Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Transformasi digital telah menjadi prioritas utama bagi banyak organisasi di Indonesia—baik di sektor publik, swasta, maupun BUMN. Implementasi sistem berbasis cloud, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI) membuka peluang besar bagi efisiensi dan inovasi. Namun, di balik peluang tersebut, muncul ancaman baru yang tidak kalah serius: risiko siber.
Kasus serangan ransomware terhadap sejumlah rumah sakit dan lembaga pemerintah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa isu keamanan siber tidak lagi bersifat teknis semata, melainkan sudah menjadi isu strategis korporasi dan nasional. Sayangnya, banyak organisasi masih melihat keamanan siber sebagai urusan tim IT, bukan tanggung jawab kolektif yang melibatkan manajemen puncak dan dewan direksi.
Artikel ini mengadaptasi gagasan Thomas Parenty dan Jack Domet dalam Harvard Business Review untuk menyoroti bagaimana perusahaan, termasuk di Indonesia, dapat menilai dan mengelola risiko siber secara sistematis — bukan sekadar dengan membeli teknologi baru, melainkan dengan membangun tata kelola risiko yang matang dan terukur.
Pendekatan Baru dalam Menilai Risiko Siber
Banyak organisasi menilai ancaman siber secara sempit—misalnya dengan menghitung potensi kerugian finansial dari serangan atau jumlah sistem yang terdampak. Padahal, sebagaimana dijelaskan Parenty dan Domet, pendekatan ini sering gagal karena tidak menilai secara strategis hubungan antara ancaman, aset penting, dan dampak terhadap operasi bisnis.
Dalam konteks Indonesia, di mana banyak BUMN dan instansi pemerintah mengelola data publik berskala besar, pendekatan yang diperlukan adalah risk-based governance: menilai risiko berdasarkan prioritas strategis, bukan sekadar kemungkinan teknis serangan.
Pendekatan ini melibatkan tiga langkah utama:
Identifikasi aset kritis — menentukan informasi, sistem, atau layanan yang paling vital bagi kelangsungan operasi.
Analisis potensi ancaman dan dampak bisnis — menilai bagaimana gangguan pada aset tersebut akan memengaruhi layanan publik, kepercayaan masyarakat, atau reputasi lembaga.
Penerapan kontrol berbasis prioritas — mengalokasikan sumber daya keamanan sesuai tingkat risiko yang paling signifikan, bukan berdasarkan daftar ancaman yang terlalu luas.
Contohnya, untuk lembaga seperti PLN atau Telkom, serangan siber yang mengganggu sistem distribusi energi atau jaringan komunikasi memiliki dampak jauh lebih besar dibandingkan ancaman terhadap sistem administratif internal. Karena itu, pengamanan harus difokuskan pada sistem operasional kritis (Operational Technology/OT) yang menopang infrastruktur nasional.
Peran Pimpinan dan Dewan Direksi
Salah satu kesalahan paling umum di banyak organisasi Indonesia adalah menganggap keamanan siber sebagai urusan teknis level bawah. Padahal, seperti yang ditekankan Parenty dan Domet, tanggung jawab utama justru berada pada dewan dan manajemen puncak.
Dewan direksi harus memandang keamanan siber sebagai bagian dari manajemen risiko korporasi (Enterprise Risk Management, ERM). Artinya, keputusan tentang investasi keamanan, kebijakan perlindungan data, hingga kesiapan menghadapi insiden siber harus dikaitkan langsung dengan strategi bisnis dan keberlanjutan organisasi.
Di Indonesia, peran ini mulai mendapat perhatian melalui regulasi seperti Peraturan OJK No. 4/POJK.05/2021 tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi, yang mewajibkan lembaga keuangan menerapkan tata kelola risiko siber yang mencakup keterlibatan dewan komisaris dan direksi. Namun, implementasinya masih terbatas, terutama di sektor non-keuangan dan lembaga daerah.
Untuk memperkuat peran strategis pimpinan, organisasi perlu:
Menetapkan chief information security officer (CISO) yang memiliki akses langsung ke level eksekutif;
Memasukkan laporan risiko siber ke dalam agenda rutin rapat direksi dan audit komite;
Menyusun rencana kontinuitas bisnis (business continuity plan) yang mencakup skenario serangan siber besar.
Langkah-langkah ini akan memastikan keamanan siber tidak dipandang sebagai beban biaya, melainkan sebagai investasi dalam resiliensi organisasi.
Membangun Budaya Keamanan di Seluruh Tingkatan
Tidak ada teknologi yang dapat menggantikan kesadaran manusia sebagai lini pertahanan pertama. Dalam banyak kasus pelanggaran data di Indonesia, akar masalah bukanlah celah sistem, melainkan kelalaian manusia — klik tautan berbahaya, penggunaan kata sandi lemah, atau pembocoran data tidak sengaja.
Maka, membangun budaya keamanan menjadi keharusan. Program pelatihan keamanan siber harus bersifat berkelanjutan, realistis, dan relevan dengan konteks kerja masing-masing departemen. Karyawan perlu memahami bahwa keamanan data bukan hanya tugas IT, melainkan bagian dari tanggung jawab etika profesional.
Selain itu, manajemen harus menumbuhkan lingkungan psikologis yang aman di mana karyawan tidak takut melaporkan kesalahan atau potensi pelanggaran. Budaya semacam ini memungkinkan organisasi untuk belajar dari insiden, bukan menyembunyikannya.
Implikasi bagi Tata Kelola Siber Nasional
Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai otoritas utama di bidang keamanan siber. Namun, efektivitas pengelolaan risiko siber tidak hanya bergantung pada lembaga pusat, melainkan juga pada sinkronisasi kebijakan antar sektor.
BUMN, kementerian, dan perusahaan swasta perlu menerapkan kerangka kerja keamanan terpadu yang mengacu pada standar global seperti ISO/IEC 27001, NIST Cybersecurity Framework, atau panduan BSSN sendiri. Penerapan kerangka ini bukan sekadar untuk kepatuhan, tetapi untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya perlindungan data publik dan infrastruktur digital nasional.
Ke depan, kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi kunci. Serangan siber tidak mengenal batas institusi, sehingga diperlukan ekosistem keamanan yang terbuka, adaptif, dan berbasis pertukaran informasi antar organisasi.
Penutup
Keamanan siber bukan lagi isu teknis, melainkan bagian integral dari ketahanan organisasi dan nasional. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan risiko siber harus bergeser dari pendekatan reaktif menjadi proaktif dan strategis. Dewan direksi, pimpinan lembaga, dan seluruh lapisan organisasi perlu menyadari bahwa data dan sistem digital adalah aset utama abad ke-21.
Sebagaimana disampaikan Parenty dan Domet, langkah pertama bukanlah membeli teknologi baru, melainkan memahami risiko yang paling penting dan menanganinya secara sadar, sistematis, dan bertanggung jawab. Dengan tata kelola yang kuat, budaya keamanan yang hidup, dan kepemimpinan yang visioner, Indonesia dapat membangun fondasi keamanan digital yang tangguh menuju ekonomi berbasis data yang berdaulat.
Daftar Pustaka
Parenty, T. J., & Domet, J. J. (2019). Sizing up your cyberrisks. Harvard Business Review, 102(5), 219–238.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). (2023). Panduan keamanan siber nasional untuk sektor publik dan infrastruktur kritis. Jakarta: BSSN.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2021). Peraturan OJK No. 4/POJK.05/2021 tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi. Jakarta: OJK.
International Organization for Standardization. (2022). ISO/IEC 27001: Information security management systems — Requirements. Geneva: ISO.
NIST. (2020). Framework for improving critical infrastructure cybersecurity (Version 1.1). Gaithersburg, MD: National Institute of Standards and Technology.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Gelombang adopsi kecerdasan buatan (AI) yang meluas telah mengubah arah perkembangan dunia bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, AI bukan lagi sekadar alat bantu analisis, tetapi menjadi fondasi baru bagi model kerja, inovasi, dan pengambilan keputusan. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Satya Nadella bersama Thomas H. Davenport dan Marco Iansiti dalam Harvard Business Review (2024), kesuksesan implementasi AI tidak ditentukan oleh seberapa cepat perusahaan mengadopsi teknologi, melainkan oleh bagaimana organisasi membangun kepemimpinan dan budaya yang adaptif terhadap perubahan.
Perusahaan yang berhasil memanfaatkan AI bukan hanya yang memiliki algoritma terbaik, tetapi yang mampu mengintegrasikan kemampuan manusia dengan kecerdasan mesin secara sinergis. Artikel ini membahas bagaimana AI merevolusi struktur organisasi, menata ulang peran kepemimpinan, dan mengubah cara manusia berkolaborasi dalam menciptakan nilai baru di era digital.
