Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Kegagalan Proyek
Saya pernah berpikir merenovasi dapur seluas 3x4 meter adalah puncak dari kerumitan manajemen proyek. Ada drama dengan tukang, material yang datang terlambat, dan anggaran yang membengkak 15%. Saya merasa seperti seorang jenderal yang kalah perang. Lalu saya membaca sebuah paper penelitian, dan saya sadar: masalah saya itu ibarat genangan air di hadapan tsunami.
Paper yang saya baca berjudul "Risk Management in Engineering and Construction: A Case Study in Design-Build Projects in Vietnam". Judulnya terdengar kering, akademis, dan mungkin membosankan bagi sebagian orang. Tapi di dalamnya, saya menemukan sebuah cerita detektif yang mencekam. Latar ceritanya adalah industri konstruksi di negara berkembang seperti Vietnam, di mana permintaan pembangunan yang konstan menciptakan tekanan luar biasa pada para manajer proyek untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, sesuai anggaran, dan dengan kualitas terjamin.
Selama ini, jika kita mendengar sebuah proyek konstruksi besar mangkrak atau biayanya membengkak gila-gilaan, apa yang pertama kali terlintas di benak kita? Mungkin kontraktor yang tidak kompeten, material berkualitas buruk, atau perencanaan yang amburadul. Kita membayangkan masalah-masalah yang terlihat di lapangan: tiang pancang yang miring, adukan semen yang salah, atau pekerja yang mogok. Paper ini, dengan data dan analisisnya yang tajam, membisikkan sebuah kebenaran yang mengejutkan: kita semua salah alamat. Musuh terbesarnya bukanlah yang terlihat di lapangan.
Para peneliti, Phong Thanh Nguyen dan Phu-Cuong Nguyen, menyoroti pergeseran besar dalam cara proyek-proyek ini dikelola. Dulu, model tradisional yang disebut Design-Bid-Build (DBB) menjadi raja. Dalam model ini, pemilik proyek memecah pekerjaan menjadi beberapa bagian: satu perusahaan untuk mendesain, lalu proses tender untuk memilih kontraktor konstruksi, dan seterusnya. Risikonya terbagi-bagi di antara banyak pihak. Namun, model ini lambat dan sering kali menciptakan "perang" saling menyalahkan antara desainer dan pembangun.
Untuk mengatasi masalah ini, muncullah sebuah model yang lebih modern dan ramping: Design-Build (DB). Sesuai namanya, satu kontraktor utama bertanggung jawab atas desain dan konstruksi sekaligus. Bagi pemilik proyek, ini adalah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Manajemen menjadi lebih sederhana, waktu pelaksanaan bisa dipersingkat, dan tidak ada lagi drama saling tuding.
Tapi di sinilah plot twist-nya dimulai. Kemudahan bagi pemilik proyek ini ternyata memindahkan dan memusatkan sebuah gunung risiko raksasa ke pundak satu pihak: si kontraktor Design-Build. Paper ini bukan sekadar laporan teknis; ini adalah sebuah cerita detektif yang mengungkap para 'pembunuh' senyap dalam dunia konstruksi. Dan pelakunya bukanlah yang selama ini kita duga.
Selamat Tinggal Cara Lama: Pergeseran Tektonik dari DBB ke Design-Build
Untuk benar-benar memahami betapa radikalnya perubahan ini, mari kita gunakan sebuah analogi.
Bayangkan Anda ingin membuat sebuah gaun pesta custom. Cara lama (Design-Bid-Build) adalah Anda membeli kain sendiri di toko A, lalu pergi ke desainer B untuk membuat pola, kemudian Anda membawa kain dan pola itu ke penjahit C untuk dijahit. Dalam proses ini, Anda adalah manajer proyeknya. Anda adalah pusat koordinasi. Jika penjahit C mengeluh polanya aneh atau kainnya sulit dijahit, Anda yang harus menengahi antara B dan C. Jika desainer B bilang penjahit C tidak becus mengikuti polanya, Anda lagi yang pusing. Repot, kan? Inilah dunia DBB, di mana pemilik proyek menjadi titik fokus yang harus mengoordinasikan unit-unit yang bekerja secara independen. Prosesnya pun harus berurutan: desain harus selesai 100% sebelum bisa ditenderkan ke kontraktor.
Sekarang bayangkan cara baru (Design-Build). Anda datang ke satu butik ternama, menjelaskan visi Anda tentang gaun impian, dan mereka menangani semuanya—mulai dari pemilihan kain, desain, hingga jahitan akhir. Satu pintu, satu penanggung jawab. Inilah janji manis dari model Design-Build (DB). Dalam model ini, tugas desain dan konstruksi diserahkan kepada kontraktor yang sama. Si kontraktor utama ini mungkin akan mempekerjakan subkontraktor konsultan atau subkontraktor konstruksi, tapi di mata Anda sebagai pemilik, hanya ada satu pihak yang bertanggung jawab penuh.
Keindahannya sangat jelas. Seperti yang dijelaskan dalam paper, model DB ini menawarkan beberapa keuntungan signifikan:
Mempercepat Waktu: Konstruksi bisa dimulai bahkan sebelum desain selesai 100%. Tim desain dan tim konstruksi berada dalam satu atap, sehingga mereka bisa berkoordinasi secara paralel. Ini memungkinkan pemilik untuk bisa menggunakan proyeknya lebih cepat.
Mengurangi Konflik: Karena desainer dan pembangun ada di tim yang sama, "permainan saling menyalahkan" yang sering terjadi di model DBB bisa diminimalkan. Jika ada masalah, itu menjadi masalah internal perusahaan, bukan sengketa antar perusahaan.
Menyederhanakan Manajemen: Pemilik proyek tidak perlu lagi menjadi wasit antara desainer dan kontraktor. Mereka hanya berurusan dengan satu entitas, menyederhanakan alur komunikasi dan tanggung jawab.
Namun, di balik efisiensi ini, tersembunyi sebuah pergeseran fundamental dalam struktur risiko. Struktur yang sama yang membuat DB begitu efisien—yaitu menyatukan desain dan konstruksi—juga merupakan struktur yang membuatnya sangat berbahaya bagi kontraktor. "Kontinuitas dari desain ke konstruksi" memang mengurangi kesalahan, tetapi juga menghilangkan mekanisme kontrol dan keseimbangan yang ada di model lama. Di model DBB, seorang kontraktor independen bisa (dan akan) meneliti desain dari pihak ketiga secara kritis sebelum mulai membangun. Jika mereka menemukan cacat, mereka akan mengangkatnya sebagai masalah.
Di model DB, jika tim desain internal kontraktor membuat kesalahan, tim konstruksi mereka mungkin berada di bawah tekanan untuk mencari solusi cepat dan murah daripada mengakui kesalahan tersebut kepada pemilik, yang bisa berujung pada permintaan perubahan kontrak yang rumit dan mahal. Ini menciptakan potensi konflik kepentingan di dalam organisasi kontraktor itu sendiri—sebuah risiko tersembunyi yang sangat kuat, yang lahir dari struktur model DB itu sendiri. Kontraktor tidak hanya membangun; mereka kini menanggung seluruh beban, mulai dari keakuratan desain hingga kinerja akhir bangunan.
Membongkar 'Monster' di Balik Proyek: Lima Wajah Risiko yang Harus Anda Kenal
Paper ini melakukan pekerjaan luar biasa dengan memetakan medan perang risiko ini. Para peneliti mengklasifikasikan ancaman-ancaman ini ke dalam lima kelompok besar. Anggap saja ini adalah lima "monster" yang bersembunyi di balik setiap proyek konstruksi besar. Memahami mereka adalah langkah pertama untuk bisa bertahan.
Jebakan Politik dan Birokrasi yang Tak Terlihat
Ini adalah monster dengan ribuan tentakel kertas, di mana satu stempel yang terlambat bisa membekukan proyek bernilai triliunan rupiah. Risiko ini mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan intervensi negara dan aparaturnya. Bayangkan korupsi yang meminta "uang pelicin", intervensi pemerintah yang tiba-tiba mengubah prioritas, atau proses persetujuan izin yang berlarut-larut tanpa kepastian. Di Vietnam, seperti di banyak negara berkembang lainnya, birokrasi yang rumit dan pelecehan oleh otoritas lokal bisa menjadi penghalang besar. Ditambah lagi, perubahan mendadak dalam hukum atau peraturan dapat memaksa pemilik proyek untuk mengubah desain yang sudah ada, yang tentunya memakan waktu dan biaya.
Roller Coaster Ekonomi yang Mengguncang Anggaran
Bayangkan Anda membangun rumah di atas tanah yang terus bergetar. Fondasi Anda mungkin kuat, tapi guncangan dari luar—inflasi dan suku bunga—bisa meretakkan seluruh struktur keuangan Anda. Risiko ekonomi dan keuangan ini bersifat makro dan hampir tidak mungkin dihindari. Inflasi bisa membuat harga material, peralatan, dan upah tenaga kerja melonjak tajam, mengacaukan anggaran yang sudah ditetapkan. Fluktuasi suku bunga juga sangat berbahaya, terutama karena sebagian besar proyek besar bergantung pada pinjaman dari lembaga keuangan. Kenaikan suku bunga bisa menggerus profitabilitas dan membuat investor cemas. Di saat ekonomi tidak stabil, mendapatkan modal investasi pun menjadi sangat sulit, bahkan bisa menyebabkan proyek ditangguhkan karena kehabisan dana.
Hantu dalam Desain: Saat Gambar Tak Sesuai Kenyataan
Ini adalah risiko di mana cetak biru yang Anda pegang ternyata adalah peta menuju kegagalan. Dalam proyek DB, di mana komunikasi antara tim desain dan pemilik bisa jadi lebih sedikit dibandingkan model DBB, risiko kesalahpahaman atau penyesuaian yang terlambat menjadi lebih besar. Risiko utamanya adalah perubahan atau kekurangan dalam desain. Karena skala proyek yang besar dan kompleks, sering kali tujuan dan ruang lingkupnya belum 100% jelas di awal. Ini bisa memicu perubahan desain di tengah jalan, yang berujung pada penundaan dan pembengkakan biaya. Masalah lain yang disorot adalah ketika kontraktor asing terlibat. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami iklim, kondisi geologi, adat istiadat, atau standar teknis yang berlaku di Vietnam, yang sering kali sudah usang. Proses mengadaptasi standar asing ke standar lokal bisa sangat memakan waktu.
