlihatkan bahwa transformasi keberlanjutan bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga rekonstruksi cara industri memaknai nilai, efisiensi, dan hubungan antara produksi serta sumber daya. Paper menyediakan gambaran empiris, sementara analisis membantu membaca dimensi strategis yang tersembunyi di balik praktik operasional.
a. Circular manufacturing sebagai pergeseran logika nilai dari volume ke siklus
Di dalam model linear, nilai identik dengan volume produksi. Circular manufacturing memperkenalkan logika baru: nilai juga dihasilkan melalui perpanjangan siklus material, pengembalian komponen, dan produktivitas jangka panjang sumber daya. Pergeseran ini secara perlahan membentuk cara baru perusahaan mendefinisikan efisiensi — bukan hanya output cepat, tetapi keberlanjutan siklus material.
Perubahan logika nilai ini merupakan inti transformasi circular manufacturing: industri belajar melihat produk sebagai sistem material yang hidup, bukan hanya solusi pasar jangka pendek.
b. Transisi circular manufacturing sebagai proses pembelajaran kolektif industri
Circular manufacturing membangun mekanisme pembelajaran lintas aktor — perusahaan, pemasok, mitra logistik, hingga pelanggan. Paper menunjukkan bahwa proses transisi sering berjalan melalui trial-and-error, inkubasi praktik, dan adaptasi bertahap.
Dengan demikian, circular manufacturing tidak hanya menghasilkan inovasi teknis, tetapi juga membentuk kapasitas belajar kolektif dalam ekosistem industri. Inilah modal penting untuk menggerakkan transformasi jangka panjang.
c. Circular manufacturing sebagai jembatan antara keberlanjutan dan daya saing
Analisis memperlihatkan bahwa circular manufacturing mampu mempertemukan dua tujuan yang kerap dianggap berlawanan: keberlanjutan lingkungan dan daya saing ekonomi. Dalam konteks Asia, di mana industri sangat sensitif terhadap biaya, circular manufacturing menemukan legitimasi ketika ia terbukti relevan secara komersial sekaligus strategis.
Artinya, circular manufacturing bukan hanya respons terhadap tekanan regulasi global, tetapi juga alat reposisi industri di lanskap ekonomi internasional.
8. Kesimpulan
Circular manufacturing di Asia, sebagaimana tergambarkan dalam paper, menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi sirkular di sektor industri merupakan proses bertahap yang menggabungkan inovasi teknis, pembelajaran organisasi, dan rekonstruksi nilai produksi. Transformasi ini bergerak melalui berbagai sektor — dari elektronik dan otomotif hingga tekstil dan kemasan — dengan dinamika implementasi yang berbeda-beda.
Di satu sisi, circular manufacturing membuka peluang peningkatan efisiensi material, penguatan ketahanan rantai pasok, dan pembentukan identitas industri baru yang lebih berorientasi siklus. Di sisi lain, tantangan tetap ada: ketimpangan kesiapan antar perusahaan, struktur biaya transisi, serta kebutuhan sinkronisasi antara teknologi, kebijakan, dan model bisnis.
Dengan demikian, circular manufacturing di Asia lebih tepat dipahami sebagai proses evolusi industri jangka panjang, bukan proyek perubahan instan. Masa depannya akan ditentukan oleh kemampuan ekosistem industri untuk menjadikan circularity bukan sekadar inisiatif operasional, tetapi sebagai kerangka strategis yang membentuk cara produksi dirancang, dijalankan, dan terhubung dengan siklus material secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Tan, W., & Ghosh, S. K. (2023). Circular Manufacturing Experiences and Industrial Perspectives in Asia. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore.
OECD. (2021). Global Material Resources Outlook to 2060: Economic Drivers and Environmental Consequences.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Circular Economy in Manufacturing: Rethinking Production Systems.
UNIDO. (2020). Industrial Transitions and Resource Efficiency in Asian Manufacturing.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Pembahasan circular economy di Meksiko tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, ekonomi, dan ketimpangan struktural yang membentuk lanskap industrinya. Berbeda dengan narasi circular economy di Eropa yang cenderung berakar pada inovasi teknologi dan regulasi terintegrasi, transisi di Meksiko berkembang dalam ruang ekonomi dualistik: di satu sisi terdapat sektor industri korporasi besar yang terhubung ke rantai pasok global, sementara di sisi lain terdapat ekonomi informal yang memainkan peran penting dalam pengumpulan dan pemulihan material.
Paper ini melihat circular economy bukan semata sebagai strategi efisiensi sumber daya, tetapi sebagai proses yang menyentuh relasi antara pasar, negara, dan masyarakat. Dengan kata lain, circular economy di Meksiko bergerak di persimpangan antara kepentingan korporasi, kebutuhan pembangunan nasional, dan realitas sosial kelompok pekerja yang selama ini menopang rantai nilai daur ulang secara informal.
Konteks tersebut menjadikan Meksiko sebagai kasus yang relevan untuk dianalisis: circular economy di sini tidak tumbuh dari sistem kelembagaan yang homogen, melainkan melalui mosaik praktik — mulai dari inovasi perusahaan multinasional hingga aktivitas pemulung, koperasi, dan jaringan daur ulang berbasis komunitas. Pertanyaan pentingnya bukan hanya apakah circular economy berjalan, tetapi siapa yang memperoleh manfaat dari transisi tersebut dan siapa yang menanggung bebannya.
2. Circular Economy dalam Konteks Pembangunan Meksiko: Antara Agenda Industri dan Realitas Sosial
Bagian ini membahas bagaimana circular economy diposisikan dalam kerangka pembangunan nasional Meksiko. Paper menunjukkan bahwa adopsi circular economy sering kali dipresentasikan sebagai strategi modernisasi industri dan penguatan daya saing ekonomi, namun implementasinya tetap terikat pada struktur sosial dan politik yang kompleks.
a. Circular economy sebagai strategi industrial dan branding keberlanjutan
Di tingkat kebijakan dan korporasi, circular economy dipromosikan sebagai pendekatan yang mampu menghasilkan efisiensi energi, optimalisasi material, dan inovasi produk. Perusahaan besar — terutama yang terhubung ke pasar global — mengintegrasikan circular economy dalam kerangka ESG, tata kelola rantai pasok, dan strategi reputasi. Circularity dalam konteks ini sering diposisikan sebagai bukti modernitas ekonomi.
Namun, paper menegaskan bahwa pendekatan tersebut cenderung berpusat pada kepentingan industri formal. Circular economy dipahami sebagai rekayasa proses produksi, bukan sebagai transformasi sosial-ekonomi yang mencakup pelaku informal yang selama ini berperan krusial dalam pemulihan material.
b. Peran ekonomi informal dalam praktik circular economy sehari-hari
Di balik narasi korporasi, circular economy di Meksiko sesungguhnya telah lama dipraktikkan melalui jaringan pemulung, pengepul kecil, dan koperasi daur ulang. Mereka bekerja di ruang yang sering kali tidak diakui secara kelembagaan, namun justru menjadi tulang punggung aliran material sekunder.
Paper menunjukkan bahwa di banyak wilayah, rantai pengumpulan plastik, kertas, dan logam sepenuhnya bergantung pada kerja informal. Ini menciptakan paradoks: circular economy berjalan, tetapi pelaku utamanya tidak selalu diakui dalam kerangka kebijakan formal. Di sinilah muncul pertanyaan etis dan politis mengenai keadilan distribusi manfaat transisi circular economy.
c. Ketegangan antara efisiensi korporasi dan keadilan sosial
Circular economy di Meksiko bergerak dalam ketegangan antara logika efisiensi industri dan tuntutan keadilan sosial. Korporasi mendorong circular economy sebagai mekanisme peningkatan produktivitas dan nilai tambah material, sementara kelompok pekerja informal mencari pengakuan, perlindungan kerja, dan akses ekonomi yang lebih adil.
Paper menggarisbawahi bahwa masa depan circular economy di Meksiko akan ditentukan oleh kemampuan menjembatani dua kepentingan tersebut. Tanpa integrasi sosial, circular economy berisiko menjadi proyek eksklusif yang memperkuat struktur ekonomi yang timpang, alih-alih menghasilkan transformasi yang inklusif.
3. Peran Korporasi dalam Ekosistem Circular Economy: Antara Inovasi, Kepentingan Pasar, dan Narasi Keberlanjutan
Circular economy di Meksiko banyak diproyeksikan melalui inisiatif korporasi besar, terutama perusahaan multinasional yang beroperasi di sektor makanan dan minuman, kemasan plastik, serta logistik. Paper menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini memainkan peran penting dalam membentuk wacana circular economy — baik melalui investasi teknologi, program pengumpulan kemasan, maupun komitmen pengurangan limbah.
Namun, di balik komitmen tersebut, circular economy juga berfungsi sebagai strategi positioning korporasi di pasar global yang semakin berorientasi ESG dan keberlanjutan. Artinya, circular economy tidak hanya bekerja pada level teknis, tetapi juga sebagai instrumen reputasi dan legitimasi bisnis.
a. Circular economy sebagai strategi manajemen risiko dan citra korporasi
Bagi banyak perusahaan, circular economy hadir sebagai respons terhadap tekanan regulasi internasional, tuntutan konsumen, dan risiko pasar terhadap produk berbasis plastik dan kemasan sekali pakai. Paper menyoroti bahwa program daur ulang, penggunaan material hasil reprocessing, serta skema tanggung jawab produsen kerap dikemas sebagai bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan.
Namun, implementasi tersebut tidak selalu menciptakan perubahan struktural dalam rantai nilai. Circular economy dalam konteks korporasi sering berhenti pada proyek terbatas, sementara model produksi massal berbiaya rendah tetap dipertahankan. Di titik ini, circular economy bekerja sebagai bentuk kompromi antara inovasi dan kepentingan bisnis.
b. Ketidakseimbangan relasi antara sektor formal dan informal dalam rantai circularity
Paper menegaskan bahwa keberhasilan program circular economy korporasi sering kali bergantung pada kerja pengumpulan material yang dilakukan oleh sektor informal. Dengan kata lain, perusahaan memperoleh manfaat material sekunder, sementara kelompok pekerja informal tetap berada pada posisi rentan secara sosial dan ekonomi.
Di sini terlihat pola relasi yang asimetris: circular economy di tingkat korporasi dapat berkembang tanpa selalu memberikan redistribusi nilai kepada aktor yang menopang rantai pengumpulan material. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari sistem circular economy yang mapan secara komersial.
c. Potensi kolaborasi, tetapi masih terbatas sebagai inisiatif parsial
Paper juga mencatat bahwa terdapat peluang kolaborasi antara perusahaan dan komunitas daur ulang — misalnya melalui kemitraan bank sampah, skema pembelian langsung material, atau program edukasi konsumsi. Namun, sebagian besar inisiatif tersebut masih bersifat temporer dan belum membentuk sistem kelembagaan jangka panjang.
Artinya, circular economy di Meksiko berada di persimpangan: ia bisa berkembang menjadi ekosistem inklusif jika korporasi mau mengintegrasikan pelaku informal sebagai bagian dari rantai nilai formal. Namun, tanpa reformasi kelembagaan, circular economy berisiko tetap terkunci dalam logika pasar yang elitis.
