Celah Tersembunyi dalam Pendidikan Teknik: Mengapa Para Insinyur Hebat Kita Tidak Diajari Cara Merawat?

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

30 September 2025, 14.52

Celah Tersembunyi dalam Pendidikan Teknik: Mengapa Para Insinyur Hebat Kita Tidak Diajari Cara Merawat?

Prolog: Ilusi Kesempurnaan Seorang Insinyur

Kita semua punya gambaran yang sama tentang seorang insinyur. Sosok brilian yang merancang jembatan megah, menulis kode yang menjalankan aplikasi favorit kita, atau membangun mesin yang merevolusi industri. Mereka adalah para pencipta, arsitek dari dunia modern. Kita membayangkan mereka menguasai setiap detail dari konsepsi hingga implementasi—sebuah proses penciptaan yang nyaris sempurna.

Tapi, bagaimana jika ada satu bab penting yang hilang dari buku panduan mereka? Bagaimana jika para pencipta ulung ini diajarkan segalanya tentang cara membangun, tapi hampir tidak ada sama sekali tentang cara merawat apa yang telah mereka bangun? Ini bukan sekadar pertanyaan retoris. Ini adalah sebuah kegelisahan yang sudah lama saya rasakan, terutama saat melihat betapa dunia kita terobsesi dengan hal-hal baru, peluncuran produk spektakuler, dan inovasi yang disruptif, sementara kita sering kali abai pada keberlanjutan, efisiensi jangka panjang, dan seni merawat apa yang sudah ada.

Kegelisahan ini menemukan wujudnya saat saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian karya Mirka Kans dari Linnaeus University, Swedia. Judulnya terdengar akademis:  

“A Study of Maintenance-Related Education in Swedish Engineering Programs”. Namun, isinya jauh dari kata kering. Membacanya terasa seperti menemukan sebuah kunci yang membuka ruang rahasia, mengungkap sebuah kebenaran tersembunyi yang selama ini hanya bisa saya rasakan. Paper ini memberikan data dan bukti atas sebuah celah fundamental dalam cara kita mendidik para pembangun masa depan.

Angka yang Membuat Saya Terdiam: Temuan Inti dari Studi di Swedia

Hal pertama yang membuat saya terkejut adalah lokasi penelitiannya: Swedia. Sebuah negara yang identik dengan presisi, kualitas, dan keunggulan rekayasa. Jika ada celah di sana, kemungkinan besar celah yang sama—atau bahkan lebih besar—ada di tempat lain. Studi ini bukan main-main. Kans menganalisis secara mendalam 242 program teknik—123 program Sarjana Teknik (Bachelor of Engineering) dan 119 program Magister Teknik (Master of Engineering). Ini adalah potret komprehensif dari sebuah sistem pendidikan teknik yang dihormati dunia.  

Hasilnya? Cukup untuk membuat Anda berhenti sejenak dan berpikir ulang.

Hanya 1 dari 10 Insinyur yang Siap

Temuan utamanya begitu gamblang: dari ratusan program yang diteliti, hanya 12% yang menyertakan satu atau lebih mata kuliah terkait maintenance (perawatan), baik itu wajib maupun pilihan. Mari kita terjemahkan angka ini ke dalam bahasa manusia. Artinya, untuk setiap sepuluh insinyur yang lulus dengan bangga memegang ijazah mereka, kemungkinan hanya satu orang yang pernah secara formal diajari cara menjaga agar ciptaan mereka tetap berjalan efisien, andal, dan berkelanjutan sepanjang siklus hidupnya. Sembilan lainnya mungkin dilepas ke dunia kerja dengan pemahaman yang parsial—ahli dalam menciptakan, tapi amatir dalam memelihara.  

Beberapa poin kunci dari temuan ini benar-benar membuka mata:

  • 🚀 Fakta Mengejutkan: Dari 242 program teknik yang dianalisis, hanya segelintir (12%) yang merasa perlu untuk memasukkan kurikulum perawatan. Ini menunjukkan bahwa maintenance belum dianggap sebagai kompetensi inti seorang insinyur modern.  

  • 🧠 Semakin Tinggi Jenjang, Semakin Renggang: Ironisnya, kesenjangan ini semakin parah di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Di tingkat Magister (S2), hanya 4% program yang mewajibkan mata kuliah maintenance. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat Sarjana (S1) yang mencapai 15%.  

  • 💡 Pelajaran Awal: Ada diskoneksi yang nyata antara apa yang dibutuhkan industri dan masyarakat (sistem yang andal, berkelanjutan, dan efisien secara operasional) dengan apa yang diprioritaskan oleh dunia akademik dalam mencetak para insinyur.

Fakta kedua di atas adalah yang paling mengganggu saya. Paper ini menjelaskan bahwa di Swedia, lulusan Sarjana Teknik sering kali menempati posisi level supervisor, sementara lulusan Magister Teknik dipersiapkan untuk posisi manajerial. Jika kita sandingkan fakta ini dengan data temuan, sebuah pola yang mengkhawatirkan muncul. Orang-orang yang dididik untuk menjadi pemimpin strategis dan pengambil keputusan di masa depan justru adalah kelompok yang paling sedikit mendapatkan bekal pengetahuan tentang manajemen aset jangka panjang.  