Perangkap dalam Kontrak dan Tender
Kontrak adalah jaring pengaman Anda, tapi jika drafnya longgar atau tidak adil, jaring itu justru bisa menjerat Anda. Kelompok risiko ini mencakup kurangnya transparansi dalam proses tender, kontrak yang tidak lengkap atau isinya saling bertentangan, dan alokasi tanggung jawab risiko yang tidak adil. Yang paling berbahaya dalam konteks DB adalah sifat kontraknya yang sering kali berupa
lump-sum atau harga borongan. Artinya, kontraktor menyetujui satu harga tetap untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan, dari desain hingga konstruksi. Dengan model ini, setiap risiko tak terduga—seperti kenaikan harga material atau kondisi tanah yang tak terduga—menjadi beban finansial kontraktor seorang diri. Jika kontrak tidak secara eksplisit dan ketat mengatur bagaimana menangani risiko-risiko potensial ini, sengketa di kemudian hari hampir tak terhindarkan.
Badai di Lapangan: Dari Material Langka hingga Bencana Alam
Ini adalah risiko yang paling kita kenal, yang bisa Anda lihat dan sentuh. Ini adalah pertarungan harian di lapangan: tenaga kerja, material, atau peralatan yang tidak tersedia atau datang terlambat; cuaca ekstrem seperti badai atau banjir (force majeure); atau kecelakaan kerja. Koordinasi yang buruk antara kontraktor utama dengan subkontraktor dan pemasok juga bisa menyebabkan efek domino penundaan. Satu tim harus menunggu tim lain selesai, memperlambat progres keseluruhan. Meskipun ini adalah risiko yang paling kasat mata, paper ini secara implisit berargumen bahwa seringkali, perang sesungguhnya sudah kalah bahkan sebelum pertarungan di lapangan ini dimulai.
Saat kita melihat kelima "monster" ini, sebuah pola yang menarik muncul. Empat dari lima kelompok risiko ini—Politik, Ekonomi, Desain, dan Kontrak—sebagian besar bersifat tak terlihat, konseptual, dan terjadi "di luar lokasi" proyek. Hanya satu kelompok, yaitu risiko Konstruksi, yang benar-benar terjadi "di lapangan". Ini adalah sebuah wahyu. Artinya, manajer proyek yang hanya fokus pada keunggulan operasional di lokasi konstruksi sebenarnya hanya mengelola 20% dari ancaman nyata. Keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek modern lebih banyak ditentukan oleh para pengacara, analis keuangan, dan pelobi politik daripada oleh mandor di lapangan.
Tiga Ancaman Terbesar yang Membuat Manajer Proyek Tidak Bisa Tidur
Setelah mengidentifikasi total 28 faktor risiko spesifik dari kelima kelompok tadi, para peneliti melakukan analisis untuk menemukan mana yang paling kritis. Mereka menggunakan sebuah formula untuk menghitung tingkat risiko (RF) berdasarkan kombinasi dari kemungkinan terjadinya (L) dan tingkat keparahan dampaknya (C).
Hasilnya? Setelah menyaring semua data, mereka menemukan tiga "penjahat utama". Yang paling mengejutkan adalah ketiganya bukanlah monster yang mengamuk di lapangan konstruksi. Mereka adalah pembunuh senyap yang bekerja di ruang rapat, bank sentral, dan di atas meja gambar.
Ancaman #1: Penantian Abadi untuk Sebuah Tanda Tangan (Keterlambatan Izin)
Ini adalah risiko nomor satu. Di Vietnam, proses persetujuan proyek dan perizinan sering kali tertunda secara signifikan, bahkan terkadang persetujuan yang sudah diberikan bisa dibatalkan. Penyebabnya beragam, mulai dari kurangnya kapasitas dan profesionalisme departemen yang berwenang hingga prosedur yang sangat kompleks. Setiap departemen—lingkungan hidup, pertanahan, kelistrikan, air—memiliki peraturan sendiri yang harus dipatuhi oleh kontraktor. Ditambah lagi, perubahan kebijakan dan hukum pemerintah yang cepat memaksa kontraktor untuk terus beradaptasi, membuang banyak waktu di fase awal proyek.
🚀 Dampaknya Luar Biasa: Proyek tertahan di gerbang start, biaya awal membengkak hanya untuk urusan administrasi, dan momentum serta kepercayaan investor terkikis habis sebelum satu sekop tanah pun digali.
🧠 Inovasinya: Menyadari bahwa lobi dan navigasi birokrasi adalah kompetensi inti manajemen proyek, sama pentingnya dengan keahlian teknis membangun gedung.
💡 Pelajaran: Jangan pernah meremehkan waktu, energi, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk perizinan. Anggarkan fase ini sebagai sebuah proyek krusial tersendiri, bukan sekadar urusan administrasi sampingan.
Ancaman #2: Angka-Angka yang Menari Liar (Fluktuasi Suku Bunga)
Ancaman terbesar kedua datang dari dunia keuangan. Proyek-proyek konstruksi besar adalah bisnis yang padat modal. Paper ini menyebutkan bahwa pemilik dan kontraktor biasanya meminjam lebih dari 50% modal dari bank. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank sentral. Ketika suku bunga rendah, investasi di sektor konstruksi menjadi menarik. Namun, ketika suku bunga bergejolak dan naik, masalah besar muncul. Profitabilitas proyek bisa anjlok, dan pengembalian modal bagi investor menjadi tidak pasti. Selain itu, akses untuk mendapatkan pinjaman baru dari lembaga keuangan swasta juga menjadi lebih sulit.
🚀 Dampaknya Luar Biasa: Profitabilitas proyek yang sudah dihitung matang-matang bisa tergerus habis, akses ke pendanaan menjadi sulit, dan risiko gagal bayar meningkat secara eksponensial.
🧠 Inovasinya: Manajemen risiko finansial (seperti melakukan hedging atau membangun berbagai skenario keuangan) bukan lagi hanya urusan departemen keuangan, tetapi harus terintegrasi dalam perencanaan inti proyek sejak hari pertama.
💡 Pelajaran: Asumsi kondisi finansial yang stabil adalah sebuah kemewahan yang tidak kita miliki di dunia modern. Bangun model keuangan proyek yang tangguh dan mampu bertahan dari guncangan suku bunga.
Ancaman #3: Visi yang Berubah di Tengah Jalan (Perubahan Desain & Spesifikasi)
Peringkat ketiga adalah risiko yang datang dari kekurangan atau perubahan pada desain dan spesifikasi teknis. Risiko ini menjadi sangat berbahaya dalam model Design-Build karena sifat kontraknya yang sering kali fixed-price. Dalam model DB, investor sering kali datang hanya dengan ide awal, dan kontraktorlah yang kemudian mengembangkan proposal desain awal beserta estimasi biayanya. Jika setelah kontrak ditandatangani ternyata ada kekurangan dalam desain (misalnya, karena survei geologi awal yang dilakukan kontraktor tidak akurat), maka biaya untuk memperbaikinya menjadi tanggungan kontraktor, bukan pemilik. Kontraktor tidak bisa mengajukan klaim tambahan. Mereka hanya bisa meminta biaya tambahan jika pemilik secara eksplisit meminta perubahan dari spesifikasi awal. Kesalahan survei geologi, misalnya, bisa menyebabkan masalah serius pada kualitas struktur dan membutuhkan biaya perbaikan yang sangat besar.
🚀 Dampaknya Luar Biasa: Biaya membengkak tak terkendali (dan harus ditanggung oleh kontraktor), potensi sengketa hukum dengan pemilik, dan pengerjaan ulang yang membuang-buang waktu dan sumber daya.
🧠 Inovasinya: Fase pra-desain, survei awal, dan penyelidikan lapangan adalah investasi paling krusial dalam sebuah proyek DB. Berhemat pada fase ini adalah resep pasti menuju bencana finansial.
💡 Pelajaran: Pepatah "ukur sepuluh kali, potong sekali" menjadi sangat relevan di sini. Pastikan visi, ruang lingkup, dan spesifikasi teknis proyek terkunci serapat mungkin sebelum harga kontrak ditetapkan.
Opini Saya: Apa yang Bisa Kita Terapkan, dan di Mana Studi Ini Bisa Lebih Baik
Jujur, yang membuat saya paling terkesan dari paper ini bukanlah apa temuannya, tapi implikasinya. Studi ini secara brilian menggeser fokus kita dari hal-hal yang kasat mata ke ancaman yang tak terlihat. Selama ini kita terlalu terobsesi dengan risiko di lapangan—helm pengaman, kualitas adukan semen, jadwal mandor. Paper ini membuktikan bahwa pertempuran sesungguhnya terjadi jauh sebelum itu. Kemenangan atau kekalahan sebuah proyek ditentukan di ruang rapat dewan, di kantor pemerintahan, dan dalam baris-baris spreadsheet analisis keuangan. Ini adalah perubahan paradigma.
Namun, sebagai pembaca yang kritis, ada dua hal yang membuat saya berpikir.
Pertama, meski temuannya sangat kuat, metodologi perhitungan risikonya, dengan formula RF=C+L−C⋅L, terasa sangat akademis. Ini hebat untuk sebuah paper penelitian yang menuntut ketelitian matematis. Tapi, saya sulit membayangkan seorang manajer proyek di lapangan yang sedang sibuk mengeluarkan kalkulator untuk menghitungnya di tengah krisis. Ada sebuah jurang antara rigor akademis ini dengan kebutuhan akan alat bantu keputusan yang praktis dan intuitif di dunia nyata. Kita butuh jembatan untuk menerjemahkan formula canggih ini menjadi panduan yang bisa langsung diterapkan.
Kedua, konteksnya sangat spesifik di Vietnam, sebuah negara berkembang dengan dinamika birokrasi dan ekonomi yang unik. Ini adalah sebuah studi kasus yang fenomenal dan sangat berharga. Namun, saya jadi penasaran: apakah "tiga besar" risiko ini akan tetap sama jika studi serupa dilakukan di pasar yang lebih matang seperti Jerman atau Jepang? Atau di pasar yang sangat berbeda seperti di Afrika Sub-Sahara? Mungkin di negara dengan birokrasi yang efisien, risiko perizinan tidak akan masuk tiga besar, tapi mungkin risiko lain seperti kelangkaan tenaga kerja ahli atau regulasi lingkungan yang super ketat akan naik peringkat. Ini bukan kelemahan studi, melainkan sebuah undangan terbuka untuk penelitian lebih lanjut guna memetakan lanskap risiko global yang lebih komprehensif.
