Dari Gaza ke Panggung Global: Membedah Hambatan Keselamatan Proyek dan Merancang Agenda Riset Berikutnya

Dipublikasikan oleh Raihan

30 September 2025, 14.49

pexels.com

Tinjauan Kritis dan Agenda Riset: Membedah Hambatan Keselamatan Kerja pada Proyek Infrastruktur di Jalur Gaza

Penelitian oleh Yazan Issa Abu Aisheh dan rekan-rekannya, "Barriers of Occupational Safety Implementation in Infrastructure Projects: Gaza Strip Case," menyajikan sebuah analisis empiris yang krusial mengenai tantangan implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam konteks yang unik dan penuh tekanan.[1] Berlokasi di Jalur Gaza, sebuah wilayah yang ditandai oleh "kelangkaan sumber daya finansial," "kepadatan distribusi populasi," dan tantangan geopolitik yang signifikan, studi ini melampaui sekadar analisis keselamatan konstruksi konvensional.[1] Ia berfungsi sebagai studi kasus tentang manajemen K3 di bawah kondisi kendala ekstrem yang persisten. Urgensi temuan ini diperkuat oleh data global yang dikutip dalam paper, di mana kecelakaan kerja berdampak pada 4% PDB dunia—sebuah beban yang secara eksponensial lebih merusak bagi ekonomi rapuh seperti di Gaza.[1] Dengan demikian, temuan dari lingkungan "uji stres" ini menawarkan wawasan yang berharga dan dapat diterapkan di wilayah berkembang atau terdampak konflik lainnya yang menghadapi tantangan serupa.

Laporan ini menyajikan tinjauan kritis terhadap penelitian tersebut, membedah alur logis temuannya, mengidentifikasi kontribusi utamanya, serta menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi arah riset masa depan. Tujuannya adalah untuk menyusun agenda riset yang terstruktur dan dapat ditindaklanjuti, yang dirancang khusus untuk komunitas akademik, para peneliti, dan lembaga pemberi dana hibah.

Analisis Kritis dan Alur Logis Temuan Penelitian

Fondasi metodologis penelitian ini dibangun di atas pendekatan kuantitatif yang solid. Sebuah kuesioner yang terdiri dari 39 item hambatan, yang divalidasi melalui tinjauan literatur dan survei percontohan, didistribusikan kepada 132 responden yang terdiri dari 36 konsultan dan 96 kontraktor di lima kegubernuran di Jalur Gaza.[1] Penggunaan Relative Importance Index (RII) sebagai alat analisis utama memungkinkan para peneliti untuk menyusun peringkat hambatan secara hierarkis, memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkat keparahan masing-masing hambatan seperti yang dipersepsikan oleh para praktisi di lapangan.

Penelitian ini secara logis mengelompokkan temuannya ke dalam tiga domain utama: hambatan kebijakan keselamatan, hambatan manajemen, dan hambatan perilaku & budaya. Alur narasi temuan bergerak dari level makro (kebijakan) ke level meso (manajemen proyek) dan akhirnya ke level mikro (individu dan tim).

Pada domain hambatan kebijakan keselamatan, temuan yang paling menonjol adalah "Kontraktor yang berkomitmen pada program keselamatan kerja tidak diberi penghargaan," yang menempati peringkat pertama dengan RII gabungan 0.697.[1] Temuan ini bukan sekadar fakta terisolasi; ia merupakan bukti dari kegagalan sistemik dalam struktur insentif industri konstruksi di Gaza. Tanpa adanya penguatan positif (penghargaan), komitmen terhadap K3 dianggap sebagai biaya tambahan, bukan investasi.

Selanjutnya, pada domain hambatan manajemen, fokus beralih ke tingkat proyek. Hambatan dengan peringkat tertinggi adalah "Insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang signifikan, seperti menghentikan pekerjaan bila diperlukan," dengan RII gabungan yang sangat tinggi, yaitu 0.718.[1] Hal ini mengindikasikan adanya pemutusan kritis antara tanggung jawab dan otoritas. Seorang insinyur keselamatan mungkin bertanggung jawab atas K3 di lapangan, tetapi tanpa wewenang untuk menegakkan aturan secara tegas, perannya menjadi tidak efektif.