Ini menciptakan sebuah "celah kompetensi manajerial" yang sistemik. Kita berisiko mencetak satu generasi manajer dan direktur yang melihat maintenance bukan sebagai pendorong nilai strategis, melainkan sekadar pusat biaya reaktif yang harus ditekan. Dampaknya bisa sangat luas: perusahaan merancang produk yang sulit atau mustahil diperbaiki, pemerintah kota kekurangan dana untuk merawat infrastruktur vital, dan industri gagal mencapai target keberlanjutan karena para pemimpinnya tidak memiliki kosakata atau kerangka berpikir untuk memprioritaskan perawatan.

Di Balik Kurikulum: Bukan Sekadar Ada atau Tiada, Tapi Apa Isinya

Mungkin Anda berpikir, "Baiklah, mungkin hanya 12%, tapi setidaknya ada." Sayangnya, ceritanya tidak sesederhana itu. Ketika Kans menggali lebih dalam, ia menemukan bahwa keberadaan mata kuliah maintenance tidak selalu menjamin pemahaman yang komprehensif. Ini seperti memiliki buku panduan wisata yang hanya menjelaskan bandara-bandara di sebuah negara, tanpa pernah membahas kota, budaya, atau destinasi wisatanya.

Ketika "Maintenance" Hanya Menjadi Catatan Kaki

Studi ini mengungkap bahwa bahkan ketika topik perawatan diajarkan, sering kali porsinya sangat minim. Beberapa mahasiswa mungkin hanya mendapatkan materi senilai "kurang dari satu SKS" dalam satu mata kuliah penuh. Topik krusial ini sering kali hanya menjadi selipan, catatan kaki dalam silabus yang lebih besar tentang manajemen produksi atau kualitas.  

Lebih jauh lagi, pembelajarannya pun terfragmentasi. Analisis konten terhadap 36 mata kuliah terkait maintenance yang berhasil diidentifikasi menunjukkan bahwa sepertiganya (33%) hanya mencakup satu kategori pengetahuan perawatan. Topik yang paling umum adalah "Teknik Perawatan" (  

Maintenance Engineering)—aspek teknis tentang "bagaimana cara memperbaiki sesuatu". Namun, topik ini sering kali diajarkan secara terpisah dari konteks vital lainnya seperti "Manajemen dan Organisasi", "Ekonomi dan Kontrak Perawatan", atau "Manajemen Aset dan Siklus Hidup".  

Meskipun temuan ini sangat kuat, kita harus adil. Analisisnya yang berbasis silabus mungkin belum menangkap pengetahuan maintenance yang diajarkan secara implisit di mata kuliah lain. Namun, ketiadaan mata kuliah khusus yang mengintegrasikan aspek teknis, manajerial, dan ekonomi dari perawatan tetap menjadi sinyal bahaya yang jelas. Ini seperti mengajarkan seorang koki cara memotong sayuran dengan presisi tinggi, tetapi tidak pernah mengajarkan cara merancang menu, mengelola anggaran dapur, atau memahami nutrisi. Anda mungkin mendapatkan teknisi yang andal, tetapi bukan seorang ahli strategi kuliner.

Fragmentasi ini mencerminkan bias budaya yang lebih dalam di dunia pendidikan teknik: sebuah budaya yang mengagungkan penciptaan di atas pemeliharaan. Kerangka kerja pendidikan teknik modern seperti CDIO (Conceive-Design-Implement-Operate) secara eksplisit menyebutkan "Operasi" sebagai fase kunci. Namun, temuan studi ini seolah menunjukkan bahwa dunia akademik sangat fokus pada tiga fase pertama—Konsepsi, Desain, Implementasi—dan cenderung mengabaikan fase 'O', yang notabene merupakan fase terpanjang dan sering kali paling mahal dalam siklus hidup sebuah sistem. Budaya akademik ini berisiko menghasilkan insinyur yang merasa pekerjaan mereka "selesai" begitu produk diluncurkan, melanggengkan budaya "pakai-buang" yang kita lihat pada gawai elektronik, dan berkontribusi pada proyek-proyek infrastruktur raksasa yang biayanya membengkak saat fase operasional.  

Secercah Harapan: Dua Program yang Berani Berbeda

Di tengah gambaran yang agak suram ini, studi Kans menemukan secercah harapan. Ada dua program Sarjana Teknik yang tidak hanya memasukkan maintenance ke dalam kurikulum mereka, tetapi menjadikannya sebagai spesialisasi utama. Program-program ini bukan sekadar anomali; mereka adalah cetak biru tentang bagaimana pendidikan teknik seharusnya berevolusi.