Langkah Anda Selanjutnya: Mengubah Wawasan Ini Menjadi Aksi Nyata
Jadi, apa pelajaran terbesar dari perjalanan kita membongkar paper ini? Sederhana: dalam proyek konstruksi modern, terutama dengan model Design-Build, Anda tidak bisa hanya menjadi seorang manajer konstruksi. Anda harus menjadi seorang diplomat, seorang analis keuangan, dan seorang ahli strategi. Anda harus memenangkan perang di atas kertas sebelum meletakkan satu bata pun di lapangan.
Memahami dinamika risiko sistemik ini adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya adalah membekali diri dengan perangkat untuk mengelolanya. Jika Anda seorang manajer proyek, atau bercita-cita menjadi salah satunya, berinvestasi dalam pemahaman yang lebih dalam tentang manajemen risiko, hukum kontrak, dan keuangan proyek bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak.
Untuk mendalami lebih lanjut tentang strategi manajemen proyek modern yang relevan dengan tantangan hari ini, Anda bisa melihat berbagai kursus dan pelatihan profesional di (https://www.diklatkerja.com).
Tentu saja, tulisan ini hanyalah interpretasi saya atas sebuah karya yang jauh lebih dalam. Jika Anda adalah tipe orang yang suka melihat data mentah dan metodologi aslinya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk meluangkan waktu membaca paper penelitian yang menginspirasi tulisan ini. Ini adalah bacaan yang sangat berharga.
Keragaman & Inklusi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Angka yang Membuat Saya Berhenti Sejenak
Pernahkah Anda memasuki sebuah ruangan dan dalam hitungan detik, Anda tahu persis apakah Anda "cocok" di sana? Ini bukan tentang pakaian yang Anda kenakan atau topik pembicaraan. Ini adalah perasaan yang lebih dalam, sebuah getaran tak kasat mata yang memberitahu Anda apakah suara Anda akan didengar, apakah kehadiran Anda dihargai, apakah Anda merasa memiliki. Bagi saya, "rasa memiliki" atau belonging adalah inti dari semua percakapan tentang keragaman dan inklusi.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah laporan dari Royal Academy of Engineering di Inggris. Ini bukan sekadar tumpukan kertas akademis yang kering. Saya melihatnya sebagai sebuah cerita sepanjang satu dekade—sebuah rekapitulasi dari 10 tahun upaya, penelitian, dan sayangnya, stagnasi dalam menciptakan industri teknik yang lebih inklusif. Laporan ini, berjudul
Equality, diversity, and inclusivity in engineering, 2013 to 2022: a review, mencoba menjawab pertanyaan sederhana: sejauh mana kita sudah melangkah?
Dan jawabannya, terus terang, membuat saya berhenti sejenak.
Ada satu angka yang menonjol, yang terasa seperti pukulan telak. Pada tahun 2021, hanya 16,5% dari mereka yang bekerja di bidang teknik adalah perempuan. Coba resapi angka itu. Ini berarti, dalam sebuah tim proyek yang terdiri dari enam insinyur, kemungkinan besar hanya ada satu perempuan. Bayangkan bagaimana rasanya menjadi satu-satunya? Bagaimana hal itu memengaruhi dinamika tim, proses inovasi, dan budaya kerja sehari-hari?
Namun, yang lebih mengejutkan bagi saya bukanlah angka itu sendiri, melainkan paradoks di baliknya. Laporan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa gender adalah tema yang paling menonjol dan paling banyak diteliti selama dekade terakhir. Selama sepuluh tahun, industri ini, para peneliti, dan para pembuat kebijakan telah menyorotkan lampu paling terang ke masalah ini. Namun hasilnya? Sebuah pergeseran yang sangat lambat. Ini mengajarkan saya sebuah pelajaran penting: perhatian saja tidak cukup. Upaya yang dilakukan mungkin salah sasaran atau tidak mampu menyentuh akar masalah yang jauh lebih dalam dan sistemik. Kita sudah melihat dengan saksama, tapi mungkin kita melihat dengan cara yang salah, atau tidak cukup luas.
Pipa yang Bocor: Mengapa Insinyur Hebat Terus Menghilang dari Industri Ini?
Dalam laporan ini, ada satu metafora yang terus muncul: "Leaky Pipeline" atau pipa yang bocor. Bayangkan Anda menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun sebuah saluran air yang canggih untuk mengairi ladang. Anda memastikan air masuk dengan deras di hulu, merekrut talenta-talenta terbaik dari universitas. Tapi di tengah jalan, ada begitu banyak retakan dan lubang kecil sehingga hanya tetesan air yang sampai di hilir. Itulah yang terjadi pada talenta perempuan di dunia teknik.
Laporan ini mengutip studi lain yang menemukan bahwa perempuan cenderung meninggalkan dunia teknik dengan laju dua kali lipat dari laki-laki. Kebocoran ini bukan kecelakaan; ia disebabkan oleh "hambatan struktural dan sistemik di tempat kerja". Tapi apa artinya "sistemik" dalam kehidupan sehari-hari?
Ini bukan tentang satu manajer yang seksis atau satu kebijakan yang buruk. Ini adalah tentang ribuan hal kecil yang menumpuk:
Budaya yang Terasa Seperti "Klub Laki-Laki": Lingkungan kerja di mana candaan, aktivitas sosial setelah jam kerja, dan ekspektasi tak tertulis terasa lebih berpihak pada laki-laki. Ini menciptakan perasaan terisolasi.
Mitos "Pekerja Ideal": Ada sebuah idealisasi tentang insinyur hebat: seseorang (biasanya laki-laki) yang bekerja lembur tanpa keluhan, selalu siap bepergian kapan saja, dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pekerjaan. Model ini secara inheren merugikan siapa pun—laki-laki atau perempuan—yang memiliki tanggung jawab sebagai pengasuh atau menginginkan keseimbangan hidup.
Kurangnya Fleksibilitas: Meskipun hukum di Inggris menjamin hak untuk meminta jam kerja yang fleksibel, peran insinyur adalah salah satu yang paling jarang diiklankan sebagai pekerjaan fleksibel. Ini adalah tembok besar bagi orang tua baru, terutama ibu, yang sering kali harus memilih antara karir dan keluarga.
Namun, temuan yang paling menusuk bagi saya adalah dampak psikologis dari sistem ini. Laporan tersebut menyoroti sebuah fenomena di mana perempuan dalam industri ini cenderung "menyangkal adanya seksisme" dan "mengindividualisasikan pengalaman negatif mereka". Ini bukan karena mereka naif. Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Ketika Anda adalah minoritas yang sangat kecil (ingat, hanya 16,5%), menyuarakan ketidakadilan bisa membuat Anda dicap "sulit," "bukan pemain tim," atau "terlalu sensitif." Secara psikologis, lebih mudah untuk menyalahkan diri sendiri ("Mungkin saya kurang tangguh," atau "Seharusnya saya menanganinya secara berbeda") daripada mengakui bahwa Anda sedang melawan sistem yang tidak adil.
Sistem ini tidak hanya mendorong mereka keluar, tetapi juga membuat mereka merasa bahwa itu adalah kesalahan mereka sendiri. Pipa itu tidak hanya bocor; ia meracuni air yang tersisa di dalamnya.
Di Balik Sorotan Gender: Siapa yang Kita Lupakan?
Membaca laporan ini, saya merasakan dua hal sekaligus: kekaguman atas dalamnya analisis tentang gender, dan kekecewaan yang mendalam atas apa yang nyaris tidak dibahas. Fokus yang begitu intens pada satu isu, meskipun penting, telah menciptakan "titik buta" (blind spot) yang sangat besar.
Laporan ini sendiri dengan jujur mengakui bahwa area-area lain hanya "disebutkan secara singkat dalam beberapa laporan". Kelompok-kelompok yang terlupakan ini antara lain:
Pekerja dari berbagai kelompok usia.
Mereka yang memiliki keyakinan atau agama yang berbeda.
Individu neurodivergen.
Mereka dengan identitas non-biner.
Orang-orang dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung.
Isu-isu seputar pengasuhan anak dan keluarga.
Ini bukan sekadar kelalaian akademis. Ini mencerminkan prioritas industri. Jika sesuatu tidak diukur, ia tidak akan dikelola. Dengan tidak meneliti pengalaman kelompok-kelompok ini, industri secara efektif mengatakan bahwa masalah mereka kurang penting.
Gajah di Ruang Rapat: Kekuatan Interseksionalitas yang Terabaikan
Di sinilah letak masalah terbesarnya. Manusia tidak hidup dalam satu kategori identitas. Pengalaman kita dibentuk oleh persimpangan (intersection) dari berbagai identitas. Konsep ini disebut interseksionalitas.
Bayangkan seperti ini: interseksionalitas bukanlah seperti memilih topping pizza secara terpisah. Ini bukan masalah "Saya perempuan" DAN "Saya berasal dari etnis minoritas". Ini adalah tentang bagaimana kedua bahan itu berinteraksi saat dipanggang bersama, menciptakan rasa yang sama sekali baru dan unik—dan seringkali, rasa yang lebih pahit.
Laporan ini memberikan satu statistik yang begitu menohok hingga sulit dipercaya. Di industri teknologi, perempuan kulit hitam hanya mencakup kurang dari 1% dari total tenaga kerja pada tahun 2020.
Angka ini jauh lebih buruk daripada jika kita hanya menggabungkan statistik "perempuan di bidang teknologi" dan "orang kulit hitam di bidang teknologi". Ini menunjukkan adanya "efek pengganda" dari kerugian. Hambatan yang dihadapi oleh seorang perempuan kulit hitam bukanlah penjumlahan sederhana dari rasisme + seksisme. Ini adalah bentuk diskriminasi yang unik dan diperparah, yang tidak dialami oleh perempuan kulit putih atau laki-laki kulit hitam. Sistem ini tidak hanya menjumlahkan bias; ia melipatgandakannya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan, Mulai Hari Ini? Sebuah Peta Harapan
Meskipun gambaran yang disajikan terasa suram, laporan ini tidak meninggalkan kita tanpa harapan. Di antara analisis masalah, terselip bagian tentang "praktik yang menjanjikan" (promising practices)—kilasan cahaya yang bisa menjadi peta jalan ke depan.
🚀 Hasilnya luar biasa: Kita perlu fokus pada solusi praktis yang memberikan hasil nyata. Salah satu contoh terbaik adalah program "Returners", yang dirancang khusus untuk membantu para profesional (kebanyakan perempuan) yang mengambil jeda karir untuk kembali ke dunia kerja. Laporan menyebutkan bahwa sejak 2017, lebih dari 260 insinyur telah berhasil kembali bekerja melalui skema ini. Ini adalah cara konkret untuk menambal "pipa yang bocor" tadi.