Pada domain hambatan perilaku dan budaya, analisis menyentuh level individu dan tim kerja. Hambatan teratas adalah "Pekerja yang tidak berkomitmen pada keselamatan kerja tidak dikeluarkan/diberi sanksi," yang juga memiliki RII gabungan 0.718.[1] Ini menunjuk pada runtuhnya akuntabilitas dan penegakan aturan di tingkat paling dasar, menciptakan lingkungan di mana perilaku tidak aman ditoleransi.

Salah satu aspek paling kuat dari penelitian ini adalah "konvergensi pandangan yang kuat" antara konsultan dan kontraktor, dua kelompok yang secara tradisional sering memiliki prioritas yang saling bersaing.[1] Analisis korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dalam pandangan mereka, misalnya pada kelompok hambatan manajemen (koefisien korelasi 0.550 dengan p-value 0.012).[1] Kesepakatan ini bukanlah sekadar observasi statistik. Ini adalah indikator yang kuat tentang betapa parah dan meresapnya masalah K3 di wilayah tersebut. Biasanya, kontraktor (yang berfokus pada biaya dan jadwal) dan konsultan (yang berfokus pada kualitas dan kepatuhan) mungkin saling menyalahkan atas masalah proyek. Fakta bahwa mereka sangat setuju mengenai hambatan utama menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah soal perspektif atau konflik antarpihak, melainkan masalah yang bersifat sistemik dan struktural, yang telah tertanam dalam tatanan industri konstruksi Gaza.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari penelitian ini terletak pada tiga area. Pertama, ia menyediakan kerangka kerja hambatan K3 yang divalidasi secara empiris dan spesifik secara kontekstual untuk proyek infrastruktur di lingkungan yang terbatas sumber daya.[1] Daftar 39 hambatan ini menjadi dasar (baseline) yang sangat penting untuk penelitian atau intervensi kebijakan di masa depan, baik di Gaza maupun di wilayah lain dengan karakteristik serupa.

Kedua, penelitian ini menunjukkan ketelitian metodologis yang kuat. Instrumen kuesionernya menunjukkan validitas internal yang tinggi (p-value < 0.05 untuk semua item) dan reliabilitas yang sangat baik (Cronbach's Alpha total 0.911, dengan setiap dimensi di atas 0.7).[1] Hal ini menjadikan instrumen tersebut sebagai alat yang dapat digunakan kembali dan diadaptasi untuk penelitian di konteks lain, meningkatkan potensi komparabilitas studi lintas negara.

Ketiga, dan yang paling signifikan secara analitis, data yang disajikan memungkinkan sintesis dari apa yang dapat disebut sebagai "Tiga Serangkai Ketidakberdayaan" (Powerlessness Triad). Tiga hambatan peringkat teratas—tidak ada penghargaan (kebijakan), tidak ada wewenang (manajemen), dan tidak ada sanksi (perilaku)—bukanlah isu-isu yang independen. Mereka membentuk sebuah siklus kegagalan sistemik yang saling menguatkan di semua tingkatan hierarki K3. Di tingkat kebijakan, tidak ada penguatan positif. Di tingkat manajemen proyek, tidak ada agen yang berdaya untuk menegakkan aturan. Dan di tingkat individu, tidak ada konsekuensi negatif untuk tindakan tidak aman. Kombinasi ini menciptakan "budaya impunitas" di mana sistem secara inheren terstruktur untuk mengesampingkan K3. Kontribusi paper ini bukan hanya mengidentifikasi tiga titik ini, tetapi menyediakan data yang, ketika disintesis, mengungkapkan kerusakan sistemik yang saling terkait ini.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru menjadi landasan kuat untuk penelitian lanjutan. Pertama adalah cakupan pemangku kepentingan yang terbatas. Studi ini secara eksklusif berfokus pada konsultan dan kontraktor.[1] Hal ini mengabaikan perspektif dari dua kelompok yang sangat penting: pemilik proyek/klien (yang menetapkan anggaran dan persyaratan kontrak) dan para pekerja itu sendiri (yang paling terdampak langsung oleh kegagalan K3). Ini membuka pertanyaan penelitian yang mendasar: Apakah pemilik proyek dan pekerja mempersepsikan hambatan-hambatan ini dengan prioritas yang sama?