Belajar dari Mereka yang Melakukannya dengan Benar

Apa yang membuat kedua program ini begitu istimewa? Mereka tidak hanya "menambahkan mata kuliah perawatan". Mereka membangun sebuah filosofi pendidikan yang berbeda dari awal, yang didasarkan pada tiga pilar utama:

  1. Kolaborasi Industri yang Erat: Kedua program ini dikembangkan "dalam kolaborasi erat dengan industri". Ini memastikan bahwa kurikulum yang diajarkan relevan, praktis, dan benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan. Mereka tidak mengajar di dalam menara gading, melainkan membangun jembatan langsung ke dunia kerja.  

  2. Fokus pada Teknologi Modern: Kurikulum mereka jauh dari citra maintenance yang kuno dan kotor. Mereka mengintegrasikan topik-topik mutakhir seperti "Industri 4.0", "teknologi sensor", "analisis big data", dan "eMaintenance"—mencakup seluruh proses dari akuisisi data hingga pengambilan keputusan. Mereka mendidik insinyur perawatan untuk era digital.  

  3. Keberlanjutan sebagai DNA: Aspek keberlanjutan tidak hanya menjadi satu mata kuliah, tetapi ditenun ke dalam berbagai pelajaran, menghubungkan secara langsung antara praktik perawatan yang baik dengan umur panjang aset, efisiensi sumber daya, dan dampak lingkungan yang positif.  

Keberhasilan dua program ini membuktikan satu hal penting: masalahnya bukan karena maintenance tidak penting. Masalahnya adalah adanya diskoneksi antara dunia akademik dan kebutuhan industri. Paper ini menyebutkan adanya "minat industri yang kuat terhadap pelatihan dan pendidikan perawatan". Namun, secara umum, dunia akademik gagal memenuhinya. Dua program yang berhasil ini adalah pengecualian yang membuktikan aturannya: ketika kolaborasi dengan industri menjadi fondasi, pendidikan yang relevan dan berdampak akan lahir.  

Pelajaran untuk Kita Semua (dan Apa yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini)

Mungkin Anda bukan seorang insinyur. Mungkin Anda bekerja di bidang pemasaran, keuangan, atau sumber daya manusia. Lantas, mengapa cerita tentang pendidikan teknik di Swedia ini penting bagi Anda? Karena prinsip di baliknya bersifat universal. Celah yang diungkap oleh studi ini adalah cerminan dari bias kita bersama terhadap "peluncuran" ketimbang "pemeliharaan".

Mengatur Karier Anda Seperti Insinyur Perawatan Terbaik

Bayangkan jika Anda memperlakukan karier, proyek, atau bahkan keahlian Anda seperti yang diajarkan dalam program maintenance terbaik ini. Kita semua terobsesi dengan 'peluncuran'—proyek baru, pekerjaan baru, sertifikasi baru. Tapi seberapa sering kita memiliki 'rencana perawatan' untuk apa yang sudah kita miliki? Rencana untuk meninjau secara berkala, mengoptimalkan, dan memastikan keberlanjutan jangka panjang dari aset terpenting kita: kompetensi kita sendiri.

Peneliti dalam paper ini menyoroti bahwa salah satu penghambat adopsi pendidikan perawatan yang lebih luas adalah kurangnya materi pembelajaran yang mudah diakses dan siap pakai bagi para pengajar. Ini adalah masalah yang tidak hanya ada di Swedia, tapi di seluruh dunia, dan tidak hanya di bidang teknik. Di era digital ini, kita beruntung memiliki jembatan untuk mengisi kesenjangan kompetensi itu. Platform seperti kursus online di  

(https://diklatkerja.com) menjadi krusial, memungkinkan para profesional untuk proaktif 'merawat' dan meningkatkan keahlian mereka, terlepas dari apa yang mungkin mereka lewatkan di pendidikan formal. Ini adalah cara kita melakukan preventive maintenance pada karier kita, memastikan kita tetap relevan dan andal di tengah perubahan zaman.

Epilog: Menjadi Bagian dari Solusi, Bukan Masalah

Pada akhirnya, fokus pada maintenance bukan hanya tentang memperbaiki barang yang rusak. Ini adalah tentang sebuah pola pikir: pola pikir kepengurusan (stewardship), keberlanjutan, dan penciptaan nilai jangka panjang. Ini adalah tentang memahami bahwa tindakan terbesar dari inovasi bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dari nol, melainkan memperpanjang umur, meningkatkan efisiensi, dan memaksimalkan potensi dari apa yang sudah ada.

Saya mengajak Anda untuk melihat sekeliling, di bidang pekerjaan Anda sendiri. Di mana Anda melihat "celah perawatan" ini? Di mana fokusnya terlalu berat pada peluncuran dan terlalu ringan pada siklus hidup? Bagaimana Anda bisa mulai menjadi agen perubahan yang memperjuangkan perspektif jangka panjang di tim atau organisasi Anda?

Cerita yang saya bagikan di sini hanyalah puncak gunung es dari sebuah penelitian yang kaya akan data dan nuansa. Jika Anda tertarik untuk mendalami metodologi, analisis, dan implikasi penuh dari temuan yang membuka mata ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.3390/educsci11090535)