🧠 Inovasinya: Kita harus bergerak melampaui intervensi yang dangkal. Selama bertahun-tahun, banyak perusahaan mengandalkan "pelatihan bias tidak sadar" (unconscious bias training). Namun, laporan ini menyoroti pergeseran ke arah yang lebih baik: "program inklusi sadar" (conscious inclusion). Perbedaannya sangat mendasar. Yang pertama adalah tentang menyadari bias Anda; yang kedua adalah tentang secara aktif mengubah perilaku, proses, dan sistem untuk melawan bias tersebut. Ini adalah lompatan dari kesadaran pasif ke tindakan yang disengaja.
💡 Pelajaran: Pelajaran terbesarnya adalah kita harus berhenti mencoba "memperbaiki" individu dari kelompok yang kurang terwakili dan mulai "memperbaiki" sistem di sekitar mereka. Inisiatif seperti "mentoring timbal balik" (reciprocal mentoring), di mana seorang pemimpin senior dipasangkan dengan karyawan junior dari latar belakang yang beragam, adalah contoh sempurna. Tujuannya bukan hanya agar si junior belajar dari senior, tetapi juga—dan ini yang lebih penting—agar si senior belajar tentang realitas pengalaman karyawan yang berbeda darinya.
Pelajaran-pelajaran ini menunjukkan bahwa kepemimpinan inklusif adalah sebuah keterampilan yang harus diasah, bukan sekadar niat baik. Untuk para pemimpin atau calon pemimpin yang ingin secara proaktif membangun kapabilitas ini, berinvestasi dalam pengembangan diri melalui(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi langkah praktis untuk mengubah wawasan menjadi tindakan.
Sebuah Panggilan, Bukan Sekadar Laporan
Pada akhirnya, laporan ini lebih dari sekadar kumpulan data; ini adalah sebuah panggilan untuk empati dan perubahan sistemik. Ini adalah cermin yang menunjukkan di mana kita telah berhasil dan, yang lebih penting, di mana kita telah gagal secara kolektif.
Rekomendasi utama dari laporan ini—seperti menggunakan pendekatan longitudinal untuk meneliti perjalanan karir seseorang dari waktu ke waktu, dan berkolaborasi dengan mitra komunitas untuk membangun talenta dari akar rumput—adalah sebuah permohonan untuk mengubah cara kita melihat masalah ini. Ini adalah permintaan untuk beralih dari melihat data sebagai potret sesaat ( snapshot) menjadi mendengarkan cerita yang berkembang seiring waktu. Ini adalah permintaan untuk menjadi lebih manusiawi dalam pendekatan kita.
Jadi, saya ingin meninggalkan Anda dengan sebuah ajakan. Lihatlah sekeliling Anda dalam rapat berikutnya. Siapa yang ada di ruangan itu? Siapa yang tidak ada? Dan yang terpenting, tanyakan pada diri sendiri: mengapa?
Jika tulisan ini membuat Anda berpikir, saya sangat mendorong Anda untuk menggali lebih dalam. Wawasan yang ada di dalamnya terlalu penting untuk diabaikan.
Riset & Akademik
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Saya masih ingat dengan jelas momen itu. Duduk di depan calon pembimbing, jantung berdebar kencang, saya mempresentasikan ide tesis yang sudah saya siapkan berbulan-bulan. Saya yakin sekali ide itu brilian, baru, dan yang terpenting—orisinal. Setelah selesai, beliau menatap saya, tersenyum tipis, dan melontarkan pertanyaan yang menghantui setiap mahasiswa pascasarjana di muka bumi: “Tapi, apa orisinalitasnya?”
Seketika, seluruh kepercayaan diri saya runtuh. Apa maksudnya? Bukankah ide ini belum pernah ada sebelumnya? Apa definisi “orisinal” yang beliau pakai? Apakah ada standar rahasia yang tidak saya ketahui? Malam itu saya tidak bisa tidur, dihantui perasaan bahwa saya adalah seorang penipu, seorang imposter yang mencoba masuk ke dunia akademik tanpa membawa apa-apa.
Jika cerita ini terasa akrab, kamu tidak sendirian. Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan sebuah paper penelitian karya Muhammad Shaheen dari tahun 2021 yang seolah-olah ditulis untuk menenangkan jiwa peneliti saya yang gelisah. Paper berjudul “The Concept of Originality in Academic Research of Engineering” ini seperti peta yang muncul di tengah hutan belantara kebingungan. Shaheen mengakui sejak awal bahwa konsep orisinalitas adalah subjek yang “kontroversial” dan bahkan “mistis” di kalangan akademisi.
Membaca kalimat itu saja sudah melegakan. Ternyata, bukan hanya saya yang bingung. Kebingungan ini adalah masalah sistemik. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajakmu berjalan-jalan menelusuri temuan-temuan kunci dari paper tersebut. Kita akan menerjemahkan bahasa akademisnya yang padat menjadi wawasan praktis yang bisa kita gunakan, entah kamu sedang menulis disertasi, merintis proyek inovatif di kantor, atau sekadar penasaran dengan cara kerja pengetahuan.
Hantu di Ruang Ujian: Mengapa "Orisinalitas" Begitu Sulit Dipahami
Masalah utamanya, menurut paper Shaheen, adalah orisinalitas itu sangat subjektif. Tidak ada definisi hitam-putih yang bisa dipegang semua orang. Bayangkan kamu diminta memasak hidangan “lezat” untuk panel juri. Masalahnya, setiap juri punya definisi rahasia tentang apa itu “lezat”. Juri A suka pedas, Juri B benci bawang putih, dan Juri C hanya makan makanan organik. Tanpa kriteria yang jelas, kamu hanya bisa menebak-nebak.
Begitulah rasanya evaluasi tesis. Penilaiannya sangat bergantung pada pandangan pribadi penguji, yang bisa berbeda dari satu orang ke orang lain, bahkan dari satu bidang ilmu ke bidang lain.
Ini bukan sekadar masalah kecemasan mahasiswa. Ambiguitas ini punya dampak nyata dan serius. Paper tersebut menyoroti bahwa penilaian orisinalitas menjadi “faktor keputusan kritis” untuk banyak hal: kelulusan tesis, hibah proyek penelitian, pendanaan, hingga pengangkatan jabatan akademik. Nasib karier seseorang bisa bergantung pada sebuah konsep yang definisinya saja masih diperdebatkan.
Di sinilah letak pencerahan terbesarnya bagi saya. Rasa cemas yang kita rasakan tentang orisinalitas bukanlah kegagalan pribadi atau sekadar imposter syndrome. Itu adalah respons yang sangat rasional terhadap sistem yang definisinya longgar dan taruhannya tinggi. Fakta bahwa paper ini ada—dan harus melakukan survei mendalam terhadap ratusan akademisi untuk mencari titik temu—adalah bukti bahwa masalah ini nyata, meluas, dan bersifat institusional, bukan personal.
Membangun Katedral Pengetahuan vs. Mendirikan Pabrik Profit: Dua Jalan Riset yang Berbeda
Untuk mulai mengurai benang kusut ini, Shaheen menyoroti satu pembedaan fundamental yang sering kita lupakan: perbedaan antara riset akademik dan riset industri. Saya suka membayangkannya sebagai analogi “Membangun Katedral Pengetahuan” versus “Mendirikan Pabrik Profit”.
Membangun Katedral (Riset Akademik) adalah pekerjaan yang berorientasi pada warisan. Tujuannya adalah untuk memajukan pengetahuan umat manusia. Setiap penelitian adalah sebuah batu bata yang ditambahkan pada fondasi atau struktur katedral, membuatnya lebih kokoh, lebih tinggi, dan lebih megah untuk generasi mendatang. Fokusnya adalah pada kontribusi terhadap “badan pengetahuan” (body of knowledge), dan evaluasinya dilakukan oleh sesama arsitek (rekan sejawat) yang peduli pada kebenaran teoretis.
Mendirikan Pabrik (Riset Industri), di sisi lain, berorientasi pada hasil. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi, menciptakan produk baru, dan menghasilkan keuntungan. Inovasi di sini diukur dari dampaknya di pasar. Evaluasinya bukan dari rekan sejawat, melainkan dari atasan, pelanggan, dan laporan laba-rugi.
Mengapa pembedaan ini krusial? Karena di sinilah letak sumber utama kebingungan, terutama di bidang teknik (engineering). Paper ini sengaja memfokuskan studinya pada bidang teknik karena satu alasan penting: teknik adalah “zona konflik” di mana kedua dunia ini bertemu dengan paling keras.
Seorang mahasiswa teknik dilatih untuk memecahkan masalah praktis yang sangat mirip dengan masalah industri. Mereka membuat aplikasi, merancang sistem yang lebih efisien, atau membangun prototipe. Namun, saat mereka menulis tesis atau disertasi, karya mereka yang terlihat seperti produk “pabrik” ini tiba-tiba dinilai dengan standar “katedral”. Paper ini menyatakan bahwa masalah riset di bidang teknik “sangat mirip dengan masalah riset industri”, yang membuatnya “satu langkah lebih sulit untuk membedakan konsep orisinalitas” di antara keduanya. Mahasiswa teknik terjebak dalam benturan budaya: mereka memecahkan masalah yang
terlihat industrial, tetapi harus membenarkannya dengan sistem nilai akademik murni, yaitu kontribusi pada fondasi teori.
Resep Rahasia Orisinalitas: Apa yang Sebenarnya Dicari Para Penguji?
Baiklah, kita sudah paham masalahnya. Sekarang, bagian yang paling ditunggu-tunggu: apa solusinya? Paper Shaheen tidak hanya mengeluh tentang masalah ini; ia mencoba mencari jawaban dengan menyurvei 638 akademisi dan pakar dari seluruh dunia. Dari data tersebut, kita bisa merumuskan semacam “resep rahasia” tentang apa yang dianggap orisinal dalam dunia akademik.
Ini Bukan Sekadar "Baru", Ini Tentang Kontribusi pada Fondasi
Standar emas orisinalitas akademik adalah “kontribusi pada badan pengetahuan” (contribution to the body of knowledge atau BoK). Ini adalah frasa yang sering diulang-ulang tapi jarang dijelaskan. Analogi yang paling pas adalah: orisinalitas akademik bukan tentang menambahkan satu bata baru di puncak tembok yang sudah tinggi. Orisinalitas adalah tentang menciptakan jenis bata baru atau menemukan cara baru menyusun bata yang membuat keseluruhan tembok menjadi lebih kuat atau memungkinkan pembangunan struktur yang sebelumnya tidak mungkin.