Kedua adalah sifat data yang kuantitatif. Penelitian ini sangat baik dalam mengidentifikasi apa saja hambatannya dan seberapa penting peringkatnya. Namun, ia tidak dapat menjelaskan mengapa hambatan-hambatan ini terus ada. Misalnya, mengapa insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang? Apakah karena bahasa kontrak yang lemah, struktur kekuasaan informal di lapangan, atau norma budaya yang mengutamakan kecepatan di atas segalanya? Keterbatasan ini secara langsung menunjuk pada kebutuhan mendesak akan penelitian kualitatif.

Ketiga, desain penelitiannya bersifat cross-sectional, yang berarti ia hanya memberikan gambaran sesaat pada satu waktu. Seperti yang diakui oleh penulis sendiri di bagian "Arah Masa Depan", studi ini tidak menangkap bagaimana hambatan-hambatan ini bermanifestasi atau berubah di berbagai fase proyek (desain, konstruksi, operasi, dan pembongkaran).[1] Ini memunculkan pertanyaan: Apakah hambatan kebijakan lebih kritis selama fase penawaran, sementara hambatan perilaku mendominasi selama puncak konstruksi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, lima jalur penelitian berikut direkomendasikan untuk membangun fondasi yang telah diletakkan oleh studi ini.

