Hukum Konstruksi

Permasalahan Kontrak Konstruksi di Indonesia: Analisis, Implikasi, dan Arah Kebijakan Publik

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Kontrak konstruksi merupakan tulang punggung dalam pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur. Di dalamnya terdapat kesepakatan mengenai lingkup pekerjaan, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme pembayaran, pengaturan risiko, hingga penyelesaian sengketa. Namun, dalam praktiknya kontrak konstruksi sering kali memunculkan persoalan yang kompleks: mulai dari keterlambatan pelaksanaan, ketidaksesuaian spesifikasi, perubahan lingkup pekerjaan, hingga konflik hukum antara penyedia jasa dan pengguna jasa.

Dokumen “Tanya Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi” yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR (2020) memberikan gambaran jelas mengenai berbagai persoalan yang kerap muncul di lapangan, sekaligus menawarkan kerangka solusi berbasis regulasi. Signifikansinya bagi kebijakan publik tidak dapat diabaikan, sebab sektor konstruksi di Indonesia tidak hanya berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang pembangunan infrastruktur strategis nasional.

Temuan dalam dokumen ini memperlihatkan bahwa persoalan kontrak bukanlah isu teknis semata, melainkan berkaitan erat dengan tata kelola, kepastian hukum, dan akuntabilitas publik. Tanpa kontrak yang kuat, risiko pembengkakan biaya, keterlambatan proyek, hingga kegagalan konstruksi sangat mungkin terjadi. Artikel Diklatkerja Pengenalan Kontrak Konstruksi menekankan bahwa pemahaman mendalam terhadap isi kontrak oleh semua pihak adalah fondasi krusial agar hak dan kewajiban dapat ditegakkan secara adil. Simak juga kursus Dasar-dasar Penyusunan Kontrak Konstruksi untuk memahami bagaimana item-item utama kontrak disusun secara legal dan teknis.

Oleh karena itu, memahami permasalahan kontrak konstruksi dan merumuskannya ke dalam kebijakan publik yang solutif menjadi kebutuhan mendesak untuk menjamin keberlanjutan pembangunan infrastruktur Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi kontrak konstruksi di lapangan menunjukkan dampak yang sangat signifikan bagi jalannya proyek. Ketika kontrak disusun dengan baik, jelas, dan adil, maka hubungan antara penyedia jasa dan pengguna jasa dapat berjalan harmonis. Pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu, kualitas terjaga, dan risiko dapat dikelola dengan baik. Sebaliknya, kontrak yang lemah atau ambigu membuka peluang besar bagi sengketa hukum.

Salah satu dampak paling sering terjadi adalah keterlambatan proyek. Kontrak yang tidak mengatur secara detail mengenai mekanisme denda keterlambatan atau kompensasi bisa menimbulkan kerugian finansial yang besar bagi negara maupun kontraktor. Di sisi lain, kontrak yang terlalu kaku juga bisa menjadi penghambat inovasi di lapangan. Misalnya, jika terjadi kondisi force majeure seperti pandemi COVID-19, kontrak yang tidak fleksibel dalam mengatur perpanjangan waktu justru menimbulkan kebuntuan antara pihak-pihak terkait.

Hambatan lainnya adalah kesenjangan pemahaman hukum. Banyak kontraktor kecil maupun menengah yang masih memiliki keterbatasan dalam memahami aspek legal kontrak. Akibatnya, mereka sering kali dirugikan dalam proses adendum, negosiasi, atau penyelesaian sengketa. Untuk itu, kursus Persiapan Kontrak Konstruksi menyediakan modul-modul penting tentang siklus hidup kontrak konstruksi dan aspek-pra kontrak yang sering menjadi titik munculnya sengketa. Selain itu, modul Aspek-Aspek Penting dalam Kontrak Konstruksi memaparkan bagaimana unsur waktu, biaya, dan mutu harus dijabarkan secara rinci dalam kontrak agar tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.

Meski demikian, peluang besar juga hadir dari dinamika ini. Digitalisasi kontrak dan manajemen proyek mulai diadopsi di berbagai negara untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi sengketa. Di Indonesia, peluang ini semakin terbuka dengan berkembangnya sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang berbasis elektronik (e-procurement). Dengan digitalisasi, seluruh dokumen kontrak, addendum, hingga laporan pelaksanaan dapat terekam dengan baik, meminimalkan potensi manipulasi, serta mempermudah audit. Artikel Kunci Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur, Pelaku Konstruksi Harus Samakan Pemahaman Terhadap Kontrak Konstruksi menyebutkan bahwa kejelasan pemahaman terhadap kontrak kerja antara kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek menjadi faktor kunci dalam mencegah sengketa.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Melihat tantangan dan peluang yang ada, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diajukan untuk memperkuat tata kelola kontrak konstruksi di Indonesia.

Pertama, pemerintah perlu menyusun standarisasi kontrak konstruksi nasional yang lebih rinci dan adaptif. Standar ini harus memuat klausul pokok mengenai lingkup kerja, mekanisme pembayaran, denda, force majeure, hingga resolusi sengketa. Standarisasi akan membantu menciptakan keseragaman dan mengurangi ruang interpretasi yang berpotensi menimbulkan sengketa.

Kedua, perlu adanya program edukasi hukum kontrak bagi kontraktor kecil dan menengah. Dengan literasi hukum yang memadai, mereka dapat melindungi diri dari klausul-klausul merugikan sekaligus meningkatkan posisi tawar dalam negosiasi.

Ketiga, kebijakan digitalisasi kontrak konstruksi harus dipercepat. Semua kontrak pemerintah idealnya terdokumentasi secara digital dengan sistem yang transparan dan bisa diakses oleh pihak-pihak berwenang.

Keempat, pemerintah dapat memperkuat mekanisme mediasi dan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan efisien dibanding jalur litigasi di pengadilan.

Kelima, perlu adanya insentif bagi kontrak berbasis kinerja. Kontrak yang tidak hanya menilai waktu dan biaya, tetapi juga kualitas, keselamatan kerja, serta keberlanjutan lingkungan harus diberi penghargaan lebih besar. Dengan demikian, kontraktor terdorong untuk tidak sekadar mengejar target, tetapi juga meningkatkan kualitas proyek secara keseluruhan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan kontrak konstruksi yang ideal memang sudah banyak diusulkan, namun potensi kegagalan tetap perlu diantisipasi. Salah satu risiko utama adalah resistensi dari para pelaku industri yang sudah terbiasa dengan praktik lama. Standarisasi kontrak bisa dianggap terlalu membatasi fleksibilitas, terutama bagi kontraktor besar yang memiliki kemampuan negosiasi kuat.