Berdasarkan survei dalam paper tersebut, inilah elemen-elemen yang paling diakui sebagai kontribusi orisinal :
🚀 Standar Emas: Kontribusi pada Body of Knowledge. Ini adalah syarat mutlak, terutama untuk level PhD. Paper ini menekankan bahwa kontribusi pada BoK adalah hal yang tidak bisa ditawar untuk sebuah gelar akademik.
🧠 Paling Diakui: Metode/Algoritma Baru. Data survei menunjukkan bahwa menciptakan sebuah metode, algoritma, atau prosedur baru yang sebelumnya tidak ada adalah jalan paling jelas menuju pengakuan orisinalitas. Mayoritas responden menganggap ini sebagai bentuk orisinalitas tertinggi.
💡 Wawasan Mengejutkan: Kesimpulan yang Unik. Kamu tidak harus selalu menciptakan metode baru. Sebuah penelitian yang menggunakan metode lama tapi menghasilkan kesimpulan yang unik, tak terduga, dan mencerahkan juga sangat dihargai sebagai karya orisinal. Ini membuka jalan alternatif bagi para peneliti.
🚧 Jebakan Umum: Apa yang Bukan Orisinal. Ini mungkin bagian terpenting. Para responden survei dengan tegas menolak beberapa hal sebagai karya orisinal untuk level doktoral: sebuah makalah survei (sekalipun komprehensif), sebuah aplikasi unik dari teori yang sudah ada, atau sebuah proyek tanpa komponen riset yang jelas. Sebagai contoh, 78% responden menolak gagasan bahwa sekadar membuat aplikasi baru bisa dianggap orisinal untuk disertasi PhD. Ini adalah peringatan penting bagi banyak mahasiswa.
Perbedaan S2 dan S3: Bukan Cuma Soal Tebal Halaman
Lalu, apa bedanya orisinalitas di level S2 (Master) dan S3 (Doktor)? Banyak yang mengira perbedaannya terletak pada kuantitas atau jumlah kerja. Namun, paper ini mengungkapkan nuansa yang lebih dalam: perbedaannya ada pada “granularitas dan kompleksitas”.
Saya akan jelaskan dengan analogi lain.
Tesis S2 (Master) itu seperti menggunakan mikroskop super canggih yang sudah ada untuk menemukan detail baru pada spesimen yang sudah dikenal. Kamu melakukan sebuah perpanjangan (extension), perbaikan, atau aplikasi cerdas dari alat yang ada.
Disertasi S3 (Doktor) itu seperti membangun jenis mikroskop baru yang memungkinkan seluruh komunitas ilmuwan melihat hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat. Kamu berkontribusi pada area filosofis atau fondasi dari ilmunya itu sendiri.
Jadi, perbedaannya bukan pada seberapa banyak yang kamu tulis, tapi pada seberapa dalam kamu mengubah cara kita memahami atau melakukan sesuatu di bidangmu.
Sedikit Kritik: Peta Ini Berguna, Tapi Ada Wilayah yang Masih Kabur
Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Kekuatan terbesar paper Shaheen adalah usahanya untuk mengganti opini subjektif dengan data sistematis. Ia berhasil memetakan konsensus di antara ratusan pakar. Namun, sebagai pembaca yang kritis, saya melihat ada beberapa wilayah yang masih sedikit kabur.
Pertama, bias disiplin. Fokus yang kuat pada bidang teknik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan kedalaman analisis. Di sisi lain, generalisasinya menjadi terbatas. Bagaimana definisi ini berlaku di bidang sosiologi, di mana “aplikasi unik” sebuah teori pada komunitas baru justru merupakan kontribusi utamanya? Atau di bidang sejarah, di mana “menafsirkan ulang materi yang ada” adalah salah satu bentuk orisinalitas tertinggi? Paper ini sendiri mengakui adanya perbedaan antar disiplin, namun tidak menjelajahinya lebih jauh.
Kedua, lingkaran setan subjektivitas. Meskipun paper ini berhasil mengukur apa yang dianggap orisinal oleh para pakar, ia tidak sepenuhnya memecahkan masalah akar dari subjektivitas itu sendiri. Pada akhirnya, evaluasi tetap kembali pada “penilaian rekan sejawat” (peer review) , yang pada dasarnya adalah proses manusiawi yang penuh variabel. Paper ini memberi kita peta konsensus, tapi tidak menciptakan GPS objektif yang bisa memberi tahu kita secara pasti apakah kita sudah sampai di tujuan.
Jadi, Apa yang Bisa Kamu Lakukan Besok?
Setelah semua analisis ini, apa pelajaran praktis yang bisa kita bawa pulang? Pesan utamanya adalah: “orisinalitas” bukanlah sambaran petir jenius yang magis. Ia adalah tentang memahami aturan main dan sistem nilai dari konteks di mana kamu berada.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa kamu ambil hari ini, baik untuk proyek tesis maupun pekerjaanmu:
Lakukan Audit Diri: Tanyakan pada dirimu: Apakah ideku ini sedang “membangun katedral” (menambah fondasi pengetahuan) atau “mendirikan pabrik” (menciptakan aplikasi yang efisien)? Keduanya sangat berharga, tapi hanya yang pertama yang akan lolos ujian orisinalitas akademik.
Ubah Pertanyaanmu: Alih-alih bertanya, “Apakah ide ini 100% baru?”, cobalah bertanya, “Kontribusi apa yang dimungkinkan oleh karyaku, yang sebelumnya tidak mungkin atau tidak terpikirkan? Apakah ia membuka pintu baru untuk penelitian selanjutnya?”
Memahami teori ini adalah satu hal, tapi mengeksekusinya adalah hal lain. Jika kamu ingin mengasah kemampuan riset praktismu untuk memastikan idemu bisa diartikulasikan sebagai kontribusi yang solid, mengikuti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang terstruktur.
Paper ini tidak memberikan semua jawaban, tapi ia memberikan kita pertanyaan yang jauh lebih baik. Ia memberi kita kosakata untuk mendiskusikan sesuatu yang sebelumnya terasa seperti hantu di lorong kampus. Ia mengubah kecemasan personal menjadi tantangan intelektual yang bisa kita pecahkan bersama.
Kalau kamu merasa tercerahkan (atau justru makin tertantang), saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya dan membentuk opinimu sendiri. Perdebatan tentang jiwa sebuah karya ini masih jauh dari selesai.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Konduktor dalam Orkestra Beton
Mari kita luruskan satu hal: manajer konstruksi bukanlah sekadar mandor dengan topi proyek. Bayangkan sebuah orkestra simfoni. Cetak biru (blueprint) adalah partitur musiknya. Subkontraktor—tim listrik, tim pipa, tim pondasi—adalah seksi-seksi orkestra yang berbeda: biola, perkusi, tiup. Klien adalah penonton yang menantikan sebuah mahakarya.
Di tengah semua itu, berdirilah sang konduktor: manajer konstruksi.
Tugasnya bukan hanya membaca partitur. Ia harus menafsirkannya, mengatur tempo, memastikan setiap pemain tampil harmonis, dan mengubah tumpukan notasi di atas kertas menjadi musik yang menggugah jiwa. Disertasi ini mendefinisikan peran tersebut sebagai perpaduan antara "konsep rekayasa dengan manajemen proyek dan keterampilan manajemen manusia" yang terjadi dalam "lingkungan yang agak tidak terduga di mana kesulitan teknis dan organisasi terjadi secara teratur".
Ini bukan orkestra biasa. Industri konstruksi adalah mesin ekonomi raksasa, menyumbang sekitar 9% dari PDB Uni Eropa dan mempekerjakan 18 juta orang secara langsung. Jadi, ketika sang konduktor membuat kesalahan, dampaknya bukan hanya nada sumbang, tapi bisa berupa kerugian finansial besar, jadwal yang berantakan, dan yang paling mengerikan, keselamatan jiwa manusia.
Dua Wajah Kepemimpinan di Atas Kawat
Bagian paling mencekam dari disertasi ini adalah ketika ia menghubungkan gaya kepemimpinan seorang manajer secara langsung dengan keselamatan fisik timnya. Ini bukan lagi soal teori manajemen di buku teks; ini soal hidup dan mati. Data yang disajikan sangat gamblang: grafik kecelakaan kerja fatal di sektor konstruksi Portugal selama dua dekade menunjukkan taruhan yang sangat tinggi (Gambar 4.1). Setiap batang dalam grafik itu adalah nyawa.
Penelitian ini membedah dua gaya kepemimpinan yang kontras, dan dampaknya sangat berbeda.
Wajah Pertama: Sang Pemimpin Transformasional
Ini bukan tentang menjadi pahlawan super. Kepemimpinan transformasional, menurut disertasi ini, adalah tentang perilaku spesifik yang menginspirasi, bukan memerintah. Ada empat elemen kuncinya, yang dijuluki "Empat I" (Gambar 4.6). Mari kita terjemahkan ke dalam bahasa manusia:
Pengaruh yang Diidealkan (Jadi Panutan): Ini adalah tentang menjadi pemimpin yang orang ingin ikuti. Manajer yang tidak hanya menyuruh pakai helm, tapi helmnya sendiri selalu terpasang paling benar. Ia berjalan sesuai ucapannya, setiap saat.
Motivasi Inspirasional (Memberi Visi Bersama): Ini adalah kemampuan melukiskan gambaran besar. Bukan sekadar, "Kita harus selesaikan dinding ini," tapi, "Kita sedang membangun rumah untuk sebuah keluarga, dan kita akan melakukannya dengan bangga tanpa satu pun cedera."
Stimulasi Intelektual (Mendorong Tim Berpikir): Ini adalah tentang memberdayakan tim. Bertanya kepada kru, "Bagaimana cara kita mengangkat balok ini dengan lebih aman?" alih-alih hanya meneriakkan perintah. Ini menghargai otak mereka, bukan hanya otot mereka.
Pertimbangan Individual (Melihat Tim sebagai Manusia): Ini adalah tentang mengenali bahwa tim Anda terdiri dari manusia, bukan robot. Menyadari ketika seorang pekerja tampak linglung dan bertanya apakah ia baik-baik saja, karena pekerja yang terganggu adalah risiko keselamatan.
Gaya kepemimpinan ini menciptakan budaya di mana keselamatan menjadi tanggung jawab bersama.
🚀 Hasilnya: Disertasi ini berargumen bahwa gaya kepemimpinan ini secara langsung terkait dengan kinerja keselamatan yang lebih baik. Tim tidak hanya mengikuti aturan karena takut hukuman, tapi karena mereka peduli pada satu sama lain.
🧠 Inovasinya: Fokusnya bergeser dari sekadar menegakkan aturan (transaksional) menjadi menanamkan komitmen bersama terhadap keselamatan (transformasional).