AI sebagai Pendorong Evolusi Bisnis Modern
AI telah menjadi katalis utama dalam transformasi bisnis global. Teknologi ini memungkinkan perusahaan mengotomatisasi keputusan, memprediksi tren pasar, dan menciptakan model bisnis baru dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, tantangan terbesarnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada bagaimana organisasi menyesuaikan struktur, budaya, dan proses pengambilan keputusan agar mampu memanfaatkan potensi AI secara optimal.
Nadella menekankan bahwa AI seharusnya dipandang sebagai co-pilot, bukan pengganti manusia. Konsep ini menggambarkan hubungan simbiosis antara kecerdasan buatan dan manusia, di mana mesin memperluas kapasitas berpikir manusia, sementara manusia memberikan konteks, empati, dan arah strategis. Pendekatan ini menciptakan bentuk kolaborasi baru yang menuntut keterampilan kepemimpinan berbeda — bukan hanya menguasai teknologi, tetapi memahami dimensi etis, sosial, dan kognitif dari penggunaannya.
Perusahaan seperti Microsoft, GitHub, dan OpenAI menjadi contoh nyata dari paradigma ini. Dengan mengintegrasikan AI copilots ke dalam sistem kerja harian, mereka berhasil meningkatkan produktivitas tanpa menghilangkan peran manusia dalam proses kreatif.
AI membantu menemukan pola dan solusi, sementara keputusan akhir tetap dipegang manusia, memastikan keseimbangan antara presisi dan nilai kemanusiaan.
Membangun Sinergi antara Teknologi dan Manusia
Transformasi AI menuntut organisasi untuk menata ulang hubungan antara manusia dan teknologi. Alih-alih menggantikan pekerjaan manusia, AI memperluas potensi manusia melalui peningkatan kapasitas kognitif dan efisiensi. Namun, untuk mencapai hal itu, perusahaan perlu mengembangkan AI literacy — kemampuan kolektif untuk memahami cara kerja, batas, dan potensi AI dalam konteks bisnis.
AI hanya akan bernilai bila diintegrasikan ke dalam proses kerja yang berbasis kolaborasi dan kepercayaan. Data, algoritma, dan hasil analisis perlu dipahami secara transparan agar setiap anggota tim dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Inilah yang disebut Nadella sebagai human-centered AI: pendekatan di mana teknologi dirancang untuk memberdayakan, bukan mendominasi.
Beberapa organisasi global telah menerapkan prinsip ini melalui program pelatihan lintas fungsi. Karyawan tidak hanya belajar menggunakan alat AI, tetapi juga belajar berpikir bersama mesin — mengajukan pertanyaan yang lebih tajam, mengevaluasi hasil dengan skeptisisme sehat, dan memadukan analisis algoritmik dengan intuisi profesional. Keterampilan seperti inilah yang membedakan organisasi cerdas dari sekadar organisasi digital.
Kepemimpinan Adaptif di Era AI
Kepemimpinan di era kecerdasan buatan menuntut pergeseran paradigma dari kontrol menuju orkestrasi. Pemimpin tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, tetapi sebagai pengarah ekosistem yang kompleks antara manusia, data, dan sistem digital.
Thomas H. Davenport menyebut pemimpin semacam ini sebagai AI-driven leader — sosok yang mampu menyeimbangkan tiga peran utama:
Penerjemah teknologi, yang menjembatani bahasa teknis AI dengan strategi bisnis.
Pengembang manusia, yang memastikan tim tidak hanya terampil secara digital, tetapi juga tangguh secara mental.
Arsitek etika, yang menjaga agar pemanfaatan AI tetap berada dalam koridor tanggung jawab sosial.
Pemimpin adaptif memahami bahwa penerapan AI bukan hanya soal inovasi, tetapi juga soal keadilan, kepercayaan, dan inklusivitas.
Keputusan berbasis data yang tampak objektif sekalipun bisa bias jika tidak diawasi oleh kebijaksanaan manusia. Oleh karena itu, kepemimpinan masa depan tidak bisa lagi bersifat teknokratik, melainkan kolaboratif dan reflektif.
Implikasi bagi Organisasi di Indonesia
Bagi organisasi di Indonesia, adopsi AI masih berada pada tahap transisi antara euforia teknologi dan penerapan yang berkelanjutan. Banyak perusahaan mulai mengimplementasikan chatbots, sistem rekomendasi, atau otomatisasi data, tetapi belum memiliki strategi komprehensif untuk membangun budaya digital dan etika AI.
Arah yang perlu ditekankan adalah penguatan literasi digital di semua level organisasi. Pemimpin perlu menciptakan ruang belajar di mana karyawan memahami bahwa AI bukan ancaman, melainkan alat bantu untuk memperluas potensi kerja. Universitas dan lembaga pelatihan juga berperan penting dalam mencetak generasi profesional yang mampu berpikir kritis terhadap hasil algoritmik dan memiliki kesadaran etis dalam penggunaannya.
Dalam konteks birokrasi publik, AI dapat meningkatkan efisiensi layanan dan akurasi kebijakan jika diterapkan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun tanpa kepemimpinan adaptif dan sistem tata kelola yang kuat, AI justru bisa memperlebar kesenjangan digital antarwilayah.
Kesimpulan
Kecerdasan buatan bukan sekadar alat teknologi, melainkan cermin dari evolusi manusia dalam memanfaatkan informasi. Keberhasilan organisasi di masa depan akan bergantung pada kemampuan menyeimbangkan potensi algoritma dengan kebijaksanaan manusia. AI yang dirancang dengan nilai-nilai kemanusiaan akan memperkuat daya saing dan menciptakan ruang kerja yang lebih kolaboratif, inklusif, dan kreatif.
Sebagaimana ditegaskan Satya Nadella, masa depan bukanlah tentang manusia versus mesin, melainkan manusia bersama mesin, menciptakan dunia kerja yang lebih cerdas dan berempati. Dalam sinergi inilah lahir bentuk baru dari kepemimpinan digital — kepemimpinan yang tidak hanya memimpin perubahan, tetapi juga belajar bersamanya.
Daftar Pustaka
Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.
Nadella, S. (2024). Reimagining leadership in the age of AI. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.
Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2017). Machine, platform, crowd: Harnessing our digital future. W. W. Norton & Company.
Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.
OECD. (2023). The future of work in the digital economy. Paris: OECD Publishing.
World Economic Forum. (2024). Leadership in the age of artificial intelligence. Geneva: World Economic Forum.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2025). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Transformasi digital kini menjadi keniscayaan di hampir semua sektor industri. Namun, penelitian dan praktik lapangan menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi digital tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pola pikir (mindset) yang mendasari penggunaannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Tsedal Neeley dan Paul Leonardi dalam Harvard Business Review, organisasi yang ingin berkembang di era digital perlu mengembangkan digital mindset—suatu cara berpikir dan berperilaku yang memungkinkan individu dan tim melihat peluang melalui data, algoritma, dan kecerdasan buatan.
Kasus perusahaan Atos, Philips, Moderna, dan Unilever menunjukkan bahwa adopsi teknologi tanpa perubahan mindset akan menghasilkan transformasi yang dangkal. Sebaliknya, ketika budaya belajar, integrasi sistem, dan adaptasi manusia berjalan serempak, digitalisasi dapat mengubah bukan hanya proses bisnis, tetapi juga daya tahan dan ketangkasan organisasi.
Apa Itu Digital Mindset?
Digital mindset bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat lunak atau memahami analitik data.
Ia adalah cara berpikir yang memandang teknologi sebagai peluang strategis untuk menciptakan nilai baru.
Individu dengan digital mindset melihat pola dalam data, memahami potensi algoritma, dan menggunakan AI untuk mempercepat inovasi serta pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan digital mindset cenderung memiliki:
Produktivitas dan kepuasan kerja lebih tinggi,
Peluang promosi yang lebih besar, serta
Kesiapan lebih baik menghadapi disrupsi teknologi.
Sementara bagi organisasi, keberadaan mindset ini menciptakan budaya fleksibel, kolaboratif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan.
Belajar dari Atos: Transformasi yang Dimulai dari Pembelajaran
Ketika Thierry Breton memimpin Atos pada 2008, ia menyadari bahwa pertumbuhan perusahaan tidak akan berlanjut tanpa reformasi digital. Ia meluncurkan program Digital Transformation Factory—pelatihan bersertifikat berbasis AI dan data analytics yang bersifat sukarela. Keberhasilan program ini bukan karena sistemnya canggih, melainkan karena motivasi karyawan untuk belajar tumbuh secara organik.
