Konduktor dalam Orkestra Beton
Mari kita luruskan satu hal: manajer konstruksi bukanlah sekadar mandor dengan topi proyek. Bayangkan sebuah orkestra simfoni. Cetak biru (blueprint) adalah partitur musiknya. Subkontraktor—tim listrik, tim pipa, tim pondasi—adalah seksi-seksi orkestra yang berbeda: biola, perkusi, tiup. Klien adalah penonton yang menantikan sebuah mahakarya.
Di tengah semua itu, berdirilah sang konduktor: manajer konstruksi.
Tugasnya bukan hanya membaca partitur. Ia harus menafsirkannya, mengatur tempo, memastikan setiap pemain tampil harmonis, dan mengubah tumpukan notasi di atas kertas menjadi musik yang menggugah jiwa. Disertasi ini mendefinisikan peran tersebut sebagai perpaduan antara "konsep rekayasa dengan manajemen proyek dan keterampilan manajemen manusia" yang terjadi dalam "lingkungan yang agak tidak terduga di mana kesulitan teknis dan organisasi terjadi secara teratur".
Ini bukan orkestra biasa. Industri konstruksi adalah mesin ekonomi raksasa, menyumbang sekitar 9% dari PDB Uni Eropa dan mempekerjakan 18 juta orang secara langsung. Jadi, ketika sang konduktor membuat kesalahan, dampaknya bukan hanya nada sumbang, tapi bisa berupa kerugian finansial besar, jadwal yang berantakan, dan yang paling mengerikan, keselamatan jiwa manusia.
Dua Wajah Kepemimpinan di Atas Kawat
Bagian paling mencekam dari disertasi ini adalah ketika ia menghubungkan gaya kepemimpinan seorang manajer secara langsung dengan keselamatan fisik timnya. Ini bukan lagi soal teori manajemen di buku teks; ini soal hidup dan mati. Data yang disajikan sangat gamblang: grafik kecelakaan kerja fatal di sektor konstruksi Portugal selama dua dekade menunjukkan taruhan yang sangat tinggi (Gambar 4.1). Setiap batang dalam grafik itu adalah nyawa.
Penelitian ini membedah dua gaya kepemimpinan yang kontras, dan dampaknya sangat berbeda.
Wajah Pertama: Sang Pemimpin Transformasional
Ini bukan tentang menjadi pahlawan super. Kepemimpinan transformasional, menurut disertasi ini, adalah tentang perilaku spesifik yang menginspirasi, bukan memerintah. Ada empat elemen kuncinya, yang dijuluki "Empat I" (Gambar 4.6). Mari kita terjemahkan ke dalam bahasa manusia:
-
Pengaruh yang Diidealkan (Jadi Panutan): Ini adalah tentang menjadi pemimpin yang orang ingin ikuti. Manajer yang tidak hanya menyuruh pakai helm, tapi helmnya sendiri selalu terpasang paling benar. Ia berjalan sesuai ucapannya, setiap saat.
-
Motivasi Inspirasional (Memberi Visi Bersama): Ini adalah kemampuan melukiskan gambaran besar. Bukan sekadar, "Kita harus selesaikan dinding ini," tapi, "Kita sedang membangun rumah untuk sebuah keluarga, dan kita akan melakukannya dengan bangga tanpa satu pun cedera."
-
Stimulasi Intelektual (Mendorong Tim Berpikir): Ini adalah tentang memberdayakan tim. Bertanya kepada kru, "Bagaimana cara kita mengangkat balok ini dengan lebih aman?" alih-alih hanya meneriakkan perintah. Ini menghargai otak mereka, bukan hanya otot mereka.
-
Pertimbangan Individual (Melihat Tim sebagai Manusia): Ini adalah tentang mengenali bahwa tim Anda terdiri dari manusia, bukan robot. Menyadari ketika seorang pekerja tampak linglung dan bertanya apakah ia baik-baik saja, karena pekerja yang terganggu adalah risiko keselamatan.