💡 Pelajaran: Keselamatan sejati bukanlah daftar periksa; itu adalah pola pikir yang ditumbuhkan dari atas ke bawah.
Wajah Kedua: Sang Pemimpin Pasif-Menghindar
Kontrasnya sangat tajam. Disertasi ini juga mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang merusak: pasif-menghindar. Ini bukan tentang manajer yang jahat, tapi manajer yang "tidak hadir"—sebuah kekosongan kepemimpinan yang berbahaya. Contoh dari studi observasi yang dikutip sangat jelas: manajer yang menunda-nunda keputusan, tidak pernah memberi umpan balik, atau lebih buruk lagi, bercanda tentang kondisi kerja yang tidak aman.
Di sinilah saya menemukan salah satu temuan paling penting. Industri ini menuntut keterampilan kepemimpinan elite untuk menjaga keselamatan, namun jalur pendidikan untuk para manajer ini hampir secara eksklusif berfokus pada teknik rekayasa. Dalam studi kasus disertasi, seorang manajer secara eksplisit mengeluhkan kurangnya mata kuliah formal tentang "pengarahan kerja" di tingkat universitas. Ketika diminta mendefinisikan pekerjaan mereka, para manajer menyebutkan keterampilan lunak seperti "mengelola manusia/ego" dan "manajemen konflik," bukan hanya perhitungan teknis.
Ini menciptakan situasi di mana para manajer menjadi "pemimpin dadakan," diharapkan memiliki seperangkat keterampilan yang tidak pernah diajarkan secara formal. Kemampuan mereka untuk menjaga orang tetap aman diserahkan pada kepribadian bawaan atau proses trial-and-error yang penuh tekanan di lapangan. Ini adalah kerentanan sistemik untuk industri berisiko tinggi.
Hantu dalam Mesin: Harga Kemanusiaan di Balik Pembangunan Dunia
Yang paling mengejutkan saya dalam penelitian ini bukanlah kompleksitas proyeknya, tetapi beratnya tanggung jawab. Disertasi ini melukiskan gambaran yang jelas tentang lingkungan bertekanan tinggi, tetapi suara para manajer sendirilah yang benar-benar menghidupkan harga kemanusiaan yang harus dibayar.
Penelitian ini memetakan berbagai sumber stres secara akademis—seperti ambiguitas peran, beban kerja berlebih, dan tanggung jawab atas orang lain (Gambar 4.7). Namun, data ini menjadi nyata ketika disandingkan dengan tantangan yang dikutip oleh para manajer dalam kuesioner: "tekanan konstan," "manajemen subkontraktor," dan "manajemen personel". Tumpang tindihnya hampir sempurna.
Di sinilah saya merasa perlu memberikan sedikit kritik halus. Meskipun disertasi ini sangat baik dalam mengidentifikasi para stresor, ia tidak melangkah lebih jauh untuk mengeksplorasi solusi sistemik. Respons para manajer semuanya tentang ketahanan individu—"keberanian," "ketenangan," "akal sehat." Tidak ada penyebutan tentang dukungan kesehatan mental dari perusahaan, program bimbingan terstruktur, atau upaya untuk mengurangi akar penyebab stres. Ini mengungkap budaya yang mengagungkan individu yang "tahan banting", mungkin dengan biaya jangka panjang yang signifikan bagi orang tersebut dan proyeknya.
Ini membawa kita pada lingkaran setan. Masalah proyek (penundaan, kualitas buruk) dan kelelahan manajer bukanlah dua isu terpisah; mereka adalah sebuah siklus umpan balik negatif yang saling menguatkan. Sumber-sumber inefisiensi proyek—seperti "masalah personel," "komunikasi yang loyo," dan "masalah peralatan"—adalah penyebab langsung stres manajer. Seorang manajer yang kewalahan oleh stres menjadi kurang mampu berkomunikasi secara efektif dan memecahkan masalah secara proaktif, yang pada gilirannya memperburuk masalah di lapangan, yang kemudian meningkatkan stresnya. Industri ini tidak dapat menyelesaikan masalah efisiensinya tanpa terlebih dahulu mengatasi kesejahteraan para pemimpinnya.
Cetak Biru untuk Pembangun yang Lebih Baik
Setelah memaparkan tantangan-tantangan tersebut, disertasi ini memberikan panggung kepada para ahli di lapangan. Dan apa yang mereka katakan adalah cetak biru yang jelas untuk masa depan profesi ini. Saran-saran mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga tema utama :
Pendidikan yang Lebih Baik: Ada seruan yang jelas untuk mata kuliah universitas yang didedikasikan khusus untuk manajemen lapangan. Ini secara langsung mengatasi masalah "Pemimpin Dadakan" yang kita bahas sebelumnya.
Proses & Alat yang Lebih Baik: Ada keinginan untuk fase desain yang lebih terintegrasi (menggunakan alat seperti BIM, yang juga disebutkan dalam disertasi ), proyek yang lebih terstandardisasi, dan alur kerja yang lebih jelas. Ini adalah upaya untuk merekayasa kekacauan keluar dari proses.
Budaya yang Lebih Baik: Tuntutan untuk otonomi yang lebih besar, gaji yang lebih baik, dan jam kerja yang diatur menunjukkan kebutuhan untuk memperlakukan manajemen konstruksi sebagai karier profesional berketerampilan tinggi, setara dengan bidang-bidang menantang lainnya, bukan sekadar sebuah pekerjaan kasar.
Semua saran ini menunjuk pada sebuah paradoks sentral dalam pekerjaan ini. Di satu sisi, manajer terikat oleh jaringan padat kode hukum dan kontrak publik yang kaku (seperti CCP dan RJUE yang dijelaskan dalam disertasi). Di sisi lain, mereka harus beroperasi dalam lingkungan "tak terduga" yang menuntut solusi "instan". Mereka meminta "otonomi dan kekuatan pengambilan keputusan yang lebih besar" justru karena mereka seringkali merasa terkekang.
Tantangan inti dari pekerjaan ini adalah menavigasi paradoks tersebut. Sukses bukan hanya tentang mengikuti aturan atau hanya tentang berimprovisasi; ini tentang mengetahui cara melakukan keduanya secara bersamaan.
Disertasi ini dimulai sebagai sebuah penyelidikan akademis tetapi berakhir menjadi sebuah kisah yang sangat manusiawi. Ia menunjukkan bahwa fondasi dari setiap bangunan hebat bukanlah sekadar beton, tetapi kesejahteraan, pelatihan, dan kepemimpinan orang yang bertanggung jawab. Tantangannya sangat besar, tetapi jalan ke depan sudah jelas: kita perlu membangun para pembangun kita dengan kepedulian dan presisi yang sama seperti yang kita gunakan untuk membangun gedung pencakar langit kita.
Jika Anda tertarik dengan persimpangan antara psikologi manusia dan manajemen proyek berisiko tinggi, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Dan jika Anda siap untuk membangun keterampilan kepemimpinan Anda sendiri, lihatlah kursus manajemen proyek di Diklatkerja.
Karier & Pengembangan Diri
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Prolog: Ilusi Kesempurnaan Seorang Insinyur
Kita semua punya gambaran yang sama tentang seorang insinyur. Sosok brilian yang merancang jembatan megah, menulis kode yang menjalankan aplikasi favorit kita, atau membangun mesin yang merevolusi industri. Mereka adalah para pencipta, arsitek dari dunia modern. Kita membayangkan mereka menguasai setiap detail dari konsepsi hingga implementasi—sebuah proses penciptaan yang nyaris sempurna.
Tapi, bagaimana jika ada satu bab penting yang hilang dari buku panduan mereka? Bagaimana jika para pencipta ulung ini diajarkan segalanya tentang cara membangun, tapi hampir tidak ada sama sekali tentang cara merawat apa yang telah mereka bangun? Ini bukan sekadar pertanyaan retoris. Ini adalah sebuah kegelisahan yang sudah lama saya rasakan, terutama saat melihat betapa dunia kita terobsesi dengan hal-hal baru, peluncuran produk spektakuler, dan inovasi yang disruptif, sementara kita sering kali abai pada keberlanjutan, efisiensi jangka panjang, dan seni merawat apa yang sudah ada.
Kegelisahan ini menemukan wujudnya saat saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian karya Mirka Kans dari Linnaeus University, Swedia. Judulnya terdengar akademis:
“A Study of Maintenance-Related Education in Swedish Engineering Programs”. Namun, isinya jauh dari kata kering. Membacanya terasa seperti menemukan sebuah kunci yang membuka ruang rahasia, mengungkap sebuah kebenaran tersembunyi yang selama ini hanya bisa saya rasakan. Paper ini memberikan data dan bukti atas sebuah celah fundamental dalam cara kita mendidik para pembangun masa depan.
Angka yang Membuat Saya Terdiam: Temuan Inti dari Studi di Swedia
Hal pertama yang membuat saya terkejut adalah lokasi penelitiannya: Swedia. Sebuah negara yang identik dengan presisi, kualitas, dan keunggulan rekayasa. Jika ada celah di sana, kemungkinan besar celah yang sama—atau bahkan lebih besar—ada di tempat lain. Studi ini bukan main-main. Kans menganalisis secara mendalam 242 program teknik—123 program Sarjana Teknik (Bachelor of Engineering) dan 119 program Magister Teknik (Master of Engineering). Ini adalah potret komprehensif dari sebuah sistem pendidikan teknik yang dihormati dunia.
Hasilnya? Cukup untuk membuat Anda berhenti sejenak dan berpikir ulang.
Hanya 1 dari 10 Insinyur yang Siap
Temuan utamanya begitu gamblang: dari ratusan program yang diteliti, hanya 12% yang menyertakan satu atau lebih mata kuliah terkait maintenance (perawatan), baik itu wajib maupun pilihan. Mari kita terjemahkan angka ini ke dalam bahasa manusia. Artinya, untuk setiap sepuluh insinyur yang lulus dengan bangga memegang ijazah mereka, kemungkinan hanya satu orang yang pernah secara formal diajari cara menjaga agar ciptaan mereka tetap berjalan efisien, andal, dan berkelanjutan sepanjang siklus hidupnya. Sembilan lainnya mungkin dilepas ke dunia kerja dengan pemahaman yang parsial—ahli dalam menciptakan, tapi amatir dalam memelihara.
Beberapa poin kunci dari temuan ini benar-benar membuka mata:
🚀 Fakta Mengejutkan: Dari 242 program teknik yang dianalisis, hanya segelintir (12%) yang merasa perlu untuk memasukkan kurikulum perawatan. Ini menunjukkan bahwa maintenance belum dianggap sebagai kompetensi inti seorang insinyur modern.