Lebih dari 70.000 karyawan mendapatkan sertifikasi dalam tiga tahun, membuktikan bahwa transformasi sejati terjadi ketika individu menginternalisasi nilai digital, bukan sekadar menjalani pelatihan formal.
Membangun Budaya Pembelajaran Berkelanjutan
Contoh lain datang dari Philips, yang beralih dari produsen perangkat kesehatan menjadi penyedia solusi digital. Perusahaan ini menciptakan sistem AI-powered learning platform yang menyesuaikan materi pelatihan dengan kebutuhan dan ritme tiap individu. Pendekatan ini memperkuat pembelajaran sosial (social learning)—di mana karyawan saling berbagi pengetahuan, menciptakan ekosistem belajar yang adaptif dan inklusif.
Transformasi budaya ini menegaskan bahwa teknologi hanya akan efektif jika diimbangi dengan kesiapan manusia untuk terus belajar.
Integrasi Sistem dan Proses: Pelajaran dari Moderna dan Unilever
Moderna menjadi contoh ideal bagaimana integrasi sistem digital dapat mempercepat inovasi. Dengan arsitektur berbasis cloud, data yang terbuka, dan algoritma AI untuk R&D, perusahaan ini berhasil mengembangkan lebih dari 20 algoritma baru hanya beberapa bulan setelah pandemi COVID-19 dimulai. Seperti dikatakan CEO Stéphane Bancel, “Digitization only makes sense once the processes are done.” Artinya, digitalisasi harus dimulai dari restrukturisasi proses kerja—bukan sekadar implementasi perangkat lunak.
Sementara itu, Unilever membuktikan bahwa transformasi digital juga dapat diterapkan dalam skala global. Dengan membentuk lebih dari 300 tim agile lintas negara, perusahaan berhasil memadukan data global dan fleksibilitas lokal. Pendekatan ini menunjukkan bahwa organisasi besar sekalipun dapat menjadi gesit bila didukung oleh mindset digital yang terdistribusi di seluruh level.
Tantangan: Membangun Kepercayaan dan Kapasitas Belajar
Digital transformation sering menghadapi resistensi.
Menurut Neeley dan Leonardi, tantangan utama terletak pada dua aspek:
Tingkat kepercayaan (buy-in) terhadap manfaat transformasi, dan
Kapasitas belajar (capacity to learn) para karyawan.
Organisasi perlu menilai posisi setiap individu dalam digital adoption matrix: apakah mereka terinspirasi, frustrasi, acuh, atau tertekan.
Manajer berperan penting dalam memindahkan anggota tim menuju kuadran “terinspirasi”—melalui komunikasi, pelatihan, dan pemberian peran bermakna dalam proyek digital
.
Mengelola Perubahan Sebagai Proses Permanen
Era digital tidak memiliki “titik akhir transformasi.” Teknologi, data, dan perilaku pelanggan terus berubah, sehingga organisasi harus melihat perubahan sebagai kondisi permanen. Pemimpin perlu membangun budaya yang mampu beradaptasi terus-menerus, bukan sekadar bereaksi terhadap tren. Dengan kata lain, transformasi digital bukan tujuan akhir, melainkan cara hidup organisasi modern.
Kesimpulan
Membangun digital mindset berarti menggeser paradigma dari sekadar menguasai alat menjadi menguasai cara berpikir baru.
Organisasi yang berhasil adalah yang mampu menyatukan teknologi, manusia, dan budaya belajar dalam satu arah perubahan yang berkelanjutan.
Seperti disimpulkan Neeley dan Leonardi, digital transformation bukan sekadar proyek IT, tetapi proyek manusia.
Ketika individu di seluruh level memiliki rasa ingin tahu, keberanian bereksperimen, dan kesiapan untuk terus belajar, maka transformasi digital akan menjadi bagian alami dari evolusi organisasi — bukan sekadar slogan perubahan.
Daftar Pustaka
Neeley, T., & Leonardi, P. (2022). Developing a digital mindset. Harvard Business Review, 100(4), 63–80.
Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review.
Leonardi, P. M. (2021). The digital mindset: What it really takes to thrive in the age of data, algorithms, and AI. Harvard Business Review Press.
Nadella, S. (2017). Hit refresh: The quest to rediscover Microsoft’s soul and imagine a better future for everyone. Harper Business.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.
Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.
World Economic Forum. (2024). Future readiness of organizations: Leading in the age of AI. Geneva: WEF.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Dalam dua dekade terakhir, struktur kepemimpinan teknologi di banyak organisasi berkembang menjadi semakin kompleks. Setelah kehadiran Chief Information Officer (CIO) pada 1980-an, muncul berbagai jabatan baru seperti Chief Technology Officer (CTO), Chief Data Officer (CDO), Chief Analytics Officer (CAO), Chief Digital Officer (CDigO), hingga Chief AI Officer (CAIO). Fenomena ini mencerminkan meningkatnya pentingnya teknologi dalam strategi bisnis, tetapi juga menimbulkan fragmentasi kepemimpinan dan kebingungan peran di tingkat eksekutif.
Sebuah studi oleh Thoughtworks dan MIT Chief Data Officer Symposium menemukan bahwa lebih dari 80% pemimpin teknologi dan data mengakui adanya tumpang tindih fungsi dan kebingungan tanggung jawab dalam organisasi mereka. Hanya 12% responden yang menyatakan struktur kepemimpinan teknologinya benar-benar jelas. Situasi ini membuat banyak organisasi kesulitan memanfaatkan potensi penuh teknologi dan data untuk inovasi bisnis.
Davenport dan rekan-rekannya mengusulkan solusi yang kini mulai diadopsi oleh sejumlah perusahaan besar: konsolidasi peran-peran teknologi di bawah satu kepemimpinan terpadu, yang mereka sebut sebagai SuperTech Leader. Pemimpin ini tidak hanya mengawasi sistem IT, tetapi juga mengintegrasikan fungsi data, analitik, AI, keamanan siber, dan digitalisasi dalam satu visi bisnis yang kohesif.
SuperTech Leadership: Menyatukan Bisnis dan Teknologi
Transformasi digital modern menuntut bentuk kepemimpinan baru yang melampaui batas tradisional antara teknologi dan bisnis.
Selama bertahun-tahun, organisasi cenderung memisahkan fungsi-fungsi teknologi ke dalam berbagai jabatan khusus CIO untuk infrastruktur, CDO untuk data, CAO untuk analitik, hingga CAIO untuk kecerdasan buatan. Fragmentasi ini awalnya dianggap sebagai solusi untuk mengelola kompleksitas digital, tetapi kini justru menimbulkan masalah koordinasi, tumpang tindih tanggung jawab, dan hilangnya arah strategis yang menyeluruh.
Menurut Thomas H. Davenport dan rekan-rekannya, model baru yang lebih adaptif adalah SuperTech Leadership sebuah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh fungsi teknologi di bawah satu kepemimpinan strategis. SuperTech leader bukan sekadar “pemimpin teknologi dengan cakupan lebih luas,” melainkan arsitek organisasi digital yang memahami hubungan antara teknologi, data, strategi bisnis, dan inovasi manusia.
1. Definisi dan Karakteristik SuperTech Leader
SuperTech leader dapat dipahami sebagai pemimpin tingkat eksekutif yang memiliki tanggung jawab menyeluruh terhadap strategi teknologi, data, AI, dan transformasi digital organisasi. Ia bukan hanya pengelola sistem, tetapi juga pembentuk visi strategis berbasis data yang menyatukan seluruh aspek bisnis dan teknologi.
Menurut survei HBR (2024), ada tiga kompetensi utama yang membedakan seorang SuperTech leader dari pemimpin teknologi konvensional:
Kepemimpinan strategis dan komunikasi lintas fungsi — kemampuan untuk menjembatani bahasa bisnis dan bahasa teknis, serta mengoordinasikan visi lintas departemen.
Pemahaman mendalam terhadap strategi bisnis — tidak hanya tahu “bagaimana teknologi bekerja,” tetapi juga “mengapa teknologi penting” dalam konteks pertumbuhan, efisiensi, dan inovasi.
Orientasi pada penciptaan nilai (value creation) — fokus bukan pada proyek teknologi, tetapi pada dampak bisnis yang dapat diukur, seperti peningkatan produktivitas, kepuasan pelanggan, atau efisiensi operasional.