Risiko lainnya adalah kegagalan digitalisasi. Meskipun kontrak digital menawarkan transparansi, implementasinya sangat bergantung pada infrastruktur teknologi informasi yang merata di seluruh Indonesia. Tanpa kesiapan ini, digitalisasi kontrak bisa justru menimbulkan kesenjangan baru antara daerah perkotaan dan daerah terpencil.

Selain itu, kebijakan edukasi kontrak berpotensi gagal jika tidak didukung dengan program berkelanjutan. Pelatihan satu kali tidak cukup; perlu ada kurikulum sistematis yang terintegrasi dengan pendidikan vokasi maupun pelatihan profesional. 

Penutup

Kontrak konstruksi adalah instrumen fundamental yang menentukan keberhasilan proyek infrastruktur di Indonesia. Permasalahan kontrak tidak bisa lagi dianggap sebagai isu teknis, tetapi harus dilihat sebagai persoalan kebijakan publik yang menyangkut tata kelola, kepastian hukum, dan akuntabilitas negara.

Dokumen “Tanya Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi” memberikan peta jalan yang berharga untuk memahami akar masalah dan menawarkan solusi regulatif. Namun, keberhasilan implementasinya bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu mendorong standarisasi kontrak, memperkuat literasi hukum, mempercepat digitalisasi, menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, dan memberi insentif bagi kontrak berbasis kinerja.

Dengan langkah-langkah ini, sistem kontrak konstruksi Indonesia dapat lebih kuat, transparan, dan adil, sehingga pembangunan infrastruktur dapat berjalan lebih efisien, berkualitas, dan berkelanjutan.

Sumber

Kementerian PUPR (2020). Tanya Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi.

Selengkapnya
Permasalahan Kontrak Konstruksi di Indonesia: Analisis, Implikasi, dan Arah Kebijakan Publik

Pembangunan Berkelanjutan

Sertifikasi Berkelanjutan Tenaga Kerja Konstruksi: Menjamin Reliabilitas dan Kualitas untuk Masa Depan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Sertifikasi tenaga kerja sering kali dipandang hanya sebagai formalitas administratif, sebuah dokumen yang menandakan bahwa seseorang pernah mengikuti pelatihan atau ujian tertentu. Namun, artikel Sustainability (2022) menegaskan bahwa pendekatan ini sudah tidak relevan lagi. Dunia kerja, terutama sektor konstruksi yang berisiko tinggi, membutuhkan sistem sertifikasi yang berkelanjutan—artinya sertifikasi bukan hanya titik akhir, tetapi proses terus-menerus untuk menjamin kompetensi, reliabilitas, dan kualitas tenaga kerja.

Bagi kebijakan publik, temuan ini sangat penting. Industri konstruksi di Indonesia tengah menghadapi tuntutan besar: mengejar pembangunan infrastruktur strategis, meningkatkan daya saing global, dan mengurangi angka kecelakaan kerja. Semua ini hanya bisa tercapai bila tenaga kerja memiliki kompetensi nyata, bukan sekadar selembar sertifikat. Oleh karena itu, sertifikasi harus dipandang sebagai instrumen strategis, bukan sekadar formalitas hukum. Artikel Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci atau Formalitas Administratif? menyoroti persoalan serupa: sertifikasi sering gagal memberi nilai tambah jika tidak diikuti pengawasan mutu dan mekanisme pembaruan kompetensi.

Dengan mengadopsi pendekatan berkelanjutan, kebijakan sertifikasi bisa menjadi pilar utama untuk menjamin kualitas pekerjaan konstruksi, melindungi keselamatan publik, dan meningkatkan daya saing pekerja Indonesia di pasar global.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi sertifikasi tenaga kerja berkelanjutan di lapangan sudah mulai berjalan di beberapa negara maju. Misalnya, Uni Eropa memiliki sistem lifelong learning di mana sertifikasi tenaga kerja harus diperbarui secara periodik melalui pelatihan dan ujian ulang. Hal ini terbukti meningkatkan keandalan tenaga kerja dan menurunkan tingkat kecelakaan di sektor berisiko tinggi seperti konstruksi dan energi.

Di Indonesia, dampak positif dari sertifikasi mulai terlihat. Pekerja yang tersertifikasi cenderung lebih sadar terhadap prosedur keselamatan dan menghasilkan kualitas pekerjaan yang lebih baik. Namun, implementasi sertifikasi masih menghadapi hambatan besar. Pertama, biaya sertifikasi yang relatif tinggi menjadi beban bagi pekerja informal dan kontraktor kecil. Kedua, akses ke lembaga sertifikasi masih terbatas di kota besar, sehingga pekerja di daerah sulit menjangkaunya. Ketiga, kesadaran pekerja terhadap pentingnya pembaruan sertifikasi masih rendah. Banyak yang menganggap sertifikat sebagai tujuan akhir, bukan proses berkelanjutan.

Meski demikian, peluang yang ada sangat besar. Pemerintah Indonesia melalui program SIBIMA Konstruksi telah membuka jalan digitalisasi pelatihan dan sertifikasi, memungkinkan pekerja dari daerah lebih mudah mengakses materi pelatihan. Teknologi digital juga memungkinkan monitoring Continuous Professional Development (CPD) secara transparan, sehingga kompetensi pekerja dapat terus terjaga. Artikel Membedah Pentingnya Sertifikasi Kompetensi Pekerja Konstruksi di Indonesia menegaskan bahwa sertifikasi berbasis digital adalah peluang besar untuk memastikan pemerataan akses kompetensi di seluruh Indonesia.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Kebijakan sertifikasi berkelanjutan membutuhkan strategi yang lebih dari sekadar regulasi administratif. Pertama, pemerintah perlu memperkenalkan sistem sertifikasi periodik. Sertifikat yang berlaku seumur hidup tidak lagi relevan; sertifikasi harus diperbarui setiap beberapa tahun melalui ujian kompetensi dan pelatihan ulang.

Kedua, kebijakan subsidi dan insentif sangat dibutuhkan agar pekerja informal dan UMKM konstruksi dapat mengikuti sertifikasi tanpa terbebani biaya.

Ketiga, digitalisasi proses sertifikasi harus dipercepat. Dengan platform daring, pekerja bisa mengikuti pelatihan, ujian, dan pelaporan CPD secara lebih mudah. Hal ini juga memungkinkan pengawasan nasional terhadap kualitas sertifikasi.