🧠 Semakin Tinggi Jenjang, Semakin Renggang: Ironisnya, kesenjangan ini semakin parah di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Di tingkat Magister (S2), hanya 4% program yang mewajibkan mata kuliah maintenance. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat Sarjana (S1) yang mencapai 15%.
💡 Pelajaran Awal: Ada diskoneksi yang nyata antara apa yang dibutuhkan industri dan masyarakat (sistem yang andal, berkelanjutan, dan efisien secara operasional) dengan apa yang diprioritaskan oleh dunia akademik dalam mencetak para insinyur.
Fakta kedua di atas adalah yang paling mengganggu saya. Paper ini menjelaskan bahwa di Swedia, lulusan Sarjana Teknik sering kali menempati posisi level supervisor, sementara lulusan Magister Teknik dipersiapkan untuk posisi manajerial. Jika kita sandingkan fakta ini dengan data temuan, sebuah pola yang mengkhawatirkan muncul. Orang-orang yang dididik untuk menjadi pemimpin strategis dan pengambil keputusan di masa depan justru adalah kelompok yang paling sedikit mendapatkan bekal pengetahuan tentang manajemen aset jangka panjang.
Ini menciptakan sebuah "celah kompetensi manajerial" yang sistemik. Kita berisiko mencetak satu generasi manajer dan direktur yang melihat maintenance bukan sebagai pendorong nilai strategis, melainkan sekadar pusat biaya reaktif yang harus ditekan. Dampaknya bisa sangat luas: perusahaan merancang produk yang sulit atau mustahil diperbaiki, pemerintah kota kekurangan dana untuk merawat infrastruktur vital, dan industri gagal mencapai target keberlanjutan karena para pemimpinnya tidak memiliki kosakata atau kerangka berpikir untuk memprioritaskan perawatan.
Di Balik Kurikulum: Bukan Sekadar Ada atau Tiada, Tapi Apa Isinya
Mungkin Anda berpikir, "Baiklah, mungkin hanya 12%, tapi setidaknya ada." Sayangnya, ceritanya tidak sesederhana itu. Ketika Kans menggali lebih dalam, ia menemukan bahwa keberadaan mata kuliah maintenance tidak selalu menjamin pemahaman yang komprehensif. Ini seperti memiliki buku panduan wisata yang hanya menjelaskan bandara-bandara di sebuah negara, tanpa pernah membahas kota, budaya, atau destinasi wisatanya.
Ketika "Maintenance" Hanya Menjadi Catatan Kaki
Studi ini mengungkap bahwa bahkan ketika topik perawatan diajarkan, sering kali porsinya sangat minim. Beberapa mahasiswa mungkin hanya mendapatkan materi senilai "kurang dari satu SKS" dalam satu mata kuliah penuh. Topik krusial ini sering kali hanya menjadi selipan, catatan kaki dalam silabus yang lebih besar tentang manajemen produksi atau kualitas.
Lebih jauh lagi, pembelajarannya pun terfragmentasi. Analisis konten terhadap 36 mata kuliah terkait maintenance yang berhasil diidentifikasi menunjukkan bahwa sepertiganya (33%) hanya mencakup satu kategori pengetahuan perawatan. Topik yang paling umum adalah "Teknik Perawatan" (
Maintenance Engineering)—aspek teknis tentang "bagaimana cara memperbaiki sesuatu". Namun, topik ini sering kali diajarkan secara terpisah dari konteks vital lainnya seperti "Manajemen dan Organisasi", "Ekonomi dan Kontrak Perawatan", atau "Manajemen Aset dan Siklus Hidup".
Meskipun temuan ini sangat kuat, kita harus adil. Analisisnya yang berbasis silabus mungkin belum menangkap pengetahuan maintenance yang diajarkan secara implisit di mata kuliah lain. Namun, ketiadaan mata kuliah khusus yang mengintegrasikan aspek teknis, manajerial, dan ekonomi dari perawatan tetap menjadi sinyal bahaya yang jelas. Ini seperti mengajarkan seorang koki cara memotong sayuran dengan presisi tinggi, tetapi tidak pernah mengajarkan cara merancang menu, mengelola anggaran dapur, atau memahami nutrisi. Anda mungkin mendapatkan teknisi yang andal, tetapi bukan seorang ahli strategi kuliner.
Fragmentasi ini mencerminkan bias budaya yang lebih dalam di dunia pendidikan teknik: sebuah budaya yang mengagungkan penciptaan di atas pemeliharaan. Kerangka kerja pendidikan teknik modern seperti CDIO (Conceive-Design-Implement-Operate) secara eksplisit menyebutkan "Operasi" sebagai fase kunci. Namun, temuan studi ini seolah menunjukkan bahwa dunia akademik sangat fokus pada tiga fase pertama—Konsepsi, Desain, Implementasi—dan cenderung mengabaikan fase 'O', yang notabene merupakan fase terpanjang dan sering kali paling mahal dalam siklus hidup sebuah sistem. Budaya akademik ini berisiko menghasilkan insinyur yang merasa pekerjaan mereka "selesai" begitu produk diluncurkan, melanggengkan budaya "pakai-buang" yang kita lihat pada gawai elektronik, dan berkontribusi pada proyek-proyek infrastruktur raksasa yang biayanya membengkak saat fase operasional.
Secercah Harapan: Dua Program yang Berani Berbeda
Di tengah gambaran yang agak suram ini, studi Kans menemukan secercah harapan. Ada dua program Sarjana Teknik yang tidak hanya memasukkan maintenance ke dalam kurikulum mereka, tetapi menjadikannya sebagai spesialisasi utama. Program-program ini bukan sekadar anomali; mereka adalah cetak biru tentang bagaimana pendidikan teknik seharusnya berevolusi.
Belajar dari Mereka yang Melakukannya dengan Benar
Apa yang membuat kedua program ini begitu istimewa? Mereka tidak hanya "menambahkan mata kuliah perawatan". Mereka membangun sebuah filosofi pendidikan yang berbeda dari awal, yang didasarkan pada tiga pilar utama:
Kolaborasi Industri yang Erat: Kedua program ini dikembangkan "dalam kolaborasi erat dengan industri". Ini memastikan bahwa kurikulum yang diajarkan relevan, praktis, dan benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan. Mereka tidak mengajar di dalam menara gading, melainkan membangun jembatan langsung ke dunia kerja.
Fokus pada Teknologi Modern: Kurikulum mereka jauh dari citra maintenance yang kuno dan kotor. Mereka mengintegrasikan topik-topik mutakhir seperti "Industri 4.0", "teknologi sensor", "analisis big data", dan "eMaintenance"—mencakup seluruh proses dari akuisisi data hingga pengambilan keputusan. Mereka mendidik insinyur perawatan untuk era digital.
Keberlanjutan sebagai DNA: Aspek keberlanjutan tidak hanya menjadi satu mata kuliah, tetapi ditenun ke dalam berbagai pelajaran, menghubungkan secara langsung antara praktik perawatan yang baik dengan umur panjang aset, efisiensi sumber daya, dan dampak lingkungan yang positif.
Keberhasilan dua program ini membuktikan satu hal penting: masalahnya bukan karena maintenance tidak penting. Masalahnya adalah adanya diskoneksi antara dunia akademik dan kebutuhan industri. Paper ini menyebutkan adanya "minat industri yang kuat terhadap pelatihan dan pendidikan perawatan". Namun, secara umum, dunia akademik gagal memenuhinya. Dua program yang berhasil ini adalah pengecualian yang membuktikan aturannya: ketika kolaborasi dengan industri menjadi fondasi, pendidikan yang relevan dan berdampak akan lahir.
Pelajaran untuk Kita Semua (dan Apa yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini)
Mungkin Anda bukan seorang insinyur. Mungkin Anda bekerja di bidang pemasaran, keuangan, atau sumber daya manusia. Lantas, mengapa cerita tentang pendidikan teknik di Swedia ini penting bagi Anda? Karena prinsip di baliknya bersifat universal. Celah yang diungkap oleh studi ini adalah cerminan dari bias kita bersama terhadap "peluncuran" ketimbang "pemeliharaan".
Mengatur Karier Anda Seperti Insinyur Perawatan Terbaik
Bayangkan jika Anda memperlakukan karier, proyek, atau bahkan keahlian Anda seperti yang diajarkan dalam program maintenance terbaik ini. Kita semua terobsesi dengan 'peluncuran'—proyek baru, pekerjaan baru, sertifikasi baru. Tapi seberapa sering kita memiliki 'rencana perawatan' untuk apa yang sudah kita miliki? Rencana untuk meninjau secara berkala, mengoptimalkan, dan memastikan keberlanjutan jangka panjang dari aset terpenting kita: kompetensi kita sendiri.
Peneliti dalam paper ini menyoroti bahwa salah satu penghambat adopsi pendidikan perawatan yang lebih luas adalah kurangnya materi pembelajaran yang mudah diakses dan siap pakai bagi para pengajar. Ini adalah masalah yang tidak hanya ada di Swedia, tapi di seluruh dunia, dan tidak hanya di bidang teknik. Di era digital ini, kita beruntung memiliki jembatan untuk mengisi kesenjangan kompetensi itu. Platform seperti kursus online di
(https://diklatkerja.com) menjadi krusial, memungkinkan para profesional untuk proaktif 'merawat' dan meningkatkan keahlian mereka, terlepas dari apa yang mungkin mereka lewatkan di pendidikan formal. Ini adalah cara kita melakukan preventive maintenance pada karier kita, memastikan kita tetap relevan dan andal di tengah perubahan zaman.
Epilog: Menjadi Bagian dari Solusi, Bukan Masalah
Pada akhirnya, fokus pada maintenance bukan hanya tentang memperbaiki barang yang rusak. Ini adalah tentang sebuah pola pikir: pola pikir kepengurusan (stewardship), keberlanjutan, dan penciptaan nilai jangka panjang. Ini adalah tentang memahami bahwa tindakan terbesar dari inovasi bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dari nol, melainkan memperpanjang umur, meningkatkan efisiensi, dan memaksimalkan potensi dari apa yang sudah ada.
Saya mengajak Anda untuk melihat sekeliling, di bidang pekerjaan Anda sendiri. Di mana Anda melihat "celah perawatan" ini? Di mana fokusnya terlalu berat pada peluncuran dan terlalu ringan pada siklus hidup? Bagaimana Anda bisa mulai menjadi agen perubahan yang memperjuangkan perspektif jangka panjang di tim atau organisasi Anda?