4. Interaksi Sektor Formal dan Informal: Circular Economy sebagai Ruang Negosiasi Sosial-Ekonomi
Bagian ini menyoroti dimensi yang menjadi inti analisis paper: circular economy di Meksiko bukan hanya proses teknis material recovery, melainkan arena interaksi antara dua dunia ekonomi yang berbeda — formal dan informal. Kedua sektor tersebut saling bergantung, namun tidak berada pada posisi yang setara.
a. Ekonomi informal sebagai mesin tak terlihat dari circular economy
Paper menunjukkan bahwa rantai pengumpulan dan pemilahan material sekunder sebagian besar dijalankan oleh pemulung, pekerja lapangan, serta jaringan pengepul kecil. Mereka beroperasi tanpa perlindungan sosial, tanpa kepastian harga, dan sering kali di luar kerangka hukum. Namun secara faktual, justru merekalah yang memungkinkan circular economy berjalan di tingkat operasional.
Ini mengungkap paradoks penting: circular economy tampil modern di permukaan, tetapi bertumpu pada kerja ekonomi yang masih tradisional, rentan, dan sering kali termarjinalkan.
b. Kesenjangan pengakuan dan absennya integrasi kelembagaan
Paper menegaskan bahwa pemerintah dan sektor industri belum sepenuhnya mengintegrasikan pelaku informal ke dalam kerangka kebijakan circular economy. Program pengelolaan sampah formal sering berjalan paralel dengan aktivitas informal, bukan dalam hubungan kolaboratif yang setara.
Akibatnya, circular economy kehilangan dimensi keadilan sosial — ia berfungsi secara material, tetapi tidak selalu memberikan distribusi manfaat yang inklusif.
c. Circular economy sebagai peluang rekonstruksi hubungan sosial produksi
Namun, paper juga melihat ruang potensi: circular economy dapat menjadi pintu masuk untuk membangun model tata kelola baru yang menghubungkan perusahaan, pemerintah, dan komunitas pekerja informal dalam kemitraan yang lebih adil. Integrasi koperasi daur ulang, skema harga yang transparan, serta perlindungan kerja dapat mengubah circular economy dari sekadar strategi industri menjadi instrumen transformasi sosial.
Dengan demikian, circular economy di Meksiko sebaiknya tidak hanya dipahami sebagai proyek efisiensi sumber daya, melainkan sebagai proses politis yang menentukan bagaimana nilai, risiko, dan manfaat transisi ekonomi didistribusikan di antara berbagai kelompok sosial.
5. Tantangan Struktural: Mengapa Circular Economy di Meksiko Tidak Otomatis Menjadi Transformasi yang Inklusif
Circular economy sering dipromosikan sebagai solusi ekonomi–lingkungan yang win–win, namun paper menunjukkan bahwa dalam konteks Meksiko, transisi ini berlangsung di dalam struktur sosial yang tidak sepenuhnya setara. Karena itu, circular economy berpotensi mereproduksi ketimpangan alih-alih memperbaikinya — terutama jika logika pasar dibiarkan bekerja tanpa kerangka keadilan sosial.
a. Ketimpangan posisi tawar antara aktor formal dan informal
Circular economy bertumpu pada kerja pengumpulan material yang dilakukan oleh aktor informal, tetapi nilai ekonomi terbesar justru dinikmati oleh perusahaan pengolah dan produsen besar. Paper menunjukkan adanya rantai nilai asimetris: pekerja informal menanggung risiko kesehatan, biaya sosial, dan ketidakpastian pendapatan, sementara sektor formal memperoleh bahan baku sekunder dengan biaya rendah.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa circular economy dapat berjalan secara material, tetapi tidak otomatis menciptakan redistribusi nilai yang adil.
b. Fragmentasi kelembagaan dan absennya desain kebijakan berbasis inklusi sosial
Paper menyoroti bahwa kebijakan circular economy di Meksiko masih banyak bertumpu pada kerangka industri dan keberlanjutan korporasi. Sementara itu, mekanisme integrasi pekerja informal — seperti legalisasi koperasi, perlindungan kerja, atau skema kemitraan formal — belum menjadi prioritas kebijakan.
Akibatnya, circular economy berada dalam situasi “dua dunia kebijakan”: sektor formal diatur dan diakui, sementara sektor informal dibiarkan bekerja di wilayah abu-abu tanpa jaminan kelembagaan.
c. Risiko komodifikasi keberlanjutan tanpa transformasi struktural
Paper mengingatkan bahwa circular economy berpotensi direduksi menjadi komoditas reputasi — alat branding ESG — ketika narasi keberlanjutan tidak diikuti reformasi relasi produksi. Circular economy dalam bentuk ini mungkin efektif secara teknis, tetapi tidak menjawab persoalan struktural mengenai ketimpangan kerja dan distribusi manfaat ekonomi.
Di titik ini, circular economy membutuhkan dimensi etis: bukan hanya bagaimana material dipulihkan, tetapi bagaimana nilai dari proses pemulihan tersebut dibagi.
6. Arah Masa Depan Circular Economy di Meksiko: Menuju Transisi yang Berbasis Keadilan Sosial
Bagian ini mengembangkan pembacaan ke depan: circular economy di Meksiko memiliki peluang untuk berkembang menjadi model transisi ekonomi yang inklusif — tetapi hanya jika dimaknai sebagai proyek sosial-ekonomi, bukan sekadar agenda industri.
a. Circular economy sebagai kesempatan membangun tata kelola kolaboratif
Paper memberi isyarat bahwa masa depan circular economy terletak pada pembentukan kemitraan antara perusahaan, pemerintah, dan koperasi daur ulang komunitas. Integrasi kelembagaan tidak hanya meningkatkan efisiensi material, tetapi juga menciptakan legitimasi sosial bagi sistem circularity.
Dengan kerangka ini, pekerja informal tidak lagi diposisikan sebagai aktor pinggiran, melainkan sebagai bagian dari rantai nilai yang memiliki hak, perlindungan, dan akses ekonomi.
b. Transformasi circular economy dari efisiensi ekonomi ke keadilan distribusi
Circular economy yang berorientasi keadilan sosial menuntut pergeseran cara pandang: bukan hanya mengukur berapa banyak material yang dikembalikan ke siklus produksi, tetapi siapa yang mendapatkan manfaat dari proses tersebut. Paper menekankan bahwa integrasi kesejahteraan pekerja lapangan, transparansi harga material, dan perlindungan kerja menjadi elemen kunci agar circular economy benar-benar transformatif.
Dengan demikian, circular economy dapat berfungsi sebagai instrumen redistribusi nilai — bukan sekadar strategi penghematan biaya industri.
c. Circular economy sebagai proyek politik–ekonomi jangka panjang
Kesimpulan analitis sementara yang dapat ditarik adalah bahwa circular economy di Meksiko merupakan proses negosiasi jangka panjang antara negara, pasar, dan masyarakat. Pergeseran menuju sistem circular tidak hanya ditentukan oleh teknologi daur ulang atau inovasi industri, tetapi oleh keberanian membangun kerangka transisi yang memperhitungkan keadilan sosial sebagai fondasi, bukan tambahan.
Dengan cara pandang ini, circular economy tidak lagi dilihat sebagai tren kebijakan, melainkan sebagai arena rekonstruksi hubungan kerja, nilai material, dan model ekonomi nasional di masa depan.
7. Nilai Tambah Analitis: Membaca Circular Economy sebagai Ruang Keadilan Sosial dan Politik Material
Circular economy di Meksiko memperlihatkan bahwa keberlanjutan tidak pernah netral secara sosial. Di balik narasi efisiensi material, terdapat pertarungan makna mengenai siapa yang dianggap sebagai bagian dari masa depan ekonomi sirkular dan siapa yang tetap berada di pinggiran struktur produksi.
a. Circular economy sebagai praktik ekonomi yang dibangun dari bawah
Jika dilihat dari praktik lapangan, circular economy sesungguhnya telah lama hidup melalui kerja komunitas daur ulang dan jaringan informal. Artinya, transisi circular economy bukanlah proyek baru yang sepenuhnya dibawa oleh korporasi dan kebijakan negara; justru negara dan korporasi baru mulai masuk ke ruang yang sudah lebih dulu dikerjakan oleh masyarakat.
Ini memberi kita sudut pandang penting: circular economy bukan inovasi yang datang dari atas, melainkan proses sosial yang telah berakar — hanya belum diakui secara formal.
b. Keadilan sosial sebagai prasyarat, bukan pelengkap, circular economy
Paper menegaskan bahwa circular economy akan kehilangan legitimasi jika hanya berfungsi sebagai strategi efisiensi korporasi. Keadilan sosial perlu ditempatkan sebagai unsur inti, bukan tambahan. Itu berarti pengakuan terhadap pekerja informal, perlindungan kerja, dan pembagian nilai yang lebih setara harus menjadi bagian dari desain transisi — bukan sesuatu yang dicarikan solusi setelah sistem berjalan.
Dengan kerangka ini, circular economy berubah dari sekadar solusi teknis menjadi proyek etis dan politis.
c. Circular economy sebagai refleksi ketegangan antara kapital, tenaga kerja, dan lingkungan
Analisis ini memperlihatkan bahwa circular economy bukan hanya cara baru mengelola material, tetapi juga cara baru membaca relasi antara kapital, tenaga kerja, dan lingkungan. Proses transisi selalu melibatkan kompromi, persaingan kepentingan, dan negosiasi posisi sosial.
Karena itu, circular economy di Meksiko sebaiknya dipahami sebagai medan yang terus berubah — tempat di mana makna keberlanjutan dibentuk melalui interaksi antara aktor formal dan informal, antara pasar dan komunitas, antara profit dan keberlanjutan sosial.
8. Kesimpulan
Circular economy di Meksiko, sebagaimana tergambarkan dalam paper, menunjukkan bahwa transisi keberlanjutan tidak pernah berjalan dalam ruang yang steril dari realitas sosial. Di satu sisi, korporasi dan kebijakan industri mendorong circular economy sebagai strategi efisiensi dan modernisasi ekonomi. Di sisi lain, praktik circularity telah lama dijalankan oleh jaringan pekerja informal yang menopang rantai pengumpulan dan pemulihan material.
Transformasi circular economy di Meksiko bergerak di antara dua kutub tersebut: antara logika pasar dan tuntutan keadilan sosial. Tantangan utamanya bukan hanya teknis, tetapi struktural — ketimpangan posisi tawar, fragmentasi kelembagaan, serta absennya integrasi pekerja informal dalam kerangka kebijakan formal.
Namun, ruang peluang tetap terbuka. Circular economy dapat berkembang menjadi proyek transisi ekonomi yang inklusif jika didesain sebagai platform kolaboratif antara pemerintah, korporasi, dan komunitas daur ulang. Dengan menggeser orientasi dari sekadar efisiensi material menuju keadilan distribusi, circular economy tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga membuka jalan bagi rekonstruksi hubungan sosial ekonomi yang lebih setara.
Dengan demikian, circular economy di Meksiko lebih tepat dipahami sebagai proses politik–ekonomi jangka panjang — bukan sebagai model siap pakai. Masa depannya akan ditentukan oleh bagaimana masyarakat Meksiko menegosiasikan kembali hubungan antara keberlanjutan, tenaga kerja, dan nilai material dalam kerangka ekonomi nasional yang terus berkembang.
Daftar Pustaka
García, R., & Ghosh, S. K. (2023). Circular Economy, Corporate Practices, and Informal Labor in Mexico. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore.
CE-Adoption_SKG-SKG_book-Spring…
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal circular economy policy goals: Enabling the transition.