Keempat, integrasi sertifikasi dengan kurikulum pendidikan vokasi dan politeknik perlu diperkuat. Dengan begitu, lulusan baru sudah siap memasuki dunia kerja dengan sertifikat kompetensi yang berlaku nasional.

Kelima, pemerintah perlu membangun sistem audit acak dan evaluasi berkala untuk mencegah sertifikasi abal-abal. Tanpa pengawasan, sertifikasi bisa jatuh menjadi sekadar formalitas tanpa makna.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun pendekatan sertifikasi berkelanjutan menawarkan banyak manfaat, ada risiko kegagalan jika implementasi tidak dilakukan dengan konsisten. Salah satu potensi kegagalan adalah jika sertifikasi masih dipandang sekadar syarat administratif untuk mengikuti proyek pemerintah. Jika motivasi hanya formalitas, maka sertifikasi tidak akan berdampak nyata pada kualitas pekerjaan.

Risiko lain adalah kesenjangan akses. Pekerja di daerah terpencil bisa semakin tertinggal jika infrastruktur digital tidak merata. Alih-alih meningkatkan pemerataan kompetensi, kebijakan ini justru bisa memperlebar jurang antara tenaga kerja kota besar dan desa.

Selain itu, tanpa sistem insentif yang jelas, pekerja mungkin enggan memperbarui sertifikasi. Mereka tidak akan melihat manfaat langsung dalam bentuk kenaikan upah atau peningkatan peluang kerja. Akibatnya, program sertifikasi berkelanjutan bisa gagal mencapai tujuannya. Artikel Kompetensi vs Kinerja Tenaga Kerja Konstruksi memperingatkan bahwa kompetensi yang tidak terhubung dengan insentif ekonomi hanya akan menjadi konsep abstrak yang sulit diterapkan.

Penutup

Sertifikasi berkelanjutan adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa tenaga kerja konstruksi di Indonesia benar-benar kompeten, andal, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Temuan Sustainability (2022) memberikan peringatan bahwa tanpa mekanisme berkelanjutan, sertifikasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak nyata.

Dengan pendekatan yang tepat—sertifikasi periodik, subsidi, digitalisasi, integrasi pendidikan, dan pengawasan ketat—Indonesia dapat membangun sistem sertifikasi yang tidak hanya memberi pengakuan formal, tetapi juga menjamin kualitas dan keselamatan publik. Namun, semua itu harus diiringi dengan kesadaran bahwa kebijakan tidak boleh berhenti pada aturan tertulis, melainkan harus diterapkan secara konsisten dengan melibatkan industri, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan masyarakat luas.

Sumber

Sustainability 14, 1137 (2022). Sustainable Approach to Certification of Persons: Ensuring Reliability and Quality.

Selengkapnya
Sertifikasi Berkelanjutan Tenaga Kerja Konstruksi: Menjamin Reliabilitas dan Kualitas untuk Masa Depan

Konstruksi Digital

Digitalisasi dalam Industri Konstruksi: Jalan Menuju Pembangunan Hijau dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Perubahan besar yang sedang terjadi di industri konstruksi global tidak bisa dilepaskan dari gelombang digitalisasi. Artikel Sustainability (2020) menyoroti bagaimana teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan (AI), dan sistem kolaborasi berbasis platform telah mengubah cara proyek konstruksi direncanakan, dikelola, dan dijalankan. Temuan ini sangat penting untuk kebijakan publik karena konstruksi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, sekaligus sektor dengan rantai pasok yang kompleks dan sering kali kurang efisien.

Digitalisasi memberi peluang untuk mempercepat transisi menuju pembangunan hijau dan berkelanjutan. Dengan teknologi yang tepat, konsumsi energi dapat ditekan, limbah konstruksi bisa diminimalisasi, dan kualitas hidup masyarakat meningkat melalui infrastruktur yang lebih ramah lingkungan. Namun, jika kebijakan publik tidak responsif terhadap tren ini, ada risiko besar bahwa industri konstruksi Indonesia maupun negara lain akan tertinggal. Ketertinggalan tersebut bukan hanya soal teknologi, melainkan juga menyangkut daya saing ekonomi, reputasi internasional, dan yang paling penting: kemampuan negara dalam memenuhi target pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Pentingnya temuan ini juga terlihat dari konteks lokal. Indonesia, misalnya, tengah menghadapi tantangan besar berupa kebutuhan infrastruktur yang masif, urbanisasi cepat, serta komitmen pengurangan emisi sesuai Paris Agreement. Digitalisasi dalam konstruksi dapat menjadi kunci untuk menjawab semua tantangan ini sekaligus. Tetapi, tanpa kerangka kebijakan yang jelas dan konsisten, teknologi berpotensi hanya diadopsi secara parsial, menghasilkan ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil, serta gagal memberikan dampak positif yang merata.

Dengan demikian, temuan ini relevan bukan hanya untuk kalangan akademik atau industri, tetapi terutama untuk pembuat kebijakan. Digitalisasi harus dipandang sebagai alat strategis untuk membangun sistem konstruksi yang lebih efisien, inklusif, aman, dan berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Di lapangan, implementasi digitalisasi dalam industri konstruksi sudah mulai terlihat, meskipun masih terbatas. Dampaknya cukup signifikan di berbagai negara maju yang telah lebih dulu mengintegrasikan teknologi digital ke dalam regulasi dan praktik bisnis. Misalnya, Inggris mewajibkan penggunaan BIM untuk proyek pemerintah sejak 2016, yang terbukti meningkatkan transparansi, mengurangi kesalahan desain, dan menekan biaya proyek. Di Tiongkok, penerapan big data dan IoT dalam konstruksi gedung-gedung tinggi berhasil meningkatkan keselamatan kerja dengan memantau kondisi struktur secara real time.

Bagi Indonesia, dampak positif yang dapat dirasakan dari digitalisasi konstruksi sangat besar. Efisiensi biaya dan waktu terlihat nyata dalam studi-kasus lokal, seperti dalam artikel Evaluasi Implementasi Building Information Modeling (BIM) di Indonesia: Studi Kasus Nyata dan Strategi Pengembangan, di mana proyek-proyek strategis berhasil menurunkan biaya desain dan mempercepat koordinasi antar tim. Selain itu, peningkatan kualitas dan keamanan juga makin diperkuat lewat laporan seperti Digitalisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Proyek Konstruksi: Solusi Masa Depan atau Tantangan Budaya?, yang menyebut bagaimana sensor IoT dan BIM dapat meningkatkan pengawasan keselamatan di lokasi kerja dan memperkecil kecelakaan akibat kondisi yang tidak terukur. Selain itu, pengurangan dampak lingkungan bisa dicapai melalui penggunaan teknologi hijau dan IoT dalam proyek—seperti yang diulas dalam Menuju Masa Depan Hijau: Analisis Penerapan Teknologi Konstruksi Ramah Lingkungan dalam Proyek Infrastruktur, di mana penggunaan sensor IoT dan simulasi desain BIM membantu mengoptimalkan material dan konsumsi energi.