Dalam praktiknya, SuperTech leader berperan sebagai chief integrator yang menghubungkan keputusan strategis dengan kapabilitas teknis, memastikan bahwa setiap inisiatif digital mengarah pada tujuan bisnis yang jelas.
2. Evolusi dari CIO Menuju SuperTech
Konsep SuperTech merupakan kelanjutan alami dari evolusi jabatan Chief Information Officer (CIO).
Selama dua dekade, peran CIO berkembang dari sekadar pengelola infrastruktur IT menjadi mitra strategis dalam transformasi digital.
Namun, seiring bertambahnya jabatan baru yaitu CDO, CAO, CTO, dan lainnya banyak organisasi kehilangan kejelasan arah dan fokus.
SuperTech leadership hadir untuk mengembalikan kesatuan arah strategis tersebut. Ia menyatukan fungsi-fungsi yang sebelumnya terpisah dan mengubah cara pandang organisasi terhadap teknologi: dari “fungsi pendukung” menjadi pilar utama pertumbuhan dan inovasi.
Dalam beberapa kasus, SuperTech leader memegang peran ganda misalnya CIO sekaligus CDO sehingga dapat mengelola infrastruktur, data, dan analitik dalam satu ekosistem. Model ini terbukti berhasil di perusahaan seperti CarMax, TIAA, dan Vista Equity Partners, di mana penggabungan peran justru mempercepat integrasi digital dan mengurangi biaya koordinasi antar-unit teknologi.
3. Peran Strategis dalam Ekosistem Organisasi Digital
SuperTech leader berfungsi sebagai pengarah arsitektur digital organisasi.
Ia menetapkan arah bagi:
Infrastruktur dan sistem inti (melalui kebijakan teknologi yang terintegrasi),
Data governance dan analitik,
Inovasi berbasis AI dan otomatisasi, serta
Keamanan siber dan tata kelola etika teknologi.
Kepemimpinan ini bersifat lintas disiplin. SuperTech tidak bekerja sendirian, tetapi membangun jaringan kepemimpinan kolaboratif yang melibatkan business unit heads, kepala risiko, dan tim teknologi. Dengan demikian, organisasi mampu menghindari jebakan “digital silos” dan memastikan bahwa keputusan strategis selalu berbasis data dan kolaborasi lintas fungsi.
Selain itu, SuperTech leader juga memainkan peran penting dalam membangun budaya organisasi digital (digital-first culture).
Ia mendorong semua karyawan bukan hanya tim teknologi untuk memahami nilai data, memanfaatkan alat digital, dan berpartisipasi aktif dalam inovasi. Dengan kata lain, SuperTech bukan hanya pemimpin teknologi, melainkan penggerak transformasi manusia di era digital.
4. SuperTech sebagai Model Kepemimpinan Masa Depan
Davenport dan rekan-rekannya menegaskan bahwa era pasca-pandemi telah mempercepat kebutuhan akan kepemimpinan terpadu.
Organisasi kini tidak lagi memiliki kemewahan untuk memisahkan fungsi teknologi dari strategi inti bisnis. AI, data, dan keamanan siber telah menjadi pilar kelangsungan organisasi, bukan tambahan.
Dalam konteks ini, SuperTech leadership menjadi model kepemimpinan masa depan yang berorientasi pada:
Kecepatan pengambilan keputusan — dengan menghapus rantai komunikasi yang panjang antar fungsi digital.
Kohesi strategi digital dan bisnis — semua inisiatif teknologi mengacu pada tujuan organisasi yang sama.
Akuntabilitas yang jelas — satu pemimpin bertanggung jawab atas hasil transformasi digital secara menyeluruh.
SuperTech leader bukan hanya posisi jabatan, tetapi juga kerangka berpikir baru: cara memandang teknologi sebagai sistem nilai yang hidup, menyatu dengan arah strategis organisasi.
5. Relevansi bagi Dunia Bisnis dan Pemerintahan di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, model SuperTech memiliki relevansi tinggi karena banyak organisasi masih menjalankan fungsi digital, data, dan TI secara terpisah. Banyak lembaga publik, universitas, dan perusahaan BUMN memiliki jabatan CIO, CDO, dan CAO yang bekerja secara paralel tanpa koordinasi yang erat. Akibatnya, program transformasi digital sering berjalan lambat dan tidak konsisten.
Dengan mengadopsi pendekatan SuperTech, organisasi dapat:
Menyatukan visi digital dan data ke dalam strategi bisnis nasional,
Mengurangi redundansi dalam proyek IT dan data analytics,
Meningkatkan akuntabilitas serta efektivitas transformasi digital lintas lembaga, dan
Mendorong koordinasi antara kebijakan teknologi, AI, dan keamanan informasi di tingkat eksekutif.
Model kepemimpinan terpadu seperti ini juga dapat mendukung kebijakan nasional seperti Satu Data Indonesia dan Digital Governance Framework dengan memastikan arah digitalisasi yang lebih terstruktur dan terukur.
SuperTech leadership mencerminkan pergeseran paradigma dari kepemimpinan teknologi yang terfragmentasi menuju kepemimpinan digital yang holistik dan kolaboratif. Pemimpin di era ini dituntut untuk menggabungkan kompetensi strategis, pemahaman teknologi, dan kepemimpinan manusia dalam satu visi yang terarah. Mereka bukan sekadar mengelola sistem digital, tetapi membangun organisasi yang hidup di dalamnya organisasi yang berinovasi, belajar, dan tumbuh dengan kecepatan dunia teknologi itu sendiri.
Tantangan dan Kritik terhadap Model SuperTech
Meskipun model SuperTech leadership menghadirkan banyak keuntungan strategis, penerapannya tidak tanpa tantangan.
Konsolidasi peran teknologi ke dalam satu kepemimpinan bisa memunculkan risiko baru terkait tata kelola, beban kerja, dan keseimbangan kekuasaan di dalam organisasi. Banyak perusahaan, terutama yang berskala besar dan kompleks, masih memandang struktur multi-peran sebagai cara menjaga spesialisasi dan pengawasan yang lebih ketat.
Dalam konteks ini, kritik terhadap model SuperTech berakar pada tiga isu utama: (1) risiko konsentrasi kekuasaan teknologi, (2) hilangnya fungsi pengawasan lintas peran, dan (3) kesenjangan kompetensi kepemimpinan.
1. Risiko Konsentrasi Kekuasaan Teknologi
Konsolidasi peran yang terlalu luas dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap sentralisasi kekuasaan digital. Seorang pemimpin yang mengendalikan fungsi IT, data, keamanan, dan AI sekaligus memiliki pengaruh besar terhadap arah organisasi, terutama dalam hal pengambilan keputusan berbasis data. Jika tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat, hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kekuasaan dan risiko penyalahgunaan otoritas teknologi.
Sebagian ahli tata kelola organisasi berpendapat bahwa pemisahan peran (misalnya antara CDO dan CIO) berfungsi sebagai “checks and balances” yang memastikan tidak ada satu unit yang mendominasi. Scott Hallworth dari Hewlett-Packard menegaskan bahwa perbedaan fungsi antara Chief Digital Officer dan Chief Data Officer dapat membantu organisasi besar menjaga keseimbangan antara kecepatan digitalisasi dan kehati-hatian dalam tata kelola data.
Oleh karena itu, model SuperTech perlu diterapkan dengan struktur pengawasan yang memadai, seperti digital governance board atau executive data council, agar tetap transparan dan akuntabel.
2. Hilangnya Mekanisme Pengawasan dan Spesialisasi
Kritik lain menyebutkan bahwa SuperTech leadership dapat mengikis kedalaman keahlian dan independensi fungsi spesialis. Ketika satu pemimpin mengelola banyak domain sekaligus, perhatian strategis bisa terpecah, dan beberapa area kritikal seperti keamanan siber atau tata kelola data berisiko tidak mendapatkan perhatian memadai.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konsolidasi bisa menghapus peran pengawas independen yang biasanya berfungsi sebagai filter kebijakan teknologi. Sebagai contoh, dalam struktur tradisional, CISO (Chief Information Security Officer) dapat menolak atau menunda proyek digital yang berisiko tinggi terhadap keamanan informasi. Dalam struktur terintegrasi, keputusan semacam itu mungkin lebih sulit dikontrol karena berada di bawah satu rantai kepemimpinan yang sama.
Organisasi yang berhasil menerapkan model SuperTech, seperti TIAA dan Vista Equity Partners, mengatasi risiko ini dengan memperkuat governance committee dan cross-functional review board. Langkah tersebut memastikan bahwa setiap kebijakan teknologi tetap diuji secara independen oleh berbagai pihak di dalam organisasi.