Gaya kepemimpinan ini menciptakan budaya di mana keselamatan menjadi tanggung jawab bersama.
-
🚀 Hasilnya: Disertasi ini berargumen bahwa gaya kepemimpinan ini secara langsung terkait dengan kinerja keselamatan yang lebih baik. Tim tidak hanya mengikuti aturan karena takut hukuman, tapi karena mereka peduli pada satu sama lain.
-
🧠 Inovasinya: Fokusnya bergeser dari sekadar menegakkan aturan (transaksional) menjadi menanamkan komitmen bersama terhadap keselamatan (transformasional).
-
💡 Pelajaran: Keselamatan sejati bukanlah daftar periksa; itu adalah pola pikir yang ditumbuhkan dari atas ke bawah.
Wajah Kedua: Sang Pemimpin Pasif-Menghindar
Kontrasnya sangat tajam. Disertasi ini juga mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang merusak: pasif-menghindar. Ini bukan tentang manajer yang jahat, tapi manajer yang "tidak hadir"—sebuah kekosongan kepemimpinan yang berbahaya. Contoh dari studi observasi yang dikutip sangat jelas: manajer yang menunda-nunda keputusan, tidak pernah memberi umpan balik, atau lebih buruk lagi, bercanda tentang kondisi kerja yang tidak aman.
Di sinilah saya menemukan salah satu temuan paling penting. Industri ini menuntut keterampilan kepemimpinan elite untuk menjaga keselamatan, namun jalur pendidikan untuk para manajer ini hampir secara eksklusif berfokus pada teknik rekayasa. Dalam studi kasus disertasi, seorang manajer secara eksplisit mengeluhkan kurangnya mata kuliah formal tentang "pengarahan kerja" di tingkat universitas. Ketika diminta mendefinisikan pekerjaan mereka, para manajer menyebutkan keterampilan lunak seperti "mengelola manusia/ego" dan "manajemen konflik," bukan hanya perhitungan teknis.
Ini menciptakan situasi di mana para manajer menjadi "pemimpin dadakan," diharapkan memiliki seperangkat keterampilan yang tidak pernah diajarkan secara formal. Kemampuan mereka untuk menjaga orang tetap aman diserahkan pada kepribadian bawaan atau proses trial-and-error yang penuh tekanan di lapangan. Ini adalah kerentanan sistemik untuk industri berisiko tinggi.
Hantu dalam Mesin: Harga Kemanusiaan di Balik Pembangunan Dunia
Yang paling mengejutkan saya dalam penelitian ini bukanlah kompleksitas proyeknya, tetapi beratnya tanggung jawab. Disertasi ini melukiskan gambaran yang jelas tentang lingkungan bertekanan tinggi, tetapi suara para manajer sendirilah yang benar-benar menghidupkan harga kemanusiaan yang harus dibayar.
Penelitian ini memetakan berbagai sumber stres secara akademis—seperti ambiguitas peran, beban kerja berlebih, dan tanggung jawab atas orang lain (Gambar 4.7). Namun, data ini menjadi nyata ketika disandingkan dengan tantangan yang dikutip oleh para manajer dalam kuesioner: "tekanan konstan," "manajemen subkontraktor," dan "manajemen personel". Tumpang tindihnya hampir sempurna.
Di sinilah saya merasa perlu memberikan sedikit kritik halus. Meskipun disertasi ini sangat baik dalam mengidentifikasi para stresor, ia tidak melangkah lebih jauh untuk mengeksplorasi solusi sistemik. Respons para manajer semuanya tentang ketahanan individu—"keberanian," "ketenangan," "akal sehat." Tidak ada penyebutan tentang dukungan kesehatan mental dari perusahaan, program bimbingan terstruktur, atau upaya untuk mengurangi akar penyebab stres. Ini mengungkap budaya yang mengagungkan individu yang "tahan banting", mungkin dengan biaya jangka panjang yang signifikan bagi orang tersebut dan proyeknya.