Namun, perjalanan menuju digitalisasi penuh tidak tanpa hambatan. Biaya implementasi teknologi masih menjadi penghalang utama, terutama bagi kontraktor kecil dan menengah. Investasi perangkat keras, perangkat lunak, serta pelatihan sumber daya manusia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hambatan berikutnya adalah resistensi terhadap perubahan. Banyak praktisi di lapangan yang sudah terbiasa dengan metode konvensional dan enggan beralih ke sistem digital yang dianggap rumit. Keterbatasan keterampilan digital juga menjadi persoalan serius. Tanpa pelatihan yang memadai, teknologi canggih sekalipun tidak akan memberi manfaat optimal.

Meski demikian, peluang yang ada jauh lebih besar daripada hambatan. Digitalisasi membuka kesempatan bagi terciptanya ekosistem kolaboratif yang lebih inklusif. Perusahaan-perusahaan konstruksi bisa saling terhubung dalam satu platform digital, berbagi data proyek, dan bekerja sama secara lebih efisien. Artikel Strategi Nasional Menghadapi Kesenjangan Keterampilan Digital di Industri Konstruksi untuk Era Industri 4.0 menunjukkan bahwa salah satu langkah strategis adalah pelatihan dan pengembangan keterampilan digital yang fokus agar pekerja bukan hanya mampu menggunakan perangkat digital, tapi memahami konteks penggunaannya, sehingga adopsi teknologi lebih optimal. Regulasi nasional dan insentif juga disebut dalam Implementasi Building Information Modeling Untuk Percepatan Pembangunan sebagai faktor pendukung kuat agar penggunaan BIM dan teknologi digital bisa lebih tersebar, tidak hanya di proyek besar tapi juga di skala menengah dan kecil.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk memastikan bahwa digitalisasi benar-benar mendukung pembangunan berkelanjutan, kebijakan publik harus dirancang dengan hati-hati. Ada beberapa langkah praktis yang bisa dipertimbangkan.

Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi yang mendorong adopsi teknologi digital pada proyek-proyek strategis. Seperti Inggris yang mewajibkan BIM, Indonesia bisa menetapkan aturan serupa untuk proyek infrastruktur pemerintah. Regulasi ini akan menciptakan standar nasional yang jelas sekaligus mendorong industri untuk beradaptasi.

Kedua, kebijakan insentif perlu dirancang untuk mengatasi hambatan biaya. Pemerintah bisa memberikan potongan pajak, subsidi perangkat lunak, atau skema pembiayaan khusus bagi perusahaan konstruksi yang mengadopsi teknologi digital. Insentif ini penting agar digitalisasi tidak hanya menjadi domain perusahaan besar, tetapi juga bisa diakses oleh kontraktor kecil dan menengah.

Ketiga, pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas. Pemerintah bersama perguruan tinggi, politeknik, dan asosiasi profesi bisa mengembangkan kurikulum baru yang fokus pada keterampilan digital di bidang konstruksi. Program pelatihan daring, sertifikasi digital, dan workshop reguler bisa mempercepat transformasi keterampilan tenaga kerja.

Keempat, pemerintah perlu membangun infrastruktur digital yang memadai, terutama di daerah-daerah yang sedang berkembang. Akses internet yang cepat dan stabil adalah syarat mutlak bagi keberhasilan digitalisasi. Tanpa itu, kesenjangan digital hanya akan memperlebar ketidakadilan antara kota besar dan daerah terpencil.

Kelima, kebijakan harus memastikan bahwa digitalisasi digunakan untuk tujuan keberlanjutan, bukan sekadar efisiensi. Setiap proyek konstruksi digital sebaiknya disertai indikator hijau, seperti pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, atau penggunaan material ramah lingkungan. Dengan demikian, digitalisasi tidak hanya mendukung keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian SDGs.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun digitalisasi menawarkan banyak peluang, ada potensi kegagalan kebijakan jika tidak dirancang dengan baik. Salah satu risiko terbesar adalah adopsi setengah hati. Jika regulasi hanya bersifat imbauan tanpa mekanisme pengawasan, banyak perusahaan yang akan memilih jalan aman dengan tetap menggunakan metode konvensional. Hal ini akan menciptakan kesenjangan di mana sebagian kecil perusahaan maju pesat dengan teknologi, sementara mayoritas tetap tertinggal.

Risiko lain adalah digitalisasi yang tidak inklusif. Jika kebijakan hanya menguntungkan perusahaan besar, kontraktor kecil akan semakin tersisih. Alih-alih menciptakan ekosistem yang lebih efisien dan kolaboratif, digitalisasi justru bisa memperkuat oligopoli di sektor konstruksi. Potensi kegagalan juga muncul jika fokus hanya pada aspek teknis, sementara aspek sosial dan budaya diabaikan. Misalnya, adopsi teknologi tanpa pelatihan yang memadai hanya akan menciptakan frustrasi di kalangan pekerja lapangan.

Selain itu, ada risiko bahwa digitalisasi disalahgunakan untuk kepentingan komersial semata. Perusahaan mungkin mengadopsi teknologi hanya untuk meningkatkan keuntungan tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau kesejahteraan pekerja. Jika hal ini terjadi, digitalisasi justru bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Kritik juga perlu diarahkan pada kemungkinan bahwa kebijakan digitalisasi terlalu fokus pada jangka pendek. Banyak negara mengadopsi teknologi baru tanpa menyiapkan strategi pemeliharaan jangka panjang. Akibatnya, sistem digital yang sudah diinvestasikan dengan mahal menjadi usang atau tidak terpakai karena tidak ada rencana pembaruan.

Penutup

Digitalisasi dalam industri konstruksi bukan sekadar tren teknologi, melainkan kebutuhan strategis yang harus direspons oleh kebijakan publik. Temuan Sustainability (2020) memberikan pesan kuat bahwa teknologi digital adalah kunci untuk menjawab tantangan pembangunan hijau, efisiensi energi, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, peluang besar ini hanya bisa dimanfaatkan jika pemerintah, industri, dan masyarakat bekerja sama dalam menciptakan ekosistem yang inklusif, efisien, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Bagi Indonesia, digitalisasi bisa menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan klasik konstruksi, mulai dari inefisiensi biaya, rendahnya kualitas, hingga tingginya angka kecelakaan kerja. Dengan regulasi yang jelas, insentif yang tepat, pelatihan sumber daya manusia, infrastruktur digital yang memadai, serta fokus pada tujuan hijau, transformasi ini bisa menjadi kenyataan. Namun, kebijakan harus dijalankan dengan konsisten dan diawasi dengan ketat agar tidak terjebak dalam formalitas atau hanya menguntungkan segelintir pihak.