3. Tantangan Kompetensi dan Kapasitas Pemimpin
SuperTech leadership menuntut sosok yang memiliki kombinasi langka antara pengetahuan teknologi mendalam dan kemampuan bisnis strategis. Keterampilan ini sulit ditemukan karena sebagian besar pemimpin teknologi tumbuh dari jalur karier teknis yang kuat tetapi kurang berpengalaman dalam strategi bisnis, atau sebaliknya. Survei HBR (2024) mencatat bahwa hanya sekitar 10–15% CIO global yang dianggap memiliki kemampuan penuh untuk menjalankan peran SuperTech secara efektif.
Tantangan ini menjadi semakin nyata di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana masih terbatas jumlah pemimpin yang mampu mengintegrasikan pemikiran teknologi dan bisnis secara utuh. Banyak organisasi masih memisahkan antara “pihak IT” dan “pihak manajemen” sebuah warisan struktural yang membuat transformasi digital sulit dilakukan secara menyeluruh.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, perlu ada investasi besar dalam pengembangan kepemimpinan digital lintas disiplin, baik melalui program pelatihan nasional, universitas, maupun lembaga seperti Diklatkerja. Pelatihan yang menggabungkan business acumen, digital fluency, dan strategic leadership akan menjadi kunci mencetak pemimpin SuperTech masa depan.
4. Tantangan Budaya Organisasi
Konsolidasi juga sering berbenturan dengan budaya organisasi yang hierarkis atau silo-based. Dalam organisasi besar, setiap fungsi teknologi biasanya memiliki identitas dan dinamika kerja sendiri. Upaya menggabungkan semuanya di bawah satu kepemimpinan sering menghadapi resistensi internal, terutama dari pejabat atau tim yang kehilangan otonomi dan ruang pengaruh.
Keberhasilan implementasi SuperTech sangat bergantung pada kemampuan pemimpin dalam mengelola perubahan budaya (cultural change management). Ia harus membangun narasi bersama bahwa konsolidasi bukanlah pengurangan peran, melainkan penyelarasan tujuan. Pemimpin yang mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap transformasi akan lebih mudah mendapatkan dukungan lintas fungsi.
Pendekatan yang digunakan Microsoft dan DBS Bank menjadi contoh penting. Kedua organisasi ini tidak hanya melakukan restrukturisasi peran, tetapi juga mengembangkan budaya “shared mission” antara teknologi dan bisnis, sehingga seluruh unit merasa menjadi bagian dari strategi digital bersama.
5. Adaptasi untuk Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, tantangan penerapan model SuperTech tidak hanya bersifat struktural tetapi juga sistemik. Banyak organisasi publik dan BUMN memiliki struktur manajemen yang sangat berlapis dan terikat pada regulasi birokrasi. Perubahan peran di tingkat eksekutif sering memerlukan penyesuaian hukum dan kebijakan internal yang kompleks.
Selain itu, kapasitas SDM digital di tingkat menengah ke atas masih belum merata. Data Indonesia Digital Talent Outlook (2024) menunjukkan bahwa hanya 8% profesional teknologi di Indonesia memiliki pengalaman strategis di level manajemen atas. Artinya, untuk mengimplementasikan model SuperTech secara efektif, Indonesia perlu memperkuat ekosistem kepemimpinan digital nasional, termasuk pelatihan lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan akademisi.
Di sisi lain, ada peluang besar: konsep SuperTech sejalan dengan arah kebijakan nasional seperti Digital Leadership Development Program oleh Kemenkominfo dan Indonesia Digital Economy Framework 2045. Jika diintegrasikan dengan strategi pembangunan nasional, SuperTech leadership bisa menjadi katalis menuju tata kelola digital yang lebih efisien dan responsif.
6. Menjaga Keseimbangan antara Integrasi dan Pengawasan
Kritik yang paling konstruktif terhadap model SuperTech bukan menolak ide konsolidasi, melainkan menekankan perlunya keseimbangan antara integrasi dan pengawasan. Organisasi perlu menghindari jebakan ekstrem baik terlalu banyak jabatan yang terpisah, maupun terlalu terpusat pada satu orang. Kunci keberhasilan terletak pada desain tata kelola yang cerdas: satu pemimpin memegang arah strategis, sementara fungsi-fungsi teknis tetap memiliki otonomi profesional dalam batas yang jelas.
Dengan struktur seperti ini, organisasi dapat menikmati manfaat koordinasi dan kecepatan pengambilan keputusan, tanpa kehilangan integritas dan transparansi yang diperlukan dalam pengelolaan teknologi tingkat tinggi.
Implikasi bagi Organisasi di Indonesia
Perubahan lanskap digital global menempatkan Indonesia dalam fase penting untuk menata kembali strategi kepemimpinan teknologinya. Transformasi digital yang tengah berlangsung di berbagai lembaga pemerintahan, BUMN, dan perusahaan swasta menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya adopsi teknologi, tetapi koordinasi antarfungsi digital yang belum terintegrasi secara efektif.
Model SuperTech leadership menawarkan arah baru bagi organisasi di Indonesia untuk membangun tata kelola teknologi yang lebih efisien, kolaboratif, dan strategis. Pendekatan ini dapat menjadi solusi bagi beberapa persoalan klasik transformasi digital nasional—mulai dari tumpang tindih program, duplikasi anggaran, hingga lambatnya pengambilan keputusan lintas direktorat.
1. Membangun Tata Kelola Digital yang Terpadu
Banyak lembaga publik di Indonesia masih menerapkan struktur teknologi yang terpisah: direktorat TI, direktorat data, dan unit digitalisasi sering berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini menyebabkan kebijakan digitalisasi nasional sulit dieksekusi secara sinkron.
SuperTech leadership dapat membantu menyatukan arah strategis tersebut dengan menciptakan satu pusat pengambilan keputusan digital di tingkat pimpinan eksekutif.
Misalnya, pada proyek nasional seperti Satu Data Indonesia atau Digital Government Architecture, pendekatan ini memungkinkan integrasi lintas kementerian dan lembaga dengan lebih efektif. Pemimpin teknologi nasional tidak hanya mengelola sistem, tetapi juga memandu arah kebijakan digital berdasarkan data yang terkonsolidasi dan terbuka.
2. Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Digital Nasional
Agar model ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat kapasitas SDM digital di tingkat strategis. SuperTech leadership menuntut kombinasi keterampilan yang jarang dimiliki secara bersamaan penguasaan teknologi, visi bisnis, dan kepemimpinan kolaboratif. Kesenjangan ini menjadi tantangan utama yang perlu dijembatani melalui program pengembangan kepemimpinan digital lintas sektor.
Inisiatif seperti Digital Leadership Academy (Kominfo) dan National Digital Talent Program bisa menjadi wadah penting untuk mencetak generasi pemimpin digital yang mampu memimpin lintas domain. Di sektor swasta, pelatihan yang menggabungkan data strategy, AI governance, dan business transformation akan memperkuat kemampuan manajerial dalam mengelola organisasi berbasis data.
Selain pelatihan formal, kolaborasi antara dunia industri dan akademisi perlu diperluas agar lahir ekosistem pembelajaran berkelanjutan yang mendukung tumbuhnya pemimpin digital baru.
3. Adaptasi untuk Sektor BUMN dan Pemerintahan
BUMN dan lembaga publik di Indonesia menghadapi tantangan unik: birokrasi yang kompleks dan budaya organisasi yang masih hierarkis. Penerapan model SuperTech di lingkungan ini membutuhkan pendekatan bertahap dan berbasis tata kelola (governance-based approach).
Langkah pertama adalah mengidentifikasi fungsi teknologi yang masih tumpang tindih dan menyatukannya ke dalam struktur koordinasi terpadu di bawah pimpinan yang memiliki kewenangan lintas sektor Langkah berikutnya adalah memastikan adanya accountability mechanism misalnya komite transformasi digital lintas direktorat untuk menjaga transparansi dan objektivitas keputusan.
Beberapa BUMN besar seperti Telkom Indonesia dan PLN mulai mengarah ke pola ini, dengan mengonsolidasikan fungsi teknologi, data, dan inovasi di bawah Chief Digital Transformation Officer (CDTO). Pendekatan ini terbukti mempercepat integrasi layanan, efisiensi biaya, dan peningkatan respons terhadap kebutuhan pelanggan.
4. Penguatan Kolaborasi antara Pemerintah dan Swasta
SuperTech leadership tidak dapat berdiri sendiri tanpa ekosistem pendukung. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama membangun arsitektur kolaborasi digital nasional yang memungkinkan berbagi data, inovasi, dan praktik terbaik lintas industri.