OECD. (2020). Business Models for the Circular Economy: Opportunities and Challenges for Policy.
UN-Habitat. (2019). Waste Wise Cities: Supporting the circular economy in urban waste management.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Transisi menuju circular economy di Eropa — dan secara khusus di Italia — tidak lahir dari dorongan lingkungan semata, tetapi dari kesadaran bahwa model ekonomi linear sudah mencapai batasnya. Kenaikan konsumsi material, tekanan energi, serta ketergantungan pada impor sumber daya menempatkan efisiensi material sebagai agenda strategis, bukan sekadar isu keberlanjutan. Paper ini memperlihatkan bahwa circular economy berfungsi sebagai jembatan antara kepentingan industri, kebijakan iklim, dan daya saing ekonomi, sehingga implementasinya berjalan melalui kombinasi regulasi, rekayasa pasar, dan inovasi model bisnis.
Italia muncul sebagai kasus yang menarik karena posisinya sebagai negara industri manufaktur dengan basis produksi kuat pada sektor tekstil, plastik, kemasan, logam, dan desain produk. Di sisi lain, struktur ekonominya juga dipengaruhi oleh jaringan usaha kecil-menengah (SME) yang padat dan tersebar. Kondisi ini menciptakan dinamika unik: circular economy tidak hanya berarti investasi teknologi skala besar, tetapi juga adaptasi bertahap pada rantai nilai tradisional yang telah lama bertumpu pada praktik material intensive.
Pendekatan circular economy di Italia berkembang dalam konteks kebijakan Uni Eropa — terutama melalui Circular Economy Action Plan — tetapi penerjemahan di tingkat nasional tidak selalu bersifat linier. Paper menyoroti ketidaksinkronan antara ambisi kebijakan, kesiapan industri, dan kapasitas implementasi. Dari sinilah analisis menjadi relevan: circular economy bukan sekadar kerangka teknis, melainkan arena negosiasi antara kepentingan ekonomi, inovasi, dan transformasi struktural sektor produksi.
2. Circular Economy di Uni Eropa dan Italia: Kerangka Kebijakan dan Arah Transformasi
Bagian ini membahas bagaimana circular economy diposisikan dalam kebijakan Eropa, sekaligus bagaimana Italia meresponsnya melalui adaptasi regulasi, program sektoral, dan strategi industrial. Alih-alih memandang circular economy sebagai agenda lingkungan, paper menempatkannya sebagai instrumen rekonstruksi ulang cara industri memproduksi nilai.
a. Circular Economy sebagai agenda industri, bukan hanya isu lingkungan
Kebijakan circular economy di Uni Eropa mendorong industri untuk memutus ketergantungan pada bahan baku primer melalui desain ulang produk, substitusi material, dan integrasi kembali limbah ke dalam rantai produksi. Paper menekankan bahwa logika nilai berubah: bukan hanya mengurangi limbah, tetapi menciptakan efisiensi ekonomi melalui rekayasa siklus material.
Dalam konteks Italia, pendekatan ini memiliki implikasi ganda. Di satu sisi, terdapat peluang peningkatan daya saing melalui efisiensi energi, inovasi material sekunder, dan penguatan rantai pasok lokal. Di sisi lain, transformasi ini menuntut perubahan struktur produksi yang selama ini bertumpu pada proses intensif material dan energi.
b. Prioritas sektor dan diferensiasi implementasi
Circular economy tidak diterapkan secara homogen. Paper menunjukkan bahwa sektor seperti plastik, tekstil, kemasan makanan, elektronik, dan konstruksi memiliki posisi strategis karena volume materialnya besar serta keterkaitannya dengan rantai industri.
Di Italia, sektor-sektor tersebut bukan hanya kontributor ekonomi, tetapi juga sumber tekanan lingkungan dan konsumsi energi. Implementasi circular economy pada akhirnya menjadi proses selektif: sektor yang paling siap secara teknologi dan regulasi bergerak lebih cepat, sedangkan sektor lain masih berada pada tahap transisi bertahap.
c. Ketegangan antara regulasi, pasar, dan realitas industri
Salah satu poin analitis penting dalam paper adalah ketegangan antara kerangka kebijakan Eropa yang ambisius dan kemampuan adaptasi industri nasional. Circular economy membutuhkan investasi, data material flow yang solid, serta integrasi pasar bahan daur ulang. Namun pada praktiknya, pelaku industri masih berhadapan dengan ketidakpastian biaya, fragmentasi regulasi, dan pasar material sekunder yang belum stabil.
Situasi ini membuat circular economy berjalan sebagai proses negosiasi: antara kepatuhan regulasi, rasionalitas bisnis, dan tuntutan keberlanjutan. Transformasi tidak terjadi melalui lompatan radikal, melainkan melalui akumulasi perubahan kecil yang bertahap di tingkat proses produksi, desain produk, dan strategi rantai pasok.
3. Dinamika Sektor Prioritas: Di Mana Circular Economy Benar-Benar Dipraktikkan?
Circular economy sering dibayangkan sebagai konsep menyeluruh, tetapi pada praktiknya ia bergerak melalui sektor-sektor tertentu yang memiliki tekanan material paling besar sekaligus ruang transformasi paling nyata. Dalam konteks Italia, paper menunjukkan bahwa perubahan paling terasa justru muncul di sektor yang dekat dengan rantai produksi harian: plastik, tekstil, kemasan, dan elektronik. Di sektor-sektor inilah ketegangan antara inovasi, biaya, dan regulasi menjadi nyata.
a. Sektor plastik dan kemasan: antara tekanan regulasi dan logika biaya
Circular economy di sektor plastik bergerak karena dua faktor: tekanan kebijakan Uni Eropa terhadap pengurangan plastik sekali pakai, dan meningkatnya biaya lingkungan dari model konsumsi linear. Namun transformasi tidak berjalan mulus. Produsen dihadapkan pada dilema antara redesign kemasan, penggunaan material daur ulang, dan kestabilan kualitas produk.
Paper menyoroti bahwa ekonomi sirkular di sektor plastik tidak sekadar soal meningkatkan daur ulang, tetapi bagaimana menciptakan pasar material sekunder yang dapat dipercaya. Tanpa kepastian kualitas dan pasokan, circular economy berhenti di tingkat slogan kebijakan. Di titik ini, problem yang lebih dalam muncul: pasar belum sepenuhnya siap menanggung “harga transisi”.
b. Tekstil dan fesyen: circularity bertemu kultur desain
Italia memiliki tradisi industri tekstil dan fesyen yang kuat. Circular economy dalam sektor ini tidak berjalan melalui teknologi semata, tetapi melalui perubahan desain dan model bisnis — mulai dari perpanjangan umur pakaian, penggunaan kembali material, hingga logika repair dan remanufacture.
Paper menunjukkan bahwa circular economy di tekstil bersifat paradoksal: sektor ini sangat potensial untuk circularity, tetapi juga sangat terikat pada siklus tren dan konsumsi cepat. Di sinilah circular economy diuji secara kultural — bukan hanya secara teknis. Transformasi tidak cukup dilakukan di pabrik; ia harus merambah ke pola konsumsi, desain estetik, hingga identitas produk.
c. Elektronik dan ekonomi material bernilai tinggi
Di sektor elektronik, circular economy dipicu oleh nilai ekonomi logam dan komponen. Limbah elektronik tidak lagi dipandang sebagai residu, melainkan sebagai cadangan material yang dapat dikembalikan ke rantai produksi. Namun, paper menekankan bahwa proses ini membutuhkan ekosistem: sistem pengumpulan, teknologi pemisahan, serta regulasi logistik material lintas wilayah.
Circular economy di sektor ini bergerak bukan karena tekanan moral lingkungan, tetapi karena logika ekonomi material. Inilah ciri penting circular economy versi industri: keberlanjutan berjalan ketika ia selaras dengan rasionalitas nilai dan biaya.
4. Praktik Lapangan: Circular Economy sebagai Proses Negosiasi Industri
Bagian ini mengurai dimensi yang jarang dibicarakan dalam narasi kebijakan: circular economy bukan hanya kerangka normatif, melainkan arena negosiasi antara pelaku industri, negara, dan pasar. Paper menampilkan gagasan bahwa transformasi tidak selalu lahir dari proyek besar, tetapi dari adaptasi bertahap di tingkat operasional — pada level pabrik, jaringan pemasok, dan desain produk.
a. Circular economy sebagai strategi efisiensi, bukan retorika keberlanjutan
Di sejumlah kasus, perusahaan mengadopsi circular economy bukan karena dorongan ideologis lingkungan, tetapi karena alasan pragmatis: penghematan biaya material, efisiensi energi, dan diversifikasi sumber bahan baku. Circularity menjadi strategi operasional, bukan kampanye reputasi. Ketika circular economy selaras dengan kepentingan bisnis, ia menjadi lebih stabil dan berkelanjutan.
Namun, paper juga menunjukkan sisi lain: bagi sebagian pelaku, circular economy masih dipahami sebagai kewajiban regulasi. Dalam konteks ini, implementasi sering bersifat defensif, bukan transformatif.
b. Fragmentasi praktik dan ketimpangan kesiapan industri
Circular economy tidak bergerak secara merata. Industri besar dengan kapasitas investasi dan akses teknologi cenderung lebih cepat beradaptasi, sementara UMKM menghadapi keterbatasan modal, informasi, dan dukungan pasar. Hal ini menciptakan “kesenjangan transisi”: circular economy dapat maju, tetapi tidak selalu inklusif.
Kondisi ini mengingatkan bahwa circular economy bukan hanya persoalan teknis; ia juga persoalan struktur ekonomi politik — siapa yang mampu beradaptasi, siapa yang tertinggal.
c. Ketergantungan pada kebijakan sebagai katalis, bukan pengganti pasar
Paper menegaskan bahwa kebijakan publik memiliki fungsi penting sebagai pemicu perubahan, tetapi tidak dapat menggantikan logika pasar. Circular economy berhasil ketika kebijakan menciptakan ekosistem insentif, bukan ketika ia hanya menambah lapisan regulasi. Dengan kata lain, kebijakan harus membuka ruang inovasi, bukan sekadar mengatur.
Ini membawa kita pada kesimpulan analitis sementara: circular economy berkembang sebagai proses hibrid — sebagian terdorong oleh regulasi, sebagian oleh inovasi, dan sebagian lagi oleh kalkulasi ekonomi yang terus dinegosiasikan di tingkat industri.
5. Tantangan Struktural: Mengapa Circular Economy Tidak Selalu Bergerak Secepat Narasi Kebijakan?
Circular economy sering dipresentasikan sebagai solusi masa depan, tetapi paper menunjukkan bahwa di tingkat implementasi, prosesnya jauh lebih kompleks. Hambatan muncul bukan hanya pada aspek teknis, melainkan pada struktur ekonomi, kelembagaan, dan dinamika pasar yang membentuk cara industri bekerja sehari-hari.
a. Keterbatasan data material flow dan transparansi rantai nilai
Circular economy membutuhkan informasi yang presisi mengenai aliran material: berapa yang diproduksi, digunakan, dibuang, dan dikembalikan ke rantai nilai. Namun, paper menyoroti adanya keterbatasan data, fragmentasi sistem pelaporan, serta ketidakselarasan indikator antara kebijakan Eropa dan praktik industri.