Pada akhirnya, digitalisasi harus dipandang sebagai alat untuk membangun masa depan konstruksi yang lebih hijau, lebih aman, dan lebih manusiawi. Inilah saatnya kebijakan publik berperan sebagai penggerak utama dalam mewujudkan transformasi besar ini.

Sumber

Zheng, L., et al. (2020). Digitalization in the Construction Industry: Challenges and Opportunities for Green and Sustainable Development. Sustainability, 12(2729).

Selengkapnya
Digitalisasi dalam Industri Konstruksi: Jalan Menuju Pembangunan Hijau dan Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Strategi Percepatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi: Arah Baru Kebijakan Publik di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Pengembangan kompetensi tenaga kerja konstruksi di Indonesia bukanlah isu teknis semata, melainkan persoalan strategis yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Artikel Afrida (2022) menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang sedang digencarkan pemerintah membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, etos kerja profesional, serta pengakuan kompetensi yang diakui secara nasional maupun internasional. Tanpa kompetensi yang memadai, infrastruktur yang dibangun dengan biaya besar berisiko mengalami penurunan kualitas, kegagalan struktural, atau bahkan kecelakaan yang merugikan masyarakat luas.

Pentingnya temuan ini bagi kebijakan publik terletak pada kenyataan bahwa sektor konstruksi adalah salah satu penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB) sekaligus penyerap tenaga kerja terbesar. Pemerintah mendorong percepatan proyek strategis nasional mulai dari jalan tol, pelabuhan, bendungan, hingga ibu kota negara baru. Namun, di balik gencarnya pembangunan tersebut, masih terdapat kesenjangan antara jumlah pekerja yang tersedia dengan jumlah pekerja yang benar-benar memiliki kompetensi terukur. Banyak tenaga kerja yang bekerja tanpa sertifikasi, tanpa pelatihan berkelanjutan, dan dengan keterbatasan pemahaman terhadap standar keselamatan kerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin Indonesia bisa bersaing di tingkat global bila fondasi SDM konstruksinya masih rapuh?

Kebijakan publik memiliki peran penting dalam menjawab pertanyaan ini. Melalui regulasi, insentif, serta program strategis, pemerintah dapat menciptakan ekosistem yang mendorong percepatan kompetensi. Dengan demikian, temuan Afrida (2022) memberikan dasar kuat untuk merumuskan kebijakan nasional yang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik infrastruktur, tetapi juga membangun kualitas sumber daya manusia yang menjadi motor penggeraknya. Hal ini sejalan dengan ulasan Diklatkerja tentang tantangan sertifikasi kompetensi pekerja konstruksi di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Di lapangan, program percepatan kompetensi sudah mulai terlihat dampaknya. Pemerintah melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Balai Jasa Konstruksi, dan platform digital seperti SIBIMA Konstruksi telah menghasilkan ribuan tenaga kerja bersertifikat. Pekerja yang telah melalui program ini mampu menunjukkan kualitas kerja yang lebih baik, tingkat kesalahan yang lebih rendah, serta kesadaran lebih tinggi terhadap pentingnya keselamatan kerja. Investor asing dan mitra pembangunan internasional juga menaruh kepercayaan lebih besar ketika mengetahui bahwa proyek konstruksi di Indonesia ditangani oleh tenaga kerja yang tersertifikasi sesuai standar.

Namun, dampak positif ini masih terbatas karena adanya hambatan struktural. Biaya sertifikasi sering kali dianggap terlalu tinggi oleh pekerja informal maupun buruh harian, sehingga mereka enggan mengikuti program. Akses juga menjadi persoalan serius karena fasilitas pelatihan dan sertifikasi banyak terkonsentrasi di kota besar, sementara proyek dan pekerja terbanyak justru berada di daerah. Selain itu, kesadaran pekerja terhadap pentingnya sertifikasi masih rendah. Bagi sebagian besar pekerja, sertifikat hanyalah kertas formalitas yang tidak memberi nilai tambah pada keseharian mereka, apalagi jika perusahaan tempat mereka bekerja tidak memberikan insentif berupa kenaikan upah atau kesempatan promosi.

Di balik hambatan tersebut, terdapat peluang besar untuk mempercepat transformasi. Digitalisasi pembelajaran dan sertifikasi membuka jalan bagi akses yang lebih luas. Dengan platform daring, pelatihan bisa menjangkau pekerja di daerah terpencil tanpa harus meninggalkan lokasi proyek. Selain itu, kerja sama antara institusi pendidikan vokasi dan industri membuka ruang bagi penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan nyata di lapangan. Kesadaran global tentang pentingnya standar kompetensi internasional juga memberi peluang bagi tenaga kerja Indonesia untuk bersaing di luar negeri, asalkan sertifikasi yang mereka miliki diakui secara lintas batas.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meski tampak menjanjikan, strategi percepatan kompetensi juga mengandung risiko kegagalan. Salah satu kritik utama adalah kecenderungan untuk mengejar kuantitas sertifikat tanpa memperhatikan kualitas pelatihan. Jika orientasi hanya pada angka, sertifikasi bisa berubah menjadi formalitas administratif yang tidak mencerminkan keterampilan nyata. Artikel Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci Peningkatan atau Formalitas Administratif? menyoroti kecenderungan ini dan memperingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, sertifikasi hanya akan menambah lapisan birokrasi.

Penutup

Strategi percepatan pengembangan kompetensi tenaga kerja konstruksi adalah agenda vital bagi Indonesia untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang berkualitas, aman, dan berdaya saing global. Temuan Afrida (2022) memberikan pijakan kuat bahwa tanpa SDM kompeten, pembangunan fisik hanya akan menjadi simbol tanpa daya tahan jangka panjang. Kebijakan publik harus memastikan bahwa setiap program kompetensi berorientasi pada kualitas, bukan sekadar angka.