Kolaborasi ini penting untuk mempercepat adopsi AI, analitik, dan keamanan siber di seluruh sektor.
Model kemitraan seperti public–private digital consortium dapat menjadi solusi praktis. Dengan melibatkan universitas, startup, dan lembaga penelitian, Indonesia dapat membangun laboratorium inovasi kepemimpinan digital yang mempersiapkan pemimpin masa depan dengan kompetensi SuperTech.
5. Mendorong Transformasi yang Human-Centered
Konsep SuperTech bukan semata soal efisiensi atau konsolidasi struktur, tetapi tentang menempatkan manusia di pusat transformasi digital. Pemimpin SuperTech harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia, bukan menggantikannya. Di Indonesia, hal ini berarti memberdayakan pegawai negeri, pekerja industri, dan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan digital melalui literasi dan pelatihan berkelanjutan.
Transformasi digital yang inklusif akan memperkuat produktivitas nasional sekaligus mengurangi kesenjangan digital antarwilayah.
Kepemimpinan yang memadukan teknologi dan empati menjadi kunci agar digitalisasi tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.
Kesimpulan
SuperTech leadership mewakili arah baru dalam kepemimpinan organisasi modern sebuah paradigma yang menuntut integrasi antara strategi bisnis, teknologi, dan tata kelola digital dalam satu visi terpadu. Bagi Indonesia, pendekatan ini bisa menjadi pendorong utama akselerasi transformasi digital nasional, terutama jika diiringi dengan reformasi budaya organisasi dan penguatan kapasitas kepemimpinan digital.
Konsolidasi peran teknologi di tingkat eksekutif bukan sekadar penyederhanaan struktur, melainkan investasi strategis untuk membangun organisasi yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan menerapkan prinsip SuperTech leadership, organisasi di Indonesia dapat melangkah lebih jauh tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta nilai baru di era ekonomi digital global.
Daftar Pustaka:
Davenport, T. H., Spens, J., & Gupta, S. (2024). Why companies should consolidate tech roles in the C-suite. Harvard Business Review, 102(2), 54–62.
Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.
Schein, E. H., & Schein, P. A. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.
World Economic Forum. (2024). Future readiness of organizations: Leading in the age of AI. Geneva: WEF.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2024). Digital Leadership Academy: Roadmap 2024–2029. Jakarta: Kominfo.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2025). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
World Bank. (2024). Digital government for development: Building capacity and trust. Washington, DC: World Bank Group.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Transformasi digital kini menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan daya saing organisasi. Namun, banyak perusahaan gagal menuai manfaat dari investasi besar dalam teknologi karena transformasi berhenti di ruang IT, tanpa benar-benar menyentuh cara kerja dan budaya organisasi. Artikel “Democratizing Transformation” yang ditulis oleh Marco Iansiti dan Satya Nadella (HBR, 2022) menyoroti bahwa keberhasilan digitalisasi tidak bergantung pada besarnya anggaran teknologi, melainkan pada kemampuan organisasi mendistribusikan kapabilitas digital ke seluruh lapisan karyawan.
Selama satu dekade terakhir, perusahaan-perusahaan global seperti Novartis, Microsoft, dan Starbucks menunjukkan bahwa transformasi digital yang efektif menuntut demokratisasi akses terhadap data, alat digital, dan kemampuan pengambilan keputusan berbasis teknologi. Artinya, inovasi tidak lagi menjadi hak eksklusif tim IT atau data scientist, tetapi juga bagian dari tanggung jawab manajer lini depan, staf pemasaran, hingga tenaga operasional.
Dinamika Transformasi Digital di Dunia Korporasi
Iansiti dan Nadella menjelaskan bahwa banyak organisasi mengalami “kesenjangan implementasi” di mana teknologi berkembang pesat, tetapi adopsi di tingkat operasional berjalan lambat. Sebagai contoh, Novartis semula berfokus pada infrastruktur cloud dan perekrutan ahli data. Namun, inisiatif ini belum membawa dampak nyata karena tim bisnis belum memahami bagaimana data dapat meningkatkan kinerja mereka. Perubahan baru terjadi ketika perusahaan menggabungkan tim bisnis dan data scientist dalam proyek bersama, membangun budaya agile, dan memberikan pelatihan kepada karyawan agar mampu menggunakan data untuk inovasi.
Transformasi digital yang berhasil menuntut lebih dari sekadar investasi teknologi, ia membutuhkan sinkronisasi antara kemampuan manusia, arsitektur organisasi, dan infrastruktur teknologi. Iansiti dan Nadella menyebut sinergi ini sebagai tech intensity—tingkat sejauh mana teknologi digunakan secara efektif oleh karyawan untuk mencapai tujuan bisnis.
Tahapan Transformasi Digital: Dari Tradisional hingga Native Model
Transformasi digital tidak terjadi secara tiba-tiba. Melainkan sebuah proses evolusi bertahap yang menuntut perubahan teknologi, struktur organisasi, dan budaya kerja secara simultan. Iansiti dan Nadella menguraikan bahwa perjalanan ini dapat dipetakan dalam lima tahap kematangan digital: Traditional, Bridge, Hubs, Platform, dan Native. Masing-masing tahap menggambarkan sejauh mana organisasi telah menanamkan teknologi digital ke dalam jantung operasinya.
1. Traditional: Teknologi Sebagai Pendukung, Bukan Penggerak
Pada tahap awal ini, teknologi dipandang sekadar sebagai alat bantu operasional. Sistem IT berfungsi untuk efisiensi administratif seperti otomatisasi laporan, keuangan, atau manajemen sumber daya manusia namun belum menjadi bagian strategis dari model bisnis. Keputusan penting masih didasarkan pada intuisi dan hierarki, bukan pada data dan analitik.
Kebanyakan organisasi publik dan perusahaan konvensional berada di tahap ini ketika pertama kali memulai perjalanan digitalnya.
Mereka sering menghadapi hambatan budaya, seperti resistensi terhadap perubahan dan keterbatasan literasi digital.
Tahap ini menandai titik awal kesadaran akan perlunya transformasi, tetapi belum menunjukkan integrasi nyata antara teknologi dan strategi bisnis.
2. Bridge: Menyambungkan Fungsi Bisnis dan Teknologi
Tahap bridge menandai pergeseran paradigma. Organisasi mulai membangun jembatan antara divisi bisnis dan teknologi, menciptakan tim lintas fungsi, serta memperkenalkan peran seperti Chief Digital Officer (CDO) atau Digital Transformation Manager. Fokus utama di tahap ini adalah eksperimen dan pilot projects—menggunakan data untuk memecahkan masalah tertentu, seperti analisis perilaku pelanggan atau prediksi rantai pasok.
Meski sudah lebih maju, tantangan utama tahap ini adalah fragmentasi digital. Setiap unit bisnis sering membuat solusi digitalnya sendiri, yang mengarah pada sistem terpisah (data silos) dan kurangnya interoperabilitas. Untuk melangkah lebih jauh, organisasi harus mulai membangun fondasi arsitektur digital terpadu yang memungkinkan data dan teknologi berbicara dalam bahasa yang sama di seluruh unit.
3. Hubs: Kolaborasi Terstruktur dan Skala Data
Pada tahap hubs, organisasi mulai menyatukan upaya digitalisasi menjadi struktur yang lebih terkoordinasi. Mereka membentuk pusat inovasi digital atau data hubs yang berfungsi sebagai penggerak utama integrasi lintas fungsi. Di sini, tim bisnis, teknologi, dan data scientist bekerja bersama secara iteratif untuk membangun solusi yang lebih cepat dan berbasis data.
Hasilnya adalah peningkatan efisiensi dan konsistensi antarproses. Namun, model ini masih cenderung bergantung pada tim pusat yang memiliki keahlian digital, sehingga skala transformasi belum sepenuhnya menyebar ke seluruh organisasi. Dengan kata lain, digital thinking mulai tumbuh, tetapi belum sepenuhnya menjadi bagian dari DNA organisasi.
4. Platform: Ekosistem Inovasi yang Terdesentralisasi
Tahap platform menjadi titik balik penting. Di sini, organisasi mulai membangun platform internal yang memungkinkan setiap karyawan mengakses alat, data, dan aplikasi digital secara mandiri. Inovasi tidak lagi datang dari satu departemen, tetapi dari seluruh lapisan organisasi.