  1. Studi Kualitatif tentang Dinamika Kekuasaan dan Otonomi Insinyur Keselamatan.
    • Justifikasi Ilmiah: Berangkat langsung dari temuan peringkat #1 dalam kategori Manajemen (RII=0.718) yang menunjukkan kurangnya wewenang insinyur keselamatan.[1] Penelitian kuantitatif ini hanya mengidentifikasi masalah, bukan akar penyebabnya.
    • Metode dan Variabel Baru: Mengusulkan studi kasus kualitatif mendalam pada beberapa proyek infrastruktur di Gaza. Metode pengumpulan data akan mencakup wawancara semi-terstruktur dengan insinyur keselamatan, manajer proyek, dan perwakilan kontraktor. Variabel yang diteliti akan bersifat kualitatif, seperti struktur kekuasaan informal, proses pengambilan keputusan di lapangan, dan interpretasi klausul kontrak terkait K3.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini esensial untuk merumuskan intervensi yang efektif. Tanpa memahami mengapa wewenang itu tidak ada, solusi yang diusulkan (misalnya, perubahan regulasi) mungkin tidak akan mengatasi masalah yang sebenarnya.
  2. Riset Aksi (Action Research) untuk Merancang dan Menguji Sistem Insentif Keselamatan.
    • Justifikasi Ilmiah: Merespons langsung temuan peringkat #1 dalam kategori Kebijakan (RII=0.697) bahwa komitmen K3 tidak dihargai.[1] Jika studi saat ini bersifat diagnostik, maka riset selanjutnya harus berorientasi pada solusi.
    • Metode dan Konteks Baru: Menggunakan metodologi riset aksi di mana peneliti berkolaborasi secara aktif dengan satu atau dua perusahaan kontraktor untuk bersama-sama merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program insentif K3 percontohan. Konteks baru akan melibatkan penerapan teori ekonomi perilaku untuk menguji apakah insentif non-finansial (misalnya, pengakuan publik, peluang pelatihan lanjutan) sama efektifnya dengan insentif finansial dalam konteks budaya dan ekonomi Gaza.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Tanpa pengujian model insentif di dunia nyata, rekomendasi kebijakan akan tetap bersifat teoretis. Riset ini akan menghasilkan bukti empiris tentang "apa yang berhasil" dan dapat direplikasi.
  3. Analisis Kebijakan Komparatif antara Regulasi K3 Palestina dan Standar Praktik Terbaik Internasional.
    • Justifikasi Ilmiah: Diilhami oleh rekomendasi penulis sendiri untuk membandingkan temuan dengan pedoman K3 yang ada di Palestina.[1] Penelitian ini akan secara sistematis menjembatani kesenjangan antara temuan empiris dan kerangka regulasi.
    • Metode dan Variabel Baru: Melakukan analisis dokumen dan kebijakan yang sistematis. Kerangka 39 hambatan yang diidentifikasi dalam paper ini akan digunakan sebagai matriks evaluasi untuk menilai apakah regulasi nasional saat ini secara eksplisit mengatasi hambatan-hambatan paling kritis. Variabelnya adalah ada atau tidaknya klausul spesifik dalam regulasi yang menargetkan setiap hambatan (misalnya, apakah ada mandat hukum untuk wewenang penghentian kerja oleh insinyur keselamatan?).
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memberikan rekomendasi konkret berbasis bukti kepada badan regulator untuk mereformasi undang-undang K3, memastikan bahwa kebijakan publik selaras dengan realitas di lapangan.
  4. Studi Metode Campuran (Mixed-Methods) untuk Memetakan Persepsi Hambatan di Seluruh Rantai Pasok Proyek.
    • Justifikasi Ilmiah: Mengatasi keterbatasan utama dari studi ini yang hanya mencakup konsultan dan kontraktor. Pemahaman holistik tentang sistem K3 memerlukan masukan dari semua aktor kunci.
    • Metode dan Konteks Baru: Mengadopsi pendekatan mixed-methods sekuensial. Tahap pertama adalah survei kuantitatif (menggunakan kuesioner yang telah divalidasi dari paper ini) yang diperluas untuk mencakup pemilik proyek, regulator pemerintah, dan sampel pekerja konstruksi. Tahap kedua adalah kelompok diskusi terfokus (Focus Group Discussion) dengan masing-masing kelompok pemangku kepentingan untuk menggali alasan di balik peringkat mereka dan mengeksplorasi perbedaan persepsi.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Pemahaman 360 derajat ini sangat penting. Jika pemilik proyek tidak memprioritaskan anggaran K3 (berbeda dengan kontraktor), maka intervensi harus ditargetkan pada edukasi dan advokasi di tingkat klien, bukan hanya pada kontraktor.
  5. Studi Longitudinal untuk Melacak Evolusi Hambatan Keselamatan Sepanjang Siklus Hidup Proyek.
    • Justifikasi Ilmiah: Mengatasi keterbatasan desain cross-sectional dari studi ini dan menindaklanjuti saran penulis untuk menyelidiki fase proyek yang berbeda.[1] Hambatan K3 tidaklah statis.
    • Metode dan Variabel Baru: Melakukan studi kasus longitudinal dengan mengikuti 2-3 proyek infrastruktur dari fase desain hingga serah terima. Data akan dikumpulkan secara berkala (misalnya, setiap tiga bulan) melalui observasi lapangan, analisis dokumen (laporan K3 mingguan, risalah rapat), dan wawancara singkat. Variabel utamanya adalah waktu (fase proyek), yang memungkinkan pemetaan bagaimana RII dari hambatan-hambatan kunci berfluktuasi seiring kemajuan proyek.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Hasilnya akan memungkinkan pengembangan intervensi K3 yang dinamis dan tepat waktu, bukan pendekatan "satu ukuran untuk semua". Misalnya, jika "kurangnya pelatihan" menjadi hambatan puncak saat mobilisasi pekerja baru, maka intervensi dapat difokuskan secara intensif pada periode tersebut.

Kesimpulan: Menuju Kolaborasi Lintas Institusi

Sebagai kesimpulan, penelitian oleh Abu Aisheh et al. berfungsi sebagai studi diagnostik yang sangat penting, yang secara kuantitatif memetakan patologi sistem keselamatan konstruksi di Jalur Gaza.[1] Namun, diagnosis hanyalah langkah pertama. Agenda riset yang diusulkan dalam laporan ini merupakan langkah selanjutnya yang logis dan krusial, bergerak dari identifikasi masalah menuju pengembangan solusi, validasi kebijakan, dan pemahaman yang lebih holistik dan dinamis. Keberhasilan agenda ini bergantung pada pendekatan kolaboratif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara institusi akademik seperti departemen teknik sipil di universitas lokal Palestina, badan regulasi pemerintah yang bertanggung jawab atas standar konstruksi, dan organisasi non-pemerintah internasional yang mendanai dan mengawasi banyak proyek infrastruktur di wilayah tersebut untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.3390/ijerph18073553