Cerita yang saya bagikan di sini hanyalah puncak gunung es dari sebuah penelitian yang kaya akan data dan nuansa. Jika Anda tertarik untuk mendalami metodologi, analisis, dan implikasi penuh dari temuan yang membuka mata ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 30 September 2025
Tinjauan Kritis dan Agenda Riset: Membedah Hambatan Keselamatan Kerja pada Proyek Infrastruktur di Jalur Gaza
Penelitian oleh Yazan Issa Abu Aisheh dan rekan-rekannya, "Barriers of Occupational Safety Implementation in Infrastructure Projects: Gaza Strip Case," menyajikan sebuah analisis empiris yang krusial mengenai tantangan implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam konteks yang unik dan penuh tekanan.[1] Berlokasi di Jalur Gaza, sebuah wilayah yang ditandai oleh "kelangkaan sumber daya finansial," "kepadatan distribusi populasi," dan tantangan geopolitik yang signifikan, studi ini melampaui sekadar analisis keselamatan konstruksi konvensional.[1] Ia berfungsi sebagai studi kasus tentang manajemen K3 di bawah kondisi kendala ekstrem yang persisten. Urgensi temuan ini diperkuat oleh data global yang dikutip dalam paper, di mana kecelakaan kerja berdampak pada 4% PDB dunia—sebuah beban yang secara eksponensial lebih merusak bagi ekonomi rapuh seperti di Gaza.[1] Dengan demikian, temuan dari lingkungan "uji stres" ini menawarkan wawasan yang berharga dan dapat diterapkan di wilayah berkembang atau terdampak konflik lainnya yang menghadapi tantangan serupa.
Laporan ini menyajikan tinjauan kritis terhadap penelitian tersebut, membedah alur logis temuannya, mengidentifikasi kontribusi utamanya, serta menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi arah riset masa depan. Tujuannya adalah untuk menyusun agenda riset yang terstruktur dan dapat ditindaklanjuti, yang dirancang khusus untuk komunitas akademik, para peneliti, dan lembaga pemberi dana hibah.
Analisis Kritis dan Alur Logis Temuan Penelitian
Fondasi metodologis penelitian ini dibangun di atas pendekatan kuantitatif yang solid. Sebuah kuesioner yang terdiri dari 39 item hambatan, yang divalidasi melalui tinjauan literatur dan survei percontohan, didistribusikan kepada 132 responden yang terdiri dari 36 konsultan dan 96 kontraktor di lima kegubernuran di Jalur Gaza.[1] Penggunaan Relative Importance Index (RII) sebagai alat analisis utama memungkinkan para peneliti untuk menyusun peringkat hambatan secara hierarkis, memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkat keparahan masing-masing hambatan seperti yang dipersepsikan oleh para praktisi di lapangan.
Penelitian ini secara logis mengelompokkan temuannya ke dalam tiga domain utama: hambatan kebijakan keselamatan, hambatan manajemen, dan hambatan perilaku & budaya. Alur narasi temuan bergerak dari level makro (kebijakan) ke level meso (manajemen proyek) dan akhirnya ke level mikro (individu dan tim).
Pada domain hambatan kebijakan keselamatan, temuan yang paling menonjol adalah "Kontraktor yang berkomitmen pada program keselamatan kerja tidak diberi penghargaan," yang menempati peringkat pertama dengan RII gabungan 0.697.[1] Temuan ini bukan sekadar fakta terisolasi; ia merupakan bukti dari kegagalan sistemik dalam struktur insentif industri konstruksi di Gaza. Tanpa adanya penguatan positif (penghargaan), komitmen terhadap K3 dianggap sebagai biaya tambahan, bukan investasi.
Selanjutnya, pada domain hambatan manajemen, fokus beralih ke tingkat proyek. Hambatan dengan peringkat tertinggi adalah "Insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang signifikan, seperti menghentikan pekerjaan bila diperlukan," dengan RII gabungan yang sangat tinggi, yaitu 0.718.[1] Hal ini mengindikasikan adanya pemutusan kritis antara tanggung jawab dan otoritas. Seorang insinyur keselamatan mungkin bertanggung jawab atas K3 di lapangan, tetapi tanpa wewenang untuk menegakkan aturan secara tegas, perannya menjadi tidak efektif.
Pada domain hambatan perilaku dan budaya, analisis menyentuh level individu dan tim kerja. Hambatan teratas adalah "Pekerja yang tidak berkomitmen pada keselamatan kerja tidak dikeluarkan/diberi sanksi," yang juga memiliki RII gabungan 0.718.[1] Ini menunjuk pada runtuhnya akuntabilitas dan penegakan aturan di tingkat paling dasar, menciptakan lingkungan di mana perilaku tidak aman ditoleransi.
Salah satu aspek paling kuat dari penelitian ini adalah "konvergensi pandangan yang kuat" antara konsultan dan kontraktor, dua kelompok yang secara tradisional sering memiliki prioritas yang saling bersaing.[1] Analisis korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dalam pandangan mereka, misalnya pada kelompok hambatan manajemen (koefisien korelasi 0.550 dengan p-value 0.012).[1] Kesepakatan ini bukanlah sekadar observasi statistik. Ini adalah indikator yang kuat tentang betapa parah dan meresapnya masalah K3 di wilayah tersebut. Biasanya, kontraktor (yang berfokus pada biaya dan jadwal) dan konsultan (yang berfokus pada kualitas dan kepatuhan) mungkin saling menyalahkan atas masalah proyek. Fakta bahwa mereka sangat setuju mengenai hambatan utama menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah soal perspektif atau konflik antarpihak, melainkan masalah yang bersifat sistemik dan struktural, yang telah tertanam dalam tatanan industri konstruksi Gaza.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari penelitian ini terletak pada tiga area. Pertama, ia menyediakan kerangka kerja hambatan K3 yang divalidasi secara empiris dan spesifik secara kontekstual untuk proyek infrastruktur di lingkungan yang terbatas sumber daya.[1] Daftar 39 hambatan ini menjadi dasar (baseline) yang sangat penting untuk penelitian atau intervensi kebijakan di masa depan, baik di Gaza maupun di wilayah lain dengan karakteristik serupa.
Kedua, penelitian ini menunjukkan ketelitian metodologis yang kuat. Instrumen kuesionernya menunjukkan validitas internal yang tinggi (p-value < 0.05 untuk semua item) dan reliabilitas yang sangat baik (Cronbach's Alpha total 0.911, dengan setiap dimensi di atas 0.7).[1] Hal ini menjadikan instrumen tersebut sebagai alat yang dapat digunakan kembali dan diadaptasi untuk penelitian di konteks lain, meningkatkan potensi komparabilitas studi lintas negara.
Ketiga, dan yang paling signifikan secara analitis, data yang disajikan memungkinkan sintesis dari apa yang dapat disebut sebagai "Tiga Serangkai Ketidakberdayaan" (Powerlessness Triad). Tiga hambatan peringkat teratas—tidak ada penghargaan (kebijakan), tidak ada wewenang (manajemen), dan tidak ada sanksi (perilaku)—bukanlah isu-isu yang independen. Mereka membentuk sebuah siklus kegagalan sistemik yang saling menguatkan di semua tingkatan hierarki K3. Di tingkat kebijakan, tidak ada penguatan positif. Di tingkat manajemen proyek, tidak ada agen yang berdaya untuk menegakkan aturan. Dan di tingkat individu, tidak ada konsekuensi negatif untuk tindakan tidak aman. Kombinasi ini menciptakan "budaya impunitas" di mana sistem secara inheren terstruktur untuk mengesampingkan K3. Kontribusi paper ini bukan hanya mengidentifikasi tiga titik ini, tetapi menyediakan data yang, ketika disintesis, mengungkapkan kerusakan sistemik yang saling terkait ini.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru menjadi landasan kuat untuk penelitian lanjutan. Pertama adalah cakupan pemangku kepentingan yang terbatas. Studi ini secara eksklusif berfokus pada konsultan dan kontraktor.[1] Hal ini mengabaikan perspektif dari dua kelompok yang sangat penting: pemilik proyek/klien (yang menetapkan anggaran dan persyaratan kontrak) dan para pekerja itu sendiri (yang paling terdampak langsung oleh kegagalan K3). Ini membuka pertanyaan penelitian yang mendasar: Apakah pemilik proyek dan pekerja mempersepsikan hambatan-hambatan ini dengan prioritas yang sama?
Kedua adalah sifat data yang kuantitatif. Penelitian ini sangat baik dalam mengidentifikasi apa saja hambatannya dan seberapa penting peringkatnya. Namun, ia tidak dapat menjelaskan mengapa hambatan-hambatan ini terus ada. Misalnya, mengapa insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang? Apakah karena bahasa kontrak yang lemah, struktur kekuasaan informal di lapangan, atau norma budaya yang mengutamakan kecepatan di atas segalanya? Keterbatasan ini secara langsung menunjuk pada kebutuhan mendesak akan penelitian kualitatif.
Ketiga, desain penelitiannya bersifat cross-sectional, yang berarti ia hanya memberikan gambaran sesaat pada satu waktu. Seperti yang diakui oleh penulis sendiri di bagian "Arah Masa Depan", studi ini tidak menangkap bagaimana hambatan-hambatan ini bermanifestasi atau berubah di berbagai fase proyek (desain, konstruksi, operasi, dan pembongkaran).[1] Ini memunculkan pertanyaan: Apakah hambatan kebijakan lebih kritis selama fase penawaran, sementara hambatan perilaku mendominasi selama puncak konstruksi?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, lima jalur penelitian berikut direkomendasikan untuk membangun fondasi yang telah diletakkan oleh studi ini.
Kesimpulan: Menuju Kolaborasi Lintas Institusi
Sebagai kesimpulan, penelitian oleh Abu Aisheh et al. berfungsi sebagai studi diagnostik yang sangat penting, yang secara kuantitatif memetakan patologi sistem keselamatan konstruksi di Jalur Gaza.[1] Namun, diagnosis hanyalah langkah pertama. Agenda riset yang diusulkan dalam laporan ini merupakan langkah selanjutnya yang logis dan krusial, bergerak dari identifikasi masalah menuju pengembangan solusi, validasi kebijakan, dan pemahaman yang lebih holistik dan dinamis. Keberhasilan agenda ini bergantung pada pendekatan kolaboratif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara institusi akademik seperti departemen teknik sipil di universitas lokal Palestina, badan regulasi pemerintah yang bertanggung jawab atas standar konstruksi, dan organisasi non-pemerintah internasional yang mendanai dan mengawasi banyak proyek infrastruktur di wilayah tersebut untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.3390/ijerph18073553