Microsoft, misalnya, menciptakan Power Platform sebuah ekosistem low-code tools yang memungkinkan siapa pun, bahkan tanpa latar belakang teknis, membangun solusi digital untuk masalah sehari-hari di tempat kerja. Inilah bentuk awal dari demokratisasi teknologi, di mana kemampuan digital tersebar merata dan digunakan secara kreatif di berbagai fungsi bisnis.
Pada tahap ini, organisasi juga mulai menanamkan governance frameworks untuk memastikan keamanan dan kualitas tanpa menghambat eksperimen. Pendekatan ini menjadikan perusahaan lebih gesit, kolaboratif, dan inovatif.
5. Native: Ketika Digital Menjadi DNA Organisasi
Tahap terakhir, digital native, menggambarkan kondisi di mana teknologi telah menyatu sepenuhnya dengan strategi, struktur, dan budaya organisasi. Setiap proses bisnis, keputusan manajerial, hingga interaksi pelanggan didorong oleh data dan kecerdasan buatan.
Tidak ada lagi perbedaan antara “tim teknologi” dan “tim bisnis” semua karyawan berperan dalam penciptaan nilai digital.
Organisasi di tahap ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pengambilan keputusan berbasis data real-time.
Budaya kolaborasi dan pembelajaran berkelanjutan.
Infrastruktur digital yang adaptif dan skalabel.
Komitmen terhadap inovasi yang berorientasi manusia (human-centered innovation).
Perusahaan seperti Amazon, Microsoft, dan DBS Bank menjadi contoh nyata digital native organizations, di mana teknologi bukan lagi alat, melainkan identitas strategis perusahaan.
Tahapan-tahapan ini menunjukkan bahwa transformasi digital sejati tidak dapat dipaksakan dari atas ke bawah atau dibeli melalui perangkat lunak baru. Ia harus dibangun melalui proses pembelajaran, eksperimen, dan pemberdayaan yang berkesinambungan di seluruh lapisan organisasi. Dengan memahami peta perjalanan ini, perusahaan dapat menilai posisi mereka saat ini dan merancang strategi untuk melangkah ke tahap berikutnya secara realistis dan terarah.
Budaya dan Kepemimpinan dalam Demokratisasi Transformasi
Transformasi digital sejati tidak dapat terjadi tanpa perubahan budaya dan gaya kepemimpinan. Teknologi hanyalah enabler; sedangkan manusia dan budaya organisasi adalah penggerak utamanya. Satya Nadella, CEO Microsoft, menekankan bahwa inti dari transformasi bukan sekadar mengadopsi teknologi baru, melainkan mengubah cara berpikir dan bekerja di seluruh tingkatan organisasi. Dalam konteks ini, kepemimpinan dan budaya menjadi elemen paling menentukan dalam keberhasilan democratizing transformation.
1. Budaya Pembelajaran dan Keberanian Bereksperimen
Organisasi yang ingin bertransformasi harus menumbuhkan budaya learning organization di mana setiap individu terdorong untuk terus belajar, mencoba, dan beradaptasi. Transformasi digital bukan tentang mencapai kesempurnaan teknologi, tetapi tentang kemampuan bereksperimen secara cepat dan belajar dari kegagalan.
Microsoft di bawah Nadella menjadi contoh klasik. Ketika ia mengambil alih kepemimpinan pada 2014, budaya Microsoft masih kaku dan kompetitif. Nadella kemudian memperkenalkan filosofi growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan seseorang dapat berkembang melalui pembelajaran dan kolaborasi. Budaya ini menjadi katalis utama yang mendorong inovasi dan kolaborasi lintas tim.
Dalam kerangka demokratisasi, budaya belajar ini membuat setiap karyawan merasa memiliki otoritas untuk berkontribusi terhadap inovasi. Mereka tidak lagi sekadar mengikuti instruksi dari atas, tetapi menjadi aktor aktif dalam proses transformasi.
2. Kepemimpinan Inklusif dan Kolaboratif
Transformasi digital juga menuntut bentuk kepemimpinan baru, kepemimpinan yang inklusif, kolaboratif, dan memberdayakan.
Pemimpin tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, tetapi sebagai fasilitator yang membuka ruang bagi ide-ide baru muncul dari seluruh lini organisasi. Dalam istilah Nadella, pemimpin masa kini harus menjadi “learn-it-all” bukan “know-it-all.”
Kepemimpinan inklusif berarti:
Mendorong keterlibatan lintas fungsi dan disiplin.
Membangun kepercayaan antara teknologi dan manusia.
Memberikan akses dan tanggung jawab kepada karyawan untuk menggunakan teknologi sesuai kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, Starbucks memberikan pelatihan dan alat digital bagi barista di seluruh dunia untuk memantau kinerja toko, mengelola inventori, dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Hal ini menciptakan ekosistem di mana keputusan operasional dibuat berdasarkan data yang dapat diakses langsung oleh pelaku lapangan sebuah bentuk nyata democratizing transformation.
3. Struktur Organisasi yang Lincah dan Terdistribusi
Budaya dan kepemimpinan yang mendukung transformasi tidak akan efektif tanpa struktur organisasi yang lincah (agile).
Struktur hierarkis tradisional, yang menempatkan keputusan hanya di puncak piramida, sering kali memperlambat inovasi.
Sebaliknya, struktur yang terdesentralisasi dan berbasis tim lintas fungsi memungkinkan respons yang lebih cepat terhadap perubahan pasar.
Model ini dikenal dengan istilah team of teams—sebuah konsep di mana unit-unit kecil saling terhubung melalui tujuan bersama, bukan melalui rantai komando yang panjang. Perusahaan seperti Unilever dan DBS Bank telah mengadopsi pendekatan ini untuk mempercepat pengambilan keputusan berbasis data dan memperkuat koordinasi antara unit bisnis dan teknologi.
Dengan struktur seperti ini, setiap tim memiliki kebebasan bereksperimen sekaligus tanggung jawab terhadap hasilnya.
Inilah bentuk nyata dari demokratisasi organisasi digital, di mana kekuasaan dan kemampuan tidak terkonsentrasi di pusat, tetapi menyebar ke seluruh ekosistem.
4. Integrasi Nilai dan Tujuan Sosial
Transformasi digital yang demokratis juga berkaitan erat dengan nilai dan tujuan organisasi. Iansiti dan Nadella menegaskan bahwa teknologi harus digunakan untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan memperluas dampak sosial positif. Digitalisasi tidak boleh semata-mata menjadi proyek efisiensi, tetapi alat untuk memperkuat empati, keadilan, dan keberlanjutan.
Microsoft, misalnya, menanamkan prinsip AI for Good—mengembangkan sistem AI yang mendukung pendidikan, aksesibilitas, dan pelestarian lingkungan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa demokratisasi teknologi bukan hanya tentang siapa yang dapat menggunakannya, tetapi juga untuk tujuan apa teknologi itu digunakan.
Dengan mengaitkan transformasi digital pada misi sosial dan nilai kemanusiaan, organisasi membangun legitimasi sekaligus motivasi intrinsik bagi karyawan untuk berpartisipasi aktif. Hal ini menciptakan keselarasan antara teknologi, tujuan, dan identitas organisasi.
5. Membangun Ekosistem Kolaborasi Digital
Terakhir, budaya dan kepemimpinan transformasional juga perlu diperluas ke luar organisasi. Era digital menuntut kolaborasi lintas batas antara perusahaan, pemerintah, universitas, dan masyarakat. Ekosistem seperti ini memungkinkan pertukaran data, ide, dan praktik terbaik yang mempercepat pembelajaran kolektif.
Model kolaborasi terbuka seperti Microsoft Cloud for Industry atau Open Manufacturing Platform menunjukkan bahwa kompetisi dan kolaborasi kini berjalan berdampingan. Organisasi yang mampu menavigasi dinamika ini tidak hanya akan lebih adaptif, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan industri dan masyarakat secara luas.
Pada akhirnya, budaya dan kepemimpinan yang demokratis menjadi prasyarat bagi keberhasilan transformasi digital yang berkelanjutan. Teknologi hanya akan bermakna ketika digunakan oleh manusia yang memiliki rasa ingin tahu, keberanian bereksperimen, dan empati terhadap dampak sosial dari inovasinya. Inilah inti dari democratizing transformation: menyatukan potensi manusia dan kekuatan teknologi dalam satu tujuan bersama.
Kesimpulan dan Implikasi bagi Organisasi di Indonesia
Transformasi digital yang sejati tidak sekadar mengubah cara kerja, tetapi mendefinisikan ulang hubungan antara manusia, teknologi, dan nilai organisasi. Marco Iansiti dan Satya Nadella menegaskan bahwa demokratisasi transformasi adalah langkah penting menuju masa depan organisasi yang adaptif, kolaboratif, dan berorientasi manusia. Ketika kemampuan digital tersebar ke seluruh lapisan karyawan, inovasi tidak lagi bergantung pada departemen teknologi, melainkan menjadi hasil dari partisipasi kolektif seluruh organisasi.