Tanpa basis data yang solid, circular economy berjalan dalam ruang ketidakpastian. Industri kesulitan memproyeksikan manfaat ekonomi dari penggunaan material sekunder, sementara pemerintah kesulitan mengukur dampak kebijakan secara konsisten.
b. Ketegangan antara inovasi material sekunder dan standar kualitas industri
Material daur ulang harus bersaing dengan material primer yang stabil dari sisi kualitas, pasokan, dan harga. Paper menunjukkan bahwa banyak perusahaan ragu untuk mengadopsi material sekunder dalam skala besar karena risiko performa produk, persepsi konsumen, serta tuntutan standar industri.
Di sini circular economy diuji secara komersial. Keberlanjutan tidak cukup dibangun di atas nilai normatif; ia harus kompatibel dengan standar performa yang menjadi basis kepercayaan pasar.
c. Struktur biaya transisi dan distribusi beban industri
Perubahan menuju circular economy memerlukan investasi peralatan, redesign proses, dan pengembangan rantai pasok baru. Namun beban biaya tidak selalu terdistribusi secara adil. UMKM sering kali menanggung risiko lebih besar dibanding perusahaan besar yang memiliki akses pendanaan dan teknologi.
Paper menunjukkan bahwa tanpa desain kebijakan yang sensitif terhadap struktur industri, circular economy berpotensi memperlebar jurang kesiapan — alih-alih menciptakan transformasi yang inklusif.
6. Arah Masa Depan Circular Economy: Dari Transformasi Teknis ke Rekonstruksi Sistemik
Bagian ini mengembangkan pembacaan ke depan: circular economy di Italia — dan secara lebih luas di Eropa — sedang bergerak dari tahap eksperimen sektoral menuju fase konsolidasi sistemik. Namun proses ini tidak otomatis; ia membutuhkan penyelarasan antara kebijakan, pasar, dan dinamika produksi.
a. Circular economy sebagai proses rekayasa ulang model industri
Paper memberi isyarat bahwa masa depan circular economy bukan hanya pada peningkatan tingkat daur ulang, tetapi pada rekayasa ulang relasi antara desain produk, siklus hidup, dan strategi bisnis. Circularity menjadi bagian dari struktur nilai produk, bukan sekadar program tambahan.
Ini berarti circular economy akan semakin masuk ke inti strategi industri — memengaruhi cara perusahaan mendefinisikan kualitas, efisiensi, dan keunggulan kompetitif.
b. Integrasi teknologi digital dan logika ekonominya
Transformasi circular economy ke depan akan semakin bergantung pada digitalisasi — pelacakan material, data rantai pasok, hingga platform pertukaran bahan sekunder. Namun, paper mengingatkan bahwa teknologi hanya menjadi katalis jika selaras dengan logika ekonomi. Tanpa model bisnis yang tepat, digitalisasi hanya menjadi lapisan administratif baru tanpa dampak substantif.
c. Circular economy sebagai arena politik ekonomi
Kesimpulan analitis penting adalah bahwa circular economy bukan ruang teknokratis yang netral. Ia merupakan arena politik ekonomi, tempat pasar, negara, dan industri bernegosiasi mengenai siapa yang memikul beban transisi dan siapa yang memperoleh manfaatnya.
Dalam konteks Italia, masa depan circular economy akan ditentukan oleh kemampuan mengelola ketegangan tersebut — bukan menghilangkannya, tetapi menyalurkannya ke dalam mekanisme kebijakan dan inovasi yang lebih adaptif.
7. Nilai Tambah Analitis: Membaca Circular Economy sebagai Proses Sosial-Ekonomi, Bukan Sekadar Teknologi
Pada titik ini, circular economy di Italia dapat dipahami bukan sebagai destinasi kebijakan yang sudah final, tetapi sebagai proses sosial-ekonomi yang terus bernegosiasi dengan realitas produksi dan konsumsi. Paper memberikan dasar empiris, sementara analisis memungkinkan kita melihat dimensi yang lebih dalam: circular economy bekerja di wilayah antara ideal normatif dan kompromi praktis.
a. Circular economy sebagai pembentuk kultur industri baru
Transformasi menuju circularity secara perlahan mengubah cara pelaku industri memaknai nilai. Efisiensi tidak lagi dipahami semata sebagai pengurangan biaya, tetapi sebagai kemampuan menjaga siklus material agar tetap produktif. Di sinilah muncul pergeseran budaya produksi — dari orientasi throughput menjadi orientasi sirkulasi.
Perubahan ini mungkin bergerak lambat, tetapi ia bersifat struktural karena menyentuh cara organisasi memandang hubungan antara bahan, produk, dan waktu pakai.
b. Peran kebijakan sebagai mediator, bukan pengendali tunggal
Alih-alih bertindak sebagai kekuatan deterministik, kebijakan circular economy lebih tepat dipahami sebagai mediator yang menata ulang insentif, aturan main, dan sinyal pasar. Paper menunjukkan bahwa ketika kebijakan berfungsi sebagai fasilitator ekosistem — bukan hanya regulator — ruang inovasi industri menjadi lebih terbuka.
Ini memperlihatkan bahwa keberhasilan circular economy tergantung pada kemampuan kebijakan untuk berdialog dengan dinamika industri, bukan memaksakan perubahan secara top-down.
c. Pentingnya membaca ketidaksempurnaan sebagai bagian dari proses transisi
Circular economy di Italia masih penuh ketidaksempurnaan: data yang terbatas, ketimpangan kesiapan sektor, hingga pasar material sekunder yang belum stabil. Namun, alih-alih dipahami sebagai kegagalan, kondisi ini justru menunjukkan bahwa circular economy adalah proses transisi jangka panjang — lebih mirip rekonfigurasi bertahap dibandingkan revolusi instan.
Membaca circular economy sebagai proses evolutif membantu menghindari dua ekstrem: optimisme berlebihan dan pesimisme struktural. Ia mengajarkan sikap realistis terhadap perubahan.
8. Kesimpulan
Circular economy di Italia — sebagaimana tergambar dalam paper — bukan hanya proyek lingkungan, melainkan upaya rekonstruksi ulang hubungan antara industri, material, dan kebijakan ekonomi. Transformasinya bergerak melalui sektor-sektor strategis seperti plastik, tekstil, kemasan, dan elektronik, dengan dinamika implementasi yang tidak selalu seragam.
Di balik narasi kebijakan yang ambisius, circular economy dijalankan melalui negosiasi antara logika pasar, tuntutan regulasi, dan kapasitas teknologi. Tantangan masih besar: keterbatasan data, ketidakpastian kualitas material sekunder, serta distribusi beban biaya transisi. Namun di saat yang sama, muncul peluang pembentukan kultur industri baru yang lebih efisien, adaptif, dan berorientasi siklus material.
Dengan demikian, circular economy di Italia sebaiknya dipahami sebagai proses transisi yang terus bergerak, bukan kondisi akhir yang telah tercapai. Masa depannya akan ditentukan oleh kemampuan menyelaraskan kebijakan, inovasi, dan realitas industri — serta menjadikan circular economy bukan slogan normatif, tetapi praktik ekonomi yang benar-benar tertanam dalam cara produksi dan konsumsi dijalankan.
Daftar Pustaka
Bianchi, M., & Ghosh, S. K. (2023). Circular Economy in Italy and the European Context: Policies, Industrial Dynamics, and Sectoral Perspectives. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore
European Commission. (2020). Circular Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe.
OECD. (2022). The Circular Economy in Cities and Regions: Synthesis Report.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Bab ini membahas posisi Türkiye dalam transisi menuju circular economy melalui penguatan sistem pengelolaan sampah dan implementasi Zero Waste Project sejak 2017. Paper menekankan bahwa pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan karakter komposisi sampah mendorong kebutuhan sistem yang lebih efisien, terukur, dan sejalan dengan agenda keberlanjutan.
Secara global, tren peningkatan volume sampah diproyeksikan berlipat ganda pada 2050, sedangkan tingkat daur ulang masih relatif rendah. Türkiye mencerminkan pola serupa: sebagian besar sampah kota masih diarahkan ke landfill, sementara kapasitas pemulihan material dan energi belum optimal. Di sinilah circular economy diposisikan bukan hanya sebagai pendekatan teknis, tetapi sebagai model pembangunan lintas sektor yang mengaitkan efisiensi sumber daya, pengurangan emisi, dan inovasi kebijakan.
Paper juga menggarisbawahi perubahan paradigma dari ekonomi linear—yang berbasis ekstraksi, produksi, konsumsi, lalu pembuangan—menuju model sirkular yang menekankan perpanjangan umur produk, pemanfaatan kembali material, serta integrasi 3R–5R–9R sebagai spektrum strategi pengelolaan sumber daya. Pergeseran ini memerlukan sinergi kebijakan, investasi infrastruktur, dan perubahan perilaku konsumsi, bukan hanya penambahan fasilitas pengolahan sampah.
Dalam konteks tersebut, Zero Waste Project dipahami sebagai batu loncatan institusional: ia memperluas fokus dari sekadar pengelolaan residu menjadi rekayasa sistem yang mendorong pencegahan sampah di hulu, pemilahan di sumber, serta pembentukan ekosistem pemulihan material yang lebih formal, terukur, dan berorientasi ekonomi sirkular.
2. Circular Economy, Zero Waste, dan Evolusi Kebijakan Pengelolaan Sampah di Türkiye
Bagian ini menelusuri kerangka historis dan konseptual ekonomi sirkular, sekaligus memetakan bagaimana kebijakan pengelolaan sampah Türkiye berevolusi menuju pendekatan yang lebih sistemik. Circular economy dipahami sebagai respon terhadap keterbatasan sumber daya, tekanan lingkungan, dan dampak jangka panjang model konsumsi konvensional.
a. Circular economy sebagai koreksi atas model linear
Indonesia—seperti banyak negara berkembang—mengalami tekanan serupa dengan Türkiye: konsumsi meningkat lebih cepat daripada regenerasi sumber daya. Paper menunjukkan bahwa dalam model linear, limbah timbul di setiap tahap produksi hingga pasca konsumsi; sebaliknya, circular economy menggeser fokus ke perancangan produk yang tahan lama, dapat diperbaiki, diperbarui, dan diproduksi ulang, sehingga kebutuhan material primer menurun dan emisi terkait pengolahan serta pembuangan ikut berkurang.
Peralihan ini tidak sekadar teknis, tetapi normatif: “waste” mulai diperlakukan sebagai secondary raw material yang memiliki nilai ekonomi, bukan residu yang harus dibuang.
b. Dari 3R menuju 5R dan 9R sebagai spektrum strategi
Paper memaparkan perkembangan kerangka pengelolaan limbah dari 3R (reduce–reuse–recycle) ke 5R—yang menambahkan prioritas refuse dan repair—hingga 9R, yang memperluas logika sirkular menjadi rekayasa desain produk, pemanjangan siklus hidup, dan optimasi pemanfaatan energi dari residu. Pendekatan bertingkat ini menegaskan bahwa pencegahan limbah tetap merupakan prioritas, sementara daur ulang dan energi dari residu menjadi opsi terakhir ketika strategi hulu tidak lagi berlaku.