Dengan subsidi biaya, digitalisasi sistem pelatihan, integrasi kurikulum vokasi, kolaborasi lintas sektor, serta evaluasi berbasis kinerja, Indonesia dapat mempercepat transformasi kompetensi tenaga kerja konstruksinya. Namun, semua strategi ini harus diiringi dengan pengawasan ketat, kesadaran akan potensi kegagalan, dan fokus pada manfaat nyata bagi pekerja. Hanya dengan cara ini, percepatan kompetensi bisa menjadi pondasi kokoh bagi masa depan pembangunan nasional.

Sumber

Afrida, S. (2022). Strategic Programs to Accelerate Competency Development of Construction Workers. JISDeP Vol. 3 No. 1.

Selengkapnya
Strategi Percepatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi: Arah Baru Kebijakan Publik di Indonesia

Konstruksi

Self-Certification dalam Industri Konstruksi: Efisiensi atau Risiko Baru bagi Kebijakan Publik?

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Laporan Sapere (2020) menyoroti skema self-certification di sektor konstruksi, yakni mekanisme di mana kontraktor atau pekerja dapat menyatakan sendiri kepatuhan mereka terhadap standar teknis tanpa pemeriksaan independen. Temuan ini penting bagi kebijakan publik karena menyangkut keseimbangan antara efisiensi regulasi dan perlindungan konsumen. Di satu sisi, sistem ini dapat memangkas birokrasi dan mempercepat proses perizinan. Namun di sisi lain, ada risiko meningkatnya pelanggaran mutu dan keselamatan jika mekanisme pengawasan tidak kuat.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif penerapan self-certification adalah efisiensi waktu dan biaya, terutama pada proyek skala kecil dan menengah. Kontraktor tidak lagi harus melalui proses verifikasi panjang yang melibatkan lembaga eksternal. Namun hambatan muncul dari potensi moral hazard, karena kontraktor yang tidak berintegritas dapat menyalahgunakan sistem. Selain itu, hambatan lain adalah kurangnya literasi hukum dan teknis di kalangan kontraktor kecil sehingga berisiko membuat klaim kepatuhan tanpa memahami standar secara penuh. Meski demikian, peluang besar muncul bila sistem ini dikombinasikan dengan teknologi digital, misalnya integrasi sertifikasi mandiri dalam sistem Building Information Modelling (BIM) atau aplikasi pengawasan daring. 

Lima Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, terapkan self-certification hanya pada proyek dengan tingkat risiko rendah hingga menengah, sementara proyek besar tetap memerlukan verifikasi eksternal. Kedua, buat platform digital nasional yang memungkinkan kontraktor mengunggah bukti kepatuhan (foto, dokumen teknis, sertifikat material) yang dapat diakses publik. Ketiga, tingkatkan literasi teknis dan hukum melalui pelatihan bagi kontraktor kecil dan menengah, sejalan dengan gagasan dalam artikel Kompetensi vs Kinerja Tenaga Kerja Konstruksi yang menekankan keterkaitan kompetensi dengan hasil kerja. Keempat, sediakan mekanisme audit acak (random audit) agar kontraktor tetap terdorong untuk patuh. Kelima, kombinasikan self-certification dengan sertifikasi kompetensi tenaga kerja agar jaminan mutu tetap terjaga.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Skema self-certification bisa gagal apabila hanya mengandalkan kepercayaan tanpa pengawasan. Tanpa audit berkala, sistem ini rawan disalahgunakan, terutama oleh kontraktor yang ingin menekan biaya dengan mengorbankan mutu. Selain itu, kebijakan ini bisa memperbesar kesenjangan: perusahaan besar yang punya sistem mutu internal akan lebih siap, sedangkan UMKM konstruksi berisiko tertekan karena minim sumber daya. Artikel Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci atau Formalitas? menegaskan bahwa tanpa integritas implementasi, sertifikasi—baik mandiri maupun eksternal—berpotensi hanya menjadi formalitas administratif.

Penutup

Self-certification dalam konstruksi adalah pisau bermata dua: menawarkan efisiensi regulasi, tetapi juga membawa risiko jika tidak didukung pengawasan, digitalisasi, dan penguatan kompetensi. Temuan Sapere (2020) memberi pelajaran penting bagi Indonesia untuk berhati-hati dalam mengadopsi skema serupa. Dengan kebijakan yang selektif, berbasis risiko, serta dilengkapi teknologi dan audit acak, self-certification bisa menjadi instrumen inovatif dalam mempercepat pembangunan tanpa mengorbankan keselamatan dan kualitas.

Sumber

Sapere Research Group (2020). Self-Certification in Construction Industry Trades: A Report.

Selengkapnya
Self-Certification dalam Industri Konstruksi: Efisiensi atau Risiko Baru bagi Kebijakan Publik?

Architecture & Sustainable Design

Sebuah Paradoks yang Mengkhawatirkan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 September 2025


Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, dunia membutuhkan para inovator yang tidak hanya kreatif, tetapi juga sadar lingkungan. Profesi desainer dan inovator—mereka yang merancang produk, sistem, dan layanan yang kita gunakan setiap hari—menempati posisi kunci dalam upaya ini. Paradoksnya, sebuah penelitian terbaru di Inggris justru menunjukkan gambaran yang sangat mengkhawatirkan: institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi garda depan perubahan, justru gagal dalam menyiapkan para desainer masa depan.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Sustainability ini mengevaluasi kondisi pendidikan keberlanjutan di tingkat pascasarjana, khususnya dalam disiplin desain di Inggris. Temuan utamanya begitu mengejutkan dan membangkitkan pertanyaan serius: sekitar 80% dari kursus yang diteliti dinilai "lemah" atau "sangat lemah" dalam hal integrasi pendidikan keberlanjutan.1 Ini bukan sekadar statistik belaka; ini adalah cerminan dari kegagalan sistematis yang memiliki konsekuensi langsung bagi masa depan planet kita. Laporan ini bukan hanya tentang angka-angka, melainkan tentang cerita di balik data: cerita tentang para pendidik yang berjuang, kebijakan pemerintah yang lambat, dan calon desainer yang tidak siap menghadapi tantangan terbesar di abad ini.

 

Mengapa Pendidikan Desain Adalah Garis Depan Penyelamatan Bumi?

Penting untuk memahami mengapa profesi desainer memiliki peran yang begitu krusial dalam pembangunan berkelanjutan. Para akademisi telah lama menyoroti peran desainer sebagai pemangku kepentingan utama dalam proses Pengembangan Produk Baru (New Product Development, atau NPD). Keputusan yang diambil pada tahap desain awal sebuah produk atau layanan dapat memiliki dampak yang luar biasa pada jejak lingkungan dan sosialnya. Sebagai contoh, pemilihan material, cara produk diproduksi, hingga bagaimana produk tersebut akan didaur ulang atau dibuang pada akhir siklus hidupnya, semuanya ditentukan di meja kerja desainer.