Bagi Indonesia, konsep ini sangat relevan. Banyak lembaga publik, BUMN, dan perusahaan swasta telah memulai inisiatif digitalisasi—dari e-government, digital banking, hingga smart manufacturing. Namun, sebagian besar masih berada pada tahap awal transformasi, di mana teknologi diterapkan tanpa perubahan budaya dan struktur organisasi yang mendukung. Inilah titik di mana gagasan “demokratisasi transformasi” menemukan urgensinya.
1. Dari Adopsi Teknologi Menuju Pemberdayaan Digital
Langkah pertama bagi organisasi di Indonesia adalah bergeser dari paradigma adopsi teknologi menuju pemberdayaan digital.
Artinya, transformasi tidak boleh hanya menjadi proyek infrastruktur atau aplikasi, tetapi harus melibatkan upaya membangun kemampuan digital di seluruh level karyawan.
Pendekatan ini mencakup:
Pelatihan literasi digital yang menyeluruh.
Penerapan alat kolaborasi yang mudah diakses.
Integrasi data lintas unit kerja agar pengambilan keputusan lebih cepat dan berbasis bukti.
BUMN seperti Telkom, Pertamina, dan PLN mulai menerapkan pendekatan ini melalui digital capability programs dan data-driven decision frameworks. Namun, keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada seberapa dalam perubahan ini mengakar ke budaya kerja dan pola pikir organisasi.
2. Kepemimpinan Transformasional di Sektor Publik dan Swasta
Pemimpin organisasi di Indonesia perlu mengadopsi kepemimpinan transformasional yang inklusif.
Kepemimpinan ini mendorong partisipasi lintas fungsi, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan memberi ruang bagi ide-ide baru tanpa takut gagal. Dalam konteks birokrasi publik, misalnya, keberhasilan transformasi digital bergantung pada kemauan pemimpin untuk memberi otonomi kepada pegawai di lapangan untuk menggunakan data dan teknologi dalam memecahkan masalah lokal.
Pendekatan ini dapat menciptakan pemerintahan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sekaligus memperkuat budaya pelayanan publik berbasis data.
3. Integrasi Nilai Sosial dan Etika Digital
Demokratisasi transformasi juga menuntut organisasi Indonesia untuk menanamkan nilai etika dan tanggung jawab sosial dalam digitalisasi. Di tengah maraknya penggunaan data, AI, dan otomatisasi, pertanyaan etis tentang privasi, bias algoritma, dan dampak sosial perlu dijawab dengan kebijakan dan tata kelola yang jelas.
Organisasi yang ingin menjadi pemimpin digital harus membangun kepercayaan (trust) sebagai modal sosial utama.
Hal ini berarti memastikan bahwa setiap inovasi teknologi membawa manfaat nyata bagi manusia baik pelanggan, karyawan, maupun masyarakat luas.
4. Kolaborasi untuk Ekosistem Inovasi Nasional
Keberhasilan demokratisasi transformasi juga bergantung pada kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas teknologi perlu membentuk ekosistem inovasi nasional yang terbuka, inklusif, dan berbasis data. Inisiatif seperti Satu Data Indonesia, Digital Talent Scholarship, dan National AI Strategy dapat menjadi landasan untuk membangun ekosistem tersebut.
Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mendistribusikan pengetahuan dan teknologi secara merata, sehingga manfaat digitalisasi tidak hanya dinikmati oleh perusahaan besar di perkotaan, tetapi juga oleh UMKM dan pemerintah daerah.
5. Menuju Organisasi Digital yang Human-Centered
Arah akhir dari demokratisasi transformasi adalah membangun organisasi digital yang berpusat pada manusia.
Teknologi bukan pengganti manusia, melainkan alat untuk memperluas kapasitas dan kreativitas manusia. Dalam kerangka ini, setiap karyawan menjadi digital actor yang berkontribusi terhadap misi organisasi melalui data, analitik, dan kolaborasi.
Dengan menggabungkan strategi teknologi, kepemimpinan inklusif, dan budaya pembelajaran berkelanjutan, organisasi Indonesia dapat bertransformasi menjadi entitas adaptif yang siap menghadapi disrupsi global. Transformasi digital bukan lagi proyek satu kali, melainkan perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih cerdas, adil, dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Demokratisasi transformasi digital bukan sekadar tren korporasi, tetapi agenda strategis pembangunan manusia dan institusi.
Seperti yang ditegaskan oleh Iansiti dan Nadella, keberhasilan organisasi masa depan akan diukur bukan dari seberapa canggih teknologinya, melainkan seberapa luas dan dalam teknologi tersebut memberdayakan manusia. Dengan menanamkan nilai pembelajaran, empati, dan kolaborasi di seluruh struktur organisasi, Indonesia dapat bergerak dari sekadar pengguna teknologi menjadi pencipta inovasi digital yang berdampak.
Daftar Pustaka:
Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review
Iansiti, M., & Nadella, S. (2022). Democratizing transformation. Harvard Business Review, 100(2), 34–53.
Nadella, S. (2017). Hit refresh: The quest to rediscover Microsoft’s soul and imagine a better future for everyone. Harper Business.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.
Schein, E. H., & Schein, P. A. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.
Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.
World Economic Forum. (2024). Future readiness of SMEs: Empowering the digital economy. Geneva: WEF.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 11 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Building Information Modelling (BIM) adalah teknologi revolusioner yang membantu meningkatkan kolaborasi, efisiensi, dan akurasi dalam konstruksi. Pada industri konstruksi di Selangor, tingkat kesadaran BIM tinggi (~ 90%), tapi penggunaan aktif hanya 21,7%, karena kendala biaya, pelatihan, dan lemah pola dukungan pemerintah.
Temuan ini memberi gambaran yang relevan buat kebijakan publik di Indonesia—tanpa dukungan strategis dari pemerintah, adopsi BIM akan stagnan dan daya saing konstruksi nasional berisiko tertinggal.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Peningkatan efisiensi waktu dan biaya proyek.
Transparansi dan akurasi desain konstruksi jadi lebih baik.
Sinergi lintas stakeholder dalam proyek tambah kuat.
Hambatan
Biaya lisensi software BIM relatif tinggi.
Kurangnya talenta profesional di bidang BIM.
Tidak ada anggaran teralokasi untuk pelatihan BIM.
Peluang Strategis
BIM bisa dijadikan standar wajib dalam tender proyek strategis.
Pelatihan daring tersedia seperti kursus Building Information Modeling for Structure Design, yang berfokus pada optimasi desain, otomatisasi dokumentasi, dan pengambilan keputusan berbasis BIM.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Terapkan BIM sebagai Standar Resmi untuk Proyek Pemerintah
Semua proyek strategis harus mengimplementasikan BIM sejak perencanaan.
Subsidi Software & Licensing
Kerjasama dengan penyedia software untuk memberikan harga khusus ke sektor publik dan kontraktor.
Program Pelatihan & Sertifikasi BIM Nasional
Bangun pelatihan berjenjang untuk pekerja konstruksi, konsultan, dan proyek manajer berbasis standar inklusif BIM.
Dorong Sertifikasi dan Pendampingan oleh Asosiasi
Libatkan LPJK dan asosiasi jasa konstruksi untuk menyelenggarakan program sertifikasi BIM.
Monitoring & Evaluasi Periodik Penerapan BIM
Audit regular di proyek yang menerapkan BIM, untuk mengukur dampak kualitas dan efisiensi.
Kritik: Risiko Jika Kebijakan Tidak Diambil
Proyek berpotensi tetap ineffisien, mengalami pemborosan waktu dan anggaran.
Industri konstruksi domestik tertinggal dalam era transformasi digital.
Potensi kualitas infrastruktur menurun karena minim inovasi teknologi.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
BIM bukan hanya teknologi; ia adalah pendorong produktivitas, transparansi, dan kolaborasi di sektor konstruksi. Kebijakan publik yang mendorong adopsi BIM secara sistematis akan memastikan pembangunan infrastruktur lebih efisien, berkualitas, dan berdaya saing global.
Sumber
P. S. E. Ang dkk. Acceptance on Building Information Modelling (BIM) Training in Selangor Construction Industry: Current Trend and Impediments.
Building Information Modeling for Structure Design, membahas konsep operasional BIM bagi engineer.