Kerangka tersebut bukan sekadar taksonomi, melainkan panduan kebijakan untuk memprioritaskan intervensi yang memberi dampak material terbesar terhadap pengurangan timbulan dan emisi.
c. Evolusi regulasi dan integrasi agenda zero waste
Sejalan dengan proses harmonisasi kebijakan lingkungan dengan Uni Eropa, Türkiye memperkuat kerangka hukum pengelolaan sampah, mulai dari klasifikasi limbah, pengendalian landfill, hingga pengembangan fasilitas mechanical-biological treatment, komposting, dan bio-methanization. Zero Waste Project kemudian hadir sebagai mekanisme akselerasi implementasi—memaksa perubahan perilaku institusi publik, kawasan komersial, dan fasilitas layanan melalui kewajiban pemilahan, pelaporan data, dan sertifikasi kinerja.
Nilai tambah kebijakan ini bukan hanya pada peningkatan tingkat daur ulang, tetapi pada pembentukan infrastruktur tata kelola: sistem informasi limbah, standar pemilahan, insentif pengurangan plastik sekali pakai, serta roadmap adopsi bertahap lintas sektor.
3. Profil Timbulan Sampah, Komposisi, dan Tantangan Sistem Pengelolaan di Türkiye
Bagian ini membahas kondisi aktual timbulan sampah perkotaan di Türkiye, termasuk karakter material, kapasitas infrastruktur, serta tantangan implementasi yang memengaruhi efektivitas transisi menuju circular economy. Paper menunjukkan bahwa peningkatan urbanisasi dan perubahan pola konsumsi berkontribusi pada naiknya volume sampah domestik, dengan variasi signifikan antar wilayah dan kategori kota.
a. Komposisi sampah dan implikasinya terhadap strategi circular economy
Data yang dipaparkan dalam paper menunjukkan bahwa bagian terbesar sampah kota di Türkiye terdiri dari fraksi organik, diikuti plastik, kertas, logam, dan kaca. Dominasi sampah organik menandakan bahwa potensi pengurangan emisi melalui komposting dan bio-methanization masih sangat besar, sementara fraksi plastik dan kemasan memiliki peluang tinggi untuk dimasukkan ke rantai material recovery.
Komposisi ini memiliki implikasi strategis: circular economy tidak dapat diterapkan secara seragam, tetapi harus memprioritaskan teknologi dan kebijakan yang sesuai dengan struktur material dominan di masing-masing wilayah. Kota dengan proporsi organik tinggi, misalnya, lebih relevan diarahkan pada sistem pengolahan biologis dibanding sekadar perluasan landfill.
b. Kapasitas infrastruktur dan kesenjangan pengelolaan antar wilayah
Paper menekankan bahwa meskipun kapasitas fasilitas landfill saniter, mechanical-biological treatment, serta unit pengolahan material meningkat dalam satu dekade terakhir, kesenjangan antar daerah masih terlihat. Beberapa kota besar telah memiliki fasilitas pengolahan terintegrasi, sementara wilayah lain masih bergantung pada landfill sebagai opsi utama.
Kondisi ini menunjukkan bahwa transisi circular economy tidak hanya bergantung pada kerangka kebijakan nasional, tetapi juga pada kapasitas fiskal, kesiapan institusional, dan kemitraan lokal dalam penyediaan infrastruktur. Tanpa pemerataan kapasitas, tingkat keberhasilan zero waste akan berjalan tidak seragam.
c. Tantangan operasional: pemilahan di sumber, perilaku, dan sistem logistik
Paper mengidentifikasi sejumlah tantangan utama, seperti rendahnya konsistensi pemilahan di sumber, keterbatasan skema insentif bagi rumah tangga dan pelaku usaha, serta belum optimalnya sistem pengumpulan terpisah. Selain itu, rantai logistik pengangkutan material recovery masih menghadapi biaya operasional yang tinggi, terutama di kota-kota dengan sebaran permukiman luas.
Tantangan tersebut menunjukkan bahwa circular economy memerlukan desain sistem sosial-teknis, bukan hanya penyediaan fasilitas fisik. Perubahan perilaku, edukasi publik, serta integrasi data pengelolaan sampah menjadi komponen yang menentukan keberhasilan.\
4. Zero Waste Project sebagai Instrumen Implementasi Circular Economy
Bagian ini mengulas bagaimana Zero Waste Project difungsikan sebagai kerangka operasional untuk mempercepat penerapan prinsip circular economy di berbagai sektor. Proyek ini tidak hanya berorientasi pada pengurangan residu, tetapi juga membangun standar, mekanisme sertifikasi, serta ekosistem kebijakan yang mendorong perubahan perilaku kelembagaan dan masyarakat.
a. Struktur program, sertifikasi, dan mekanisme adopsi bertahap
Paper menjelaskan bahwa Zero Waste Project mengembangkan model adopsi bertahap melalui kewajiban pemilahan, pelabelan area penyimpanan sementara, pelaporan kuantitas material, serta audit kinerja yang kemudian menjadi dasar pemberian sertifikasi. Pendekatan bertingkat ini membantu memastikan bahwa implementasi tidak hanya simbolik, tetapi memiliki indikator kemajuan yang terukur.
Model sertifikasi juga berfungsi sebagai instrumen tata kelola: ia menciptakan standar minimum, mendorong transparansi data, dan memberikan sinyal kebijakan bagi sektor publik maupun privat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah.
b. Perluasan cakupan ke institusi publik, sektor pendidikan, dan kawasan komersial
Paper menunjukkan bahwa penerapan Zero Waste Project diperluas ke berbagai kategori fasilitas, mulai dari gedung pemerintahan, sekolah, rumah sakit, kawasan perbelanjaan, hingga area wisata. Ekspansi lintas sektor ini memperlihatkan bahwa zero waste tidak diposisikan sebagai program teknis Dinas Lingkungan semata, melainkan sebagai agenda nasional lintas kelembagaan.
Pendekatan ini memperkuat integrasi circular economy pada level praktik keseharian, karena perubahan perilaku konsumsi dan manajemen material terjadi di ruang-ruang aktivitas sosial dan ekonomi yang paling sering digunakan masyarakat.
c. Dampak awal, capaian, dan ruang perbaikan kebijakan
Berdasarkan data capaian yang disajikan dalam paper, Zero Waste Project berkontribusi pada peningkatan pengumpulan terpilah, pengurangan volume sampah yang diarahkan ke landfill, serta bertambahnya unit fasilitas yang menerapkan standar pemilahan. Namun, paper juga menyoroti bahwa sebagian capaian masih bersifat kuantitatif, sementara aspek kualitas pemulihan material, integrasi industri daur ulang, dan keberlanjutan pendanaan masih memerlukan penguatan.
Hal ini menunjukkan bahwa tahap berikutnya dari Zero Waste Project perlu bergerak dari fase adopsi kepatuhan menuju fase integrasi ekonomi sirkular, di mana material yang terkumpul terpilah benar-benar masuk ke rantai nilai industri dan tidak berhenti pada level pengumpulan saja.
5. Teknologi, Infrastruktur, dan Pendekatan Pengolahan Sampah dalam Kerangka Circular Economy
Bagian ini membahas peran teknologi dan infrastruktur pengolahan sampah sebagai elemen kunci dalam mendukung implementasi circular economy dan Zero Waste Project di Türkiye. Paper memaparkan bahwa pengembangan fasilitas pengolahan tidak hanya dimaknai sebagai solusi teknis, tetapi sebagai bagian dari strategi rekayasa sistem material agar semakin sedikit residu yang berakhir di landfill.
a. Mechanical-biological treatment, komposting, dan bio-methanization
Paper menjelaskan bahwa mechanical-biological treatment (MBT) berperan penting dalam memisahkan fraksi organik dan anorganik, sekaligus mempersiapkan material untuk proses lanjutan seperti komposting, bio-methanization, atau material recovery. Keberadaan fraksi organik yang besar menjadikan teknologi biologis sebagai instrumen utama pengurangan emisi dan volume landfill.
Komposting memungkinkan pengembalian nutrien ke tanah, sedangkan bio-methanization menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Dari perspektif circular economy, kedua proses ini menempatkan sampah organik sebagai resource stream, bukan sekadar residu.
b. Waste-to-energy dan posisi strategisnya dalam hierarki pengelolaan
Paper menunjukkan bahwa teknologi waste-to-energy digunakan secara selektif sebagai opsi pengolahan residu yang tidak dapat didaur ulang atau diproses kembali. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip hierarki limbah, di mana pencegahan, penggunaan kembali, dan daur ulang tetap menjadi prioritas, sementara energi dari sampah berfungsi sebagai opsi terakhir sebelum landfill.
Nilai tambah strategi ini terletak pada kemampuannya mengurangi ketergantungan landfill sekaligus memberikan manfaat energi, meskipun paper menegaskan perlunya keseimbangan agar waste-to-energy tidak menjadi disinsentif terhadap program pengurangan timbulan dan pemulihan material.
c. Peran sistem informasi, pelaporan, dan digitalisasi tata kelola
Selain aspek fisik infrastruktur, paper menyoroti pentingnya sistem informasi limbah yang merekam volume material, tingkat pemulihan, dan kinerja fasilitas. Digitalisasi pelaporan mempermudah proses monitoring, pengambilan keputusan kebijakan, serta evaluasi implementasi Zero Waste Project.
Dari sudut pandang circular economy, keberadaan data yang akurat menjadi prasyarat pembentukan pasar material sekunder, karena rantai pasok daur ulang bergantung pada kepastian volume, kualitas material, dan kontinuitas suplai.
6. Indikator Kinerja, Dampak Implementasi, dan Pembelajaran Kebijakan
Bagian ini membahas bagaimana paper mengevaluasi dampak Zero Waste Project melalui indikator kuantitatif dan kualitatif, sekaligus menarik pembelajaran kebijakan bagi penguatan transisi circular economy di masa mendatang.
a. Indikator pengurangan landfill, peningkatan pemilahan, dan material recovery
Paper mencatat bahwa implementasi program berkontribusi pada peningkatan jumlah fasilitas yang melakukan pemilahan di sumber, bertambahnya volume material yang dikumpulkan secara terpisah, serta penurunan proporsi sampah yang langsung diarahkan ke landfill. Indikator tersebut menunjukkan pergeseran awal dari sistem berbasis pembuangan menuju pola yang lebih rekonstruktif terhadap siklus material.
Meskipun capaian ini belum merata di semua wilayah, tren yang terlihat mengindikasikan bahwa perubahan kelembagaan dan kebiasaan pengelolaan mulai terbentuk.
b. Dimensi sosial, institusional, dan perubahan perilaku
Paper menekankan bahwa keberhasilan implementasi tidak hanya diukur dari besaran volume material, tetapi juga dari perubahan perilaku di lingkungan kerja, institusi publik, dan kawasan komersial. Kesadaran mengenai pemilahan, pengurangan plastik sekali pakai, serta keterlibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan terstruktur menjadi bagian penting dari proses transisi.
Dengan demikian, Zero Waste Project dipahami sebagai intervensi sosial-teknis: ia bekerja melalui kombinasi instrumen regulasi, edukasi, sertifikasi, dan penyediaan infrastruktur.
c. Ruang penguatan: integrasi rantai industri daur ulang dan keberlanjutan pendanaan
Paper juga mengidentifikasi sejumlah ruang perbaikan. Pertama, material yang terkumpul terpilah perlu semakin terhubung dengan rantai industri daur ulang agar menghasilkan nilai ekonomi yang lebih besar. Kedua, keberlanjutan program bergantung pada model pembiayaan yang stabil dan mekanisme insentif yang mendorong partisipasi jangka panjang.