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, penelitian ini mengutip temuan akademisi yang menyatakan bahwa desainer dapat memiliki dampak hingga 80% terhadap keberlanjutan sebuah produk baru.1 Angka yang mencengangkan ini menunjukkan bahwa keputusan desain adalah pangkal dari segalanya. Dampak 80% ini bisa diibaratkan seperti memprogram sebuah robot yang akan membangun rumah masa depan. Jika Anda salah memasukkan kode di awal—misalnya, dengan memilih bahan yang boros energi atau meminimalkan daya tahan—seluruh struktur yang dibangun akan cacat dan tidak ramah lingkungan, terlepas dari seberapa efisien proses pembangunannya.

Peran penting ini juga sejalan dengan tujuan global yang lebih besar. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya SDG 12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, secara eksplisit menargetkan inovasi produk dan pengembangan industri sebagai area kritis untuk transisi menuju masa depan yang lebih hijau.1 Ini menempatkan desainer di garis depan upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan, menggarisbawahi urgensi bagi pendidikan mereka untuk secara serius merangkul keberlanjutan.

 

Peringatan Kritis dari Kampus: Rapor Merah untuk Pendidikan Keberlanjutan

Penelitian ini mengadopsi metodologi kualitatif, di mana para peneliti meniru “perjalanan” seorang calon mahasiswa yang mencari kursus pascasarjana desain dengan fokus pada keberlanjutan. Mereka menggunakan platform online seperti The Universities and College Admissions Service (UCAS) dan Find a Masters. Dari sekitar 350 kursus pascasarjana desain yang tersedia di Inggris, hanya 14 yang teridentifikasi berpotensi memiliki unsur keberlanjutan berdasarkan kata kunci, dan setelah melalui proses penyaringan yang ketat, hanya 9 kursus yang terbukti memiliki bukti nyata adanya pendidikan keberlanjutan di dalam kurikulum mereka.1 Ini berarti, hanya sekitar 3% dari total program yang ada di Inggris yang menunjukkan komitmen pada topik ini.

Untuk mengevaluasi kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh 9 kursus ini, studi tersebut menggunakan model "Levels of Response to Sustainability Education" oleh Sterling (2004), yang mengklasifikasikan respons pendidikan terhadap keberlanjutan ke dalam empat tingkatan:

  • Level 1 (Sangat Lemah): Disebut sebagai "zero learning," di mana tidak ada perubahan pada struktur kursus saat ini dan tidak ada pendidikan keberlanjutan yang terintegrasi.
  • Level 2 (Lemah): Strategi "add-on," di mana keberlanjutan diajarkan sebagai topik terpisah atau tambahan yang tidak terhubung dengan subjek utama desain, sehingga membatasi dampak dan relevansinya bagi mahasiswa.
  • Level 3 (Kuat): Disebut sebagai strategi "built-in," di mana pendidikan keberlanjutan terintegrasi langsung dengan disiplin ilmu utama, memungkinkan mahasiswa menerapkan apa yang mereka pelajari pada masalah dunia nyata.
  • Level 4 (Sangat Kuat): Strategi "transformasi," yang menuntut reformasi total kurikulum dan institusi, di mana seluruh program atau bahkan universitas berpusat pada keberlanjutan.

Setelah evaluasi mendalam, hasilnya sangat mencemaskan. Dari 9 kursus yang berhasil lolos saringan, lima di antaranya dinilai "Lemah," dan tiga lainnya dinilai "Sangat Lemah".1 Yang lebih parah lagi, hanya

dua kursus yang berhasil mencapai level "Kuat," dan tidak ada satu pun yang mencapai level tertinggi "Sangat Kuat".1 Kesimpulan ini menunjukkan bahwa meskipun ada segelintir program yang menyertakan keberlanjutan, mayoritas melakukannya dengan cara yang dangkal dan tidak efektif. Masalahnya bukan sekadar "kurangnya pendidikan," melainkan "kualitas pendidikan yang buruk" bahkan di antara program yang seharusnya menjadi yang terdepan.

 

Kisah di Balik Angka: Mengapa Situasi Begitu Mendesak?

Temuan ini membangkitkan pertanyaan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Para peneliti mungkin terkejut bukan hanya pada rendahnya jumlah kursus yang peduli, tetapi pada kualitas yang sangat minim dari kursus-kursus tersebut. Ini adalah indikasi bahwa terlepas dari retorika publik yang gencar tentang pentingnya keberlanjutan, institusi pendidikan tinggi belum berhasil menerjemahkan komitmen itu menjadi kurikulum yang efektif.

Kesenjangan ini berdampak pada berbagai pihak:

  • Mahasiswa: Mereka memasuki pasar kerja dengan kesenjangan pengetahuan yang kritis. Tuntutan industri untuk desainer yang kompeten dalam keberlanjutan semakin meningkat, tetapi para lulusan tidak memiliki bekal yang memadai untuk memenuhi permintaan tersebut.1
  • Industri: Perusahaan kehilangan potensi inovasi dan terobosan produk yang dapat mengurangi dampak lingkungan karena kurangnya talenta desainer yang terlatih dalam keberlanjutan. Ini menghambat kemampuan mereka untuk merespons pasar yang semakin menuntut produk ramah lingkungan.
  • Masyarakat Luas: Kemajuan menuju target iklim dan keberlanjutan global menjadi terhambat karena profesi kunci yang bertanggung jawab untuk inovasi tidak memiliki bekal yang tepat untuk memimpin perubahan.1

Situasi ini semakin rumit oleh beberapa faktor eksternal yang disoroti dalam penelitian. Pertama, peran pemerintah. Meskipun kebijakan seperti EA2025 dan insentif pajak berupaya mendorong industri untuk lebih berkelanjutan, legislasi yang ada seringkali terlalu umum, kuno, dan lambat untuk mengikuti kecepatan perkembangan teknologi.1 Pemerintah Inggris sendiri mengakui bahwa "perubahan legislasi bisa lambat, sementara kecepatan perkembangan teknologi atau bukti baru tentang kerusakan lingkungan mungkin memerlukan tindakan cepat".1