Ini membawa kita pada lingkaran setan. Masalah proyek (penundaan, kualitas buruk) dan kelelahan manajer bukanlah dua isu terpisah; mereka adalah sebuah siklus umpan balik negatif yang saling menguatkan. Sumber-sumber inefisiensi proyek—seperti "masalah personel," "komunikasi yang loyo," dan "masalah peralatan"—adalah penyebab langsung stres manajer. Seorang manajer yang kewalahan oleh stres menjadi kurang mampu berkomunikasi secara efektif dan memecahkan masalah secara proaktif, yang pada gilirannya memperburuk masalah di lapangan, yang kemudian meningkatkan stresnya. Industri ini tidak dapat menyelesaikan masalah efisiensinya tanpa terlebih dahulu mengatasi kesejahteraan para pemimpinnya.
Cetak Biru untuk Pembangun yang Lebih Baik
Setelah memaparkan tantangan-tantangan tersebut, disertasi ini memberikan panggung kepada para ahli di lapangan. Dan apa yang mereka katakan adalah cetak biru yang jelas untuk masa depan profesi ini. Saran-saran mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga tema utama :
-
Pendidikan yang Lebih Baik: Ada seruan yang jelas untuk mata kuliah universitas yang didedikasikan khusus untuk manajemen lapangan. Ini secara langsung mengatasi masalah "Pemimpin Dadakan" yang kita bahas sebelumnya.
-
Proses & Alat yang Lebih Baik: Ada keinginan untuk fase desain yang lebih terintegrasi (menggunakan alat seperti BIM, yang juga disebutkan dalam disertasi ), proyek yang lebih terstandardisasi, dan alur kerja yang lebih jelas. Ini adalah upaya untuk merekayasa kekacauan keluar dari proses.
-
Budaya yang Lebih Baik: Tuntutan untuk otonomi yang lebih besar, gaji yang lebih baik, dan jam kerja yang diatur menunjukkan kebutuhan untuk memperlakukan manajemen konstruksi sebagai karier profesional berketerampilan tinggi, setara dengan bidang-bidang menantang lainnya, bukan sekadar sebuah pekerjaan kasar.
Semua saran ini menunjuk pada sebuah paradoks sentral dalam pekerjaan ini. Di satu sisi, manajer terikat oleh jaringan padat kode hukum dan kontrak publik yang kaku (seperti CCP dan RJUE yang dijelaskan dalam disertasi). Di sisi lain, mereka harus beroperasi dalam lingkungan "tak terduga" yang menuntut solusi "instan". Mereka meminta "otonomi dan kekuatan pengambilan keputusan yang lebih besar" justru karena mereka seringkali merasa terkekang.
Tantangan inti dari pekerjaan ini adalah menavigasi paradoks tersebut. Sukses bukan hanya tentang mengikuti aturan atau hanya tentang berimprovisasi; ini tentang mengetahui cara melakukan keduanya secara bersamaan.
Disertasi ini dimulai sebagai sebuah penyelidikan akademis tetapi berakhir menjadi sebuah kisah yang sangat manusiawi. Ia menunjukkan bahwa fondasi dari setiap bangunan hebat bukanlah sekadar beton, tetapi kesejahteraan, pelatihan, dan kepemimpinan orang yang bertanggung jawab. Tantangannya sangat besar, tetapi jalan ke depan sudah jelas: kita perlu membangun para pembangun kita dengan kepedulian dan presisi yang sama seperti yang kita gunakan untuk membangun gedung pencakar langit kita.
Jika Anda tertarik dengan persimpangan antara psikologi manusia dan manajemen proyek berisiko tinggi, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Dan jika Anda siap untuk membangun keterampilan kepemimpinan Anda sendiri, lihatlah kursus manajemen proyek di Diklatkerja.