Dari sudut pandang circular economy, tahap berikutnya bukan hanya konsolidasi praktik pemilahan, tetapi integrasi pasar material sekunder, inovasi bisnis berbasis daur ulang, serta harmonisasi kebijakan lintas sektor.
7. Nilai Tambah Analitis: Posisi Zero Waste Project dalam Trajektori Transisi Circular Economy
Bagian ini mengembangkan pembacaan kritis atas temuan paper, dengan menyoroti posisi Zero Waste Project dalam lintasan jangka panjang transisi circular economy di Türkiye. Jika dilihat sebagai kebijakan publik, program ini bukan hanya instrumen pengelolaan sampah, tetapi juga platform pembelajaran kebijakan yang membentuk kebiasaan baru dalam tata kelola material.
a. Dari program teknis menuju arsitektur tata kelola circular economy
Zero Waste Project pada tahap awal masih berfokus pada pemilahan, sertifikasi, dan peningkatan fasilitas. Namun secara institusional, ia sedang membangun fondasi penting: standar operasional, mekanisme pelaporan, ekosistem aktor, dan kerangka koordinasi lintas sektor. Dari perspektif kebijakan, inilah fase “institusionalisasi praktik”, yang menjadi prasyarat sebelum circular economy bergerak ke tahap industrialisasi material sekunder dan inovasi model bisnis.
Dengan kata lain, program ini berfungsi sebagai jembatan antara manajemen sampah konvensional dan sistem circular economy yang lebih matang.
b. Tantangan struktural: ketimpangan kapasitas, kontinuitas data, dan konektivitas industri
Paper mengindikasikan bahwa tantangan terbesar tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi pada struktur kelembagaan. Perbedaan kapasitas antar daerah menciptakan kesenjangan implementasi. Selain itu, keberlanjutan basis data limbah menjadi determinan penting bagi integrasi pasar daur ulang, sementara konektivitas antara pengumpulan terpilah dan industri pengolahan masih belum sepenuhnya stabil.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan circular economy memerlukan pendekatan bertahap: konsolidasi kapasitas daerah, peningkatan kualitas data, dan penguatan rantai pasok material sekunder.
c. Implikasi strategis terhadap agenda keberlanjutan dan ekonomi hijau
Dari sisi makro, Zero Waste Project memiliki dampak strategis yang melampaui sektor lingkungan. Program ini berpotensi mendukung pencapaian target pengurangan emisi, efisiensi sumber daya, dan penguatan industri berbasis material sekunder. Jika integrasi dengan kebijakan energi, industri, dan transportasi diperkuat, circular economy dapat berkembang sebagai pilar ekonomi hijau yang mendorong inovasi, investasi baru, dan penciptaan lapangan kerja.
Dengan demikian, pembelajaran utama dari paper adalah bahwa circular economy tidak dapat dipahami sebagai proyek sektoral, melainkan sebagai transformasi lintas kebijakan yang bekerja melalui perpaduan instrumen sosial, teknologi, ekonomi, dan regulasi.
8. Kesimpulan
Paper menunjukkan bahwa Türkiye sedang memasuki fase transisi penting menuju circular economy melalui penguatan Zero Waste Project sebagai instrumen implementasi kebijakan. Program ini mendorong perubahan dari model pengelolaan sampah berbasis pembuangan menuju sistem yang lebih terstruktur, terukur, dan berorientasi pemulihan material.
Implementasi program menghasilkan sejumlah capaian awal, seperti peningkatan pemilahan di sumber, penguatan infrastruktur pengolahan, serta perubahan perilaku di institusi publik dan kawasan komersial. Di sisi lain, masih terdapat ruang penguatan terkait integrasi industri daur ulang, keberlanjutan pendanaan, konsolidasi data, dan pemerataan kapasitas antar wilayah.
Secara keseluruhan, Zero Waste Project dapat dipandang sebagai tahap fondasional dalam perjalanan panjang menuju circular economy. Keberhasilan fase berikutnya akan ditentukan oleh kemampuan menghubungkan praktik pemilahan dan pengumpulan terpilah dengan ekosistem industri material sekunder, inovasi bisnis, serta harmonisasi kebijakan lintas sektor. Dengan pendekatan bertahap dan penguatan tata kelola, Türkiye memiliki peluang untuk menjadikan circular economy sebagai salah satu pilar transisi menuju sistem sumber daya yang lebih efisien, adaptif, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Gök, H., & Ghosh, S. K. (2023). Zero Waste Project and Circular Economy Practices in Türkiye. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-99-4803-1_6
CE-Adoption_SKG-SKG_book-Spring…
European Environment Agency. (2016). Circular Economy in Europe: Developing the Knowledge Base. EEA Report No. 2/2016.
OECD. (2019). Waste Management and the Circular Economy in Selected OECD Countries: Evidence from Environmental Performance Reviews.
Ellen MacArthur Foundation. (2015). Towards a Circular Economy: Business Rationale for an Accelerated Transition.
Jika perlu, saya bisa menyesuaikan gaya sitasi (APA/Chicago/IEEE) atau merampingkan daftar pustaka hanya pada sumber utama.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Desember 2025
1. Pendahuluan
Pengelolaan sampah di Indonesia masih menjadi persoalan struktural yang berdampak langsung pada lingkungan, kesehatan masyarakat, serta keberlanjutan ekonomi. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan pola konsumsi modern mendorong peningkatan timbulan sampah, sementara kapasitas pengelolaan masih didominasi pendekatan end-of-pipe—sampah dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang ke TPA. Pola ini menyebabkan beban lingkungan semakin tinggi, mulai dari pencemaran tanah dan air, emisi metana dari landfill, hingga tekanan pada ekosistem pesisir akibat kebocoran plastik.
Paper yang menjadi dasar tulisan ini menempatkan ekonomi sirkular sebagai pendekatan transformatif untuk keluar dari model ekonomi linear “ambil–produksi–pakai–buang”. Ekonomi sirkular berupaya memperpanjang siklus hidup material melalui prinsip reduce, reuse, recycle, recovery, serta desain produk yang memungkinkan material kembali masuk ke rantai nilai. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini tidak hanya relevan untuk pengelolaan sampah, tetapi juga terhubung dengan agenda dekarbonisasi, pembangunan berkelanjutan (SDGs), dan peningkatan daya saing industri.
Paper menunjukkan bahwa penerapan ekonomi sirkular mampu sekaligus menjawab tiga tantangan utama:
(1) tingginya timbulan sampah dan rendahnya tingkat daur ulang,
(2) ketergantungan pada bahan baku baru (virgin materials), dan
(3) emisi karbon dari proses produksi, transportasi, serta pengolahan sampah.
Dengan kata lain, ekonomi sirkular bukan sekadar strategi lingkungan, melainkan instrumen pembangunan ekonomi hijau yang berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan efisiensi sumber daya, serta memperkuat ketahanan industri nasional. Analisis dalam artikel ini mengembangkan kembali temuan paper dengan memberi interpretasi kritis, relevansi kontekstual Indonesia, serta contoh implementasi lintas-sektor.
Di tingkat global, berbagai negara telah membuktikan bahwa transisi ke ekonomi sirkular dapat menghasilkan manfaat ekonomi signifikan. Uni Eropa, misalnya, memproyeksikan peningkatan GDP dan kesempatan kerja melalui inovasi daur ulang dan substitusi bahan baku. Indonesia berada pada posisi strategis untuk mengikuti arah tersebut, namun membutuhkan penyesuaian model implementasi yang selaras dengan kondisi tata kelola, kapasitas daerah, serta dinamika sektor informal yang masih memegang peran penting dalam rantai pengelolaan sampah.
Pada tahap ini, isu penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ekonomi sirkular harus dipahami sebagai sistem lintas-hulu–hilir—dimulai sejak desain produk, produksi, distribusi, konsumsi, hingga fase akhir penggunaan. Tanpa perubahan paradigma pada bagian hulu (produksi & desain), reformasi di hilir (pengumpulan & daur ulang) hanya akan menjadi solusi parsial.
2. Circular Economy, Dekarbonisasi, dan Posisi Indonesia dalam Transisi Keberlanjutan
Salah satu kontribusi utama paper ini adalah menunjukkan keterkaitan erat antara ekonomi sirkular dan dekarbonisasi. Pengurangan emisi karbon tidak hanya bergantung pada transisi energi, tetapi juga pada cara material diproduksi, dipakai, dan diproses kembali. Setiap proses ekstraksi bahan baku, pembuatan produk baru, dan pembuangan ke landfill menyumbang jejak karbon yang signifikan. Dengan memperpanjang siklus material, proses produksi baru dapat dikurangi sehingga kebutuhan energi dan emisi turut menurun.
Dalam konteks Indonesia, keterkaitan ini terlihat pada beberapa sektor kunci:
a. Pengelolaan Sampah sebagai Instrumen Pengurangan Emisi
Sampah organik dan plastik yang berakhir di TPA menghasilkan emisi metana serta karbon dari pembakaran terbuka. Melalui model sirkular—seperti komposting, RDF (refuse-derived fuel), serta daur ulang plastik—emisi dari landfill dapat ditekan. Paper menekankan bahwa langkah-langkah ini bukan hanya persoalan kebersihan kota, tetapi bagian dari strategi mitigasi iklim nasional.
Dari perspektif kebijakan, Indonesia telah memasukkan ekonomi sirkular ke dalam RPJMN 2020–2024 serta strategi pembangunan rendah karbon. Target pengurangan emisi 29–41% pada 2030 menunjukkan bahwa sektor pengelolaan sampah dan material berperan sebagai penyumbang reduksi emisi, bukan sekadar sektor layanan publik. Di sinilah ekonomi sirkular memperoleh legitimasi sebagai instrumen kebijakan iklim sekaligus pembangunan ekonomi
b. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan
Paper juga menyinggung peran ekonomi sirkular dalam praktik pertanian regeneratif dan pemanfaatan biomaterial. Di Indonesia, sektor ini krusial karena terkait langsung dengan deforestasi, degradasi lahan, dan emisi dari perubahan tata guna lahan. Praktik seperti:
pemanfaatan residu biomassa sebagai energi atau kompos,
pengurangan limbah pascapanen melalui teknologi penyimpanan,
diversifikasi produk berbasis biomaterial,
dapat menurunkan tekanan pada hutan dan mengurangi kebutuhan ekspansi lahan baru. Secara konseptual, pendekatan ini menggeser logika ekonomi dari ekspansi horizontal (ekspansi lahan) menjadi optimalisasi vertikal (nilai tambah dari sisa material).
c. Energi Terbarukan, Efisiensi, dan Circular Business Models
Ekonomi sirkular juga mendorong efisiensi energi melalui:
perpanjangan umur produk,
remanufaktur,
model product-as-a-service, dan
desain modular untuk perbaikan.
Di sektor elektronik, misalnya, remanufaktur dan recovery logam bernilai tinggi tidak hanya mengurangi sampah elektronik, tetapi juga menghemat energi yang dibutuhkan untuk proses pertambangan dan produksi material baru. Paper mencatat bahwa peluang ekonominya sangat besar, terutama jika sektor informal—yang kini mendominasi—diberikan skema upgrading kompetensi dan perlindungan kerja.
d. Transportasi dan Mobilitas Berkelanjutan
Pada sektor transportasi, ekonomi sirkular diterjemahkan ke dalam:
peralihan ke transportasi publik,
sistem berbagi kendaraan,
mobilitas listrik, serta
optimalisasi logistik.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga mengurangi konsumsi sumber daya untuk produksi kendaraan baru dalam jumlah besar. Dengan kata lain, ekonomi sirkular memperkuat logika efisiensi aset, bukan semata efisiensi energi.