Sebuah kesenjangan kebijakan yang lebih serius juga teridentifikasi: pemerintah berfokus pada pendidikan keberlanjutan di tingkat K-12 (usia 5-15 tahun), tetapi tidak memberikan mandat serupa di pendidikan tinggi.1 Ini menciptakan kegagalan sistematis dalam "estafet" pendidikan keberlanjutan. Sementara generasi muda dididik untuk peduli, institusi yang seharusnya melatih mereka untuk bertindak justru tertinggal. Selain itu, ada tantangan internal lain, seperti keengganan sebagian pendidik untuk mengubah konten mata kuliah mereka atau keterbatasan pengetahuan mereka sendiri tentang keberlanjutan. Mahasiswa juga kesulitan belajar dalam konteks hipotetis, yang menunjukkan kebutuhan mendesak untuk pembelajaran berbasis kasus nyata, proyek studio, dan kolaborasi dengan industri.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Pendidikan yang "Kuat" dan Berdampak

Sebagai respons terhadap tantangan ini, penelitian ini mengusulkan sebuah Model Kerangka Kerja Pendidikan Berkelanjutan yang dirancang untuk membantu kursus desain pascasarjana bertransisi dari level "lemah" atau "sangat lemah" menjadi level "kuat".1 Model ini memvisualisasikan perjalanan akademis sebagai sebuah roda yang terus berputar, menekankan siklus pembelajaran berkelanjutan dan perbaikan konstan.

  • Fase 1: Pondasi Akademis (Term 1). Mengingat banyak mahasiswa belum mendapatkan pendidikan keberlanjutan di tingkat sarjana, fase ini berfokus pada pembangunan fondasi yang kuat. Kerangka kerja menyarankan adanya modul pengantar yang mengajarkan konsep-konsep dasar keberlanjutan, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.1
  • Fase 2: Aplikasi dan Kolaborasi (Term 2). Setelah fondasi terbentuk, fase kedua ini menekankan pada aplikasi praktis. Kerangka kerja menyarankan modul wajib "Desain untuk Keberlanjutan," yang berfokus pada solusi berkelanjutan dalam konteks desain. Model ini mendorong penggunaan pembelajaran berbasis studio dan kolaborasi dengan mitra industri untuk mengerjakan live briefs. Metode ini membantu mengatasi masalah "pembelajaran hipotetis" dan menyiapkan mahasiswa untuk tantangan dunia nyata.
  • Fase 3: Proyek Transformasi dan Refleksi (Term 3). Fase ini adalah puncak dari kurikulum. Mahasiswa mengerjakan proyek penelitian individu utama yang memiliki komponen keberlanjutan wajib. Mereka didorong untuk bekerja dengan mitra industri untuk mensimulasikan tantangan nyata dan menerapkan alat-alat seperti Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment atau LCA) untuk mengevaluasi produk mereka.1 Fase ini memberdayakan mahasiswa untuk menjadi agen perubahan dan selaras dengan teori "Desain untuk Transisi," yang mendorong pembelajaran dan tindakan berkelanjutan.1

Selain itu, model ini juga menempatkan tanggung jawab penting pada pimpinan program. Pada akhir tahun ajaran, mereka harus meninjau masukan dari mahasiswa tentang pendidikan keberlanjutan yang mereka terima dan menyesuaikan kurikulum untuk tahun berikutnya. Pimpinan program juga disarankan untuk secara aktif meninjau kebijakan dan regulasi pemerintah terkait keberlanjutan dalam industri, memastikan bahwa pengajaran tetap relevan dengan tuntutan dunia kerja.1

 

Kritik dan Realitas: Peran Lembaga Akreditasi dan Pemerintah

Penting untuk melihat model yang diusulkan ini dalam konteks tantangan yang ada. Salah satu temuan yang paling kontradiktif adalah peran badan akreditasi. Organisasi seperti The Institution of Engineering Designers (IED) dan the Institution of Engineering and Technology (IET) telah menyatakan komitmen mereka untuk memasukkan prinsip-prinsip keberlanjutan sebagai syarat akreditasi.1 Namun, dalam penelitian ini, dua kursus yang diakreditasi oleh lembaga-lembaga ini justru hanya mendapat peringkat "lemah".1

Kontradiksi ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kursus yang diakreditasi oleh badan-badan yang proaktif dalam keberlanjutan masih tertinggal? Ini menunjukkan bahwa kriteria akreditasi yang ada mungkin hanya memenuhi persyaratan minimum, bukan mendorong keunggulan atau inovasi. Akreditasi bisa menjadi sekadar "latihan memenuhi daftar" (check-box exercise) alih-alih menjadi dorongan nyata untuk perubahan substantif.

Hal ini kembali menggarisbawahi perlunya dorongan dari pemerintah. Meskipun pemerintah Inggris mengakui perlunya perubahan cepat, legislasi yang ada seringkali tidak fleksibel dan lambat untuk diimplementasikan.1 Studi ini secara implisit menyoroti ketegangan antara otonomi universitas dan kebutuhan mendesak untuk bertindak demi kebaikan bersama. Meskipun otonomi memungkinkan inovasi, dalam kasus pendidikan keberlanjutan, ia justru menjadi hambatan karena tidak ada mandat yang jelas bagi universitas untuk mengintegrasikan keberlanjutan secara mendalam ke dalam kurikulum mereka.

 

Dampak Nyata dan Kesimpulan: Mendesak Transisi Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau

Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan gambaran yang jelas dan mengkhawatirkan: desainer adalah kunci untuk masa depan yang berkelanjutan, namun pendidikan yang mereka terima berada dalam krisis. Kegagalan ini disebabkan oleh kombinasi masalah kurikulum, keengganan institusi, dan kurangnya dorongan yang memadai dari pemerintah dan badan akreditasi. Namun, penelitian ini juga menawarkan solusi yang nyata dan terukur.

Jika Model Kerangka Kerja Pendidikan Berkelanjutan yang diusulkan ini diterapkan secara luas dan didukung oleh kebijakan yang lebih tegas, pendidikan desain pascasarjana di Inggris akan mengalami transformasi yang signifikan. Dalam waktu lima tahun, kita bisa melihat gelombang desainer baru yang menghasilkan terobosan produk dan sistem yang mampu secara masif mengurangi biaya lingkungan dan sosial, serta mendorong tercapainya target-target iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Laporan ini bukan sekadar studi kasus tentang Inggris, melainkan sebuah cermin untuk seluruh dunia, menunjukkan apa yang salah dan menawarkan peta jalan yang jelas untuk memperbaikinya. Ini adalah panggilan aksi bagi para pembuat kebijakan, pimpinan universitas, dan pendidik untuk segera bertindak dan mengambil tanggung jawab mereka dalam mempersiapkan generasi desainer yang benar-benar mampu menyelamatkan Bumi.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.3389/frsus.2023.114868

Selengkapnya
Sebuah Paradoks yang Mengkhawatirkan
page 1 of 1.188 Next Last »