Nilai Tambah Analitis
Jika dilihat secara kritis, transisi menuju ekonomi sirkular di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan struktural:
Ketergantungan pada pendekatan proyek, bukan transformasi sistemik lintas sektor.
Keterbatasan integrasi teknologi dan tata kelola, terutama di level kota dan kabupaten.
Belum kuatnya insentif ekonomi bagi pelaku industri untuk beralih dari model linear ke sirkular.
Namun di sisi lain, peluangnya besar karena:
sektor informal dapat menjadi partner strategis, bukan hambatan,
digitalisasi (IoT, tracking material, marketplace daur ulang) membuka ruang inovasi,
dan agenda dekarbonisasi nasional memberi momentum politik yang kuat.
Dengan demikian, ekonomi sirkular di Indonesia perlu ditempatkan bukan hanya sebagai kebijakan lingkungan, melainkan sebagai strategi industrial, sosial, dan iklim yang berjalan simultan.
3. Circular Economy dalam Sektor Prioritas Industri di Indonesia
Transisi ekonomi sirkular di Indonesia memiliki relevansi kuat pada sejumlah sektor industri strategis. Paper menunjukkan bahwa beberapa sektor memiliki potensi terbesar dalam pengurangan limbah, peningkatan efisiensi sumber daya, dan penciptaan nilai ekonomi baru. Namun, implementasi di tiap sektor menunjukkan karakteristik, peluang, dan tantangan yang berbeda sehingga memerlukan pendekatan kebijakan yang kontekstual.
a. Sektor Pangan dan Minuman: Fokus pada Food Loss dan Food Waste
Sektor pangan dan minuman menyumbang porsi signifikan terhadap PDB nasional, sehingga pergeseran ke ekonomi sirkular pada sektor ini tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga stabilitas ekonomi. Paper mencatat bahwa sebagian besar food loss di Asia Tenggara terjadi pada tahap produksi serta penyimpanan, bukan hanya di tingkat konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber pemborosan lebih terkait pada inefisiensi sistem logistik, teknologi pascapanen, serta rantai distribusi yang panjang.
Pendekatan ekonomi sirkular dalam sektor ini dapat diterapkan melalui upaya seperti penguatan rantai pasok lokal, peningkatan fasilitas penyimpanan dingin di wilayah produksi, pemanfaatan limbah organik untuk kompos atau biogas, serta pengembangan ekosistem ekonomi kreatif berbasis produk turunan bahan pangan. Jika dikelola secara sistemik, transformasi ini bukan hanya mengurangi timbulan sampah organik, tetapi juga memperbaiki ketahanan pangan serta menekan emisi dari rantai produksi makanan yang boros energi dan sumber daya.
Sebagai pembanding, beberapa negara telah menunjukkan manfaat ekonomi besar dari pengurangan food waste melalui reformasi logistik dan komersialisasi residu pangan. Dalam konteks Indonesia, peluang serupa terbuka, terutama pada wilayah agraris dan kota satelit yang memiliki volume distribusi pangan tinggi namun infrastruktur penyimpanan masih terbatas
b. Sektor Tekstil: Limbah Produksi dan Peluang Daur Ulang
Industri tekstil Indonesia berperan besar dalam ekspor dan penyerapan tenaga kerja, namun pada saat yang sama menghasilkan jejak lingkungan signifikan, terutama pada tahap pewarnaan dan finishing yang intensif air, energi, serta bahan kimia. Paper menunjukkan bahwa sebagian besar limbah tekstil masih berakhir di TPA, sementara tingkat daur ulang material tekstil masih rendah secara nasional.
Ekonomi sirkular pada sektor ini dapat dikembangkan melalui desain material yang memungkinkan reuse, program take-back garment, model bisnis sewa atau fashion-as-a-service, serta penguatan industri daur ulang tekstil. Studi kasus internasional memperlihatkan bahwa cluster daur ulang tekstil mampu menciptakan rantai nilai baru sekaligus menurunkan ketergantungan pada bahan baku serat baru. Jika strategi serupa diterapkan di Indonesia, peluang muncul pada wilayah industri kreatif, UMKM tekstil, dan kota-kota yang telah memiliki basis industri sandang.
Nilai tambah lain yang penting adalah penguatan standar keberlanjutan industri. Paper mencatat adanya inisiatif Standar Industri Hijau sebagai titik awal, namun implementasi masih perlu ditingkatkan agar bergerak dari sekadar kepatuhan ke arah transformasi struktur produksi yang lebih regeneratif
c. Sektor Konstruksi dan Lingkungan Terbangun
Sektor konstruksi berkontribusi besar terhadap konsumsi energi, material, dan produksi limbah bangunan. Limbah konstruksi dan pembongkaran sebenarnya memiliki tingkat potensi daur ulang tinggi, namun di Indonesia sebagian besar masih berakhir di landfill. Paper menekankan bahwa pendekatan ekonomi sirkular dalam konstruksi mencakup desain modular, penggunaan material daur ulang, pemanfaatan kembali komponen bangunan, serta penerapan standar efisiensi energi.
Jika kebijakan konstruksi sirkular diterapkan sejak tahap desain, maka kota-kota baru dan proyek infrastruktur dapat menjadi katalis inovasi, bukan hanya penyumbang timbulan limbah. Hal ini memiliki implikasi besar bagi pembangunan perkotaan, terutama di wilayah dengan tingkat urbanisasi cepat.
d. Sektor Perdagangan dan Ritel: Tantangan Sampah Kemasan Plastik
Sektor perdagangan modern dan ritel menjadi salah satu sumber utama sampah kemasan plastik. Paper menunjukkan bahwa sebagian besar plastik masih bocor ke lingkungan atau terpapar ke laut. Pendekatan ekonomi sirkular di sektor ini mencakup pengurangan kemasan sekali pakai, pengembangan refill station, redesign kemasan agar mudah didaur ulang, serta inovasi supply chain reverse logistics.
Dari sudut pandang ekonomi, sektor ini memiliki potensi besar menciptakan investasi baru dan lapangan kerja di bidang pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang. Namun, agar transformasi berjalan efektif, diperlukan model kolaborasi antara ritel, produsen, pengelola sampah, dan sektor informal sebagai aktor utama dalam rantai pemulihan material
e. Sektor Elektronik dan E-Waste
Pertumbuhan konsumsi perangkat elektronik di Indonesia berdampak pada peningkatan volume limbah elektronik. Paper menyoroti bahwa e-waste memiliki nilai ekonomi tinggi karena mengandung logam berharga, namun pengelolaannya masih didominasi pelaku informal dengan tingkat perlindungan kerja rendah dan teknologi terbatas.
Ekonomi sirkular mendorong model remanufaktur, refurbish, dan desain produk yang memungkinkan perbaikan serta penggantian komponen. Jika sektor ini dikembangkan secara formal melalui peningkatan kapasitas pelaku informal, penguatan regulasi, dan pengembangan fasilitas recycling center, maka kontribusinya tidak hanya pada pengurangan limbah tetapi juga pada penguatan industri berbasis teknologi material sekunder.
4. Extended Producer Responsibility (EPR) dan Implementasinya dalam Pengelolaan Sampah Plastik
Paper memberikan perhatian khusus pada penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) sebagai mekanisme untuk mendorong produsen ikut bertanggung jawab atas siklus hidup produknya. Di Indonesia, inisiatif EPR masih berada pada tahap awal, namun telah muncul berbagai praktik sukarela melalui kemitraan industri.
a. Pola Implementasi EPR di Indonesia
Melalui berbagai contoh yang dipaparkan dalam paper, terlihat bahwa praktik EPR di Indonesia umumnya berfokus pada edukasi konsumen, perluasan jaringan pengumpulan sampah kemasan, kolaborasi dengan bank sampah dan komunitas, serta pengembangan inovasi desain kemasan. Sebagian produsen juga mulai menerapkan program take-back, refill system, dan penggunaan material hasil daur ulang.
Namun pola implementasi masih bersifat terbatas pada perusahaan besar dan kota-kota tertentu. Artinya, keberhasilan EPR belum menyebar secara merata dan masih membutuhkan kerangka kebijakan yang lebih kuat agar tidak hanya berjalan sebagai inisiatif filantropi korporasi, tetapi terinstitusionalisasi sebagai sistem pengelolaan sampah berbasis produsen.
b. Nilai Strategis EPR terhadap Ekonomi Sirkular
EPR berfungsi sebagai mekanisme penghubung antara produsen, konsumen, dan pengelola sampah. Dengan menempatkan produsen sebagai aktor utama dalam pemulihan material, EPR mendorong perubahan perilaku pada tahap desain produk, pemilihan bahan, serta strategi distribusi. Secara ekonomi, skema ini membuka peluang bisnis baru di bidang pengumpulan, pemilahan, dan material recovery, sekaligus menciptakan ekosistem pasar bagi bahan daur ulang.
Dalam perspektif keberlanjutan, EPR memperkuat logika bahwa pengelolaan sampah tidak boleh hanya dibebankan pada pemerintah daerah, melainkan menjadi bagian dari tanggung jawab extended value chain.
c. Tantangan Implementasi EPR
Paper mengidentifikasi sejumlah kendala yang perlu diperhatikan. Tantangan tersebut mencakup rendahnya kesadaran publik terhadap pemilahan sampah, keterbatasan infrastruktur pengumpulan, tumpang tindih kewenangan regulasi, lemahnya pengawasan, serta risiko free-rider di kalangan produsen yang belum berpartisipasi.
Selain itu, keberadaan sektor informal yang besar menciptakan dinamika tersendiri. Di satu sisi, mereka memiliki kontribusi nyata dalam pengumpulan material; di sisi lain, belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam skema EPR formal sehingga potensi ekonomi dan perlindungan sosial belum termanfaatkan secara optimal
.
5. Teknologi, Inovasi, dan Adopsi Circular Economy di Indonesia
Transisi menuju ekonomi sirkular di Indonesia tidak hanya bergantung pada perubahan perilaku dan kebijakan, tetapi juga pada tingkat adopsi teknologi dan inovasi dalam sistem pengelolaan sampah dan pemulihan material. Paper menunjukkan bahwa saat ini banyak aktivitas pengelolaan sampah di Indonesia masih dilakukan secara manual, sementara pemanfaatan teknologi digital, otomasi, maupun platform berbasis Internet of Things (IoT) masih terbatas dibandingkan negara maju. Kondisi ini menciptakan kesenjangan antara potensi ekonomi sirkular dan kapasitas aktual di lapangan.
a. Circular Economy dan Industry 4.0
Perkembangan Industry 4.0 menghadirkan peluang besar bagi peningkatan efisiensi proses pengumpulan, pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan kembali material. Di negara lain, teknologi seperti sensor, sistem pemantauan digital, smart bins, hingga cloud-based waste data telah digunakan untuk mengoptimalkan logistik pengumpulan sampah, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan kualitas data material flow.
Dalam konteks Indonesia, paper mencatat bahwa potensi penerapan teknologi tersebut sebenarnya besar, namun masih terkendala oleh kapasitas teknis, pendanaan, dan tata kelola. Di sisi lain, sektor informal yang berperan sentral dalam pengumpulan material daur ulang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem digital, sehingga pemanfaatan data rantai siklus material belum optimal. Jika integrasi ini dapat diperkuat, maka digitalisasi berpeluang menjadi katalis peningkatan nilai ekonomi daur ulang sekaligus transparansi ekosistem circular economy.
b. State-of-the-Art Teknologi Global dan Relevansinya bagi Indonesia
Paper menguraikan perkembangan teknologi global mulai dari autoclaving, RDF, gasification, pyrolysis, hingga biofuel, yang berfungsi mengubah residu sampah menjadi energi atau material baru. Pada tahap akhir, teknologi landfill modern seperti bioreactor dan microturbines juga mampu mengurangi dampak lingkungan residu sampah.
Namun dalam praktik nasional, sebagian besar TPA masih menggunakan sistem open dumping atau controlled landfill, sementara fasilitas waste-to-energy baru diadopsi di kota-kota tertentu dan menghadapi persoalan regulasi, pembiayaan, dan koordinasi kelembagaan. Ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi circular economy di Indonesia masih berjalan selektif, lebih bersifat responsif terhadap kebutuhan kota daripada dirancang sebagai strategi nasional yang terintegrasi.
c. Drivers dan Challenges dalam Adopsi Teknologi
Paper menekankan bahwa pendorong utama penerapan teknologi circular economy meliputi tuntutan pasar global, kebutuhan efisiensi proses, tekanan regulasi keberlanjutan, serta peluang nilai tambah ekonomi dari material sekunder. Namun di saat yang sama, tantangan muncul dalam bentuk keterbatasan investasi, rendahnya literasi teknologi, insentif ekonomi yang belum kuat, serta minimnya integrasi kebijakan antar sektor.
Selain itu, terdapat persoalan sikap dan perilaku pemangku kepentingan yang masih menempatkan sampah sebagai tanggung jawab pemerintah, bukan sebagai bagian dari rantai nilai industri. Tanpa perubahan paradigma ini, penerapan teknologi hanya akan berhenti pada skala proyek, bukan pada transformasi sistemik seperti yang dibutuhkan oleh ekonomi sirkular
.
6. Studi Kasus Kota di Indonesia dan Tingkat Kematangan Teknologi Circular Economy
Paper menyajikan studi kasus di beberapa kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Magelang, untuk melihat bagaimana penerapan teknologi dan inovasi circular economy berbeda sesuai karakteristik wilayah. Hasilnya menunjukkan bahwa adopsi teknologi tidak seragam dan sangat dipengaruhi oleh kapasitas fiskal, dukungan regulasi, kemitraan dengan sektor swasta, serta partisipasi masyarakat.
a. Jakarta
Jakarta memiliki kombinasi fasilitas pengelolaan sampah modern dan inisiatif inovatif, seperti fasilitas intermediate treatment, landfill gas to energy, program komposting, serta penerapan aplikasi digital untuk perdagangan dan pelaporan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa kota besar dengan kapasitas kelembagaan tinggi cenderung lebih siap mengadopsi teknologi circular economy, meskipun masalah volume sampah dan ketergantungan TPA masih menjadi tantangan utama.
b. Surabaya
Surabaya memanfaatkan pendekatan terpadu melalui fasilitas waste-to-energy dan program kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta. Meski sistem pengumpulan masih banyak bergantung pada moda konvensional, kota ini mulai menunjukkan pengembangan teknologi pengolahan berbasis gasifikasi serta platform digital untuk transaksi bank sampah. Surabaya menjadi contoh kota transisi yang bergerak dari sistem konvensional menuju model circular yang lebih terstruktur.
c. Semarang
Di Semarang, teknologi circular economy diterapkan melalui fasilitas TPS3R, komposting, methane capture, serta aplikasi pelaporan sampah berbasis digital. Namun tingkat kematangan teknologi masih berada pada tahap penguatan integrasi, di mana proses pengumpulan dan pemilahan belum sepenuhnya otomatis dan masih sangat bergantung pada kapasitas komunitas lokal.
d. Magelang
Studi kasus Magelang menggambarkan kondisi kota kecil dengan dominasi pendekatan 3R berbasis komunitas, bank sampah, dan program kampung organik. Teknologi yang digunakan masih sederhana, namun memiliki kedekatan sosial yang kuat. Hal ini memberi gambaran bahwa circular economy tidak selalu identik dengan teknologi canggih, melainkan dapat berkembang dari model sosial-ekonomi berbasis partisipasi warga.
Paper kemudian mengklasifikasikan tingkat kematangan teknologi ke dalam beberapa kategori, mulai dari tradisional hingga smart system. Berdasarkan penilaian tersebut, kota-kota di Indonesia masih berada pada rentang common hingga organized maturity level, sementara transisi menuju integrated dan smart system baru muncul di beberapa inisiatif terbatas.
Nilai analitis yang dapat ditarik dari studi kasus ini adalah bahwa circular economy di Indonesia berkembang melalui jalur bertahap: dimulai dari penguatan praktik komunitas dan sektor informal, kemudian bergerak ke integrasi teknologi dan kelembagaan, sebelum akhirnya mencapai model kota cerdas berbasis sistem data dan otomasi. Artinya, pendekatan kebijakan perlu adaptif terhadap tingkat kesiapan daerah, bukan sekadar mengadopsi model generik yang tidak selaras dengan konteks lokal.
7. Nilai Tambah Analitis: Pembelajaran, Kesenjangan, dan Implikasi Kebijakan
Bagian ini merangkum temuan paper sekaligus menambahkan pembacaan kritis mengenai arah perkembangan ekonomi sirkular di Indonesia. Jika dilihat secara menyeluruh, upaya implementasi ekonomi sirkular telah bergerak ke berbagai sektor, mulai dari pangan, tekstil, konstruksi, ritel, hingga elektronik. Namun, perkembangan ini masih menunjukkan sifat gradual, parsial, dan belum sepenuhnya bersifat sistemik.
a. Kesenjangan antara kebijakan dan implementasi
Di tingkat kebijakan nasional, ekonomi sirkular telah diposisikan sebagai bagian dari strategi pembangunan rendah karbon, pengurangan emisi, dan pencapaian SDGs. Namun, pada tataran implementasi daerah, masih terdapat kesenjangan antara visi kebijakan dan kapasitas operasional. Banyak program circular economy berjalan sebagai proyek berbasis lokasi, bukan sebagai transformasi sistemik lintas rantai nilai.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya terletak pada ketersediaan teknologi, tetapi pada koordinasi kelembagaan, kesinambungan pendanaan, serta kemampuan pemerintah daerah mengintegrasikan sektor informal ke dalam ekosistem pengelolaan material yang lebih formal dan produktif.
b. Peran strategis sektor informal dalam ekosistem circular economy
Paper memberikan gambaran bahwa sebagian besar aktivitas pemulihan material di Indonesia justru dilakukan oleh sektor informal, seperti pemulung, pengepul, dan bank sampah. Selama ini, kontribusi mereka sering dipandang sebagai aktivitas sosial-ekonomi marginal, padahal dari perspektif circular economy, mereka merupakan aktor rantai pasok material sekunder yang vital.
Nilai tambah terbesar ke depan justru berada pada proses peningkatan kapasitas, standardisasi kerja, perlindungan sosial, dan integrasi data aktivitas sektor informal ke dalam sistem circular economy nasional. Tanpa langkah ini, ekonomi sirkular berisiko hanya berkembang di tingkat korporasi, sementara kontribusi terbesar pemulihan material tetap tidak tercatat dan tidak memperoleh nilai ekonomi yang adil.
c. Teknologi sebagai enabler, bukan tujuan akhir
Studi kasus dalam paper memperlihatkan bahwa kota besar cenderung lebih siap mengadopsi teknologi seperti landfill gas to energy, aplikasi digital, atau fasilitas pengolahan modern. Namun, konsep circular economy menekankan bahwa teknologi hanyalah alat untuk meningkatkan efisiensi sistem, bukan tujuan utama.
Pendekatan yang paling relevan untuk Indonesia adalah kombinasi antara inovasi sosial berbasis komunitas, penguatan kelembagaan, serta adopsi teknologi secara bertahap sesuai tingkat kesiapan wilayah. Dengan demikian, transisi circular economy dapat bersifat inklusif dan tidak meninggalkan kelompok pelaku yang selama ini menjadi tulang punggung pengelolaan material.
d. Implikasi bagi masa depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia
Ekonomi sirkular di Indonesia berpotensi memainkan tiga fungsi sekaligus: sebagai strategi pengelolaan sampah, sebagai instrumen pengurangan emisi karbon, dan sebagai pengungkit transformasi industri menuju penggunaan material yang lebih efisien. Jika penguatan tata kelola, digitalisasi rantai material, dan integrasi sektor informal dapat dipercepat, maka circular economy tidak hanya menjadi agenda lingkungan, tetapi menjadi salah satu fondasi transisi ekonomi nasional menuju model pembangunan yang lebih resilien dan berbasis sumber daya berkelanjutan
8. Kesimpulan
Berdasarkan analisis paper, ekonomi sirkular di Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pendekatan lintas sektor yang mampu menjawab persoalan sampah, efisiensi sumber daya, dan pengurangan emisi secara simultan. Implementasinya telah terlihat pada berbagai sektor prioritas, mulai dari pangan, tekstil, konstruksi, ritel plastik, hingga elektronik, meskipun tingkat kedalaman adaptasi masih bervariasi.
Penerapan konsep ini menunjukkan bahwa transformasi tidak hanya terjadi pada aspek teknis pengelolaan sampah, tetapi juga menyentuh dimensi ekonomi, sosial, tata kelola, dan inovasi teknologi. Studi kasus kota-kota di Indonesia menegaskan bahwa circular economy berkembang secara bertahap, dipengaruhi oleh kapasitas institusi, kesiapan teknologi, serta dinamika partisipasi masyarakat.
Di sisi lain, masih terdapat tantangan utama berupa kesenjangan implementasi, keterbatasan infrastruktur, lemahnya integrasi data, serta belum optimalnya skema Extended Producer Responsibility. Namun, peluang untuk mempercepat transisi tetap terbuka melalui sinergi kebijakan nasional, inovasi berbasis komunitas, dan integrasi sektor informal sebagai aktor kunci dalam rantai pemulihan material.
Dengan demikian, circular economy bukan hanya jawaban atas persoalan sampah, tetapi merupakan elemen penting dalam membangun model pembangunan yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, lebih inklusif secara sosial, dan lebih efisien secara ekonomi. Jika upaya penguatan tata kelola, edukasi publik, dan inovasi teknologi terus dikembangkan, maka Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan ekonomi sirkular sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan ke depan
Daftar Pustaka
Arisman, & Fatimah, Y. A. (2023). Waste Management in Indonesia: Strategies and Implementation of Sustainable Development Goals (SDGs) and Circular Economy. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-99-4803-1_5
CE-Adoption_SKG-SKG_book-Spring…
Fatimah, Y. A., et al. (2020). Industry 4.0 based sustainable circular economy approach for smart waste management system to achieve sustainable development goals: A case study of Indonesia. Journal of Cleaner Production, 269, 122263.
Ghosh, S. K. (Ed.). (2020). Circular Economy: Global Perspective. Springer, Singapore.
Ellen MacArthur Foundation. (2017). A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future.
Jika ingin, saya bisa menyederhanakan daftar pustaka ke hanya sumber utama atau menyesuaikan dengan gaya sitasi tertentu (APA/IEEE/Chicago).